Kematian.
Suatu hal yang terjadi di tiap tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, bahkan detik.
Tak ada yang bisa memprediksi kematian seseorang. Meski orang tersebut memiliki kemampuan indra keenam, jika ia membelokkan penglihatannya, kematian pun bisa dilesetkan walau sedetik.
Bagi orang awam, kematian itu adalah akhir perjalanan bagi seseorang untuk hidup di dunia. Bagi orang yang kuat kekuatan spiritualnya, kematian itu adalah awal perjalanan bagi seseorang di dunia yang sesungguhnya.
Dunia yang tak bisa disentuh oleh kita yang terikat dalam dunia. Meski faktanya, kita bisa berinteraksi pada mereka yang rohnya bergentayangan bagi yang memiliki suatu kemampuan khusus –gaib–.
Tak semua orang memilikinya. Hanya orang-orang tertentu, dari keluarga pemilik kemampuan khusus –gaib– yang memilikinya.
Itu pun banyak macam kemampuan khusus –gaib– yang dimiliki seseorang.
Salah satunya, dua keluarga yang memiliki kemampuan yang sama.
Pengguna kekkai.
Mereka disebut sebagai Kekkaishi. Kemampuan lainnya, mereka dapat melihat makhluk yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang. Mereka juga dapat membuat, memperbaiki, merusak, menghilangkan dan membelokkan dimensi. Kematian tak luput dari generasi mereka yang menjadi pewaris sah, yang menjaga tanah Sfera Kuasa.
Salah satu Tanah Dewa.
Tapi, dihari itu. Saat tanah Sfera Kuasa di serang oleh Organisasi Ayakashi, kematian seorang ayakashi majiri, membuat salah satu pewaris sah tenggelam dalam kesedihan mendalam.
…
The Death
.
Angst – Advanture
.
Chara BoBoiBoy © AniMonsta
Setting Kekkaishi © Tanabe Yellow (Ierou Tanabe)
.
Dedicate for #FusionBBBChallenge
.
Warning : OOC (maybe), Typo, No Pair, Death Chara, Little bit a Tragedy, Ayakashi!Alien, Ayakashi/Hantu!Robot. Alternatif Time-Line dan Alternatif Reality (maybe)
Inspirasi kematian Gen, juga pertarungan Yoshimori dengan Kaguro dalam AniManga aslinya.
Sekedar fiksi. Hanya imajinasi Author yang meminjam setting di AniManga Kekkaishi dengan Chara BBB. IMAJINASI SEMATA.
Gempa : 20 tahun
Taufan : 14 tahun
Halilintar : 14 tahun
Yaya : 16 tahun
Don't Like?
DON'T READ THIS FICTION!
.
Happy Reading~
Chapter 1
Saat malam tiba, sudah seharusnya ketenanganlah yang dirasakan. Namun, lain halnya dengan salah satu gedung sekolah gabungan SMP dan SMA.
Akademi Sfera Kuasa.
Gedung itu penuh akan orang-orang yang memiliki kemampuan khusus. Mereka semua bertarung dengan 'orang unik' yang mencoba untuk mengambil alih kepemilikan tanah Sfera Kuasa.
Tanah yang penuh dengan sumber kekuatan spiritual yang diincar para ayakashi(*), roh, dan sejenisnya. Sumber kekuatan itu berada pada Dewa Tanah yang bernama Sfera Kuasa. Maka dari itu, tanah ini berusaha direbut oleh Organisasi Ayakashi, Ata ta Tiga.
Di salah satu tanah lapang, terlihat cahaya yang muncul dari tanah. Di atas tanah itu, terdapat sebuah kekkai(**) berwarna hijau.
"HALI! BERTAHANLAH, HALI! Iks…," seruan sarat akan kesedihan –dengan isakan– itu terdengar memilukan. Empunya suara berada di atas kekkai hijau, sambil menatap sosok yang terbaring lemah dengan tubuh penuh luka dan terdapat ukiran petir di kulit pucat –yang tak memakai atasan– itu.
"Khe… jangan me– ugh, menangis, bodoh…," tersenyum tipis melihat partnernya yang menangis. Ah, apa bisa ia menyebutnya teman? Jika bisa, ia ingin sekali menganggap orang bodoh yang menangis di hadapannya sebagai teman.
