TELL ME LIES

Author: judalism
Fandom: BTS
Pairing: Jeon Jungkook/Kim Taehyung (V)
Rating: T
Summary: Semua orang berpikir V membenci Jungkook.

Alternate Universe (AU) dimana Jungkook, V, Jimin, dan semua karakter dalam fic ini menuntut ilmu di sebuah sekolah (SMA) seni dan semuanya adalah anggota klub dance dan vokal.

Two-shot.

.

.


TELL ME LIES


.

.

"Jungkook. Belikan aku cola."

Park Jimin, yang tengah berjongkok di lantai mengikat tali sepatunya, menoleh ke arah sumber suara yang terdengar dingin itu. Matanya mendelik pada Jeon Jungkook yang kini tengah menghampiri si pemilik suara rendah dan penuh nada memerintah tadi.

Enam orang senior berakhir memesan aneka jenis minuman kaleng dan camilan mengikuti apa yang dilakukan si senior pertama. Dan Jungkook melenggangkan kakinya menuju pintu keluar studio tanpa berkomentar.

Jimin bangkit dari lantai dan berlari kecil menyusul Jungkook. "Aku ikut! Pasti repot membawa semua belanjaan itu sendirian."

Jungkook melirik sekilas pada kawan karibnya yang kini tengah memamerkan senyum lebar padanya. Tak menyahut, namun membiarkan Jimin mengikuti langkahnya.

.

.

.

.

Suasana di minimarket tak seramai yang diduga. Barangkali karena hari sudah mulai senja, dan orang-orang sudah sibuk dengan aktivitas sore hari mereka. Jimin masih ingat ketika ia harus berdesakkan dengan para senior maupun juniornya di satu-satunya minimarket dalam radius 300 meter dari sekolahnya ini. Pukul 1 sampai 3 sore adalah waktu yang tidak menyenangkan untuk berbelanja di sini.

"Kau tahu," ujar Jimin seraya memasukkan jus kaleng ke dalam keranjang belanja. "Kurasa Taehyung membencimu."

Jungkook tengah menimbang antara Pepsi Cola atau Coca Cola di kedua belah tangannya. Seingatnya, V tidak memesan merk khusus untuk cola-nya.

"Kau melakukan sesuatu yang membuatnya marah?" Jimin mulai lagi. Berjinjit untuk meraih snack kentang rasa rumput laut yang dipajang di barisan atas rak minimarket. "Karena Taetae tidak pernah seperti itu. Dan aku mengenalnya dari kelas satu."

Jungkook memutuskan untuk membeli kedua kaleng cola di tangannya, memasukkan keduanya ke dalam keranjang oranye terang yang ditentengnya. "Mungkin," timpalnya singkat.

Jimin mendengus. "Kau sama sekali tidak punya niat membicarakan hal ini denganku, eh?"

Jungkook hanya mengangkat bahu tak acuh. Berjalan menghampiri kasir. Jimin mendesah, mengikutinya dengan tiga bungkus snack kentang rasa rumput laut jumbo di pelukannya.

Tak perlu diragukan, perjalanan mereka kembali ke studio dance sekolah bersama berkantung-kantung besar belanjaan diisi dengan topik-topik ringan dan candaan yang keluar dari mulut Jimin, sementara si lawan bicara hanya tersenyum sekilas dan sesekali menimpali dengan tawa renyah. Sama sekali tidak ada bahasan soal V─atau Taehyung, seperti bagaimana Jimin memanggil senior Jungkook yang (menurut Jimin) sok kuasa itu.

"Whoa! Cepat sekali! Dan banyak sekali!" Namjoon menghampiri Jungkook dan Jimin yang mengacungkan kantung-kantung belanja di kedua tangan mereka dengan antusias.

"Karena kalian memesan banyak sekali," seru Jimin setengah merengut. Namjoon tertawa, menepuk pundaknya dan mengucapkan terima kasih telah mau direpotkan dengan santai.

"Kau membeli semuanya?" Jin, senior paling tua di klub dance mereka, menghampiri dengan antusiasme yang tak kalah dari Namjoon.

