Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto-sensei

No commercial advantage is gained by making this fanfic.

.

This Fanfic by Tania Hikarisawa

[Tangled Ring, Prolog: Garden Party]

Warning: AU, Kiba's POV, & typo(s)—

.

.

.

Sepertinya pilihan kami untuk membuat pesta resepsi pernikahan di alam terbuka adalah pilihan yang tepat. Musim semi menyambut kami ketika kami keluar dari gedung rias dan bunga sakura menemani hari bahagia kami ini. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa bahagiaku saat ini.

"Kiba, kenapa menatapku seperti itu?"

Ah, wajahnya cantik sekali. Bersemu merah saat menatapku. Aku bersyukur bisa menjadikannya istriku.

"Kenapa memangnya? Rasanya aku tidak akan pernah puas menatapmu, Tamaki. Kau cantik sekali. Aku mencintaimu," ucapku.

Oh, lihat! Wajahnya makin memerah. "Sudah, jangan menggodaku terus. Tamu-tamu sudah datang, kau sambut teman-temanmu saja."

"Lihat saja, nanti malam kau tidak akan bisa menghindar, Sayang," godaku. Dia memukul pundakku pelan dan pergi menemui teman-temannya yang datang hari ini.

Hari ini, aku dan Tamaki menikah, kami sudah berpacaran sekitar dua tahun lebih. Akhirnya kami memutuskan untuk menikah hari ini. Pengikatan janji suci kami dilakukan tadi pagi secara tertutup dan hanya dihadiri keluarga dekat kami. Sedangkan resepsi pernikahannya, kami adakan sore hari di sebuah kebun bunga sakura yang terletak cukup jauh dari pusat kota. Suasana di sini nyaman, karena itu kami memilih tempat ini.

"Yo, Kiba. Kau melamun?"

Tepukan pelan seseorang membuatku tertegun. Di hadapanku berdiri seorang pria dengan jasnya yang berwarna biru tua. "Naruto, kau datang rupanya?" Orang ini benar-benar terlihat berbeda dari Naruto yang aku kenal dulu.

"Tentu saja, aku sengaja meminta cuti dari rumah sakit. Semoga saja tidak ada pasien darurat yang membutuhkanku hari ini," ucapnya dengan wajah cengengesan.

Sifanya masih sama seperti Naruto, sahabatku saat SD. Tapi dia jauh lebih dewasa dan berbeda. Ya, dia terlihat sama tapi di waktu bersamaan juga terlihat berbeda. Sulit menjelaskannya.

"Kau berbicara seperti dokter sungguhan, Naruto."

Alisnya sedikit berkedut. "Aku dokter sungguhan, Kiba. Kalau kau sakit jantung, kau bisa datang kepadaku kapan saja."

"Kau mendoakanku sakit jantung, hah?! Enak saja."

Dia tertawa sekarang. Tawa yang lantang, sama seperti dulu. Tapi kenapa dia sendiri? Kenapa tidak datang bersama Sakura? Mereka berpacaran, kan?

"Ngomong-ngomong, kau datang sendiri? Sakura mana?"

Seketika itu juga tawanya terhenti. Aku dapat melihat sinar matanya juga meredup. Laki-laki itu hanya mengedikkan kedua bahunya dan melontarkan tawa yang menurutku sangat dipaksakan.

"Waw, coba lihat, bukannya itu Idate? Aku pergi ke sana dulu," ujarnya sambil menepuk pundakku. "Ah, benar, aku melupakan sesuatu."

Aku diam saja sambil memperhatikan Naruto yang merogoh saku jasnya. "Ini hadiah dari ibuku. Gara-gara undangan pernikahanmu ini, aku benar-benar kena omel dari dia."

Di tanganku sudah ada sebuah amplop putih yang diberikan Naruto. Ada dua buah tiket liburan di dalamnya.

Cengiran jahil terpampang di wajah laki-laki bermarga Uzumaki itu. "Untuk bulan madumu, semoga kau senang."

"Ucapkan terima kasihku untuk ibumu. Kau juga cepatlah menikah, Naruto," ucapku setengah berteriak karena ia sudah berjalan menjauh.

Dia hanya tertawa terpaksa seperti tadi. Ada apa dengan dia? Anehnya, aku tidak melihat dia bersama Sakura. Padahal berita terakhir yang aku dengar, mereka masih berpacaran. Mungkin mereka bertengkar. Ya ampun, seharusnya mereka segera menikah saja. Kalau diingat-ingat, aku benar-benar kesal dulu saat mengetahui mereka berpacaran. Karena bisa dibilang aku menyukai Sakura sejak kecil.

Tapi takdir berkata lain. Kata-kataku terdengar melankolis sekali. Yang terpenting, sekarang aku sudah bahagia bersama wanita yang kucintai sekaligus wanita yang juga mencintaiku. Aku mengerling ke arahnya, dia tersenyum ke arahku sejenak dan kembali melanjutkan obrolannya dengan sahabat-sahabatnya.

.

.

.

