Jadi begini.

Aku punya sebuah kebiasaan. Bukan sesuatu yang macam-macam seperti kebiasaan merokok. Karena, serius, menghirup secuil asap rokok saja sudah bisa membuatku nyaris sekarat. Bukan juga kebiasaan minum alkohol. Aku tidak pernah bisa tetap sadar bahkan jika hanya meneguknya segelas kecil. Dan yang jelas, bukan kebiasaan melakukan seks bebas. Hell, aku sembilan puluh persen anak baik.

Sepuluh persennya adalah menonton video porno dan onani.

Hey, aku juga lelaki. Itu wajar, oke?

Kebiasaan yang kumaksud adalah, memanggil semua orang dengan panggilan 'sayang'. Baik, aku tahu itu konyol. Tapi, entahlah, aku tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Tiba-tiba saja itu menjadi kebiasaan untukku.

Bukan berarti aku murahan atau apa. Kebiasaan itupun juga hanya keluar jika aku sedang kesal. Jadi kalau tiba-tiba aku banyak mengucapkan kata 'sayang' pada setiap orang, itu tandanya aku sedang dalam mood yang buruk.

Kebiasaan yang kulakukan itu berlangsung cukup lama. Sekitar... dua tahun? Itu terjadi saat aku masih beradai di junior high school. Dan aku, membawa kebiasaan itu di senior high school. Sejauh itu, semua yang kulakukan tidak berdampak apapun pada kelangsungan hidupku. Hingga Jongdae—mantan pertamaku di SHS yang kini merangkap jadi sahabatku—memberi peringatan padaku agar aku mencoba berhenti melakukan kebiasaan itu.

Tapi, bukan Byun Baekhyun namanya jika aku menurutinya begitu saja.

Sampai akhirnya, kebiasaan yang kulakukan, untuk pertama kalinya, memberikan dampak padaku untuk yang pertama kalinya. Dan, dampak itu merupakan sebuah petaka.

Semua terjadi begitu saja. Berapa bulan setelah aku naik ke kelas sebelas, saat itu adalah pelajaran olahraga. Kebetulan, Heechul seonsaengnim menggabungkan kelasku—11-3—dengan kelas sebelah—11-2—untuk melakukan pertandingan sepak bola. Perwakilan dari kelasku ada sebelas laki-laki, termasuk satu orang bernama Park Chanyeol. Aku benar-benar gemas setengah mati melihat dewi fortuna yang tidak berpihak pada kelasku karena dua menit sebelum pertandingan selesai, skor kelasku tertinggal beberapa angka dengan kelas sebelah.

Aku tidak bisa lagi menahan kekesalanku, sementara tepat di saat itu, Chanyeol yang sedang menguasai bolanya. Jadi, aku berteriak tanpa menggunakan otakku, "YAH! CHANYEOL SAYANG, SEMANGAT SEDIKIT!"

Dan karena teriakan-tidak-tahu-malu itu, kemudian setiap pelajaran olahraga, Heechul seonsaengnim tidak pernah absen untuk menggodaku dengan Chanyeol.

Satu hal yang baru kuingat setelahnya—Chanyeol itu, sudah punya pacar.

Itulah yang kemudian membuatku menjadi bermusuhan layaknya anak TK dengan Chanyeol.

Hidupku merana, sementara Jongdae tertawa setan di atas penderitaanku.

.

.

.


I used to call everyone like that

Cast :
Byun Baekhyun
Park Chanyeol

Genre :
Romance, Friendship

Rated :
T

Summary :
Aku tidak pernah mengira, kalau kebiasaanku selama ini yang tak pernah kupermasalahkan, bisa menjadi sumber masalahku untuk berurusan dengan tiang kelebihan kalsium bertelinga caplang yang tidak pernah absen untuk mencari masalah denganku setiap harinya. ChanBaek/BaekYeol. Yaoi! RnR?


.

.

.