"Kita teman sekarang!"
Kalimat itu terngiang di benaknya. Membuatnya melebarkan senyum. Ya, mereka memang telah menjadi teman– secara sepihak. Itu yang diikrarkan orang bodoh ini. Karnanya pula, ia dapat merasakan bagaimana rasanya memiliki teman yang menerimamu apa adanya.
Iris merah delima itu menatap orang bodoh di depannya, mengusap kasar jejak air mata yang terus mengalir tanpa bisa berhenti. "Aku tak bodoh! Lebih baik kau diam. Jangan memamerkan senyum bodohmu! Aku risih melihatnya."
Kalimat itu terdengar samar ditelinganya. Entah suara si bodoh yang serak, karna menangis. Atau karna, maut yang sebentar lagi menjemputnya.
"Aku akan– ukh, pergi. Pesanku, jangan menangis, bodoh…"
"Taufan, cahaya ini–"
"TIDAK, YAYA! SFERA KUASA TAK MUNGKIN MEMBIARKAN HALI PERGI! GRAAAAAHHHH…"
Cahaya itu semakin terang. Menyelimuti tubuh yang terbaring tak berdaya. Membawa nyawa sang manusia setengah ayakashi itu dengan lembut tanpa rasa sakit. Membiarkan ia mengingat berbagai kejadian bersama kedua partnernya. Ingatan itu pun terus mengalir bagai film dalam benaknya. Membuatnya sedikit merasa nyaman dengan kematian yang datang.
Ya, ia merasa nyaman.
Nyaman berada disekitar orang-orang yang menganggapmu teman dan saudara. Suatu hal yang dulu ia anggap mustahil di dapatkan. Sangat mustahil untuk berada di dekatnya yang dianggap penghancur, perusak…
… monster.
"Taufan, Yaya… terima kasih atas semuanya," ia masih tetap tersenyum seraya memejamkan mata.
"AARRGGHH! HALILINTAR!"
Untuk selamanya.
––The Death––
Tok! Tok!
Cklek
"Taufan! Ayo bangun!"
Selimut yang menggunung itu bergerak, tanda akan seseorang di dalamnya risih dengan kehadiran sosok lain.
Menghela nafas, pria dengan celemek warna krem itu masuk ke dalam kekkai biru tanpa hambatan. Ia mengguncangkan seseorang yang bergelung dalam selimut, Taufan.
"Gempa bilang, kalau mau ikut lekaslah bangun dan mandi. Ayah akan mengijinkanmu sekolah nanti."
Mendengar itu, Taufan langsung bangkit dari tidurnya. Menghilangkan kekkai dan melesat keluar kamar setelah mengambil handuk dan seragam sekolahnya.
"Hah~ kalau sikapnya begitu, rasanya aneh." Pria yang merangkap sebagai ayah Taufan pun keluar dari kamar setelah menutup pintu.
––The Death––
"PERGI KAU DARI SINI! KETUA MACAM APA YANG MEMBIARKAN ANGGOTANYA MATI! KAU KEJAM! PERGI KAU, SIALAN!"
Banyak pasang mata yang mengalihkan pandangannya, saat mendengar bentakan seorang gadis pada seorang pemuda dengan topi yang dipasang terbalik. Pemuda itu –korban bentakan– hanya tersenyum lembut melihat gadis yang sebaya dengannya. Ia tak tersinggung dengan segala caci maki gadis di depannya. Ia sadar, dia-lah yang patut disalahkan atas meninggalnya Halilintar. Salah satu bawahannya di Organisasi Rintis.
"Maafkan atas kelambatanku saat menolongnya," ucapnya sembari membungkuk dalam, Gempa kembali menegapan badannya dan memberikan sebuah amplop pada gadis itu.
Gadis bersurai hitam panjang itu menggeram marah. Merampas kasar amplop coklat tersebut, ia melempar tepat di dada bidang Gempa yang terlapisi hakama hitam bergaris kuning. "Aku tak butuh itu! AKU BUTUH ADIKKU! KEMBALIKAN HALI-KU! KAU PEMBUNUH! PEMBUNUH!"
"Tenanglah, Hanna."