Hari beranjak semakin sore dan hampir malam. Matahari terbenam benar-benar terlihat indah. Apa ini efek dari bahagia yang aku rasakan? Kenapa semuanya terlihat sangat indah hari ini?

Dan pasangan kekasih yang sedang menuju ke arahku juga terlihat sangat indah dan serasi. Si pria yang tampan dan dingin, sedangkan wanitanya terlihat sangat anggun. Ah, pasangan dari keluarga terhormat memang terlihat berbeda.

"Tidak sia-sia aku memberitahumu tentang pernikahanku lebih dulu, Sasuke. Aku bisa melihatmu datang hari ini," ujarku mengingat saat aku mengganggunya di hari kerja hanya untuk memberitahunya untuk datang ke pesta pernikahanku. Padahal saat itu aku belum menentukan tanggal pernikahannya.

"Hn, aku pasti akan meluangkan waktuku, Kiba. Kau tidak perlu membuang-buang waktuku dulu," geramnya.

"Selamat untuk pernikahanmu." Gadis yang berdiri di sebelahnya berucap pelan ke arahku.

Aku menyambut uluran tangannya. "Terima kasih, Hinata. Terakhir kali kita bertemu itu saat upacara pertunangan kalian. Apa kau ingat?"

Gadis itu tersenyum. "Tentu saja aku ingat," ucapnya kalem. "Saat itu kau masih menjadi asisten Sasuke, kan?"

"Haha ... benar, benar. Tapi sekarang tunanganmu ini sudah meninggalkanku dan menjadi pengacara terkenal sendirian."

Bahkan tanpa melihat ke arahnya, aku tahu kalau Sasuke sedang menatapku tajam saat ini. Dia benar-benar menyeramkan kalau sedang merasa terganggu.

"Bagaimana kalau kuantar ke dalam?" tawarku dan membawa mereka semakin ke dalam.

Kalau aku berbicara mengenai mereka berdua ... sebenarnya mereka sangat serasi. Terlepas dari fakta kalau sebenarnya mereka berdua dijodohkan. Aku mengetahuinya baru-baru ini sebenarnya, awalnya aku pikir mereka tidak dijodohkan. Mereka terlihat sangat bahagia di acara pertunangan mereka.

Aku menarik pelan Sasuke ke arahku. "Hei, bagaimana hubunganmu dengan Hinata? Berjalan lancar?" bisikku pelan.

Pria itu tersenyum kecil. "Kurasa."

"Kau harus berterimakasih padaku. Itu semua berkat saranku, kan?" ucapku bangga. Aku dulu sempat frustasi dengan hubungan mereka ini. Selama tiga tahun, mereka berstatus tunangan tapi layaknya orang yang tak saling mengenal.

Sasuke menyodok perutku, "Jangan terlalu percaya diri. Ini semua karena Hinata, bukan dirimu," ucapnya dan berlalu meninggalkanku.

Dasar, gengsinya tinggi sekali. Memang apa susahnya mengucapkan terima kasih padaku?

"Hei, Sasuke, kau harus cepat menyusulku. Jangan membuat tunanganmu lama menunggu!" teriakku yang kemudian dihadiahi sebuah delikan olehnya. Sedangkan gadis yang menjadi tunangannya hanya berdiam diri tanpa menoleh ke arahku. Mungkin dia malu mendengarnya.

Pasangan yang lucu sekali. Kuharap hubungan mereka berjalan baik.

.

.

.

"Kiba, ada yang mencarimu," ucap kakakku tiba-tiba saat aku sedang berbicara dengan teman-teman kantorku.

"Eh? Sia—" ucapanku terhenti saat melihat wanita berambut merah muda itu berada di depanku. "Waw, kau terlihat sangat ... yah, bagaimana aku menjelaskannya ya?"

"Aku terlihat cantik? Begitu maksudmu?" tanyanya jahil sambil menyelipkan rambutnya ke daun telinganya.

"Kau memotong rambutmu? Kurasa kau lebih cocok dengan rambut panjangmu, Sakura."

Gadis itu tertawa pelan, "Tuntutan peran, Kiba."

Inilah Haruno Sakura, cinta pertamaku. Tapi sekarang, dia hanya salah satu dari sekian banyak temanku.

"Hei, jangan sampai cinta pertamamu bersemi kembali," ujar kakakku tiba-tiba kemudian pergi menjauh. Dia suka sekali mengucapkan hal yang tidak perlu diucapkan.

"Kakakmu lucu sekali, Kiba. Ngomong-ngomong, selamat atas pernikahanmu. Ah, kebetulan aku punya dua tiket pertunjukkan opera," ujar gadis itu sambil memberikan tiket itu kepadaku. "Ajak istrimu, aku yakin dia akan suka."

"Kau yang bermain?" tanyaku. Karena temanku yang sangat pintar ini adalah seorang aktris panggung. Dia hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. "Tapi, pentas ini di Konoha? Bukannya kau bekerja di Suna?"

"Aku baru saja pindah, perusahaanku membuka cabang di sini. Aku salah satu aktris yang pindah kemari," sahutnya menjelaskan.

