Author's note :
Jadi bagaimana menurutmu saat telah menjadi seorang bekasan?
Oke, itu mungkin terdengar kejam. Karena aku telah mengucapkan 'bekasan' yang terdengar sebagai benda atau hanya permainan semata. Namun, apakah ketika kau mendengarnya, satu kata itu telah kembali mengulang memorimu? Mungkin tidak, mungkin juga iya. Tapi, bagiku satu kata itu membuat sebuah cerita yang ku tutup rapat-rapat kembali berputar di antara masa lalu dan masa depan.
Sejujurnya ini bukan dongeng yang selalu kau dengar ketika tidur, atau cerita sepasang sejoli yang telah kau kenal sebelum adanya Romeo dan Juliet. Oke, aku memang bukanlah seorang puitis, namun setiap cerita yang inginku salurkan setiap harinya adalah lembar demi lembar pada sebuah buku tipis. Jadi, yang kubutuhkan hanya selembar kertas dan sebuah pena hitam di sisinya. Karena, saat itu juga aku akan menulis, tak peduli bagaimana aku akan menundanya atau melanjutkannya.
Satu kisah adalah satu pelajaran yang ingin ku ceritakan. Satu kisah yang pernah aku alami seorang diri. Tak peduli bagaimana bahagianya aku saat itu atau marah pada setiap orang yang menatapku. Karena aku hanya ingin bercerita.
Jadi, datanglah dan baca baik-baik.
Tak ada hujan, tak ada juga badai yang datang. Namun, rasanya itu tidak terlalu penting untuk mencerminkan seorang gadis disudut sana.
Gadis itu datang awal sebelum Perpustakaan itu dibuka. Ya, tak akan ada yang heran ketika melihat gadis satu ini. Tentu saja mereka telah mengerti. Tanpa satu katapun yang terlintas, mereka tentu telah tahu bahwa gadis itu akan datang tanpa diundang. Karena, mungkin hal yang susah untuk tidak memisahkan gadis itu dengan kata Perpustakaan.
Ia sebenarnya telah berpikir matang untuk datang ke Perpustakaan itu. Well, walaupun tanpa hal yang ia butuhkan disana, ia akan terus datang. Karena, hanya tempat itu saja pelipur lara yang ia miliki. Oke, mungkin Kamar Mandi Perempuan terdengar bagus, tapi ia akan berpikir dua kali ketika makhluk Troll jelek itu menyerangnya.
Tema hari ini tidak terlalu berat. Gadis itu lebih memilih bacaan yang ringan, seperti cerita. Dan cerita tentang Si Cantik dan Si Buruk Rupa adalah pilihannya. Jujur saja, ia sudah berapa kali membaca dongeng Muggle itu, tapi rasa bosan itu tak terlalu ia pedulikan untuk sekarang. Karena, memang… cerita itu adalah cerita kesukaannya.
Tangan di dagu, sementara tangan yang lainnya membuka lembar demi lembar. Dan sudah berapa kali ia peringatkan, ia memang tidak dapat konsen saat itu. Ia sedikit tidak mood. Karena, yah, ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Dan itu adalah sesuatu yang susah ia ceritakan kembali.
Oke, ia hanya perlu penyegaran, tak perlu paranoid begitu. Ia memang sering merasakan hal begini. Jadi, tak ada yang perlu di debatkan.
Rileks, Hermione.
Gadis itu memijit pelipisnya, sedikit kuat karena keegoisannya sendiri. Dan memaksa kedua matanya membaca baris kata di setiap urutan cerita itu. Tapi, pikirannya tetap menolak. Ia tak dapat meresap lagi. Ugh, shut it up!
Ia memang egois, tak terlalu mementingkan dirinya sendiri. Bahkan, mengetahui ia lelah akhir-akhir ini, ia tetap menyangkalnya saja dengan senyuman palsu tentunya.
Dan ia akan terus bersikap seperti itu, karena seseorang. Yah, siapa lagi?