Kembali sungai kecil itu mengalir dari iris coklat kehitaman Sang Gadis. Sang Ayah pun hanya dapat memeluk anak sulungnya yang sedang labil. Ia menatap Gempa, memohon maklum.
"Bisakah anda segera pergi dari sini? Sepertinya, Hanna sangat terguncang dengan kepergian Halilintar." Pria paruh baya itu berucap lembut. Terlihat jelas guratan lelah di wajah tuanya.
Sedangkan Taufan, ia hanya bisa menatap kakaknya dibentaki dan dihina seperti itu. Inginnya ia membela sang kakak, tapi mengingat ini pemakaman dan gengsinya untuk membantu Sang Kakak, ia mengurungkannya. Tapi, dalam hati kecilnya ia merasa sakit kakaknya dikatai 'Pembunuh'.
Meski hubungannya dengan sang kakak kurang akrab, adik mana yang bergembira ria saat kakaknya dihina seperti itu?
Hanya adik yang kelewat bodoh yang melakukannya.
"Huhuhu… huwaaa… Halii..," suara tangis gadis itu sangat menyayat. Tanpa sadar, Taufan sendiri sampai meremas dada kirinya. Ia merasa sangat sakit mendengar tangisan kakak partnernya, temannya, saudaranya.
"Kami mohon maaf atas apa yang terjadi pada Halilintar. Kami mohon undur diri," membungkukkan badan tanda pamit, Gempa membalik badannya –setelah berdiri tegap– dan berjalan melewati Taufan dengan wajah datar.
Taufan tetap diam. Meski ia yakin kakaknya itu ingin dirinya mengikuti tanpa berkata, ia tak ingin meninggalkan tempat ini. Rumah pertama Halilintar sebelum dimasukkan dalam Rintis, karna kekuatannya itu.
"Taufan, ayo pulang!"
Taufan sadar saat seruan kakaknya terdengar. Ia pun membalikkan badan setelah menatap sebentar kakak Halilintar dalam pelukan Ayahnya.
Selangkah.
Dua langkah.
Tiga lang–
Taufan berbalik. Ia menghampiri Hanna yang menatapnya geram.
"Mau ap–"
"MAAF!"
Hanna terkesiap –begitu pula orang disekeliling mereka– saat mendengar nada penuh kesedihan dalam seruan Taufan. Ia menatap Taufan sedikit lembut. Ingin mendengar perkataan lebih lanjut dari pemuda yang sebaya dengan adiknya.
Setelah berdiri tegap, Taufan menatap sendu Hanna. Ingin sekali ia menangis, tapi ia laki-laki. Tidak mungkin ia menangis di depan seorang gadis yang tengah berduka– ah, dirinya pun demikian.
"Maaf, aku yang saat itu berada di dekatnya. Aku yang berpeluang untuk menyelamatkannya, tapi aku malah terlambat," menundukkan kepalanya, bahu Taufan sedikit bergetar. Hal itu pun tak luput dari penglihatan Hanna.
"Ah! Dia tersenyum sebelum meninggal. Aku yakin, dia tidak menyesal. Karnanya, jangan sedih," ujarnya dengan senyum paksa. Itu yang dilakukan Taufan. Ia terpaksa tersenyum. Ia terpaksa memberikan dukungan implisit pada Hanna. Padahal, hatinya sendiri tak rela.
Sangat-sangat tak rela.
Sepasang iris yang berkilat karna air mata itu melebar. Aliran sungai yang tadinya mulai mengecil, menderas setelah mendengar hal yang paling ia anggap mustahil.
Adiknya tersenyum.
Senyuman terakhir.
Dan senyum itu diberikan untuk pemuda dihadapannya.
Untuk saat ini, ia merasa dunia tak adil. Dirinya yang kakak kandungnya saja malah mendapatkan wajah datar dan cemberut sang adik. Sungguh, ingin sekali ia membalikkan waktu saat ini. Namun, ia tahu itu hal yang mustahil.
Merasa tak ada gunanya lagi tetap berada di rumah Halilintar, Taufan membungkukkan badannya lalu berbalik.
"Tunggu!" Taufan berbalik setelah menghentikan langkahnya di depan gapura rumah milik keluarga Halilintar.
"A-apa kau… teman Hali? Kau sungguh-sunggu melihatnya tersenyum?"