Kebetulan sekali aku bertemu dengannya. Aku benar-benar penasaran dengan hubungannya. "Kenapa kau tidak datang dengan pacarmu? Kalian bertengkar?"

Mata hijaunya sedikit membesar mendengar pertanyaanku. "Eh? Pacar?"

Aku bisa melihat ada semburat merah di wajahnya. "Iya, benar, pacarmu, si Naruto. Kenapa kalian datang sendiri-sendiri?"

Aku sedikit terkesiap dengan perubahan wajahnya. Dia terlihat sedikit meringis. "Naruto? Dia datang ke sini ya?"

Saat itulah aku sadar ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Kenapa aku bisa tidak tahu apa-apa. "Jangan bilang kalian ...,"

"Kami sudah putus, Kiba. Empat tahun yang lalu," ucapnya dengan senyum paksa. Senyum yang sama dengan yang ditunjukkan oleh Naruto tadi.

Seketika itu juga aku kehilangan kata-kata. Apa yang harus aku katakan? Padahal aku benar-benar mengharapkan bisa menerima undangan pernikahan dari mereka berdua. "Oh? Aku tidak ...,"

"Sudahlah, Kiba. Itu sudah lama berlalu. Aku tidak memikirkannya lagi," ucapnya.

Kenapa aku merasa kalau dia belum melupakan hal itu. Wajahnya masih menunjukkan rasa sakit. "Ah, begitukah? Kalau begitu, silahkan nikmati makanan di sini, Sakura."

"Tentu, tentu, Kiba. Aku ingin mencari istrimu dulu. Aku ingin lihat gadis seperti apa yang mau hidup dengan seorang Inuzuka Kiba."

Aku rasa dia sedang mengejekku sekarang. Sial, dia benar-benar aktris yang hebat, kan? Padahal tadi aku masih bisa melihat wajahnya yang suram tapi sekarang dia sudah terlihat sangat bahagia.

.

.

.

Arlojiku sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sang pemandu acara memintaku dan istriku naik ke atas panggung untuk mengucapkan penyambutan.

Selagi istriku berbicara. Diam-diam, aku melihat satu per satu tamu undangan dari atas panggung. Teman-temanku yang sudah aku kenal sejak kecil, teman-temanku yang sudah menikah lebih dulu dariku dan datang kemari sambil membawa anak mereka, juga teman-teman kantorku.

"Nah, sekarang penyambutan dari pengantin pria," ujar sang pembawa acara.

Aku berdehem sekali sebelum mengambil mikrofon dan mulai berbicara. "Aku ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran kalian semua di acara bahagia kami ini," ucapku sedikit gugup.

"Terima kasih atas semua doa kalian, aku harap aku dan istriku bisa hidup bersama sampai kami menjadi kakek nenek dan hingga maut memisahkan kami."

Aku bisa mendengar tarikan napas dari istriku. Wajahnya terlihat sangat bahagia dan begitu lega. Aku juga bahagia, Sayang. Sangat bahagia.

Sebelum mengucapkan kalimatku yang terakhir, aku melihat kembali ke arah semua tamu yang datang. Aku tertegun saat melihat Sasuke yang sedang berbicara dengan Sakura. Ternyata mereka saling kenal rupanya. Dunia begitu sempit bukan? Tapi rasanya hubungan mereka tidak terlalu baik, karena saat berbicara wajah mereka saling mendelik. Seperti orang yang sedang melempar cacian satu sama lain.

Uh, oh? Ada apa ini?

"Lalu, kemudian ...,"

Aku menghentikan ucapanku kembali saat mataku menangkap hal aneh lagi. Naruto mengenal Hyuuga Hinata? Bagaimana bisa Naruto mengenal orang dari keluarga konglomerat seperti itu? Dan anehnya mereka terlihat sangat akrab. Mereka saling tertawa satu sama lain. Belum lagi, wajah Hinata terlihat sangat bahagia dengan semburat merah tipis yang ada di wajahnya.

Aku tersenyum pelan melihat pemandangan itu. Memang tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, kan? Mungkin takdir menyiapkan suatu rencana yang lebih menyenangkan bagi mereka.

"Kemudian ... aku juga berharap agar semua yang hadir di sini juga bisa hidup bahagia sama sepertiku. Aku juda berdoa demi kebahagian kalian ... dengan sangat tulus."

Aku benar-benar mendoakan kalian semua yang hadir di sini. Terima kasih karena sudah mendoakanku. Kuharap kebahagiaan kalian segera datang ke hidup kalian masing-masing.

.

.

.

Prolog -END-

A/N: Ini proyek terbaru dari saya setelah sekian lama hiatus hehe :) Semoga MC ini bisa selesai cepat ya dan semoga banyak yg suka juga. Ini masih prolog, ceritanya gak jelas kan? Tenang aja, masih prolog kok. Untuk lebih jelasnya, tunggu chapter satunya dan chapter-chapter selanjutnya ya~~~

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih bagi yang sudah membaca. Jangan lupa buat ninggalin komentar kalian di kotak review yaaa :) Sampai jumpa di chapter selanjutnya...