Jungkook mengiyakan dengan menyodorkan satu kantung penuh belanjaan pada Jin. Berikutnya, senior-senior lainnya yang juga memesan aneka jenis camilan dan minuman mengerubungi mereka seperti semut mengerubungi gula.

Di tengah hiruk pikuk itu, Jungkook undur diri dengan dua kaleng cola dingin di tangannya. Ia menghampiri V yang tak beranjak sedikit pun dari tempatnya duduk saat Jungkook pergi untuk belanja untuknya lima belas menit lalu.

"Hyung, kubelikan keduanya karena aku tidak tahu kausuka yang mana," ujar Jungkook mendekatinya.

V melirik dengan tatapan tanpa minat. "Aku sudah tidak haus." Dingin, tanpa perasaan.

Jungkook mengernyitkan dahinya. Baru saja ia hendak membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, ketika tiba-tiba saja Hoseok melempar sebotol air mineral ke arah V─yang lalu ditangkap dengan cekatan oleh V dengan sebelah tangan.

"Tidak ada lagi yang baru. Kau boleh habiskan punyaku," seru Hoseok ringan.

V membuka tutup botol air mineral yang kini telah berpindah ke tangannya, dan meneguknya hingga tandas. Melirik dingin pada Jungkook, ia berkata, "Aku sudah tak haus. Berikan cola-nya untuk orang lain."

Dan Jungkook hanya terdiam menatapnya.

"Taetae! Jungkook sudah membelikannya untukmu. Kau tidak tahu berapa uang yang sudah dibelanjakannya untukmu dan yang lainnya karena mereka mengikutimu memesan segala macam untuk mereka!" Jimin berseru, merangkul pundak Jungkook dan memasang wajah tak senang pada V.

"Kalau aku sudah tidak haus?" V mengangkat sebelah alisnya tak acuh.

"Bisa kausimpan untuk nanti. Atau besok. Atau besoknya lagi. Paling tidak hargailah Jungkook yang sudah membelikannya untukmu." Dengan nada protesnya, Jimin sama sekali tak menyembunyikan ketidakpuasannya terhadap perlakuan V pada Jungkook.

V mengangkat bahu tak acuh. Beranjak dari duduknya dan menghampiri Hoseok, seolah Jungkook dan Jimin yang masih berdiri mematung di hadapan bangku panjang bertungkai besi yang tadi didudukinya itu sama sekali tak berarti.

Jimin menyumpah dalam hati.

.

.

.

.


"Kurasa Taehyung sudah keterlaluan." Jimin mendumel, meloloskan kepalanya dari kaus putih polosnya yang telah basah oleh keringat.

"Apanya?" Namjoon menimpali tanpa menoleh, melipat dan memasukkan kaus latihan dance-nya dengan asal-asalan ke dalam tas Nike biru besar.

"Dia menganggap dunia berpusat pada dirinya!" Jimin meraih kemeja seragamnya dari dalam loker dengan gusar. "Dia tahu Jungkook tidak pernah menolak apa pun yang ia katakan. Tapi aku tidak pernah melihatnya mengucapkan terima kasih atau menghargai Jungkookie sama sekali. Jungkookie bukan pesuruhnya!"

"Hmm," Namjoon bergumam. "Mungkin karena mereka sangat dekat? Mereka satu SMP, kan? Kudengar."

"Aku berani bertaruh, dulu pasti V adalah senior sok senior yang senang membully Jungkook! Dan sekarang, karena Jungkookie juga masuk SMA yang sama, dia melanjutkan kebiasaan itu." Jimin berteori.

"Kau bercanda. Kau lihat sendiri bagaimana Jungkook, kan? Dia punya otot yang lebih sempurna dibanding kita semua. Dia punya stamina dan kekuatan yang lebih dari kita. Tidak ada alasan baginya untuk dibully." Namjoon mengancingkan seragamnya.

"Kecuali jika ia punya alasan untuk membiarkan V memperlakukannya seburuk itu." Tiba-tiba saja, Min Yoongi angkat bicara. Tas latihannya telah diselempangkan di punggungnya, siap untuk meninggalkan ruang ganti studio dance dan pulang.