Satu kata yang terluncur dikepalanya memang terdengar aneh. Karena, siapa kira gadis itu akan memikirkannya? Demi Merlin, untuk apa gadis itu akan berpikir pusing-pusing karena pemuda itu? Hmm… apa sebaiknya sebuah kata yang akan mewakili hari ini? Mabuk cinta, mungkin? Blah. Semua orang pasti akan tertawa ketika mendengar penyakit yang diderita gadis itu.
Karena, ini memang bukan dirinya yang sebenarnya. Ah, akhirnya hormon seorang perempuan datang juga untuk gadis yang cuek tentang cinta ini.
Berhenti menggodaku!
Ia menutup buku itu keras. Lalu, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ya, ia terlalu malu untuk menyadari jika nantinya ada seseorang yang lewat didepannya, lalu mengiranya aneh karena wajahnya sudah dapat disamakan dengan buah tomat. Ia bahkan sudah cukup malu dengan dirinya sendiri.
Jadi, ini akan menjadi kisah yang memalukan baginya.
Haha.
Draco memainkan tongkat Hawthorn miliknya pada sela-sela jarinya yang pucat. Mendengus kesekian kalinya, menyesal atas rencananya tadi. Namun, semua ini harus ia lakukan. Ia tentunya tidak akan peduli, karena ini adalah misinya sendiri.
Telinganya segera menangkap bunyi derapan kaki, yang mudah terdengar di koridor Hogwarts yang sepi. Sosok siluet berambut semak datang setiap harinya ketempat ini. Tentu saja, semua orang juga akan tahu dimana gadis itu menghabiskan waktu luangnya. Perpustakaan.
Pemuda itu dapat melihat jika, Hermione Granger itu tengah memicingkan matanya. Dan menaikkan alisnya ketika melihat Draco berada di ambang pintu Perpustakaan bobrok itu. Tapi, dia tetaplah Hermione Granger, Mudblood yang tak ingin ada urusan dengan para Slytherin.
Gadis itu melewatinya begitu saja, memasuki Perpustakaan dengan riangnya. Draco juga memasuki ruangan itu, mengikuti kemana Granger itu melangkahi kakinya. Dan dari belakangpun, ia juga dapat mencium harum Strawberry dari rambut semaknya.
Hermione menyadari jika Draco mengikutinya dan segera memutuskan untuk berbalik, menghadapi pemuda itu.
"Kenapa kau mengikutiku?" Tanya Hermione dingin.
Draco mendengus, namun tertawa. "Percaya diri sekali kau, Granger. Aku hanya ingin mencari buku Ramuan Tingkat Lanjut untuk Essai dari Profesor Snape." Jawabnya menantang.
Hermione hanya mengerutkan dahinya, tak lagi membalas jawaban dari pemuda itu. Ia tak ingin menghabiskan waktunya dengan percuma untuk mendapatkan detensi, jika para Profesor melihat mereka berdua tengah berperang mantra nantinya.
Maka, Hermione kembali melanjutkan pencariannya pada buku-buku di rak Ramuan Tingkat Lanjut. Ia harus mengerjakan Essai dari Profesor Snape sekarang juga. Agar ia dapat secepatnya bersantai di ruang Rekreasi Gryffindor.
Gadis itu kembali mendengus, mendengar derapan langkah pemuda itu di belakangnya. Ia merasa risih, tentu saja. Apalagi di belakangnya ini adalah Draco Malfoy, sama-sama si keras kepala.
Hermione menyusuri buku-buku yang tersusun rapi di rak itu. Tangannya tergelitik untuk menyentuh ujung buku tersebut. Sedangkan, kedua matanya tetap mencari judul buku yang tepat, yang akan ia ambil.
And gotcha! Ia mendapatkannya. Gadis itu tersenyum puas dan mengeluarkan buku bersampul cokelat itu.
Ia segera duduk di tempat duduk terdekat. Mengeluarkan perkamen, tinta dan juga pena bulunya. Bersiap untuk mengerjakan Essai nya.