Park Chanyeol. Sebelumnya anak itu cukup akrab denganku. Kuakui, aku memiliki cukup banyak kesamaan dengannya. Tapi sejak insiden bodoh yang, berat mengakuinya, itu adalah salahku, Chanyeol yang sekarang menjadi super duper menyebalkan seperti titisan iblis.

Teman-teman sekelasku juga jadi menyebalkan semenjak insiden itu, tapi dalam konteks yang berbeda dengan Chanyeol. Si tiang itu menjadi menyebalkan karena selalu berusaha membuatku emosi, sementara yang lain menjadi menyebalkan karena mereka juga sama saja dengan Heechul seonsaengnim—menjodoh-jodohkanku dengan Chanyeol.

Tapi serius, Chanyeol benar-benar menyebalkan. Aku bisa saja menceritakan semuanya, tapi mungkin hingga Tuhan mencabut nyawaku pun aku masih kekurangan waktu untuk menjelaskan betapa menyebalkannya dia.

Pernah suatu ketika, adalah giliranku untuk menjabat sebagai ketua kelas. Kelasku memang agak unik—sebenarnya, aneh—karena ada sistem yang mengharuskan bahwa ketua kelas diganti perminggu secara urut absen. Dan, itu hanya berlaku untuk kelasku. Alasannya simple, hanya karena tidak ada satupun yang mau untuk menjadi ketua kelas, lalu ide ini terlintas begitu saja dan dirasa ide ini menjadi pilihan yang paling adil. Entah ide dari siapa.

Karena itu, wali kelas selalu kebingungan untuk memanggil siapa ketika ada keperluan karena ia bahkan tidak tahu siapa yang menjabat menjadi ketua kelas di tiap minggu.

Oke, kembali ke cerita. Jadi, kebetulan aku menjabat sebagai ketua kelas tepat ketika minggu itu adalah waktu terakhir untuk membayar study tour ke Jeju. Aku sedang meminta perhatian teman-teman sekelas namun mereka terlalu berisik, yang berdampak buruk pada kesabaranku yang memang sependek tinggi badanku—ugh. Karenanya, aku yang sebal berteriak secara reflek, "Sayang-sayangku yang bawel, diam!"

Setelahnya, kelas memang jadi senyap. Tapi Chanyeol tiba-tiba mendecih dan dengan seenak jidatnya dia mengataiku. Tanpa perasaan. "Ouh, lihat si murahan itu sedang mengemis perhatian."

Sumpah. Rasanya aku ingin sekali menggeplak wajahnya, kemudian mencubit bibirnya ganas sampai bibir penuh dosa itu terlepas dari empunya dan kemudian membakarnya di tong sampah, lalu aku akan—oke, cukup. Memikirkannya membuatku mendadak menjadi sebelas dua belas seperti psikopat.

Kalau kalian berpikir aku akan berlari ke kamar mandi, menangis meraung-raung di depan cermin wastafel lalu bunuh diri, oh maaf sekali, Byun Baekhyun bukanlah anak mami seperti itu. Perkataan si tiang itu memang tidak pernah disaring—berkali-kali aku menahan diri untuk menyumpal mulutnya dengan saringan jus—tapi aku sudah terlampau kenyang hati dengan semua kata-katanya.

Tentu saja, kalian tahu apa itu fungsi mulut. Jadi, memanfaatkan mulut pemberian Tuhan ini dengan baik, yang kulakukan selanjutnya adalah balas mengatainya.

"Heh, tiang listrik, memang kau lebih baik dariku? Ha? Kau bangga dengan dirimu? Setelah berpuluh-puluh perempuan yang kau ajak kencan kemudian kau campakkan itu? Playboy sialan!"

Dia menyeringai seperti seorang bajingan paling sialan yang pernah kukenal. "Kalau iri bilang saja, cebol. Kau ingin punya pacar cantik dan dikelilingi banyak perempuan kan? Sepertiku?"

Bibirku bergetar saking inginnya aku berjalan ke arahnya dan meludahi wajahnya yang tampan—coret—jelek itu. Namun karena aku masih punya sesuatu yang disebut belas kasihan, maka yang kulakukan hanyalah kembali mengatainya. "Menjijikkan sekali ingin menjadi dirimu."

