Present
A new Series of Belong To You by ManusiaFreak
.
.
It's Belong To You 2 - YoonMin Crush
Terimakasih untuk pembaca yang memberi banyak pujian berikut kritik dan saran yang diberikan untuk 'Belong To You'
...
*Ahh, kaku banget*
Thanks ya, readers udah mau baca Belong To You ..
Aku buatin Belong To You 2 bukan karena banyak yang ngeluh cerita sebelumnya agak nanggung,
tapi memang karena aku udah siapin ini jauh hari, dengan topik yang sama, cerita yang sama, tapi dengan sudut pandang
yang beda dikit doang..
Bedanya?
Ya, kalo di BTY, yang jadi pembahasan utama itu TH and JK
Nah! Kalo BTY 2, khusus buat YoonMin shippers nih
Tapi tetep, aku buat secara flashback, sekaligus sampai kelanjutan BTY (alias mundur-maju kaya mbak Incess)
So, pls enjoy this story. Jangan terlalu baper *HHAHA*
Maapin salah2 aye juga ye, kemaren pan bedebat gegara Taekook / KookTae
Disini aye tegasin dah, BTY 2 itu gak all YoonMin, ada kalanya Jimin jadi Top *Cihuiyy
Jangan lupa comment yak! Kan biar aye tau salah2nya dimana mak.. OK?
.
.
.
1 - Move On
"Batu, gunting, kertas!"
"Batu, gunting, ker-tas! Waahhh!.."
"Aagh! Kenapa aku kalah terus?!" Taehyung menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Baik. Katakan apa maumu dalam enampuluh detik."
"Apa-apaan!"
"…57, 56,55…" dia mulai menghitung mundur.
"OK, OK! Kalau begitu… contekan ujian~ tidak, tidak. Bisa-bisa kau malah menghancurkan nilaiku. Mungkin traktir aku makanan kantin selama sebulan?" Tapi sebelum Taehyung menjawab, Jimin sudah menggeleng cepat, mencoret opsi tersebut dalam kepalanya. Taehyung menghela lega.
"Uang jajanku selamaaat~"
Jimin masih berpikir keras saat tiba-tiba kepalanya dipukul cukup keras dari belakang. Hampir saja ia mengumpat pada orang yang sudah dengan sengaja –ataupun tidak- merusak tatanan rambutnya yang sudah dibuat sedemikian rapi, lagipula itu cukup sakit.
Terpaksa Jimin menelan semua kalimat kasar yang ingin dilontarkannya setelah melihat orang itu. Dia si dewa kampus, Kim Seokjin, berdiri canggung di belakangnya dengan ekspresi merasa bersalah tepat di belakangnya. Tentu saja dia tahu orang ini. Jimin salah satu penggemarnya –yah, meskipun tidak sefanatik gadis-gadis sekelasnya. Lagipula hei, dia ini laki-laki!
Yang bisa dilakukannya hanya menganga, mengagumi sosok dihadapannya sekaligus menangisi perbandingan di antara mereka. "Maaf, maafkan aku. Itu tadi temanku, dia iseng melempar benda itu padaku tapi malah mengenaimu. Maaf ya…" Seokjin melirik pin nama di kemejanya, "…Jimin-ssi."
"…"
"Err.. permisi~" Seokjin melambai di depan wajah Jimin. "Apa itu tadi sakit sekali?" tanyanya lagi karena masih tak mendapat respon. Dia hanya menganga memandangi dewa kampus yang berdiri di depannya, tak sadar seseorang yang berdiri di samping pria itu mengerling tak suka.
Bahunya disenggol dengan sengaja. Dia tahu itu perbuatan Taehyung dan Jimin berterimakasih untuk itu. Akhirnya isi kepalanya kembali ke bumi lalu segera memperhatikan sekitar.
Taehyung buru-buru berdeham, mungkin untuk mencairkan suasana canggung akibat perbuatan konyolnya. "Dimana kau simpan matamu sampai kertas itu bisa nyasar kesini, eh?"
Ia menoleh secepat kilat begitu menyadari temannya ini bicara kasar pada seorang Kim Seokjin. "Hei! Apa-apaan bicaramu?! Sudah, ayo duduk." Bisiknya.
"Wah! Kau memang tak tahu malu, ya!" Seokjin sekarang bicara padanya. "Jimin-ssi, kenapa kau mau berteman dengan orang seperti ini? Bicaranya saja kasar begitu! Bahkan pada hyung-nya."
Segera ia menunduk, mewakili Taehyung meminta maaf pada Seokjin dan teman-temannya yang berdiri dongkol di balik meja dibelakang mereka. "Maaf, sunbae. Ini tidak akan terulang. Dia memang sedikit kasar, tapi sebenarnya dia baik."
"Baik katamu? Dia selalu mengabaikan ucapanku, selalu mengambil simpanan makananku, merusak figure Marioku~"
"Ah, hyung…Maaf ya, kalau yang terakhir itu… ulahku" Sela seorang teman Seokjin yang berkacamata. Seingatnya nama senior yang itu adalah Namjoon.
"…benarkah? Ah! Bagaimanapun, dia ini tidak sebaik yang kau kira!" Seokjin meneruskan. Telinganya memerah menunjukkan kalau dia mungkin sedang kesal atau marah, tapi wajahnya tak terlalu memperlihatkan seperti itu.
Jimin menggaruk tengkuk merasa ada yang janggal. Dia berbalik melihat Taehyung. "Apa kalian sedekat itu?" Lalu kembali ke Seokjin, "Sunbae kenal Taetae?"
Tiba-tiba Seokjin tertawa sinis. "Lihat itu, lihat! Dia bahkan tidak mau mengakui kakaknya sendiri pada teman-temannya! Kau malu punya hyung macam aku kan?"