Sudah tiga paragraf ia selesaikan, gadis itu mendongak melihat seseorang yang menginterupsi pekerjaannya. Pemuda pirang itu juga membuntutinya, berikut serta mengerjakan Essainya di meja yang sama. Dan gadis itu merasa kembali risih, namun kembali melanjutkan tugasnya lagi.
"Granger…"
Gadis itu menaikkan alisnya, namun tetap menyahut. "Hm?"
"Kau ada waktu?"
Gadis itu memberikan jeda sebentar, dan melihat pemuda itu. "Apa maksudmu?" Tanyanya bingung.
Draco menggaruk rambutnya yang sebelumnya telah tertata rapi. Dan ia benar-benar bingung dengan perlakuan pemuda itu sekarang ini. Dan juga penasaran sepenuhnya. Gadis itu menunggu jawaban dari pemuda itu, mencari setitik keanehan dari iris kelabu miliknya.
"Jangan melihatku seperti itu, Granger." Desis Draco, bergerak memainkan pena bulunya.
Alis Hermione terangkat. "Jadi, apa yang kau inginkan, Malfoy? Kau bahkan belum menjawab pertanyaan dariku." Hermione mendengus, menyadari waktunya telah terbuang sepenuhnya karena pemuda itu.
Draco memperhatikan gadis itu kembali menulis pada perkamennya. Menulis runtunan huruf yang seukuran semut. Dan kembali membaca buku yang berada di hadapannya dengan hati-hati. Draco yakin jika sekali dua kali iris cokelat itu telah meliriknya dari balik buku itu.
"Well— Hmm... Kau ada waktu hari ini?"
"Yap." Jawab gadis itu secepatnya tanpa melihat canggungnya pemuda itu saat ini.
Draco mendesah, mencari akal lebih yang lain. "Dengan siapa?" Tanyanya yang terdengar ingin muntah. Ia tak pernah sebelumnya berkata seperti ini pada satupun golongan Mudblood.
"Bukan urusanmu."
"Aku harus tau, Granger! Kau keras kepala sekali." Desis Draco emosi. Ia sudah cukup sabar tidak mengucapkan umpatan pada gadis itu.
"Aku tidak ingin bahkan, memiliki niat untuk memberitahukannya padamu. Dan lagi pula, itu bukan urusanmu, Malfoy. Jika kau hanya memiliki niat untuk mengerjakan Essaimu, silahkan, tapi jangan ganggu belajarku. Dan aku harap kau mengerti, Malfoy." Hermione mendelik kepadanya, terpancing emosi pada pemuda pirang itu. Sementara, lawan bicaranya itu hanya menyeringai membalasnya.
Hermione memutar bola matanya, 'Sebaiknya aku kerjakan di Ruang Rekreasi saja.' Batinnya. Tidak ada gunanya berbicara serius pada pemuda satu ini.
Hermione bersiap merapikan alat tulisnya, juga buku yang akan ia pinjam itu. Tak memperdulikan jika pemuda itu tengah memperhatikannya lagi. Ia sudah malas, bertikai dengan musuh lamanya itu. Ada gunanya menyimpan tenaganya baik-baik.
Gadis itu meletakkan tasnya pada bahunya, menenteng bukunya yang tidak muat kedalam tasnya. Meninggalkan Draco yang masih duduk tanpa melakukan sesuatu pada tugasnya.
Dan Draco hanya melihat gadis itu semakin jauh berjalan, tanpa menoleh balik tatapan pemuda itu. Hingga akhirnya gadis itu hilang dari penghilatan, berbalik kearah berlawanan ditempatnya. Sementara, Draco tetap berada diposisinya, kembali memainkan tongkatnya, lalu menggerutu.
Misinya kembali gagal.
Matahari sudah seluruhnya terbenam diarah barat, dan itu adalah alasan satu-satunya Hermione merasa gugup. Ya, gadis itu. Dan kini ia menyerngit dengan pantulan bayangan dari cermin kamarnya.