"Lebih menjijikan lagi dengan memanggil semua jenis manusia dengan sebutan sayang untuk mendapat perhatian." Chanyeol membalas cepat dan hanya dalam satu tarikan nafas. Aku tidak bisa menahan diri untuk mendengus, "Duh, itu lebih baik daripada menghancurkan perasaan banyak orang."

"Kau pikir dengan memanggil sayang pada semua orang itu tidak disebut sebagai memberi harapan palsu?" Dia memutar bola mata dengan cara paling menjengkelkan yang pernah ada. Mataku memicing tepat ke matanya, "Setidaknya itu lebih baik daripada caramu mencampakkan mereka."

"Apa? Aku tidak—"

"Heh, kau memang—"

"Tidak, kau lebih—"

"Maaf saja, setidaknya aku—"

Bertengkar dengannya membuat emosiku terkuras habis, tapi herannya aku bisa meladeninya hingga setengah jam. Mungkin, pertengkaranku dengannya saat itu bisa berlanjut sampai esok hari tanpa kusadari, kalau saja Kyungsoo yang duduk paling dekat dari tempatku berdiri segera membungkam mulutku dan membuatku kembali tersadar apa yang harusnya aku lakukan.

Akhirnya aku mengalah dalam pertengkaran kami, mengabaikannya yang tersenyum kemenangan layaknya iblis, dan mencoba fokus dengan tugasku sebagai ketua kelas.

Contoh lainnya lagi adalah saat kerja kelompok. Saat itu adalah pelajaran matematika dan Kim Seonsaengnim meminta kelas kami untuk membagi dalam sepuluh kelompok. Penentuan anggota kelompok dilakukan dengan berhitung, dan sialnya aku berada dalam satu kelompok yang sama dengan Chanyeol bersama Luhan.

Kim Seonsaengnim menyuruh setiap murid berkumpul dengan kelompoknya masing-masing, yang membuatku dengan berat hati melangkahkan kaki kepada Luhan dan Chanyeol. Mereka berdua sudah lebih dulu memilih tempat di pojok belakang.

Wow, tempat yang strategis untuk membuatku beradu mulut dengan Chanyeol.

Kalau kalian berpikir aku terlalu berlebihan, kalian salah. Karena tepat aku sampai di hadapan mereka, Luhan tersenyum dengan cara paling menyebalkan yang pernah kulihat dan aku tahu aku tidak akan berhenti mengumpat setelah ini. "Oh, silakan duduk di samping pangeranmu, tuan putri Baekhyun."

"Diamlah, cantik." Aku menahan diri untuk mengeluarkan sebuah seringai ketika melihat wajah Luhan yang mulai memerah. Aku tahu, dia paling benci dipanggil cantik. Dan dengan wajah yang menahan amukan, Luhan membalas perkataanku. "Kau juga cantik bodoh."

Belum sempat aku membalas ucapan Luhan, sebuah suara khas om-om sudah menyelaku lebih dulu. "Jangan duduk-duduk dekatku cebol."

Kepalaku mendadak pening. Ya Tuhan, kerja kelompok ini bahkan belum dimulai dan aku sudah mendengar dua kata keramat yang paling kubenci—cantik dan cebol. Oh, aku baru sadar kata keramat yang kubenci semuanya berawalan dari huruf c. Cantik, cebol, dan satu lagi.

Chanyeol.

Semudah Chanyeol menggunjingku, semudah itu pula emosiku tersulut. Aku melirik tajam pada Chanyeol yang menatapku seolah-olah aku adalah anjing yang harus dihindari—karena dia alergi anjing. Hey, aku tidak terlihat seperti tahu banyak tentangnya, kan?

Lupakan. Lagipula, ngomong-ngomong, kuakui wajahku memang mirip puppy.

"Cih, jangan terlalu percaya diri, sialan. Aku tidak sudi dekat-dekat denganmu."

