Err...

Masih ada kah di antara para Reader yang mengingat Cyaaz?

#plak

Jelas diinget ya, Author banyak utang begini...

Hahaha.

Dan yah, bukannya tutup lubang, Cyaaz malah mau menggali lubang yang baru.

Kemarin udah janji mau publish hari ini, semoga kalian menyukainya.

Hehe.

Selamat membaca ya, ini adalah hasil dari kegagalan move on Cyaaz dari AsuCaga.

Hicks...

Warning!

Sering ada flashback dan lain-lain tanpa adanya peringatan.

Disclaimer: Kalau Cyaaz yang bikin dan punya GS/D, udah Cyaaz bikin Happy ending thu AsuCaga (Setelah puas nyiksa Athrun), DM, SS dll.

Life and Fate

Chapter 01

"Hahahaha."

Sore ini, di bawah naungan sebatang pohon yang rindang... Sepasang remaja aedang menikmati waktu mereka dengan duduk bersantai diiringi canda, keduanya terlihat begitu gembira, begitu menikmati kebersamaan yang menyenangkan ini. Keduanya mnyandarkan punggung mereka di batang pohon yang kokoh, menatap langit yang mulai menguning dengan senyum terukir di wajah.

"Hey..." seorang gadis di antara sepasang remaja tadi membuka suara aetelah beberapa saat keduanya terdiam menikmati alam.

"Hmm?" pemuda di samping gadis itu merespon dengan suaranya yang lembut.

"Besok..." gadis itu duduk tegap, tidak menyandarkan dirinya pada batang pohon lagi. ia sedikit tertunduk, kedua tangannya yang sedikit berkeringat ia kepalkan di lututnya. "Ada waktu tidak?"

Pemuda yang diajak bicara sempat terheran dengan perilaku gadis itu yang mendadak jadi aneh. "Ada waktu untuk apa?" ia memperhatikan sosok gadis itu dengan lebih seksama, namun ekspresi wajahnya tak terlihat.

"Aku..." jantung gadis itu mendadak berdebar kencang. "Um, besok aku..." ia merasa gugup, ia perlu menghirup dan menghela nafas panjang sebelum akhirnya kembali bicara. "Aku ingin pergi ke FantasyLand..."

"..." pemuda di samping gadis itu hanya terdiam, suara gadis itu nyaris tak terdengar karena diucapkan dengan suara rendah.

"Kira?" karena si pemuda tidak kunjung menjawab, gadis itu pun menoleh dan memanggil nama lawan bicaranya. "Kau dengar tidak?" ia bertanya dengan raut wajah yang kesal, tapi juga merona.

"Eh?" Kira, pemuda yang diajak bicara akhirnya tersadar dari lamunannya. "Ah, iya... FantasyLand kan?" ia tersenyum kikuk sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Tapi..."

"Tapi apa?"

"Aku bingung, tadi itu ajakan atau kau hanya memberitahuku tentang keinginanmu untuk pergi ke sana?" tanya Kira, sebenarnya ia tahu jawabannya namun ia tetap bertanya.

"Ugh, tentu saja ajakan, bodoh!" Kira mendapat jitakan di kepala akibat pertanyaannya tadi. "Apa aku harus mengucapkannya secara gamblang, baru kau mengerti?" wajah gadis yang kini melipat tangannya di depan dada kian memerah.

"Aduh..." Kira mengusap kepalanya. "Iya, iya... Aku kan bercanda..." ia tersenyum menatap sosok gadis menggemaskan di hadapannya.

"Huh, jadi...?"

"Hmm?" Kira mendapati lawan bicaranya menatap dirinya. "Ya, tentu saja."

"Eh?" lawan bicara Kira terkejut. "U-um, maksudmu, kau..."

"Iya," ucap Kira dengan tegas. "Besok kita pergi berdua ke FantasyLand, oke?" ia mengusap kepala lawan bicaranya yang terlihat masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Aah, hentikan!" tangan Kira ditepis. "Jangan perlakukan aku seperti anak kecil begitu."

Kira tertawa geli mendapati tingkah laku lawan bicaranya. "Maaf..." ia merapikan rambut si gadis yang tadi berantakan karena ulahnya. "Kau memang bukan anak kecil, kau adalah seorang gadis yang sangat manis," kini ia mencubit pipi gadis itu. "Kau menggemaskan, Cagalli."