Ia tak dapat menjumlah berapa kali ia menyisir rambutnya, yang cukup rapi sebenarnya. Namun, sudah terkenal dengan keras kepalanya, maka ia tetap membiarkan dirinya sendiri mengatur rambutnya. Dan bagaimanapun juga ia sedikit bangga dengan keahliannya yang lumayan dalam mengatur rambutnya itu.
Oke, ia juga tak terlalu peduli dengan hal itu. Tapi, ini pesta. Jadi ia harus tampil cantik. Yeah, meski kata-kata itu terasa mengganjal di pikirannya kini. Tapi, ia tetap merasa semua ini menjadi aneh. Ia cuek, sangat cuek dengan penampilannya. Dan untuk apa ia repot-repot melakukan semua ini? Meminta kepada Ibu-nya mengirimkan gaun baru, yang paling baik. Pergi ke Hogsmeade diam-diam untuk membaca buku tentang model rambut. Lalu, membeli peralatan tata rias… Demi Merlin! Ia sudah gila!
Tapi, tidak ada salahnya kan menjadi cantik? Yeah, alasan yang normal untuk dirinya sebagai perempuan. Blah. Dan sekarang ia terlintas berpikir jika dirinya seorang banci.
Tapi, mungkin, bukan pesta yang menurutnya alasan tepat, ia menjadi seperti ini. Ya, Hermione Granger yang datang ke pesta Slughorn dengan penampilannya seperti badut, mengenakan gaun merah muda, juga rambut keritingnya—yah, yang ia terima seadanya. Awkward. Yap, itu tepatnya. Dan hal yang membuatnya semakin gila adalah ia akan datang kepesta itu dengan pasangannya. Yah.
Ronald Billius Weasley.
Ia pasti sudah sakit jiwa. Tapi, di sisi perasaannya juga, ia merasa bahagia. Dan bagaimana juga, Hermione akan menyatakan, jika kupu-kupu itu kembali beterbangan seperti awal mereka bertemu. Bahkan, kini gadis itu sedang tersenyum pada bayangan cermin itu.
Ugh, jangan sekarang!
Wajahnya kembali merona lagi. Bagaimana nanti jika gadis itu akan selalu berada di sisi Ron? Ia pasti akan pingsan di tempat.
Ia menepuk-nepuk pipinya —yang malah semakin memerah. Lalu, mengatur nafasnya dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Yeah, benar. Pikirkan saja, ia kini sedang berada di Perpustakaan… Menyetuh debu dari selipan buku baru… Mencium aroma earl grey… Merasakan sinar mentari membelai kulitnya… Itu hal yang bagus. Tapi tidak, setelah akhirnya seseorang mengedor pintu kamarnya.
Demi Merlin! Cepat sekali!
Hermione berdesis mengucapkan sumpah-serapah, sembari melihat bayangannya lagi sebelum akhirnya kembali terdengar suara ketukan pintu.
Okay, Hermione. Tidak perlu panik. Ini hanya pesta! Kau sudah terlihat baik.
Namun, ia tidak yakin pada setiap kata yang dibisikan pikirannya.
"Ron sudah di Ruang Rekreasi Gryffindor, Hermione!"
Suara familiar itu terdengar, sehingga membuat gadis itu mengalihkan pandangannya pada pintu. Lalu, berteriak. "Iya, Gin! Suruh ia menunggu sebentar!"
"Baiklah!" Seruan Ginny kembali terdengar, mengakhiri dialog teriakan mereka yang seperti banshee.
Hermione meraih sisir yang berada di meja cermin itu, merapikan rambutnya keberapa kali. Kemudian, beranjak pergi dari kamarnya, setelah meniup lilin yang sedari tadi menemaninya pada penerangan.
Hermione menggigit bibirnya—mendengar rintihan perih yang keluar dari bibir pemuda itu. Dan entah mengapa ia seperti merasakan apa yang pemuda itu rasakan. Berpikir bodoh, karena tidak ada yang dapat ia lakukan, kecuali melihatnya dengan pandangan setengah iba dan setengah memberikan semangat.