"Oh, baguslah," Chanyeol menyeringai dan demi apapun aku membenci bibir penuh dosa itu, "aku juga alergi dekat-dekat dengan manusia murahan sepertimu."

Aku mendengus keras-keras. "Berhenti mengataiku murahan, dasar iblis."

Tentu saja dia membalasku dengan senang hati, "memang kenyataannya begitu, kan, pendek?"

"Oh ya Tuhan," aku menggeram sebal, "aku baru tahu ada tiang listrik bawel seperti ini."

Chanyeol mendelik ke arahku, dan aku balas menyeringai. Tapi kata-katanya selanjutnya membuatku nyaris muntah di tempat. "Mana ada tiang listrik tampan sepertiku? Tolong otaknya dipakai sedikit."

"Ewh."

"Iri bilang saja."

"Tidak akan pernah, setan."

"Jangan suka berbohong, babi."

"Apa kau bilang?!"

"Apa?"

"Berhenti menghinaku!"

"Itu kan kenyataannya!"

"Heh, kau—"

"Apa-apaan—"

Aku mendengar Luhan menyela, "teman-teman, kalau kalian ingin selamat, maka diamlah sekarang juga."

Tapi tentu saja, sekali lagi kukatakan bahwa aku bukanlah orang yang akan menurut dengan mudah. Chanyeol juga sama saja keras kepalanya, sehingga Luhan sama-sama kami abaikan dan kami masih sibuk mengabsen seluruh isi kebun binatang yang ada sampai tarikan di telingaku menghentikan segalanya.

"Aw! Yah, siapa—"

Otomatis aku mengerem kalimatku ketika mataku menangkap wajah murka Kim Seonsaengnim di sampingku. Mataku perlahan beralih ke arah Chanyeol, dan kulihat dia juga bernasib sama sepertiku. Telinga ditarik dan mulut menahan erangan.

"Kalian," Kim Seonsaengnim tersenyum, tapi aku tahu itu adalah pertanda buruk. "BERSIHKAN TOILET SEKARANG JUGA!"

Memang. Selain berbakat membuatku emosi, Park Chanyeol juga paling berbakat untuk membuatku tertimpa sial.

Yah, itu semua adalah sebagian kecil bagaimana menjengkelkannya seorang Park Chanyeol itu. Bagiku, Chanyeol tak lebih dari sesosok iblis paling memuakkan yang pernah ada. Sudah menjengkelkan, tukang menghina, hidup lagi.

Aku membencinya. Sungguh. Dari skala satu sampai sepuluh, kebencianku padanya berada di skala seratus. Yang berarti—aku sangat membencinya. Meski aku tahu semua sifat sialan Chanyeol itu berasal dari kesalahanku, tapi entahlah. Kukira caranya menghinaku sudah lebih dari batas wajar.

Tidak ada yang bisa kulakukan dengan sifat menjengkelkan Chanyeol selain balas memakinya. Setidaknya itu satu-satunya hal yang bisa membuatku sedikit lega untuk saat ini.

Astaga, memikirkan tentang betapa menjengkelkannya Park Chanyeol membuat jam tidurku terpangkas saja.

Aku melirik ponsel yang tergeletak di samping tubuhku. Layarnya yang menyala menunjukkan pukul sebelas malam lebih sebelas menit. Menghela nafas sejenak, aku mematikan layar ponsel dan meletakkannya di meja dekat ranjang sebelum akhirnya menyamankan tubuhku sendiri di atas kasur.

"Tuhan, tolong buat aku dan Chanyeol akur kembali seperti semula."

Dan seiring dengan doa yang selalu kupanjatkan setiap malam itu hilang ditelan angin, mataku perlahan menutup.

.

.

.

Kelasku sedang pelajaran olahraga. Seperti biasa, kami melakukan pemanasan sekitar lima belas menit, lalu berlari mengelilingi lapangan hingga tiga kali putaran. Aku memang tidak begitu suka olahraga, terlebih aku benci berkeringat, jadi saat berlari setelah putaran pertama, aku sudah ngos-ngosan.