Jimin menaikkan sebelah alisnya. Pertama, karena jarang sekali ia mendengar seniornya yang satu ini berbicara jika bukan untuk hal yang menarik perhatiannya. Kedua, karena apa yang dikatakan Yoongi masuk akal. Sangat masuk akal.

Dan Jimin akan mencari tahu.

.

.

.

.

.

.


"Jungkook-ah. Kau tidak merasa Taehyung tidak pantas menerima semua perlakuan baikmu? Maksudku, kau selalu mendengarkannya. Tapi dia tidak pernah baik padamu." Jimin menggigit sandwich tuna di tangannya seraya menyenggol lengan Jungkook dengan sikutnya untuk mendapatkan perhatian dari junior karibnya itu.

Jungkook asyik dengan santapan japchaenya yang lezat. Tak menghiraukan Jimin.

"Kau berhutang sesuatu padanya?" Jimin masih mencoba. Dengan nada lebih tidak sabar, kali ini. "Atau ia memegang rahasia yang kau tidak mau orang tahu? Semacam…blackmail?" Jimin asal menebak.

Jungkook terhenti dari kunyahannya. Memutar lehernya pada Jimin. "Dia tidak serendah itu."

Jimin menghela napas keras dan memutar bola matanya. "Kau diperlakukan tidak pantas dan masih membelanya seperti itu? Yang benar saja."

"Tidak ada yang salah dengannya." Jungkook mengabaikan ucapan Jimin. "Jika kau bertanya ini salah siapa, kukatakan ini salahku. Aku pantas menerimanya."

Jimin mengerutkan kening dalam-dalam. "Aku tidak pernah suka tebak-tebakan, Jeon Jungkook. Jelaskan dan ceritakan dengan rinci atau aku akan membunuhmu dalam tidurmu."

"V-hyung tidak suka aku masuk sekolah ini." Jungkook menimpali setelah menimbang untuk sejenak.

"Karena?" Jimin spontan berseru.

"Dia tidak mau melihatku."

.

.

.

.

.

.

Park Jimin baru kali ini merasa frustasi. Dalam 19 tahun hidupnya, ia adalah laki-laki riang dan energik yang tak pernah membiarkan dirinya down karena apa pun. Baginya, mood adalah hal yang bisa dikontrolnya. Dan ia tidak pernah membiarkan faktor eksternal mempengaruhi suasana hatinya dengan buruk. Ia sangat pandai mengendalikan mood.

Tapi, rupanya tidak untuk hal yang satu ini.

Jimin merasa jengkel, penasaran, dan tidak senang karena merasa bahwa ada sesuatu yang harus diketahuinya, namun sayangnya seluruh dunia seolah sepakat untuk membiarkannya berdiri dalam gelap─tidak tahu apa-apa.

"Hyung. Kita harus melakukan sesuatu." Jimin mendecak, menyedot kasar jus kotaknya yang telah habis isinya.

"Kau bicara soal─?" Yoongi menimpali dengan nada malas dan tak antusias khasnya. Ia sedang asyik menikmati semilir angin di jam istirahat ini di bawah pohon rindang, ketika Jimin menghampirinya dengan langkah gusar dan sekotak jus buah di tangannya.

"Jungkook." Jimin menyahut cepat. "Dan Taehyung."

Yoongi membuka sebelah kelopak matanya yang terkatup, menatap Jimin yang beringsut duduk di sebelahnya. "Untuk?"

"Aku tidak senang melihat Taehyung menganggap Jungkook seolah budaknya. Dan anehnya Jungkook membiarkan hal itu. Kau tidak merasa itu ganjil, Hyung?" Jimin berujar.

"Setiap orang punya alasan masing-masing untuk setiap tindakannya. Jika Jungkook tidak memberitahumu, itu karena menurutnya kau tidak perlu tahu." Yoongi menguap lebar.

Alis Jimin berkedut. "Aku adalah sahabat terbaik Jungkookie. Segala hal tentangnya, aku harus tau. Berhak tau. Apalagi ini menyangkut sikap buruk yang diterimanya dari orang lain. Dia mungkin tidak keberatan diperlakukan seperti itu, tapi aku keberatan."