"Kira!" Cagalli, gadis yang sejak tadi menjadi lawan bicara Kira menjerit. "Sakit, bodoh!" pipinya merah, entah karena dicubit atau karena malu. "Aku tidak manis, apalagi menggemaskan!"

Lagi-lagi Kira tertawa, kali ini lebih keras. "Terserah apa katamu."

"Eh?" Cagalli heran, ia memperhatikan Kira.

Biasanya Kira tidak akan melewatkan kesempatan untuk berdebat dengannya biar hanya sekali, pemuda berambut cokelat itu selalu memanfaatkan kesempatan untuk dapat menjahili dan memojokkannya. Baru kali ini Cagalli mendapati Kira mengalah dan mengatakan "Terserah" padanya, biasanya perdebatan akan berlangsung lama dan dimenangkan oleh Kira.

"Hey, Cagalli," Kira membuyarkan pemikiran panjang Cagalli. "Hari ini sampai di sini dulu ya."

"Eh?" kini Cagalli kembali terheran, Kira tiba-tiba bangkit dan berdiri tegap."Kau mau ke mana?"

Kira tersenyum sambil menatapnya. "Mendadak ada yang harus kulakukan."

Cagalli ikut berdiri. "Apa?" ia menatap curiga pada Kira. "Main video game dengan Tole?"

"Tentu saja bukan," jawab Kira. "Ini lebih penting dari itu."

"Hmm?" Cagalli masih tidak puas dengan jawaban Kira. "Mencurigakan..."

Kira tertawa kecil. "Pokoknya besok temui aku jam 10 di halte bis dekat rumah ya?"

Cagalli mengangguk. "Ya, baik lah... Jangan terlambat, atau aku akan memberimu hukuman."

"Hahaha," Kira tertawa gugup. "Iya, aku janji… Aku tidak akan terlambat besok."

Cagalli mengangguk kecil sambil memejamkan mata saat mendengar jawaban dari Kira, namun sesuatu yang tak ia duga terjadi. Tiba-tiba saja ia merasakan pergelangan tangan kanannya ditarik dan bagian belakang kepalanya didorong, saat ia membuka mata...

"Aku takkan terlambat di hari sepenting besok..." ucap Kira dengan lembut, lalu pemuda itu mengecup puncak kepala Cagalli.

Deg!

Saat itu jantung Cagalli terasa berhenti, ia dapat menatap jauh ke dalam mata amethys Kira yang indah dari jarak sedekat ini. Tanpa ia sadari wajahnya kian memerah, suaranya pun tenggelam dan ia hanya bisa terdiam.

"Oke," Kira menjauh, melepaskan tangannya dari Cagalli. "Sampai besok, Cagalli," ucapnya sambil mulai melangkah pergi.

Sementara itu yang ditinggal hanya bisa meletakkan telapak tangannya di dada, merasakan detak jantung yang kian terpacu. Berbagai macam perasaan dan sensasi aneh pun ia rasakan, diiringi suatu kehangatan yang mengalir dari dadanya.

"Kira..." akhirnya suaranya keluar, setelah sosok yang diimpikan tak terlihat lagi. "Besok, akan kukatakan semuanya..."

~ Cagalli ~ (-_-) ~ Athrun ~

"Kira?"

Cagalli begitu senang saat mendapati sosok Kira yang sedang berjalan ke arahnya.

"Kau lama sekali?" gadis itu berlari kecil menghampiri Kira. "Kau bilang kau tidak akan terlambat, tapi ini sudah lewat 3 jam."

Kira menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia melakukan kesalahan dan meminta maaf. "Maaf, aku membuatmu menunggu ya?" ucap Kira. "Tapi, aku tidak terlambat kok..."

"Tidak terlambat apanya?" Cagalli meletakkan tangannya di pinggang dengan penuh emosi. "Kau tahu, ini sudah jam-."

Cagalli tiba-tiba terhenti, matanya membulat ketika melihat sosok Kira di hadapannya perlahan mulai menghilang. Sedikit demi sedikit, tubuh pemuda itu berubah menjadi debu dan ditiup hembusan angin.

"Aku tidak terlambat..." Cagalli mendengar suara Kira. "Maafkan aku, aku tidak bisa datang karena..." kini hanya tersisa bagian kepala dan sebagian pundak Kira. "Ragaku sudah tak mampu kugerakkan lagi, Cagalli..."

~ Cagalli ~ (-_-) ~ Athrun ~

"KIRA!"