Sebenarnya aku tidak selemah itu, tapi kurasa aku sedikit demam hari ini dan kepalaku terasa berat. Mungkin karena kemarin aku sempat kehujanan, itu membuat daya tahan tubuhku turun. Apalagi aku adalah tipe orang yang tidak tahan dengan dingin.

Tiba-tiba aku mendengar suara derap kaki yang mendekat, dan dari ekor mataku aku dapat mengetahui seseorang hendak menyalipku. Ketika dia tepat di sampingku, dengan cepat aku menarik lengannya dan melingkarkan tanganku pada lengan kirinya.

Bukan apa-apa, aku hanya tidak suka berlari sendirian. Dan setahuku tadi aku berada di barisan paling akhir. Teman-temanku nyaris menyelesaikan putaran ketiga sementara aku bahkan belum menuntaskan putaran kedua. Maka dari itu, begitu mengetahui ternyata masih ada seseorang di belakangku, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Tapi rasa senangku tidak bertahan lama.

Karena kita aku menoleh, orang yang baru saja kutarik hingga nyaris terjungkal itu adalah orang yang benar-benar di luar dugaanku.

Aku melongo untuk lima detik, begitupun dia. Dan yang bisa kukatakan selanjutnya adalah, "what the fuck."

"Apa masalahmu, pendek?" Chanyeol—ya, dia yang baru saja kutarik—menggeram dengan wajah memerah. Aku mengalihkan pandanganku ke depan, sementara tanganku bergerak turun untuk mencengkram pergelangan tangannya.

Aku masih punya malu untuk tidak menggenggam langsung tangannya, ngomong-ngomong.

"Tolong temani aku." Aku bergumam sembari menarik tangan Chanyeol bersamaku untuk berjalan. Kulirik Chanyeol sekilas, dan kudapati alisnya yang terangkat sebelah. Sedetik kemudian, tawa menggelegar keluar dari mulut Chanyeol. Membuatku refleks melepaskan cengkraman tanganku pada pergelangan tangannya dan tanganku bergerak untuk menggeplak punggungnya keras-keras.

Sejujurnya aku ingin menggeplak kepalanya tapi apa daya tubuhku terlalu... mungil.

"Biasa saja, bodoh! Tidak usah berlebihan seperti itu bisa?" Gerutuku dan Chanyeol masih tertawa, meski tidak sekeras tadi. Aku memejamkan mata sejenak. Setidaknya bertengkar dengan Chanyeol jauh lebih baik daripada aku harus berjalan sendirian.

Setelah tawanya cukup reda, Chanyeol mulai berbicara. "Hah? Apa? Apa aku baru saja mendengar Byun Baekhyun minta tolong?"

Aku memutar bola mataku dan hendak menyahut, tapi Chanyeol mendahuluiku. "Aku baru tahu kau bisa semanja ini, astaga. Makanya, babi, punya badan jangan kependekan. Jadi susah lari, kan?"

Chanyeol terkekeh, sementara aku mendengus dengan tangan terkepal—mencoba untuk tidak menggeplaknya lagi. "Duh, mengaca dulu sebelum berbicara, caplang. Kau bahkan berada di belakangku tadi."

"Hey, itu karena tadi aku disuruh mengembalikan matras! Makanya aku tertinggal." Chanyeol memprotes dengan cepat. "Setidaknya aku bisa nyaris menyalipmu kalau saja kau tidak menahanku. Aku tidak lamban sepertimu."

"Aku tidak selamban itu!" Aku meliriknya sengit yang dibalasnya dengan tatapan meremehkan. Kemudian aku berdecak sebelum melanjutkan kalimatku. "Karena aku sedang sakit saja."

Dari sudut mataku, aku dapat melihat Chanyeol yang menoleh ke arahku dengan tatapan tidak yakin. "Tidak usah beralasan, deh."

Aku mendecak sebal, "tidak ada gunanya juga aku berbohong."

Sejenak kemudian, Chanyeol menghentikan langkah kakinya. Itu membuatku otomatis ikut berhenti melangkah dan aku menoleh untuk mendapatinya yang telah menghadapkan tubuhnya ke arahku. Aku mengerutkan dahi. "Apa?"