Menampilkan cengiran lebar khasnya, Taufan berkata dengan lantang, "Ya! Aku temannya dan melihatnya tersenyum. Sampai jumpa!" ia pun berlari menyusul Gempa yang telah jauh. Meninggalkan Hanna yang tersenyum lembut menatap punggung Taufan.
"Terima kasih."
––The Death––
Malam tiba dengan cepat. Hawa dingin pun menyebar. Jam pun menunjukkan pukul 12 malam. Waktunya para Kekkaishi bekerja.
"Kau yakin akan berjaga?" seorang pria lanjut usia bertanya datar pada pemuda yang sedang memakai sepatu kets birunya.
"Hm."
Menghela nafas, pria yang pantas di sebut kakek itu menghampiri Taufan yang memperbaiki letak ranselnya. "Istirahatlah untuk hari ini."
"Tidak perlu."
Pelipis kakek berkedut kesal. Jujur saja, ia tau kalau cucunya ini masih dirundungi rasa duka. Tapi, tak perlu berkata datar seperti itu juga.
"Terserah. Asal kau tau bocah, Gempa dan anggotanya berjaga di Sfera Kuasa." Kakek pun meninggalkan Taufan yang menunduk dalam. Wajahnya menggelap. Tatapannya pun kosong.
"Aku tak peduli," setelahnya, ia membuka pintu dan keluar setelah mengucapkan, "Aku berangkat".
Berlari.
Taufan berlari dengan pandangan kosong. Disebelahnya ada sosok anjing hantu berwarna kuning keemasan. Warna yang sangat cantik.
"Hoi, Taufan. Jangan menampakkan wajah seperti itu, kau membuatku takut." Taufan tak merespon. Dirinya terus berlari agar cepat sampai ke Sfera Kuasa.
"Hah~" anjing hantu itu hanya menghela nafas pasrah.
"TAUFAN! OCHOBOT!"
Anjing hantu berwarna kuning keemasan itu berhenti dan menolehkan kepalanya. Menatap seorang gadis dan makhluk yang sejenis dengannya. Tapi, Taufan tetap berlari, lalu melompati pagar sekolah dan menghilang dalam pandangan gadis dan dua anjing hantu itu.
"Taufan masih sedih?" Ochobot menganggukkan kepalanya dengan wajah muram.
"Tenanglah, Ocho. Nanti dia akan kembali seperti semula," ucap gadis itu menenangkan Ochobot. Ochobot hanya tersenyum dan berkata, "Makasih, Yaya."
Sekarang, kita fokuskan pada Taufan yang berada di atap gedung. Dirinya duduk di penggir atap sambil menatap langit yang penuh dengan bintang. Sangat cerah dan berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang gelap.
Tring!
Tap!
Sebuah kekkai berwarna biru terbentuk di samping Taufan. Seorang pemuda yang tak lain ialah Gempa, berada di atasnya. duduk bersila sambil menatap langit.
"Kau masih memikirkannya?"
Whoouuusss
Angin berhembus menghilangkan kesunyian yang terjadi. Angin itu membelai lembut surai hitam Taufan yang tak tertutupi oleh topi biru yang dipasang ke samping.
"Kalau kau terus seperti ini, aku yakin Halilintar tak akan tenang."
Taufan masih bungkam. Ia tak memperdulikan kakaknya yang mulai menceramahinya. Ia tak peduli.
"Aku akan balas dendam," gumamnya dengan kilat mata penuh tekad.
"Balas dendam tak akan menghasilkan hal yang lebih baik dari ini."
"Terserah katamu, aku tak peduli."
––The Death––
…
Kematian.
Suatu kejadian yang membuat orang merasa sedih. Terlebih, bagi mereka yang melihat orang yang sangat dekat –atau mereka sayangi– merenggang nyawa di depan mata. Jika memang meninggal secara wajar, mungkin akan memberi efek kesedihan yang mendalam atau kesedihan sementara dan/ataupun menerima kematian orang itu demi ketentramannya di alam sana.
Namun, lain halnya jika penyebab kematian itu karna terbunuh. Orang yang ditinggalkan bisa melakukan apapun di luar nalar jika mentalnya tak siap.
Balas dendam.
Itu yang paling sering terjadi.