Yoongi melirik sejenak. "Kalau kau sebegitu penasarannya, kenapa tidak kautanyakan pada V?"

Jimin menatapnya sebelum membuka suaranya lagi, kali ini dengan sedikit malu. "Ehmm itulah alasanku mencarimu. Kau tahu, Taehyung akan mengabaikanku jika aku yang bertanya. Tapi jika kau─" Jimin tak melanjutkan kalimatnya. Ia tahu Yoongi paham maksudnya.

Bagaimanapun, Yoongi adalah senior mereka dan salah satu orang yang dekat dengan V. V tentu lebih akan mendengarkan Yoongi, pikir Jimin.

"Kau ingin aku bicara pada V?" Yoongi menanyakan hal yang sudah jelas. Keduanya sudah tahu jawabannya.

Jimin memasang raut muka anak ayam kehilangan induknya sebaik mungkin. "Tolonglah, Hyung~"

Dan Yoongi tak bisa menolak lagi.

.

.

.


.

"Dia gay."

─Apa? Jimin yakin telinganya bermasalah.

"Jeon Jungkook gay." V mengulang ucapannya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.

"Apa?" Kali ini Jimin yakin ia tak salah dengar. Tapi ia yakin ada kesalahan di sini. Ada suatu salah paham. Kan?

"Aku tidak akan mengulanginya. Kau sudah dapat jawaban yang ingin kaudengar." V tak acuh.

"Aku tidak sedang bercanda, Tae." Jimin memaksakan tawa. Berusaha berpikir positif.

V bergeming. Meliriknya dengan jengkel. "Dan aku juga tidak."

Jimin terdiam. Membuka mulutnya, menutupnya kembali. Membukanya lagi, menutupnya lagi seperti ikan mencari air. "Ya Tuhan." Ia mengacak rambutnya. "Benarkah? Kau serius?"

V tak menimpali lagi. Kembali dengan game di ponselnya yang sempat ia pause karena Jimin mengganggu waktu santainya.

"Aku sudah punya firasat," ucap Yoongi ringan. Seolah yang baru saja dikatakannya itu seringan ia bilang langit itu biru dan awan itu putih.

"Apa?" Jimin membelalak tak percaya, memutar lehernya cepat sekali ke arah Yoongi di sampingnya.

"Dia gay. Lalu?" Yoongi kembali berujar pada V. Tak menghiraukan Jimin yang menatapnya dengan kedua mata membelalak. "Kau homophobic?"

Kali ini Jimin memutar lehernya ke arah V. Ia akan bicara soal maksud Yoongi 'sudah punya firasat bahwa Jungkook gay' nanti. Sekarang ia ingin dengar reaksi V atas pertanyaan Yoongi barusan.

Itukah alasan V memperbudak Jungkook? Karena V tahu rahasia Jungkook, dan V menganggap hal itu menjijikkan sehingga ia memperlakukan Jungkook dengan sangat tidak pantas?

V tak menyahut untuk beberapa saat, sebelum akhirnya membuka suaranya, "Dia bilang suka padaku dan memilih sekolah ini karena ada aku di sini."

Jimin merasa otak polosnya masih tak kuat menerima semua informasi yang bertubi-tubi ini. Ya Tuhan, sungguhkah Jungkookie-nya, junior kesayangan yang sudah dianggapnya sahabat dekat itu, adalah gay? Dan Jungkook memiliki perasaan khusus pada Taehyung, kawan karibnya yang lain? Ia perlu air minum untuk menenangkan diri.

"Kalau kau memang tidak suka padanya, cukup bilang saja dan jaga jarak darinya. Dengan sengaja memperlakukannya seperti pesuruhmu sama saja seolah kau menghukumnya untuk sesuatu yang tidak bisa dikendalikannya." Yoongi bertutur tanpa jeda.