Chanyeol menatapku, dalam. Berbulan-bulan sudah aku berada di dalam kelas yang sama dengan Chanyeol, baru kali ini aku menemukan tatapan Chanyeol yang seperti ini. Oh, tentu saja, karena setiap hari ia tidak akan menatapku selain dengan tatapan mengejek.

Perutku terasa bergejolak karena tatapan Chanyeol padaku. Ini bukan seperti ketika aku mual atau diare. Gejolak di perutku terasa... asing. Tapi bukan berarti itu buruk. Hanya, aneh saja. Dan menjadi lebih parah ketika aku menyadari kepalanya mendekat ke arahku.

Aku menelan ludah dan mencoba untuk memundurkan kepalaku, tapi seperti Chanyeol sudah dapat memprediksi pergerakanku, sebelah tangannya bergerak cepat untuk menahan belakang kepalaku. Karena perbedaan tinggi badan kami, aku terpaksa mendongak untuk melihat wajah Chanyeol yang menunduk. "Tiang, jangan macam-macam padaku."

Bisa kurasakan sebuah bulir keringat menetes di pelipisku. Kali ini jantungku yang terasa aneh. Degupannya tidak biasa. Hey, aku masih tujuh belas tahun. Aku tidak mungkin punya kelainan jantung atau sesuatu, kan?

Sementara aku panik, Chanyeol masih membungkam mulutnya. Wajah kami semakin berdekatan dan sedetik kemudian dapat kurasakan sejuknya dahi Chanyeol menyentuh dahiku. Aku membuang tatapanku menuju ujung sepatuku yang sedikit kotor terkena tanah. Pemandangan itu lebih menenangkan daripada wajah Chanyeol yang nyaris menempel dengan wajahku.

Bukan berarti Chanyeol buruk rupa sehingga aku tidak bisa menatapnya. Dia tampan, hanya saja—oh, sial. Aku tidak seharusnya memuji musuhku sendiri seperti itu. Tidak, tidak. Lupakan saja apa yang kukatakan.

Setelah beberapa saat penuh kecanggungan—dan kupikir aku akan kehilangan ciuman pertamaku saat itu juga—akhirnya Chanyeol menjauhkan kepalanya. Aku mengerjap-kerjapkan mataku, menatapnya pias, dan kemudian Chanyeol menyeringai. "Apa? Kau mengharapkan aku menciummu? Maaf ya, jangan kecewa. Aku sudah punya pacar, ingat?"

Aku tercenung sejenak, namun sedetik kemudian aku mendelik. "Hah? Najis, siapa juga yang mengharapkannya."

Chanyeol tertawa selama beberapa saat, lalu kembali menatapku. "Baiklah, kau tidak bohong. Kau panas sekali seperti kompor. Dan aku heran bagaimana bisa kau masih menjengkelkan ketika sakit."

Aku terkekeh pelan—tidak bisa tertawa karena jika aku tertawa maka pusing yang menderaku akan bertambah parah—dan menyeringai ke arah Chanyeol. "Jangan bermain-main denganku, caplang."

"Dasar bodoh." Chanyeol menggumam dan tangannya terangkat untuk menjitakku. Sungguh, jitakannya jauh dari kasar, tapi entah bagaimana itu menyakitiku hingga ke otak. "Akh!"

Pusing yang menderaku benar-benar tidak lagi bisa dikatakan manusiawi, dan mataku terasa berkunang-kunang. Di hadapanku, raut wajah Chanyeol langsung berubah. "Hey, hey, Baek, kau baik-baik saja?"

"Aku—" mataku mengerjap sebanyak yang kubisa untuk menghilangkan pusingku, kemudian aku mendongak untuk menatap Chanyeol. "—baik."

Dapat kudengar helaan nafas Chanyeol. Aku sejenak termenung di tempat mendapati wajah khawatir Chanyeol dan itu membuatku merasa aneh. Maksudku, aku terbiasa melihat wajah menghina Chanyeol, dan melihatnya khawatir seperti ini... aneh saja.