Membunuh si pembunuh.
Meski jalan yang ditempuh tak semudah pikirannya. Balas dendam akan tetap terjadi. Walau harus masuk ke dimensi yang tak seharusnya.
…
––The Death––
Langit malam yang cerah, dihiasi awan kelabu yang tak biasa. Awan kelabu itu melaju dengan cepat. Sangat aneh jika itu awan pertanda hujan datang.
"MEREKA DATANG!" seruan ketakutan terdengar ke seluruh telinga para anggota Rintis, juga para Kekkaishi.
Gempa yang sedari tadi duduk di atas kekkai miliknya, berdiri dan membuat kekkai lain– ke tempat paling tinggi.
"Ketsu," Gempa pun berdiri dengan bersedekap. Ia menatap semua anggotanya di bawah sana, menunggu komando untuk melakukan serangan.
"Perhatian semuanya," suara lantang Gempa menggema ke seluruh area Akademi Sfera Kuasa.
"Malam ini, kita akan akan menghadapi Organisasi Ata ta Tiga. Kerahan seluruh kekuatan kalian untuk melindungi tanah Sfera Kuasa!"
"OSH!"
"Bertarunglah dengan seluruh semangat yang kalian miliki!"
"OSH!"
Gempa tersenyum. Ia bangga kepada bawahannya yang mengobarkan semangat juang untuk melindungi tanah Sfera Kuasa. Senyumnya menghilang diganti raut serius.
"Aku tak akan melarang kalian untuk melakukan apa saja. Tapi, satu hal yang tak boleh kalian langgar." Atmosfir pun berubah menjadi panas di malam yang dingin ini. Itu dikarenakan, semua anggota Rintis menanti lanjutan Sang Pimpinan. Apa yang tak boleh mereka langgar? Hampir semua membatinkan pertanyaan itu.
"JANGAN SAMPAI MATI!"
Seruan lantang penuh kewibawaan Gempa menggetarkan hati anggotanya. Dada mereka bergemuruh, semangat. Dengan semua kekuatan suara yang mereka punya, keluarlah sebuah ikrar janji yang harus mereka tanggung sampai mentari menampakkan cahayanya.
"BAIK, KETUA!"
Meski raut seriusnya tak berubah, dalam hatinya Gempa sedikit senang. Ia harap, ia bisa melihat semua anggotanya lengkap esok hari. Ia tak ingin kejadian yang menimpa Halilintar kembali terulang. Tak ada satu pun pemimpin yang senang dengan kematian anggotanya.
"Sebentar lagi, kita akan kembali melanjutkan pertarungan yang tertunda, Adu du." Gempa menatap awan kelabu itu dengan intens.
Sedangkan awan tersebut, jika dilihat dari dekat terdapat banyak ayakashi dari berbagai jenis dan level. Seseorang dengan rambut hijau gradasi, duduk di sebuah kursi layaknya singgasana raja. Bibirnya melengkungkan senyuman– tepatnya seriangaian entah pada siapa. Iris dark coklatnya yang berkilat tampak menawan.
"Inilah akhir dari Sfera Kuasa," ucapnya sembari berdiri dan menatap Akademi Sfera Kuasa yang berjarak tak lebih dari 500 meter.
"SERANG MEREKA!"
Mendengar perintah sang pimpinan, ayakashi level rendah mulai menyerang tanah Sfera Kuasa. Para anggota Rintis pun mulai bersiaga, menunggu perintah.
"LENYAPKAN MEREKA!"
"OOSSHH!"
Pertarungan pun di mulai di Tanah Dewa ini. Para pemilik kemampuan itu melenyapkan musuh yang ada disekitar mereka. Ayakashi level menengah pun mulai menampakkan diri.
"Ketsu! Metsu!" Taufan melenyapkan beberapa ayakashi dengan kekkainya, begitu pula Yaya. Kedua anjing mereka hanya memperingatkan jika ada bahaya.
"Ketsu, ketsu, ketsu. METSU!"
DHUAARR!
"Ayo serang mereka!"
"Hancurkan mereka, Toki!" Ayakashi bertubuh monster pun menghancuran ayakashi lainnya. Tak ada seorang anggota Rintis pun yang melenyapkannya karna ia adalah bagian dari mereka.