Ia terdiam mencerna, disampingnya Taehyung juga, dan terlihat sangat gugup. Tak hanya Jimin, sekarang semua orang di kantin melihat ke Taehyung dan Seokjin, seolah sedang menemukan persamaan fisik diantara keduanya. Yah, mereka memang mirip. Jimin menyesal karena baru menyadari hal itu sekarang.
Sekali lagi Seokjin meminta maaf pada Jimin lalu dengan segera melewati mereka dan pergi ke meja kantin paling sudut. Seokjin dan teman-temannya memang selalu duduk disana, dan meja itu memang selalu kosong tiap kali jam dua belas seolah-olah semua orang sengaja mengosongkan itu untuk mereka.
"Jadi,…" Ia dan Taehyung sudah duduk kembali, menikmati makan siang mereka. "…katakan padaku. Apa itu benar?"
Taehyung tak menoleh. "Kenapa tanya lagi? Bukannya sudah jelas?" katanya dengan mulut penuh makanan.
"Daebak! Kau punya hyung seorang dewa sekolah dan menyembunyikan fakta itu padaku? Idiot!"
Ia bisa merasakan Taehyung sedang memutar bola matanya jengah. Meski tak bisa menemukan titik masalah mengapa temannya yang bodoh ini menyembunyikan hal itu, Jimin hanya bisa diam saja, menunggu sampai saatnya nanti Taehyung mau cerita sendiri.
"Aku sudah tahu hukuman untukmu." Ujarnya tiba-tiba setelah lama hening.
Taehyung berhenti menyuap makanan. "Hukuman apa?" Keningnya berkerut bingung. Jimin mengacungkan kedua tangannya, dengan satu tangan mengepal dan yang lain membuka. Sepertinya Taehyung langsung mengerti karena dia mencebik dan menggaruki kepalanya sekarang.
Ia menunjuk pada sekawanan di meja sudut. "Orang itu.."
"Jin hyung? Aku harus apa pada-"
"Bukan kakakmu, tapi yang duduk di depannya."
Keningnya lagi-lagi berkerut. "Hoseok sunbae?"
"Wow, aku masih terkejut kau bisa kenal mereka semua. Jadi namanya Hoseok? Apapun itu, sekarang pergi kesana dan cium dia." Tegasnya tanpa merasa bersalah. Sebelumnya Jimin selalu kalah saat taruhan semacam ini dengan Taehyung dan ia menerima semua hukuman yang diberikan. Karena itu mungkin Taehyung tidak akan menolak untuk yang satu ini.
Segera Taehyung beranjak dari tempat duduknya. Jimin merasa aneh. Taehyung sama sekali tak menolak, atau setidaknya tampak ogah-ogahan. Dia semakin dekat ke meja Seokjin dan teman-temannya sekarang, terlihat sangat gugup.
"Si bodoh itu benar-benar akan menciumnya?"
.
BTY 2 * BTY 2
.
Musim panas berakhir, diganti dengan musim kemalasan untuk para senior yang kehilangan semangatnya pergi ke kampus. Terlebih lagi dengan dua orang yang merasa bantal dan selimut adalah teman terbaik mereka, Namjoon dan Yoongi.
Kalau orang lain akan mendapat kulit coklat setelah berjemur di pantai selama libur musim panas, mereka berdua malah sebaliknya, kulit pucat dan muka kusut karena tidur berhari-hari. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Jin dan Hoseok. Mereka masih bisa menikmati udara hangat kampus dan bersemangat dengan cerita liburan yang mereka lalui.
Hoseok punya apel untuk makan siangnya, Yoongi mengambil dua burger untuknya sendiri, sementara Namjoon dan Jin memiliki banyak daging di mangkuk mereka.
"Kenapa kalian merusak pemandangan dengan menunjukkan muka gelap seperti itu? Diluar cerah, kalian tidak lihat? Tidak bisakah kalian sedikit menunjukkan rasa senang?" Jin berujar kesal sambil menyuapi Yoongi dengan daging miliknya. Hatinya selalu terbuka lebar untuk sepotong daging, jadi ia menerimanya.
"Liburnya terlalu singkat. Aku butuh tidur." Sahutnya malas dengan mulut penuh.
Jin mendengus. "Kalau kau bilang sebulan itu singkat, lebih baik kau tak perlu ke kampus lagi dan pergilah tidur setiap hari! Dasar kau!"
"Aku akan mendengarkan saranmu, hyung, kalau saja ayahku tidak segarang itu menyuruhku tetap ke sekolah sampai telingaku berdenging setiap waktu. Kurasa aku harus pindah." Yoongi terdengar kalut. Jin dan Namjoon menatapnya serius.
"Kau yakin mau pindah?" Balas Jin dan Namjoon bersamaan.
Ia mengangguk dengan pasti. "Oh." Tekadnya sudah bulat untuk bisa hidup mandiri. Telinganya akan segera tuli kalau berlama-lama di rumah dengan ayahnya ada disana meneriakinya setiap saat. "Apa ada apartemen kosong yang murah di sekitar kampus?"
"Daebak! Kau beruntung, anak muda!" Namjoon dengan sengaja menepuk-nepuk bahunya.
"Kau lupa aku lebih tua darimu, tuan?" Balasnya garang. "Ada apa memangnya?"
"Tetangga baru kami sedang mencari seseorang yang mau menempati kamar lain di apartemennya. Mungkin kau berminat?" Jin tersenyum usil.
"Maksud hyung, aku tinggal satu apartemen dengan orang itu?" Jin mengangguk membenarkan. "Tidak masalah asalkan dia mau memberi harga miring untukku. Tapi kenapa dia mau menyewakan kamarnya?"
