Me, Jewelry and a cup of Coffe
By: the autumn evening
Pairing: Sasuke/Sakura
Rating: T
Disclaimer: me no own. I don't even own the computer I typed this on.
Happy (belated) SasuSaku Fanday 2013
.
.
Aku berjalan melewati koridor kampus dengan sedikit tergesa -setengah berlari.
tak aku indahkan Ino yang memanggil namaku dari meja cafeteria tempat aku biasa meyantap makan siang dan berbincang dengan kedua sahabat dari kecilku Ino dan Sai. Ku lirik mereka yang tengah duduk di meja favorit kami, di sudut kiri cafeteria. Kembali melangkah setelah memberi isyarat bahwa aku harus segera pergi dan tak bisa ikut makan seperti biasa.
Aku menelan air liur memikirkan lagi- lagi aku harus melewatkan yakitori lezat buatan yakitori-sama. Mengingat- ingat apa makanan yang terakhir masuk lambungku.
tadi pagi aku melewatkan sarapanku karena tak sempat memasak sebelum pergi kuliah, semalam aku hanya menyeduh ramen instan. Great, terus saja begini maka aku akan mati secara perlahan karena kekurangan nutrisi.
Sejak dua tahun lalu aku pindah dari rumahku di Shirakawa, prefektur Gifu yang indah dan damai menuju Tokyo yang padat dan sibuk. Perubahan habitat membuat pola makanku ikut berubah.
Aku yang sedari kecil terbiasa dimanjakan dengan masakan kaa-san yang lezat dan tak pernah membuat makananku sendiri, akhirnya menyesali ke-masa-bodoh-an ku yang tak pernah serius saat diajari kaa-san memasak saat aku masih di desa. Alhasil kesialan selalu menimpaku saat aku memasak sendiri makananku.
Ino mengatakan bahwa masakanku adalah kutukan.
Sedangkan Sai selalu menyebutnya mimpi buruk.
Terkekeh kecil mengingat respon mereka saat ku paksa memakan hasil eksperimen memasakku.
Sudah dua tahun ini aku tinggal di apartemen yang sama dengan Ino dan Sai -Sai tinggal di sebelah kamar apartemen ku dan Ino.
Kami bertiga sudah bersahabat sejak aku mulai bisa mengingat. Mungkin Karena kehendak kami-sama, kami selalu bersekolah di tempat yang sama. Bahkan pada akhirnya kami memutuskan kuliah di tempat yang sama, Tokyo Art School and Design.
Kebetulan kami bertiga sama- sama memiliki ketertarikan dalam seni. Sai bercita-cita menjadi pelukis, Ino ingin menjadai fashion designer dan aku sendiri tertarik untuk menjadi Jewelry di prefektur Gifu tak ada universitas yang mendukung mimpi kami, dengan berat hati kami pindah ke Tokyo, meninggalkan kampung halaman tercinta bersama dengan orang- orang terkasih.
.
Sekarang musim dingin. Musim dingin di Tokyo lebih terasa dingin jika dibandingkan di rumahku, padahal di Shirakawa terkenal sebagai daerah yang menerima salju terbanyak di seluruh Jepang sepanjang musim dingin. Mungkin karena di rumah ada kaa-san dan tou-san (dan ada penghangat ruangan) bersamaku.
Memikirkannya aku jadi rindu Kaa-san. Aku rindu gassho-zukuri*, dan aku rindu musim dingin di Shirakawa yang putih. Dan paling rindu dengan penghangat ruangan milikku.
Kalau boleh jujur, bosan aku harus menghabiskan sisa hari bersama Ino yang cerewat dan Sai yang (aku berani bersumpah demi kami-sama) selalu tersenyum.
Ku hela nafas dan merapatkan scarf pink peach milikku untuk yang kesekian kali, mencoba mengurangi udara dingin yang menusuk leherku. Karena terlalu asik tenggelam dalam pikiranku sendiri, tak sadar aku sudah berada di depan sebuah bangunan klasik tempatku bekerja paruh waktu.
Miko's Jewelry, sebuah pusat perhiasan yang cukup terkenal di seluruh Jepang. Jangan tanyakan bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan di sini, mungkin karena keberutunganku, atau mungkin..
Karena keberuntunganku, hehe.
Setelah mengganti coat-ku dengan seragam karyawan dan sepatu flat menggantikan bootku, aku menghampiri Sasori- senpai yang tengah duduk di belakang meja kaca berisi berbagai perhiasan mahal.
"Maaf senpai, aku terlambat ahaha"
Aku mencolek punggung Sasori- senpai sambil memamerkan cengiran lebarku. Pria bersurai merah darah itu memutar kepalanya empat puluh lima derajat untuk memandangku yang menyapanya.