"GRAAAHH!"
"GAAHH!
KRAUK!
Disudut atap sekolah pun ada sosok bayi besar yang berbentuk roh. Ia memakan beberapa ayakashi jenis serangga yang menghampiri. "Oh tidak, sayang! Jangan di makan!" panik Sang Ibu yang menggendong buntalan kain putih.
Jauh di atas sana, Gempa yang melihat seseorang turun dari langit pun ikut menjatuhkan diri.
"Ah~ kau sudah datang rupanya," pemilik rambut hijau gradasi itu tersenyum ganjil melihat Gempa. Gempa sendiri membalas senyum miring itu dengan seringaian gelap.
"Ayo kita mulai!"
––The Death––
"Aroma ini…," mengendus udara sekitar, Ochobot memperkuat sensor miliknya.
"Ada apa, Ocho?"
"Aroma kulit manusia." Kedua iris coklat Taufan membelak. Sedetik kemudian, iris miliknya menajam dengan penuh amarah. "Di mana dia?" desisnya tajam, membuat Ochobot merinding.
"Arah jam 3. Sekitar 800 meter dari si– OI! TAUFAN!"
Taufan langsung saja menjauhi tanah Sfera Kuasa. Ia terus membuat kekkai hingga keluar gedung dan melompati atap gedung warga sipil. "Apa aromanya masih tercium?"
"Ya. Kita semakin mendekatinya."
"Akan kubunuh kau, Ejo jo!"
––The Death––
Hal yang paling Yaya benci adalah saat Taufan kembali bertindak gegabah. Entah berapa kali Yaya menghadapi pikiran pendek Taufan. Yang pasti, kali ini, ia tak akan membiarkan bocah bertopi miring itu hilang dari pandangannya.
"Ck, dia ke mana sih? Probe!"
"Baik, Honey." Probe, anjing berwarna ungu dengan iris merah hati itu terbang lebih tinggi dari sebelumnya. Melihat keadaan sekitar guna mencari bocah biru bodoh dan anjing kuningnya.
"Honey! Mereka di sana!"
Yaya menatap arah yang ditunjukkan Probe. Kedua irisnya membelak melihat tubuh Taufan dibawa oleh seorang wanita yang mengenakan pakaian kekurangan bahan. "Bodoh! Apa lagi yang dia lakukan sekarang!"
"HUWAAA… OCHOBOT!" Yaya menghentikan langkahnya begitu melihat Ochobot tersangkut di atas tembok yang lumayan tinggi, dengan tubuh hantunya yang lemas.
"Ocho! Kau baik-baik saja?"
Membuka mata, Ochobot melihat Yaya dan Probe yang memandangnya khawatir. "Ah, Yaya, Probe. Taufan… dia menyerahkan diri pada wanita itu."
"APA!?"
Ini dia.
Tindakan ceroboh lainnya yang dilakukan oleh teman kecilnya. Dan Yaya mengutuk segala pemikiran dangkal si bocah biru itu.
––The Death––
Masuk ke dalam wilayah musuh adalah hal terbodoh yang dilakukan jika dalam suatu perang. Apalagi jika menyerahkan diri tanpa persiapan. Hanya berbekal keberanian dan tekad balas dendam untuk orang yang diincar.
Dan itulah yang dilakukan Taufan. Menyerahkan diri pada musuh tanpa memikirkan sebab-akibat atas hal yang ia perbuat. Namun, dasarnya bebal mau dikata apa?
"Ggrrrhh… wanita sialan! Dia mempermainkanku!" geram Taufan saat berhasil kabur dari interogasi –lebih pantas disebut penyiksaan– wanita laba-laba dan pria bermata satu. Itu juga berkat teman kakeknya yang diketahui telah meninggal dunia.
Enggan memikirkan misteri mengenai teman sang kakek, Taufan terus berlari menyelurusi jalan dalam bangunan. "Sial! Mana jendelanya?!"
Terus berlari diselingi umpatan kasar, akhirnya Taufan mendapat sebuah jendela. Ia keluar dari jendela itu dan terus naik ke atas dengan kekkai buatannya.
"EJO JO! DI MANA KAU?!"
Sepasang iris miliknya terus memerhatikan sekitar. Mencari keberadaan sang ayakashi level tinggi yang telah membunuh Halilintar.