"Karena dia pengecut."
"Hyung!" Tiba-tiba Hoseok meneriaki Jin.
"Baiklah, dia sedikit penakut~"
"Sama saja!"
"Kau 'kan memang penakut!" Dukung Namjoon. "Hanya kau laki-laki yang tak berani menempati apartemen barumu cuma karena gossip hantu."
Yoongi langsung menghentikan perdebatan mereka. "Jadi maksudnya tetangga baru kalian- dia?" menunjuk Hoseok.
Namjoon dan Jin mengangguk serempak dengan senyum lebar menunjukkan gigi-gigi mereka yang rapi dengan wajah tak berdosa. Meski kesal dengan ejekan Namjoon, tapi Hoseok juga mengikuti mereka, menunjukkan senyuman malaikat untuk Yoongi. "Hyung, kau mau, kan?" bujuknya.
Ia mendengus. "Kau hanya memanggilku hyung disaat kau butuh sesuatu dariku." Hoseok mengambil daging dari mangkuk Jin dan menyuapkannya ke mulut Yoongi. Sepertinya cara itu lumayan berhasil. "Aku tidak tahu kau pindah ke gedung yang sama dengan mereka. Kapan?"
"Seminggu yang lalu. Tapi aku baru menginap disana dua malam belakangan~"
"Karena kau penakut." Potong Namjoon. Hoseok memandangnya sinis.
"Baiklah, aku mau. Tapi kau harus bantu mengepak barang-barangku."
Hoseok merengutkan bibirnya lalu menghela pasrah. "Ne."
Mereka sedang membicarakan tentang kepindahan Yoongi saat tiba-tiba seseorang datang ke arah meja mereka, berjalan hati-hati sambil menundukkan kepala. Wajahnya memerah, entah itu karena panik atau takut dan semacamnya. Jin yang pertama kali menyadari kedatangannya tampak sedikit terkejut. "Taehyungie?" Sekarang semua pandangan tertuju padanya.
Anak itu berjalan makin dekat. "Yah, Taehyung-ah! Kau kenapa?"
Alih-alih mendekati SeokJin, Taehyung berjalan menyamping lalu berhenti tepat di belakang kursi Hoseok. "Salam kenal, sunbae. Namaku Kim Taehyung." Ia membungkuk sembilan puluh derajat ke arah mereka. Setelah menegakkan badannya, ia mendekatkan wajahnya pada Hoseok ragu-ragu lalu mencium pipi pria itu.
Untungnya Hoseok segera mendorong Taehyung menjauh sebelum siswa lain yang masih ada di kantin memergoki mereka. "Kau gila, ya?!" Geramnya.
"Taehyung-ah!" Seru Jin tak kalah kesal.
Taehyung kemudian menunduk minta maaf lalu berjalan pergi. Mereka bisa melihat seseorang duduk sambil menutupi mulutnya dengan tangan di meja yang sekarang didatangi anak itu. "Mereka merencanakan ini. Mungkin sedang taruhan. Sudahlah, abaikan saja, mereka masih bayi." Katanya santai.
"Abaikan?! Bagaimana kalau tadi seseorang tidak sengaja melihat ke arah sini lalu memulai gossip-gosip tentang aku?" Tak sengaja tomat di burgernya terlempar ke meja karena Hoseok menusuk makanannya asal. "Agh! Gara-gara anak gila itu! Tomatku yang berharga-"
"Yah! Kenapa kalian bilang begitu di depanku?" Rengek Jin.
"Memangnya kenapa? Karena dia kenalanmu?"
"Kenalan? Kalian tidak percaya dengan yang kukatakan tadi pada temannya? Dia itu benar-benar adikku!"
"Serius?" pekik mereka hampir bersamaan.
Seokjin menyuapi mereka satu persatu dengan daging. Tak ada gunanya bicara dengan ketiga orang ini karena mereka akan segera lupa. Membawa Taehyung langsung pada mereka adalah hal yang lebih baik dan mereka bisa saling mengenal kedepannya. Khususnya dengan Namjoon.
Pria itu memain-mainkan daging di atas mangkuk, kelihatan sekali tak berniat untuk memakannya. Daging yang malang. "Memikirkan sesuatu?" Bisiknya pada Namjoon. Ia mengabaikan Hoseok dan Yoongi yang sudah kembali ke dunia mereka masing-masing, melamun.
Namjoon menyuap sepotong daging ke mulutnya lalu mengangkat bahu. Ia tahu pria itu sedikit terganggu setelah melihat adiknya tadi. "Tentang Taehyung, eh?"
"Kau tahu aku tak suka ada rahasia kan, hyung?" Seokjin mundur. "Apa setahun masih belum cukup? Aku juga ingin tahu tentang… tentang…"
"Kami ke kelas duluan, ya." Hoseok menyela. Ia dan Yoongi sudah berdiri sambil memegangi makanan mereka yang tersisa. Sangat pengertian.
"Aku tak bermaksud merahasiakan apa-apa, Namjoon-ah. Kau tahu aku percaya padamu. Bukannya kau juga sudah bertemu ibuku? Kau juga sudah mengobrol dengan ayah lewat telepon."
"Tapi tidak dengan adikmu! Memang apa salahnya mengenalkan Taehyung padaku?"
"Tak salah. Hanya saja adikku yang keras kepala itu yang menolak menganggapku ada di kampus ini."
"Kenapa?"
"Aku tak tahu. Mungkin, mungkin… dia malu? Karena aku… dan kau~"
.
BTY 2 * BTY 2
.