Cagalli terbangun dari tidurnya, sebuah mimpi buruk telah memaksanya keluar dari alam mimpi. Tubuhnya bergetar penuh keringat, nafas dan detak jantungnya kian memburu.

Tit tit tit tit...

Suara jam weker pun ia abaikan, pikiran dan hatinya sudah terlalu kacau untuk dikendalikan. Perlahan-lahan ia berusaha menenangkan dirinya, memeluk erat kedua lutut sambil menenggelamkan wajahnya di sana.

"Kira..." suara Cagalli terdengar lirih, begitu sedih dan memilukan. "Kenapa?" tangannya ia kepalkan, emosinya meluap. "Bukankah kau sudah janji?" air matanya menggenang, giginya ia eratkan. "Kenapa kau malah meninggalkanku sendirian?" dan akhirnya, tangis Cagalli pun pecah.

Suara tangisan gadis itu terdengar memenuhi ruangan, isakan yang memilukan pun turut terdengar. Tidak ada orang lain di dalam kamar tidur sederhana itu, hanya beberapa barang dan perabotan yang terlihat sedikit berantakan. Beberapa bola kertas tisu berserakan, sebuah kotak hadiah yang masih terbungkua rapi terbengkalai di sudut ruangan. Secarik kertas berwarna hijau berada tepat di samping hadiah tersebut, sebuah surat kecil bertuliskan...

"Untuk Kira yang aku suka."

~ Cagalli ~ (-_-) ~ Athrun ~

"Terima kasih banyak," Caridad membungkukkan badan pada tamu-tamu yang baru saja berkunjung ke rumahnya. Setelah itu ia masuk ke dalam rumah, membereskan gelas-gelas di ruang tamu dan menyisihkan beberapa bingkisan yang ia dapat dari tamu-tamunya. Entah sudah berapa orang yang datang, berapa bingkisan yang ia terima, berapa lama sejak putera tunggalnya pergi meninggalkannya. Ia sama sekali tidak ingin menghitungnya, baru 3 hari sudah terasa begitu lama dan terasa begitu berat baginya.

"Ah, Cagalli..." ia mendapati salah seorang sahabat puteranya sedang mencuci piring di dapurnya. "Kau tidak perlu melakukannya, Nak."

"Tidak apa-apa, aku senang bisa membantu," ucap Cagalli sambil tetap mencuci piring. "Bibi istirahat saja, pasti lelah."

Caridad menggeleng pelan. "Bibi lebih memilih untuk tetap sibuk agar tidak terlalu sedih," ucapnya sambil mulai mengelap piring yang baru dicuci Cagalli.

Cagalli mengangguk, ia pun seperti itu. Ia berusaha keras menyibukkan dirinya belakangan ini agar dapat melupakan kesedihannya. Rasa kehilangannya begitu dalam, ia harus bekerja ekstra keras agar dapat menjalani hari-harinya dengan normal kembali. Tanpa melamun di kelas, tanpa nafsu makan yang menurun drastis, tanpa tangisan di tiap malam dan... Tanpa adanya Kira di sisinya...

"Oya, Cagalli," Caridad berhasil membuyarkan lamunan Cagalli. "Tolong ucapkan terima kasih pada Uzumi-san ya... Ayahmu sudah banyak membantu kami belakangan ini..."

Cagalli mengangguk. "Aku yakin ayah tidak keberatan, kita sebagai tetangga memang harus saling membantu kan?"

"Memang benar, tapi kalian benar-benar baik..." ucap Caridad. "Padahal kami belum lama pindah ke sini..." lanjutnya. "Baru 3 tahunan"

"Sudah 3 tahun lebih, Bi..." ralat Cagalli. "Itu sudah cukup lama." ucapnya sambil tersenyum. "Aku dan ayah bahkan sudah menganggap bibi, paman dan Kira sebagai keluarga sendiri."

Caridad tertawa kecil. "Terima kasih, Cagalli..."

Setelah itu obrolan di antara mereka pun berlanjut, sekedar obrolan santai untuk menghindarkan pikiran mereka dari perasaan sedih dan kehilangan yang siap menyergap kapan saja. Setelah selesai membantu membereskan rumah, Cagalli segera pamit dari kediaman keluarga Yamato.

Gadis berambut pirang itu rupanya tidak langsung pulang, ia hanya meletakkan tasnya di rumah dan langsung pergi lagi. Langkah kecilnya tak terhentikan oleh awan mendung yang mulai menyelimuti kota, tatapan matanya pun lurus ke depan dan tak tergoyahkan.