Tap! Tap! Tap!
Berlari dan meloncati atap demi atap, tak lupa Taufan memanggil nama targetnya. Terus memanggil sambil mencari hawa keberadaan targetnya itu.
DHUAAAARRR!
BRUKH!
TAP!
Langkahnya terhenti begitu mendengar suara runtuhan.
Benar saja. Bangunan demi bangunan telah hancur. Dan sekarang lebih cepat dari sebelumnya.
"Kekuatan tanah ini akan hilang seiring hancurnya bangunan-bangunan itu. Apa penguasanya sekarat?" Taufan memikirkan hal yang terjadi sekarang. Entah mengapa, itu juga mengganggunya.
"AARRGHHH! Buat apa aku pikirkan?! Sekarang, cari Ejo jo dan bunuh dia. Lalu…," ucapannya berhenti diikuti wajahnya yang menyendu.
"Kalau kau terus seperti ini, aku yakin Halilintar tak akan tenang."
"Balas dendam tak akan menghasilkan hal yang lebih baik dari ini."
Taufan menggelengkan kepalanya begitu perkataan sang kakak menggema dipikirannya. Ia tau kalau Halilintar tak akan senang. Tapi, hatinyalah yang tak tenang melihat pembunuh temannya masih berkeliaran dengan bebas tanpa rasa bersalah. "… lalu keluar dari sini sesegera mungkin," tekadnya.
Sekitar ratusan meter dari berdirinya Taufan, sesosok pria menyeringai. Mata emasnya yang tajam menatap Taufan dari kejauhan. Gigi-giginya yang terususun rapi terlihat tajam.
"Aku menemukanmu, bocah~"
Syut!
BRUAKH!
Pria itu menghilang tanpa disadari. Dan bangunan yang jadi pijakannya runtuh seketika.
Kembali pada Taufan. Ia masih tetap mencari Ejo jo sambil melompati Atap. "Cih, dia di ma–"
DHUAG!
"UUAARRGHH!"
BRUKH!
DHUAAR!
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Taufan merasa tubuhnya melayang menabrak bangunan seberang dengan sangat keras.
"Ck, untung saja zekkai(***) kuaktifkan saat menerima tendangan itu," ia mengusap darah yang berada di sudut bibirnya.
"Khukhukhu~ kau makin lemah, huh?"
DEG!
Jantung Taufan serasa berhenti sejenak mendengar suara yang tak asing itu. Matanya pun membelak sesaat, lalu berkilat tajam pada sosok dibalik asap tebal akibat runtuhnya bangunan.
"Kau…," desisan tajam Taufan begitu asap tadi menghilang dari pandangannya, digantikan sosok pria berotot dengan surai merah berantakan, juga luka berbentuk dengan bentuk aneh di mata kirinya.
"Heh, kau datang untuk membalas dendam anak tempramen itu, 'kan?"
"KETSU!"
HUP!
"Kau kurang cepat, nak."
"Ketsu! Ketsu! Ketsu!"
Hap! Hap! Hap!
BRUAAKKH!
TRANG!
"Kau yakin sudah bertekad untuk membunuhku?" Ejo jo berdiri dengan santainya. Padahal, dirinya telah terkurung –sengaja– dalam kekkai Taufan.
TAP!
Taufan berjalan mendekati Ejo jo. Selubung zekkainya semakin menguat. "Ada pesan terakhir?" tanyanya dingin.
Mengeluarkan seringai andalannya, Ejo jo mengepalkan tangannya kuat. "Kau naif, bocah."
BUKH!
Krek Trang!
Melihat kekkainya yang hancur karna tinjuan Ejo jo, Taufan mundur mengindari tinjuan membabi buta yang dilancarkan Ejo jo. Sembari terus menghindar, dirinya terus saja membuat kekkai. Namun, saat akan menghancurkan, Ejo jo langsung meninju kekkainya.
'Kalau begini terus, ini tak akan berakhir,' batinnya kalut.
"HAHAHAHA! KAU KENAPA, BOCAH?! BUKANNYA KAU DARI TADI MENCARIKU, HM? KENAPA KAU MALAH MENGHINDAR LAYAKNYA PENGECUT?! HAHAHAHA!"
Dug!