"Aku rasa, ramuannya telah bekerja, Ms. Granger." Madam Pomfrey merapikan peralatan medisnya, juga ramuan botol itu setelah, melumerkan cairan hitam didadanya.
Hermione mengangkat kepalanya, melihat Madam Pomfrey mencari sesuatu dari botol-botol ramuan yang tersusun rapi di dalam rak. Gadis itu mengamati Madam Pomfrey mengambil satu botol—yang mencolok dari botol-botol ramuan yang lain. Warna ramuannya—ah, tentu saja ia tahu. Ramuan Pereda Penyakit Setelah Tidur atau—Ciprofloaxacin.
Ia sudah berapa kali menemukan nama itu dibeberapa buku yang ia baca. Termasuk buku Muggle juga. Terima kasih untuk Ayah-nya yang mengoleksi buku-buku kedokteran.
"Sebentar lagi Mr. Weasley akan tertidur, jika ia terbangun kau bisa memberikan ramuan Ciprofloxaxin—"
Hermione berdeham sebelum ia bersuara, "Maaf, Ciprofloaxacin, Madam Pomfrey." Ia mengoreksi kata itu dengan—suara yang menggurui.
Dan Hermione tidak melihat tatapan sinis Madam Pomfrey pada akhirnya. Yeah, semua orang selalu memberikan tatapan itu padanya, setelah Hermione ikut campur untuk mengoreksi nama latin yang salah dikatakan. Jangan salahkan ia jika ia sering membaca buku, Dude.
Madam Pomfrey meletakkan botol ramuan itu di meja sebelah tempat tidur—yang dibaringkan Ron. "Dan aku rasa, kau juga mengetahui lebih dalam kegunaan ramuannya, Ms. Granger." Suara yang terdengar menyinggung itu keluar dari wanita Healer Hogwarts itu.
Hermione hanya diam seribu kata, meski ia ingin tertawa jika tidak mengingat kewajiban siswa menghormati yang lebih tua atau suasana sedih seperti ini.
Healer itu pun keluar setelah, ia menutup pintu itu dengan suara keras. Membuat siapapun berpikir ia terlihat marah. Tapi, sepertinya itu tidak bagi Hermione.
"Sindiran yang bagus, Hermione." Bisik Ron tersenyum lemah.
Dunia Hermione kembali tersurut, ketika Ron kembali bersuara, menarik segala rasa kesenangan batinnya.
Hermione membalas senyum pemuda itu. "Kau tidak perlu banyak bicara, Ron. Kau harus istirahat, kau mengerti?"
"B-baiklah... Tapi…" Ron sengaja menggantungkan kata-katanya. Tidak berani melihat kedua iris cokelat Hermione.
"Ada apa, Ron? Ada sesuatu yang ingin kau katakan?"
Ron berdeham sebelum, ia berbisik bersalah, "Maaf." Ia buru-buru memotong suara Hermione, dan melanjutkan kembali. "Ini salahku, Hermione. Seharusnya aku mendengarmu, tapi aku terpancing dengan perkataan Ferret-Uban-Itu. Maaf, kau jadi tidak bisa menikmati pesta Slughorn karena— yeah, kau tahu… menemaniku."
Hermione dapat melihat kegugupan dimata Ron sekarang. Dan baginya itu adalah hal yang lucu sepanjang hidupnya. Ron—yang ia tahu—juga memiliki gengsi yang tinggi selain dirinya—meminta maaf kepada dirinya. Well, jika mengingat saat masa dulu ketika mereka berdua gempar-gemparnya bertengkar. Baginya, itu mungkin akan membuat Ron malu, setelah ia meminta maaf seperti tadi.
Dan Hermione lebih memilih untuk tersenyum. "Kau terlihat keren kok. Itu bagus." Puji Hermione seraya menunduk malu.
Kesunyian pun datang sejenak, seraya nya keheningan itu membuat dua sisi masing-masing merasa gelisah. Sorotan purnama memilih untuk menembus jendela kaca yang terbingkai di St. Mungo. Membuat siapapun tentu akan teralih melihat purnama yang menjadi primadona malam saat itu. Kerlipan malam tak kunjung datang—tak lagi menemani malam yang kesunyian itu. Dan semua itu sama saja seperti perasaannya.