"Kita di kampus ini baru setengah tahun, tapi kau sudah mendapat dua catatan buruk karena terlambat. Kau ini tak niat kuliah, ya? Entah kenapa aku jadi tidak begitu yakin kau ini benar adiknya Kim Seokjin sunbae. Bagaimanapun dilihat kalian ini memang mirip, tapi tetap saja pribadi kalian benar-benar bertolak belakang. Dia itu ramah pada siapapun, jenius, sementara kau…" Jimin menghela napas dengan sengaja.
Taehyung tak mempedulikan celotehan temannya dan lanjut menggambar sesuatu yang abstrak di atas kertas kosong. Dia tidak benar-benar ada disana dan Jimin tahu itu. Matanya menatap kosong ke meja meski tangannya bergerak-gerak.
"Kau melamun tentang apa lagi? Paman Kim? Bibi? Atau jangan-jangan, kakekmu, ya?" Tebak Jimin. Taehyung selalu tertutup pada orang lain selain padanya. Mereka selalu berbagi cerita tentang apa saja dan belakangan ini Taehyung sering cerita tentang betapa ia merindukan kakeknya yang tinggal di desa.
Tapi orang itu masih membisu, berarti ini bukan tentang keluarganya. "Kau tega sekali padaku. Tidak ada yang pernah kusembunyikan darimu, tapi kau malah merahasiakan hubunganmu dengan Seokjin sunbae selama ini."
"Bukannya merahasiakan," sanggah Taehyung. "Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Dia itu populer di kampus dan aku tidak mau bergaul dengan orang lain yang menganggapku teman hanya karena aku adiknya Jin hyung. Kau mengerti maksudku?"
Ia mengangkat satu tangannya menopang dagu. "Ada benarnya juga." Sahutnya diplomatis. Kebanyakan dari mereka pastinya adalah perempuan, para fans seorang idola kampus, Kim Seokjin. Mereka menutup obrolan ketika pintu kelas terbuka dan seorang dosen masuk lalu memulai pelajaran.
Keduanya berjalan keluar kelas dengan tampang kusut setelah masa-masa sulit dari dosen berwajah malaikat berhati iblis, Mr. Danny. Kuis dadakan mereka hari ini benar-benar seperti neraka. Jimin dan Taehyung tak bisa berkutik selama kelas berlangsung.
Jimin mengerang seperti gajah lapar. "Kuharap di kehidupan selanjutnya orang itu jadi ikan saja! Aku ingin sekali memakannya hidup-hidup!" teriaknya gemas. Taehyung dan beberapa anak dari kelas yang sama berjalan di sebelah mereka ikut terkikik sekaligus mengamini keinginannya.
"Bukannya kau paling suka Mr. Danny? Kau bilang dia itu mirip ayahmu." Komentar salah seorang dari mereka.
"Karena wajahnya itulah niatku melempar kepalanya dengan meja selalu batal." Mereka tertawa lagi dengan pengakuan Jimin dan karena melihat tampang depresinya. Ia salah satu mahasiswa yang hampir saja mendapat lencana merah dari Mr. Danny hari ini karena kedapatan mengobrol.
Pria dengan rambut ungu tua bicara pada Taehyung. "Ooh… apa dia makan sesuatu yang aneh pagi ini? Dia tidak seperti Jimin yang kukenal."
"Dia makan roti basi dan selai kadaluarsa. Aku lupa mengingatkanmu tentang itu, maaf Jimin-ah." Gurau Taehyung yang disambut gelak tawa mereka. Jimin mengirimkan tatapan membunuhnya pada Taehyung dan yang lainnya.
Dari depan mereka melintas beberapa orang senior populer diikuti sekumpulan gadis dari tahun pertama dan kedua yang berusaha mencari perhatian mereka. Jimin bisa melihat sikap tak nyaman Taehyung dan langsung menyeretnya dari sana. "Kami harus pergi!" Teriaknya pada teman-temannya yang lain sebelum mereka berlari makin jauh.
Mereka sudah ada di depan pilar utama dan langsung pergi mencari taksi. Jimin baru mengeluarkan isi hatinya setelah mereka di atas mobil dalam perjalanan pulang. "Teman adalah teman. Tidak ada yang namanya teman karena kakakmu atau orangtuamu, atau apapun itu. Jangan terlalu khawatir tentang sekelilingmu, Taehyung-ah."
"Kau akan mengatakan hal sebaliknya kalau nanti kau merasakannya sendiri." Sahutnya dengan nada pasti. Taehyung sudah mengalaminya saat mereka duduk di bangku sekolah dasar. Itu sebabnya dia minta bersekolah di tempat yang berbeda saat akan duduk di bangku sekolah menengah. "Sudah kuduga ini yang akan terjadi kalau aku menuruti Jin hyung."
"Jadi dia yang memintamu kuliah disini?"
"Oh." Taehyung mengangguk tak bersemangat. "Aku akan pindah. Kau akan ikut denganku, kan?"
Matanya mengerjap kaget. "Pindah? Kau mau berhenti dari sini hanya karena ada kakakmu disana?"
Taehyung langsung memukul kepalanya dari belakang. "Bukan pindah kampus, bodoh! Entah bagaimana caranya, Jin hyung berhasil meyakinkan ayah untuk mengusirku dari rumah. Mulai besok lusa aku pindah ke apartemen pilihannya." Tanyanya harap-harap cemas.
"Lalu kenapa aku ikut?"
"Kurasa tempatnya tidak terlalu jauh dari kampus. Kita bisa jalan kaki setiap pagi dan lebih hemat biaya. Bagaimana?"
"Memangnya aku boleh ikut?" Ulang Jimin lagi.
"Harusnya aku tidak usah bertanya." Balas Taehyung geram. "Baiklah, aku perbaiki kata-kataku. Kau harus ikut. Aku yang akan meminta ijin dari ibumu."
.
BTY 2 * BTY 2
.