"Uwaaa~"
Taufan memekik kala kakinya tersandung bongkahan gedung yang berada di lokasinya sekarang. Mengikuti hukum gravitasi, dirinya pun terjatuh dalam celah bangunan yang dalam.
"Sial! Ketsu," membuat kekkai sebagai pijakan, dirinya kembali naik ke atas dan langsung dihadiahi pukulan telak pada perutnya.
"ARRGGHH!"
BRUAKH!
"Ssshhh…," ringisnya. 'Padahal sudah pakai zekkai. Apa tinjuannya yang menguat?' batinnya menganalisis serangan yang sedari tadi Ejo jo lontarkan.
DUAGH!
BRUKH!
Tinju, tinju, dan tinju. Ejo jo terus menghantamkan tinjuannya pada Taufan yang tak berkutik, hingga menabrak beberapa bangunan sampai hancur, berkali-kali.
'Argh… tu-tubuhku mati rasa. Padahal, zekkai masih aktif.'
"Ada pesan terakhir?" Ejo jo mengembalikan pertanyaan yang Taufan berikan padanya beberapa waktu lalu.
"Enyah kau!"
Wajah Ejo jo menggelap. Giginya bergemeretuk mendengar makian Taufan. Mau mati masih belagu, begitulah pikirnya. Mengumpulkan energinya pada kepalan tangan kanan, Ejo jo langsung meluncurkan serangan pada Taufan yang baru bangkit.
BUUKKHH!
DHUUAAAARRRR!
––The Death––
…
Di saat kematian berada di depan matamu, apa yang akan kau lakukan?
Memasrahkan diri?
Atau…
Berusaha mengelaknya?
...
::::::::::
::::::::::
To be Continue
:::::::::
:::::::::
(*) Ayakashi : kalau di Indonesia sebutannya siluman. Bentuknya bervariasi. Ada yang berwujud manusia, setengah manusia, serangga, hewan, benda, bayangan, tumbuhan, dan lainnya.
(**) Kekkai : sebuah kotak transparan yang dapat dibuat oleh para Kekkaishi. Benda yang dapat menghalau serangan dari luar jika strukturnya kuat, juga menghancurkan apapun yang ada di dalamnya. Manusia biasa dapat melewati kekkai (mungkin). Dalam AniManganya, kekkai warna biru milik keluarga Sumimura (dalam Fic ini, keluarga Taufan dan Gempa). Sedangkan warna hijau, milik keluarga Yukimura (dalam Fic ini, keluarga Yaya). Kekkaishi sendiri semacam profesi bagi mereka yang menjaga Tanah Karasumori (nama dalam AniManga aslinya.
(***) Zekkai : bentuk aslinya bundar dengan warna hitam keunguan. Semacam kekkai, tapi zekkai wujud yang melenyapkan apa pun yang disentuhnya (sesuai kehendak si pemakai) dalam kasus Yoshimori (dalam Fic ini Taufan), zekkai miliknya hanya selubung aura yang melingkupi, mengisolasi (melindungi) seluruh tubuhnya dari dunia luar. Kurang lebih seperti itulah.
NAYU BUAT FIC DENGAN GENRE ADVANTURE! YUHUUUU…. *tebar duri mawar*
Gak nyangka akhirnya Nayu buat Fic dengan genre ini. Tak pernah terbayang sebelumnya. Alurnya kecepatan ya? Sengaja~
Maaf untuk penggemar Halilintar, Nayu buat mereka mati. Lalu, penjelasan yang Nayu masukkan dalam Fic ini hanya berdasarkan pengertian (sedikit menganalisis juga) dari Nayu. Yeah, sebenarnya Kekkaishi dan ayakashi tak sesederhana yang Nayu jelaskan. Juga, Fic ini tak sesuai dengan cerita aslinya. Nayu mengubah berbagai hal.
Pokoknya, yang mengikuti AniManganya sampai tamat pasti tau. Nayu hanya menjelaskan dengan bahasa yang mudah. Mau nyari info jelasnya lewat AniManganya atau Mbah Google, monggo~ Nayu malas sih~ XD *dihajar readers*
Chap 2-nya adalah End.
Sekian dari Nayu. KriSar sangat diperlukan.
REVIEW MINNAA~~