Hermione tak kunjung mengangkat kepalanya. Lantas membuat Ron juga berpikir canggung. Suasana di dalam atmosfir itu, tak membuat di antara mereka berniat untuk memecah keheningan.
Hermione berpikir untuk pamit adalah hal yang baik, daripada terjebak semakin dalam oleh perasaan. Di tambah lagi wajahnya yang terasa hangat, cukup membuatnya terlihat seperti idiot. Ugh, ayolah, seorang Hermione Granger pernah merasa malu? Itu adalah hal yang lain lagi.
Ia tak ingin lagi menunggu membiarkan terlalu lama keheningan menyesatkannya. Ini benar-benar memalukan. Tak adakah yang berpikir ada alasan lain ketika melihat perempuan dan laki-laki di dalam satu ruangan. Bahkan mereka berdua tak memiliki hubungan yang menyakinkan, kecuali sebagai sahabat. Okay, sekarang ia tak ingin memikirkan kelanjutannya. Segala pikiran bermacam-macam sudah membuat kepalanya terasa sakit.
Hermione berdeham aneh, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Entah apa itu. "Ehm—lebih baik aku pergi, Ron. Dan juga kau butuh istirahat, bukan?" Susah payah gadis itu menarik sudut bibirnya pada pemuda itu.
Ron memaksakan senyumannya juga. "Trims untuk malam ini, Hermione. A-aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pasanganku, jika kau tidak ada. Kau tahu, aku cukup malu untuk mengajak Lavender." Bisik Ron—yang kemudian tersenyum lega.
Bibir itu terbuka…
"Sial sekali ia sudah di ajak Dean." Suara itu terkekeh.
"Aku tidak tahu bagaimana pastinya. Tapi, terima kasih ya, Hermy."
"Aku rasa aku tidur saja. Kepalaku sudah pusing, kau bisa pulang."
"Hermione? Ada apa?"
Gadis itu mengangkat wajahnya dan—tersenyum palsu. "Tidak ada, Ron. Aku pergi dulu. Selamat malam." Ucap Hermione seraya tak mengeluarkan isakan yang tertahan.
Pintu itu terbuka lebar, cukup keras bagi orang yang masih sadar dari alam bawah sadarnya. Namun, sosok itu tidak juga bergerak atau yang lebih diharapkan bangun saat itu juga. Sosok itu masih diam, malah semakin mengeratkan selimut tebal yang digelungnya.
Ginny mendengus. Berdiri diambang pintu. Berkacak pinggang. Dan memutar bola matanya.
Ia tentu telah bersiap-siap. Mengenakan seragam dengan rapi. Tas di bahu. Juga beberapa buku yang jujur saja malas ia bawa jika mengingat berapa berat buku itu.
Ia tentunya tak ingin terkena detensi Profesor Snape yang terkenal— yeah kejam, mungkin? Namun, ia masih berada didalam kamarnya. Ia tidak menyusul Lavender dan Padma yang telah duluan keluar sarapan. Yah, mungkin kebaikan hati yang masih ia miliki, ia kemudian berniat membangunkan Hermione yang belum bangun juga.
Kebetulan, balas budi, mungkin? Ha.
Namun, rasa penasaran tetap saja terselip dibenaknya. Ya, tentu saja. Ia heran, sangat heran, menyadari seorang gadis terajin yang pernah ia tahu bangun telat. Setiap harinya, gadis itu sendirilah yang selalu membangunkan Ginny. Walaupun kemarinnya ia disibukkan oleh rutinitasnya sebagai prefek atau esai-esai yang datang silih berganti. Ia tak akan mungkin lupa untuk bangun.
Ini—aneh. Ini bukan sifat Hermione.