Jimin tidak menyangka Taehyung sungguh-sungguh dengan ucapannya beberapa hari lalu. Pagi ini Taehyung dan Jin datang ke rumahnya dan membicarakan tentang kepindahan mereka.. Selama ini Jimin dan Taehyung harus melalui perjalanan jauh ke kampus. Ibunya jelas saja merasa senang karena Jimin tak perlu lagi kesulitan setiap pagi
Sorenya mereka langsung berkemas dan Jin membantu mereka membawakan barang dengan mobil ayahnya. Taehyung masih belum tahu kemana mereka akan pergi dan hanya bisa pasrah pada kakaknya. Ia hanya berharap tempat baru mereka cukup nyaman untuk ditinggali.
"Apa disana ada kolam renang?" Tanya Taehyung penuh harap. Mereka sedang di perjalanan menuju apartemen barunya sekarang. "Akan lebih baik lagi kalau ada taman bermainnya."
Jin menjawab tanpa kehilangan fokusnya menyetir mobil. "Memangnya berapa umurmu sekarang? Dasar bocah tua!"
"Woah, lihat siapa yang bicara. Kau itu kakaknya si 'bocah tua', Seokjin-ssi." Sahutnya sarkas.
"Kau tidak pernah bilang kalau aku ini kakakmu pada orang lain. Kenapa sekarang kau tiba-tiba melakukannya?"
"Karena kadang-kadang kau membuatku malu! Kau lebih kekanakan dibanding aku."
"Memangnya selama ini siapa yang selalu bertingkah memalukan di depan semua keluarga besar?"
"Bukan aku!"
"Kau orangnya!"
Seorang yang duduk di kursi belakang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jimin jadi melihat persamaan yang kental di antara kedua kakak beradik di depannya. Bisa kulihat kalian berdua sama-sama bocah, pikirnya mantap sambil berusaha untuk tidak menutup kedua telinganya.
Setengah jam kemudian meski diselingi perdebatan yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai di depan sebuah gedung tinggi dengan banyak jendela dan pintu. "Disinilah kalian akan tinggal. Ayo keluar, kutunjukkan apartemen kalian." Ujar Jin setelah memarkirkan mobil.
Mereka tidak masuk ke dalam gedung untuk naik lift melainkan berjalan ke bagian samping dan menaiki tangga. "Letaknya di lantai dua, jadi kalian tidak perlu repot-repot melewati lobi." Jin menjelaskan sambil menuntun mereka menaiki anak tangga.
Sesampainya di atas, mereka di hadapankan pada lima pintu berjejer dalam satu lorong dan pintu pertama gelap dan terasa menyeramkan. "Jangan bilang aku akan tinggal di sini." Taehyung menunjuk ke apartemen dengan papan tulisan 101 bergantung di handle pintu.
Untungnya Jin menggeleng dan membawa mereka berjalan lagi sampai ke pintu 104. "Aku tinggal di kamar 102. Jadi, kalau kalian perlu apa-apa panggil aku saja." Jin menyebutkan empat angka password pintu mereka dan membukakan pintu.
Mulut mereka sama-sama ternganga melihat keadaan di dalam apartemen yang sebentar lagi resmi akan mereka tinggali. Jimin sampai harus mengucek matanya berulang kali untuk meyakinkan dirinya bahwa ini benar-benar nyata.
Ada sofa putih yang cukup besar di tengah ruangan dan set lengkap home teather di depannya. Mereka akan punya bioskop mini sendiri dengan benda itu. Jimin paling suka gorden satin warna pastel yang terpasang di ruang tamu, sementara Taehyung tak bisa mengalihkan perhatiannya dari beberapa lukisan kontemporer yang tergantung di dinding.
"Ini keren!" teriak mereka hampir bersamaan. "Memangnya harus apartemen semewah ini, hyung?" Taehyung berkomentar meskipun dia sendiri merasa senang.
"Pemilik sebelumnya adalah seorang pelukis dan dia cukup kaya. Sayangnya dia meninggal baru-baru ini karena penyakit jantung yang dideritanya."
"Me-meninggal? Oh tidak." Jimin melepas gorden satin itu dari tangannya, setengah berlari kembali ke pintu.
Taehyung bereaksi tak jauh berbeda. Ia menyeret pandangannya dari lukisan yang kemungkinan besar dibuat sendiri oleh si pemilik apartemen sebelumnya. Meskipun itu sangat indah, akan berbeda ceritanya kalau lukisan itu punya sejarah yang membuatnya merinding. "Hyung, apa kami tidak bisa menempati apartemen lain saja?" katanya pada Jin. "Bukannya di samping apartemenmu adalah kamar 103? Kami bisa tinggal disana saja, kan?"
"Ada dua temanku yang tinggal disana."
"105?"
"Disana ada pengantin baru yang menempatinya. Kau mau menganggu malam berharga mereka, eh?" Jin terkekeh. "Jangan khawatir, aku pernah tinggal disini beberapa minggu sebelum pindah ke kamar 102 dan tidak ada hal aneh yang terjadi. Tuan Ryan sangat baik. Dia bahkan membiarkan lukisan dan apartemennya dilelang dengan harga cukup murah.
"Berarti dia meninggal setelah ini dijual?"
"Yep. Dan dia meninggal seminggu kemudian di rumah sakit. Menurutku dia sudah tahu akan meninggal."
Bukannya takut, sekarang mereka malah ganti kasihan dengan orang itu. Jimin dan Taehyung akhirnya memilih masuk dan melihat-lihat ke sekeliling apartemen baru mereka. Ada dua kamar disana dan mereka memilihnya tanpa harus berdebat.