Baru kali ini, Jimin berpikir di antara keterkejutan dan kebingungan yang masih melandanya, ia melihat Yoongi bicara sebanyak itu. Ia selalu berpendapat bahwa Yoongi adalah seorang pemikir yang lebih senang berpikir untuk dirinya sendiri alih-alih mengutarakan isi kepalanya dengan kata-kata. Namun rupanya, saat hyung-nya satu ini sudah berbicara, tidak ada yang bisa menghentikan tajam ucapannya.

"Tidak ada yang bisa mengendalikan rasa suka. Ia suka padamu. Itu bukan pilihannya." Yoongi berujar lagi, tidak sedikitpun mengalihkan tatapannya dari V.

V memalingkan muka.

"Yang lain mungkin menganggap hal ini lucu, melihatmu membuat Jungkook seolah pesuruhmu. Tapi aku tahu kau tidak menganggap ini sebagai sebuah candaan. Kau memang menganggapnya lebih rendah darimu dan─"

"Aku tidak menganggapnya rendah." Tiba-tiba saja V memotong ucapan Yoongi. Jimin terkejut.

Yoongi menatap V, mengangkat sebelah alisnya menuntut penjelasan.

"Bayangkan kau ada di posisiku." V menoleh pada Jimin, keningnya berlipat. "Laki-laki yang kauanggap sebagai teman dekatmu, yang sering kauhabiskan waktu bersamanya, tiba-tiba saja bilang ia suka padamu dan memilih sekolah yang sama denganmu hanya karena ada kau di sana. Ia punya banyak peluang untuk jadi besar. Tidak di sekolah ini, tapi di banyak sekolah yang menawarkan beasiswa untuk kemampuan dance dan vokalnya. Tapi ia menolak semua tawaran itu, memilih sekolah yang biasa-biasa saja ini. Sekolah yang bahkan tidak pernah menang kejuaraan dance atau vokal satu kali pun dalam 10 tahun. Kau tidak berpikir itu gila?" V mendecak, menghempaskan tubuhnya ke atas bangku taman di belakangnya. "Ia punya banyak kesempatan emas untuk jadi lebih hebat dari dirinya sekarang, tapi ia membuang semua itu dan datang kemari. Itu bodoh!"

Jimin mengernyit. Ia tidak tahu-menahu soal dunia gay dan semacamnya, namun ia tahu satu hal dengan pasti saat mendengar racauan V barusan.

"Yang kutangkap dari apa yang baru saja kaukatakan adalah bahwa Jungkook sangat menyukaimu. Ia sangat suka padamu hingga melepaskan semua batu loncatan untuk jadi besar karena ia ingin bersamamu. Dan bagiku itu sangat luar biasa," ujar Jimin menghentakkan sebelah kakinya. "Mungkin ia ingin jadi besar jika denganmu? Mungkin ia ingin memenangkan kompetisi denganmu di sisinya? Aku tidak melihat satu pun kebodohan dari keputusannya."

V mengerutkan keningnya tak percaya. "Yang benar saja, Jimin. Hanya orang bodoh─"

"Orang yang jatuh cinta selalu terlihat bodoh." Jimin memotong. "Aku tidak suka melihatmu menganggap semua hal yang dilakukannya untukmu adalah bodoh. Jika kau tidak memerlukan dia, berhenti membuatnya merasa kau membencinya karena keadaannya─karena ia gay dan ia suka padamu. Berhenti membuatnya merasa pantas diperlakukan tidak baik olehmu!"

V menatap Jimin tanpa berkata-kata.

"Jika kau tidak butuh dia, berikan ia padaku!" Jimin bertolak dan beranjak pergi, tidak memberi kesempatan bagi V untuk menimpali.

Yoongi menatap punggung Jimin yang berjalan menjauh darinya dan V dengan langkah lebar-lebar yang gusar.

"Kau akan kehilangan penggemarmu." Yoongi berujar. "Mungkin di akhir semester nanti, kita akan melihatnya bergandengan tangan dengan Park Jimin dan enyah dari hadapanmu seperti yang kaumau."

V tak menyahut.

.

.

.

.

.

*~ TBC ~*


Fic ini adalah twoshot, yang artinya bakal tamat di chappie depan. ^ ^

Feedback? :3