Tapi—
Ah, ayolah. Hermione tetaplah Hermione. Ia masih memiliki sifat manusia seperti kebanyakan. Mungkin, Hermione lelah atau tidur larut malam. Itu kesimpulan yang ia yakini sepenuhnya. Lagi pula itu sifat alami manusia. Jadi, apa yang harus ia khawatirkan? Nah, ia terlalu paranoid sekarang.
Gadis Weasley itu berjalan ketempat tidur Hermione. Lalu, menarik selimut itu dengan sekali sentak tanpa peduli bahwa udara diruangan itu dingin seperti telah dikelilingi Dementor.
Ya, akhirnya. Harapan itu terjadi. Hermione mengerang menandakan ia masih hidup. Namun, ia masih tetap menarik selimut itu setelah kulitnya tersengat karena udara yang tidak bersahabat.
"Bangunlah, Hermione. Aku tidak akan membangunkanmu seperti bayi!" Desis Ginny. Ia kemudian mengitari tempat tidur itu, membuka tirai jendela itu. Tak peduli dengan umpatan Hermione yang redam. Well, lain kali ia memang lebih baik ditegaskan seperti ini.
"Aku tidak akan datang dipelajaran Ramuan, Ginny." Geram Hermione.
"Dan alasanmu? Aku tidak akan memberitahukan keabsenanmu pada Profesor Snape, tanpa alasan, Hermione." Ginny membalikkan tubuhnya, melihat Hermione yang memunggunginya. Lagi-lagi Ginny mendengus. "Well, kau tahu sendiri, bagaimana sifat Profesor Snape, Hermione. Jika kau tak ingin namamu tercoreng saja…"
Ginny sengaja menggantungkan kalimatnya. Karena, ia tahu—atau mungkin semua orang juga tahu jika Hermione adalah orang yang rajin. Serajin rajin-rajin rajinnya orang seperti ia mungkin tak akan di temui di pelosok dunia ini. Ia juga orang yang pintar, tentu saja, kata rajin dan pintar adalah satu paket untuk Hermione sendiri. Dan ia adalah perfectionism. Segala apa yang ia lakukan harus sempurna, termasuk nilainya. Ia benar-benar peduli dengan semua nilainya, well, karena ia memiliki alasan. Yeah. Alasan yang cukup menyakitkan batinnya.
Karena, ia adalah kelahiran Muggle.
Kesimpulan yang mudah bagi orang lain. Tapi, bagi Hermione, ia rasa tidak.
Hermione juga tidak membenci dengan kenyataan itu. Tapi, mengingat ia adalah Muggle-Born, status darah yang selalu di hina dan di asingkan cukup membuatnya—sakit. Dan ia juga selalu di pandang sebelah mata. Bahkan satu buku pun tak cukup untuk menuliskan semua itu.
Dan bagi Ginny, sebagai sahabat, ia akan selalu mendukung segala apa yang di lakukan Hermione. Karena, ia tahu itu adalah yang terbaik untuknya.
"Demi Jenggot Merlin! Kau belum sadar juga?" Desis Ginny setelah ia menunggu respon Hermione.
Ia pasti sudah tidak waras, jika ia tidak peduli lagi dengan nilai Ramuannya, pikir Ginny.
"Hermione!"
"Hermione!"
"Hermione!"
"Merlin, kau menangis?"
Dan saat itu lah Ginny menyadari jika ia tidak akan lagi meneriakan namanya.
Hermione menatap Ginny dengan pandangan kosong, membiarkan bulir-bulir air itu mengalir seperti tadi.
Ia tak pernah melihat Hermione separah ini—dan segila ini. Ia masih memakai gaun kemarin yang ia gunakan di pesta Slughorn, rambutnya berantakan tak terurus, juga eyeliner-nya yang—membuat wajahnya kotor oleh air matanya. Sorotan matanya hampa, datar dan—tak ada satupun emosi di dalamnya. Ia melihatnya penuh rapuh. Ia juga yakin ia dapat mencerminkan itu semua, ketika ia pernah patah hati.
Dan saat itu juga, Hermione kembali menangis, berteriak, menghambur memeluk Ginny… menumpahkan segala tangisannya pada bahu Ginny.
To Be Continued