Setelah beberapa menit berjalan kaki dari rumahnya, ia tiba di sebuah kompleks pemakaman yang cukup luas. Tidak banyak orang yang berada dalam kompleks pemakaman tersebut saat ini, mungkin karena hari sudah sore dan ancaman hujan turun semakin jelas. Hingga tiba di sebuah makam yang baru dibuat beberapa hari yang lalu, Cagalli terhenti dan duduk bersipu di hadapan makam itu. Disentuhnya batu nisan yang masih bagus, bertuliskan nama seseorang yang sangat berharga baginya.

Menit demi menit berlalu, Cagalli tetap terdiam di tempatnya. Tatapannya sayu, meratapi kepergian sang sahabat yang begitu mendadak. Sesekali ia mengusap atau membersihkan makam dari kotoran-kotoran yang ada, sesekali ia mengepalkan kedua tangannya sambil menahan tangis.

"Kira..." akhirnya ia bicara, walau suaranya terdengar pelan. "Kau tahu... Malam itu aku sangat bersemangat..." ia mulai bercerita di hadapan makam Kira Yamato. "Aku memasak, ingin membuat bekal untuk kita," ucapnya. "Aneh ya, padahal jelas-jelas aku tidak bisa memasak... Ayah bahkan meledekku berkali-kali karena masakanku yang gagal," Cagalli menundukkan wajahnya. "Tapi entah kenapa, saat itu aku merasa harus... Aku harus bisa... Aku ingin membuatkan bekal untukmu, aku ingin kau memakan masakan buatanku," suaranya mulai lirih. "Aku berusaha keras, mati-matian aku mencoba untuk membuat nasi kare kesukaanmu," air matanya menggenang. "Dan kau tahu? Secara ajaib nasi kare-ku terasa sangat enak, bahkan ayah mengakuinya," ia mengeratkan giginya beberapa saat, berusaha menenangkan diri. "Aku sangat senang, bersemangat... Aku ingin kau memakan nasi kare itu bersamaku di FantasyLand," tubuhnya bergetar. "Tapi kenapa? Kenapa kau malah..." akhirnya air matanya menetes, bahkan mengalir deras secara tiba-tiba. "Kenapa kau malah pergi begitu saja, Bodoh!" ia menjerit, berbarengan dengan turunnya hujan. "Aku, di saat aku baru saja memutuskannya... Di saat aku ingin mengatakannya padamu, mengungkapkan perasaanku ini padamu..." Cagalli sama sekali tidak memperdulikan tetesan air hujan di sekujur tubuhnya. "Di saat aku mengharapkanmu, membutuhkanmu..." tangannya terkepal di tanah. "KENAPA?" ia mengangkat wajahnya menatap langit, mencari jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.

Apalah daya seorang Cagalli, tak ada satupun yang menjawab pertanyaan gadis malang itu. Ia hanya bisa menangis, merintih dan meneriakkan kesedihan yang ia rasakan. Ia pun merasa kesal, kesal dan menyesal karena tidak mengungkapkan perasaannya pada Kira lebih awal.

"Kira..." lagi-lagi ia memanggil nama itu dengan lirih. "Apa kau melihatku? Apa kau mendengarku?" tanyanya, ia kini tertunduk menatap bumi dan kedua tangannya yang terkepal, "Tangisan kesedihanku ini... Karena kehilangan dirimu... Aku-."

"Um, maaf?" tiba-tiba Cagalli mendengar suara tidak dikenal dari belakang, membuatnya menoleh seketika. "Apa anda tidak apa-apa?" Cagalli hanya terdiam mendapati sosok seorang pria dengan payung hitam yang disodorkan padanya, ia sudah tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya wajahnya saat ini. "Aku sedang mencari makam sahabatku yang baru saja meninggal beberapa hari yang lalu..." pria itu melirik ke batu nisan makam Kira, lalu kembali menatap Cagalli "Sepertinya... Anda mengenalnya juga ya?" ia meletakkan sebuah rangkaian bunga di makam Kira, lalu duduk di samping Cagalli sambil tetap membagi payungnya dengan gadis itu.

"Perkenalkan, namaku Athrun Zala," ucapnya. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Cagalli."

~ To be Continued ~

Yup, sekian dulu ya...

Sorry buat fans Kira, percayalah Cyaaz pun sakit saat membuat plot ini...

Jangan lupa Review ya, tunggu update-tannya dan silahkan mampir lagi.

Hehe.

thank you.