Lain dengan ruang tamu dan dapur yang terlihat berisi dan mewah, kamar Jimin dan Taehyung sama-sama kosong. Tidak ada barang lain disana selain tempat tidur dan lemari tinggi. "Aku sengaja mengosongkannya. Kupikir kalian ingin mengisi kamar kalian dengan cara kalian sendiri." Ujar Jin pada mereka berdua.
Jin meninggalkan mereka untuk mulai menghias kamar masing-masing. Jimin dan Taehyung kembali lagi ke mobil untuk mengambil barang-barang mereka yang tersisa lalu menempatkannya di kamar mereka.
Hari sudah hampir gelap saat mereka selesai berkemas. Jin memanggil mereka untuk makan malam di apartemennya. Mereka mandi bergantian sebelum pergi ke sana.
"Apa kita akan makan di luar dengan kakakmu?" Tanya Jimin saat mereka bergegas ke apartemen Jin.
"Tidak akan. Jin hyung pintar masak. Dia tidak akan membiarkan kita makan masakan luar selagi dia masih ada disini. Prinsipnya seperti nenek-nenek."
Lain dengan Taehyung, Jimin takjub mendengar kabar itu. "Sekarang aku tidak heran lagi bagaimana Seokjin sunbae bisa jadi idola seperti itu." Pujinya bangga.
Pintu depan apartemen Seokjin terbuka sedikit tapi Jimin tetap mengetuknya sebanyak tiga kali sebelum mereka masuk. Ia mengernyit karena mendengar ada beberapa suara lain di dalam selain suara milik kakaknya Taehyung. Jin datang menyambut mereka dan menyuruh mereka langsung ke meja makan.
Ia tak bisa tak melirik ke sekelilingnya. Apartemen Jin sedikit lebih luas dibanding yang ia dan Taehyung tempati –meskipun sebenarnya apartemen mereka juga sudah sangat luas untuk ditinggali dua orang. Perpaduan warna jingga dan putih beradu di sepanjang ruang tamu membuat suasana cerah dan hangat. "Apartemenmu bagus sekali, sunbae." Puji Jimin tulus. Jin balas tersenyum senang.
"Terimakasih. Aku memang bekerja keras untuk ini semua. Seorang teman yang tinggal denganku cukup pemilih dan aku juga begitu." Balasnya.
"Sunbae tinggal dengan orang lain disini?" Jimin melihat ke sekeliling sekali lagi mencari orang yang dimaksud.
Jin membenarkan, "Ne, aku akan memperkenalkan mereka pada kalian. Mereka ada di meja makan, ayo!" lalu setengah menyeret mereka ke meja makan dekat dapur.
Disana ada tiga orang duduk berderet menikmati makanan di atas meja sambil sesekali mengobrolkan sesuatu. Ia menahan napas selama Jin memperkenalkan nama mereka satu per satu, tak menyangka sebentar lagi ia akan makan malam dengan para senior populer.
Di sampingnya Taehyung tampak gelisah. Ia tahu penyebabnya adalah karena kejadian beberapa hari lalu di kantin kampus. Jimin berniat akan meminta maaf langsung pada Hoseok malam ini agar temannya itu bisa lebih tenang. Ia merasa ini adalah tanggung jawabnya.
Keduanya membungkuk lalu memperkenalkan diri pada ketiga teman Jin sebelum ikut duduk di sana. "Baik-baiklah padanya. Kita akan jadi tetangga mulai sekarang." Semua yang ada di meja makan –kecuali Namjoon– memandang Jin terkejut.
"Jadi yang mau pindah ke apartemen 103 itu adikmu?" Hoseok buka suara. Sepertinya ia masih kesal tentang kejadian sebelumnya. Jimin segera mengambil tindakan.
"Sunbae, masalah sebelumnya… Aku ingin minta maaf. Bukan Taehyung, tapi aku yang salah." Ia kemudian menceritakan segala tetek bengek taruhan yang mereka lakukan "… sekali lagi maaf. Lagipula sebenarnya dia salah orang…" Katanya menggantung cerita.
"Salah orang?" Taehyung menatapnya kaget.
"Aku menyuruhmu mencium orang yang duduk di depan Seokjin sunbae" ia menunjuk pada Yoongi.
Yoongi menaikkan sebelah alisnya sambil menunjuk pada hidungnya sendiri. "Aku?"
"Ma-maaf." Ia menunduk malu, menyadari mulutnya terlalu banyak bicara.
"Ne, sudahlah. Lagipula tidak ada yang melihatnya waktu itu. Tidak ada lain kali, OK?!" tegas Hoseok tapi dengan nada bersahabat. "Lagipula aku tidak ingin bersikap canggung dengan tetangga baru. Siapa namamu tadi?"
Ia mendongakkan kepalanya balas tersenyum pada Hoseok. "Jimin. Park Ji Min. Terimakasih, sunbae-nim."
Taehyung ikut menunduk malu di sampingnya. "Aku juga- maaf, sunbae-nim."
Tak ingin suasana makan malam mereka berubah kaku, Seokjin mengeluarkan semua makanan yang sudah susah payah dibuatnya sejak sore tadi dan menaruhnya berjejer di atas meja. Mereka makan dengan tenang sambil sesekali saling mengakrabkan diri.
.
BTY 2 * BTY 2
.
Di bangunan lama kampus yang letaknya sedikit tersembunyi ke bagian taman belakang, ada satu ruangan kosong yang lampunya selalu menyala dari dalam dan beberapa kali pelajar yang lewat darisana mengaku mendengar pintu terbuka dan tertutup padahal tak pernah ada yang berani memasuki ruangan itu setelah sekian lama.