"Tak apa, kau minta maaf seperti tak biasa terlambat saja"
Sasori-senpai bangkit dari tempatnya duduk dan mengacak rambutku seperti biasa. Aku hanya mengerucutkan bibirku mendengar sindiran lelaki di depanku ini. Memang benar sih kalau aku sering terlambat bekerja. Mengingat jarak kampusku dan Miko's jewelry yang cukup jauh, membutuhkan lima belas menit jika aku berjalan kaki dengan kecepatan maksimal.
"Bukan berarti senpai bisa mengacak rambutku begitu ya, butuh waktu dan tenaga tahu, buat menata rambutku yang indah ini" aku meletakan kedua tanganku di pinggangku, pura-pura marah.
"Rambut pink begini apa bagusnya.."
Cling
Bunyi lonceng pertanda ada seseorang memasuki toko mengalihkan perhatianku dari pertengkaran ringanku dengan Sasori- senpai. Seorang pemuda menggunakan coat tebal membuka pintu sambil melempar pandangan ke arah kami berdiri.
Ah! Pemuda itu ya. Salah satu pelanggan setia kami yang selalu berkunjung setiap sore untuk menikmati kehangatan secangkir pacillo.
Lupa ku jelaskan bahwa selain perhiasan, Miko's Jewelry juga menyediakan beraneka macam jenis kopi dan berbagai kudapan manis bagi pengunjungnya. Katanya supaya pengunjung yang tiba- tiba merasa haus saat memilih perhiasan tidak perlu repot- repot mencari café. Tapi tidak sedikit pengunjung yang hanya singgah untuk minum kopi dan bersantai.
Aneh. Aku sering berpikir, jika hanya ingin minum secangkir kopi, kenapa tidak pergi ke kedai kopi dan memilih pergi ke toko perhiasan?
Tapi mengingat kualitas kopi yang ada dalam daftar menu Miko's Jewelry yang terkenal nikmat (atau lezat? Entahlah aku tak menemukan kata tepat untuk mendeskripsikan rasa secangkir kopi) ditambah lokasi yang strategis dan suasana yang lain dari coffee shop biasa.
(tentu saja, mengingat M's J -Miko's Jewelry- adalah jewelry shop. Duh)
Ku tatap pemuda yang kini tengah berjalan ke arahku sambil menyingkapkan capuchon dari kepalanya, menampakkan helaian raven yang beberapa menutupi wajahnya dan yang lain mencuat kebelakang kepalanya.
Sepeti pantat ayam.
Saat ini aku memutuskan bahwa pantat ayam ternyata cukup seksi.
Karena dia.
Berbicara tentang wajahnya, pemuda di depanku ini cukup tampan.
( Baiklah. Maksudku benar- benar tampan. Dan seksi. Tapi mungkin brengsek. Mengingat penampilannya. Maksudku, kebanyakan pria tampan adalah seorang brengsek. Atau gay.)
Dia adalah pria paling tampan yang pernah aku tangkap dengan indra penglihatanku. Kulitnya putih dan pucat. Kontras dengan rambut hitam-runcing dan mata onyx. Tubuhnya ramping dan tinggi.
Mata gelapnya mengunci tepat mataku.
Karena gugup, aku mulai merasaan pipiku merona. Tapi sepertinya ini bukan hal besar karena setengah gadis di dalam ruangan ini merona hebat, mimisan dan beberapa tersungkur jatuh karena pesona pemuda ini.
"Selamat datang di Miko's Jewelry, secangkir pacillo seperti biasa?" Aku menyambutnya (seperti biasa), mengabaikan kedua lututku yang mulai melemas.
"Hn" gumamnya dengan suara serak tak mengalihkan manik hitamnya dari milikku.
Sekali lagi aku menemukan diriku tenggelam dalam danau hitam pekat milik pemuda di depanku. Tenggelam hingga susah bernafas dan kedua kakiku lemas.
Ku gelengkan kepalaku memutuskan kontak mata dan mengabaikan tatapan pemuda raven dan melangkah menuju espresso machine di ujung lemari yang memajang berbagai macam berlian . Kami tak membuat pacillo secara tradisional dengan cloth drip seperti di Amerika Latin.
"Secangkir pacillo, 700 yen. Jika anda ingin membawa pulang maka harus menambah 50 yen untuk gelas kertasnya."
Aku ulangi percakapan rutinku bersama pemuda raven ini setiap sore. Selalu sama. Setelah ini dia pasti akan menggumamkan 'minum di sini' atau hanya bergumam.
"Hn"
Benar kan?
Dia. Hanya. bergumam. Pada. Ku.
Terlepas dari fakta tentang betapa tampannya dia. Dia adalah seorang brengsek.
Dan aku benci brengsek. Sekalipun seorang brengsek yang tampan.
.
*Gassho-zukuri: rumah tradisional jepang yang banyak ditemukan di Shirakawa.
A/N: fanfic pertama (yang saya publish). Karena saya belum begitu paham cara penulisan yang baik, mak dengan rendah hati saya mohon bantuan berupa Kritik dan saran demi kemajuan penulisan saya.
WordCount: 1174