Bagi orang lain mungkin tempat itu adalah ruangan kosong tak berarti yang mungkin saja dihuni beberapa sosok hantu. Tapi bagi Yoongi dan yang lainnya, tempat itu adalah studio berharga mereka, tempat dimana mereka bisa melepaskan ide-ide mereka dengan bebas tanpa harus diganggu kebisingan dari dunia luar. Mereka berempatlah si hantu ruangan kosong yang selalu dibicarakan orang-orang.
Yoongi sedang kehabisan tenaga dan semua ide di kepala jeniusnya. Ia sedang tak ingin melakukan apa-apa selain tidur. Alhasil semua kertas dan pena yang tadi digunakannya untuk menulis lagu, sekarang beralih fungsi jadi bantal. Ia telentang di lantai dengan posisi senyaman mungkin. "Kurasa minggu depan aku akan mencuri salah satu sofa di ruang dosen dan menyeretnya kesini." Yoongi bergumam di tengah tidur siangnya.
"Kenapa kau tidak minta saja pada Tuan Kim?" Hoseok berkomentar dari sudut ruangan, sejak tadi sibuk mengusap-usap ponselnya. "Atau bilang saja pada Jin hyung. Dia pasti langsung menyediakannya untuk kita."
Ia membuka mata dan langsung melihat ke tempat Hoseok duduk. "Apa?" Tanyanya risih karena diperhatikan terlalu lama.
"Ide bagus!" Seru Yoongi bersemangat. "Aku bahkan tidak ingat tentang Tuan Kim sama sekali. Apa dia sedang sibuk sekarang? Aku akan meneleponnya." Tak main-main, ia langsung mengambil ponselnya dari saku dan mencari nama Tuan Kim di daftar kontak.
Hanya berselang setengah jam kemudian, dua orang pria yang mereka tahu adalah petugas kebersihan di kampus datang membawa sofa panjang berwarna tanah ke dalam studio. Keduanya tampak terkejut karena ternyata di dalam ruangan itu ada orang. Hoseok dan Yoongi membantu membawakan satu sofa lagi yang masih ada di luar.
"Aku hanya minta satu dan dia memberi kita dua. Woah! Tuan Kim memang paling bisa diandalkan!" Serunya penuh kebanggaan.
Hanya beberapa saat kemudian, dua orang petugas tadi datang lagi. Kali ini mereka minta bantuan Yoongi dan Hoseok untuk menurunkan barang-barang yang mereka bawa dari atas mobil. Ada loker tinggi delapan pintu dan dua buah meja. Yang terakhir, Yoongi tak bisa berkata-kata lagi saat melihat benda itu ada disana. "Wah! Dari mana datangnya ini? Aku tak tahu ada piano tua yang mengganggur di kampus ini.
Pria berbaju merah yang menjawabnya katanya, "Ini kami bawa langsung dari rumahnya Tuan Kim." Yoongi menyambut piano itu dengan wajah berseri lalu menurunkannya dengan sangat hati-hati.
Ponselnya berdering dan Yoongi langsung mengangkatnya di sambungan pertama. "Terimakasih banyak, Tuan Kim! Kau baik sekali!" Ujarnya langsung bahkan sebelum orang di seberang telepon menyapa.
Tuan Kim tertawa. "Tidak, akulah yang harusnya berterimakasih. Kalian sudah jadi anak yang baik selama ini dan membantu menjaga keponakan-keponakanku. Kudengar Taehyung juga sudah ikut pindah kesana?"
"Benar. Ah! Pianonya- aku sangat menyukainya. Itu merk langka! Aku tidak menyangka kau mendapatkannya, Tuan Kim!"
"Ayahku yang mendapatkannya di sebuah lelang barang antik. Aku tidak begitu mengerti musik, dan anak-anakku juga lebih suka sastra dan hukum. Taehyung dan Jin juga lebih tertarik menyanyi dibanding alat musik, jadi aku kehabisan akal akan memberikan piano itu pada siapa. Untungnya aku ingat Jin pernah bilang tentang ketertarikanmu pada piano."
"Meskipun terdengar seperti kau sedang membuang barang itu padaku, tapi aku tetap suka." Tuan Kim terkikik lebih lagi. Yoongi meneruskan, "Sekali lagi terimakasih banyak, Tuan Kim. Kami akan mempergunakan semua barang ini sebaik-baiknya."
Setelah membicarakan beberapa hal dan memutus sambungan, ia mendatangi Hoseok dan membantu mereka mengatur susunan benda-benda yang dibawa masuk ke dalam studio. "Tempat ini benar-benar terlihat seperti studio sekarang. Hebat!"
.
BTY 2 * BTY 2
.
Hal yang paling dihindari Taehyung justru terjadi hari ini. Mereka sama sekali tak bisa menolak permintaan Seokjin untuk ikut ke kampus bersama-sama dengan teman-temannya. Selama di perjalanan Hoseok selalu mengajaknya dan Jimin bicara untuk mencairkan ketegangan di antara mereka tapi tetap saja ia merasa gugup. Sampai di kampus, Taehyung langsung menyeret Jimin turun dari mobil untuk menghindari mata para fans idola kampus itu.
"Tidak akan ada yang menyadari kalau kita datang dengan mereka, Taehyung-ah. Tenanglah!" Jimin berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Taehyung yang masih setengah menyeretnya.
Setelah sampai di depan perpustakaan baru ia merasa lebih aman dan melepas tangan Jimin. Sepertinya memang tidak ada yang melihat mereka karena suasananya masih sepi disana. Akhirnya keduanya berjalan lebih tenang menuju kelas mereka di lantai dua.
"Aku suka Hoseok sunbae, dia orang yang ramah dan cerdas. Pantas saja dia bisa berteman dengan kakakmu. Seokjin sunbae luar biasa. Aku ingin sekali belajar masak darinya, apa dia akan mau memberiku pelajaran memasak pribadi?" Jimin bertanya tanpa mempedulikan Taehyung akan menjawabnya atau tidak. Dia hanya ingin seseorang mendengarkannya seperti biasa.
"Bagaimana dengan Yoongi hyung?" Tanya Taehyung tepat sasaran.
Wajah Jimin memerah seketika. "Dia yang paling menarik bagiku. Sikap diamnya terkadang membuatku penasaran. Tapi saat dia tersenyum, aku hampir tak bisa menahan diri untuk mencubit pipinya. Apa sekarang aku terdengar seperti orang gila?"
"Kau 'kan memang gila, aku tidak akan protes. Sudah kuduga kau menyukainya."
"Bagaimana kau tahu?" Jimin penasaran. Sejak malam pertemuan itu, dia sama sekali tak menyebut nama Yoongi di depan Taehyung.
Taehyung mendesis. "Bagaimana aku tahu? Matamu tak bisa lepas darinya sepanjang makan malam di apartemen Jin hyung dan kau bertanya bagaimana aku tahu? Kurasa Yoongi hyung sendiri pasti langsung tahu isi hatimu saat itu juga."
"Sepertinya kau mengenalnya dengan baik, ya?"
"Orangtua kami berteman cukup dekat dan sama-sama pernah tinggal di Daegu. Dia sendiri lebih dekat dengan Jin hyung dibanding aku karena mereka di umur yang tak jauh berbeda. Kurasa dia bahkan tidak mengenaliku, sampai kejadian di kantin waktu itu." Jelasnya. "Yoongi hyung bukan orang yang mudah untuk didekati, jadi kau harus berusaha lebih banyak untuk bisa berteman dengannya."
"Aku mengerti." Jimin bergumam kecil. "Kau benar. Aku memang memperhatikan dia. Meskipun ada Seokjin sunbae yang tampak sempurna dan senyuman malaikat Hoseok sunbae, atau dengan Namjoon sunbae yang hebat berdiri di sampingnya pun, mataku tetap sampai pada Yoongi sunbae lebih dulu."
Kening Taehyung berkerut dalam sekarang. "Katakan padaku. Apa kau menyukainya sebagai senior keren, atau…" Ia mengangkat kedua tangannya membentuk jari-jarinya menyerupai tanda kutip ke udara, "…sebagai laki-laki?"
"Sekarang ini masih yang pertama. Tapi mungkin saja kalau ini akan berubah." Sahut Jimin malu-malu.
Taehyung menatapnya serius. "Apa kau- err… kau suka laki-laki?"
"Yah! Kenapa kau menjauh seperti itu?!" Katanya setengah berteriak, melihat Taehyung bergerak mundur selangkah demi selangkah membuat jarak. "Kalaupun aku menyukai laki-laki, orang itu mungkin adalah Yoongi sunbae, bukannya kau!"
Ia memiringkan kepala, setengah hati menanggapi perkataan Jimin. Mereka sudah sampai di kelas instrument dan kelasnya sama sekali kosong. "Apa kita memasuki kelas yang salah?" Jimin di sebelahnya berekspresi sama yang artinya mereka sama-sama tak tahu apa yang terjadi disana.
"Kupikir kita tidak terlambat atau datang terlalu cepat. Kenapa masih belum ada orang?" Ia mengambil ponselnya untuk memastikan dari temannya yang lain. Belum sampai beberapa detik ia bicara di dengan seseorang di telepon, raut wajahnya berubah masam.
"Ada apa?" Tanya Jimin was-was begitu Taehyung mengembalikan ponselnya ke saku.
Setelah mengambil napas sesaat untuk mengendalikan api di kepalanya baru ia bicara, "Ini alasan kenapa aku selalu pilih-pilih teman. Dosen pergi seminar dan semua kelas hari ini dibatalkan. Tidak ada yang memberitahu kita tentang hal ini. Apa menurutmu selama ini kita bahkan mengenal semua orang?"
"Jadi maksudmu kita tidak ada kelas?" Jimin masih bertanya untuk memastikan. Lain dengan Taehyung, dia terlihat lebih ceria.
"Kenapa perasaanku bilang, kau menyukai ide ini?"
"Bagaimana kalau kita pergi makan diluar? Daging? Daging?"
Taehyung menghitung-hitung sisa uang simpanan yang ia punya dalam hati. "Aku tidak akan punya uang cukup untuk seminggu kalau aku makan daging sekarang."
"Aku punya ide bagus. Bagaimana kalau kita ajak kakakmu dan teman-temannya saja? Kau bisa minta Seokjin sunbae mentraktir makananmu~"
"Dan kau bisa berlama-lama memandangi Yoongi hyung, aku benar?" Tebakannya sangat tepat karena sekali lagi rona di wajah Jimin langsung memenuhi pipinya. "Kau pintar memonopoli. Aku hanya tameng disini. Kenapa kau tidak langsung katakan saja kalau kau menyukainya?! Dasar penyuka laki-laki!"
"Woah, Taehyung-ah… Berhati-hatilah dengan kata-katamu. Kau tidak bisa percaya apa yang akan terjadi di masa depan. Aku tidak pernah bilang aku penyuka laki-laki, kan? Kenapa kau bilang begitu?" Jimin tidak terlihat sedang marah, tapi ia sedikit kecewa dengan reaksi Taehyung tentangnya. "Tapi kuakui kau benar tentang alasanku untuk mengajak mereka ikut."
"Kau terlalu mudah ditebak. Aku sangat tahu Yoongi hyung. Setelah kau mengenalnya nanti, bisa kujamin kau menyesal sudah menyempatkan waktu untuk menyukainya." Katanya diplomatis.
"Tenang saja. Itu tidak akan terjadi."