Untuk mengusir rasa aneh itu, aku menghendikkan bahu dan berjalan lagi. "Ayo jalan lagi, Heechul Seonsaengnim bisa marah kalau kita lama."

Baru dua langkah aku berjalan, dapat kurasakan sebelah tangan menahan pergerakanku. Aku menoleh dan mendapati Chanyeol yang menatapku seolah-olah aku adalah orang paling idiot yang pernah hidup di muka bumi ini. "Kau gila? Kau mau jalan lagi dengan keadaan seperti itu?"

"Lalu aku harus bagaimana? Terbang?" aku menggelengkan kepala tak habis pikir melihat Chanyeol yang seperti itu. "Kubilang aku baik-baik saja. Ay—"

Aku menjeda ucapanku ketika Chanyeol tiba-tiba bergerak dan berjongkok di hadapanku. Sungguh, dia aneh sekali. "Kau kenapa lagi, bodoh?"

"Naik." Chanyeol memerintah, dan otomatis aku menyemburkan tawaku. Pusing itu kembali menyerang kepalaku dan mataku kembali berkunang, tapi aku mengabaikannya karena serius—aku tidak habis pikir dengan Chanyeol. "Yah, apa kau mencoba untuk bersikap romantis padaku? Ingat pacarmu."

Sebelah tanganku terangkat untuk mencengkram beberapa helai rambutku, mencoba menetralisir pusing yang menderaku. Aku mendesis dan Chanyeol menoleh untuk melihatku. "Jangan terlalu percaya diri, babi. Aku hanya tidak mau bertanggung jawab kalau kau pingsan atau sesuatu."

"Aw, aku terharu sekali." Aku berakting layaknya sedang menghapus air mata imajiner dari sudut mataku. Dan bisa kurasakan tatapan Chanyeol menajam padaku. "Ugh, cepatlah idiot. Kakiku pegal lama-lama."

Chanyeol kembali menghadap depan dan aku mendengus. "Tidak ada yang menyuruhmu menggendongku juga."

Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk menurutinya. Perlahan aku membungkuk, lalu melingkarkan tanganku di lehernya. Chanyeol dengan sigap menahan pahaku dan ia berdiri sembari membawaku di punggungnya.

"Woah," Chanyeol berucap tertahan sambil melangkahkan kakinya, "kau pendek tapi berat juga. Layaknya babi pada umumnya."

"Diamlah, brengsek." Aku bergumam dan meletakkan daguku di pundak Chanyeol. Dari tempatku aku dapat melihat Chanyeol yang tersenyum. "Bagus sekali, menghina orang yang sudah menolongmu."

Aku memutuskan untuk diam dan menenggelamkan wajahku pada ceruk lehernya. Chanyeol memang berkeringat, tapi ia tidak seperti laki-laki kebanyakan yang mengeluarkan bau tidak sedap ketika berkeringat. Dia berbau green tea, dan itu menenangkanku.

Aku tenggelam dalam wangi Chanyeol, sejenak melupakan kalau Chanyeol adalah musuhku, dan seratus persen mengabaikan fakta bahwa Chanyeol yang tadi tersenyum indah bahkan setelah kukatai.

Kami melewati toilet dan berbelok ke lorong sebelah timur, mengitari gedung aula hingga sampai di lapangan. Aku mendongak dan dapat kulihat Heechul Seonsaengnim yang tengah berdiri di dekat gawang sementara teman-teman sekelasku duduk mengelilinginya. Kurasakan langkah Chanyeol bergerak mendekati Heechul Seonsaengnim, dan aku mengernyitkan dahi. "Hey, aku masih kurang satu putaran lagi, ngomong-ngomong."

Aku mencoba untuk turun dari gendongan Chanyeol, namun Chanyeol justru menggeram dan mencubit sebelah pantatku kuat-kuat membuatku teriak. "Yah! Singkirkan tanganmu dari pantatku dasar kau mesum sialan!"

Teriakanku yang cukup keras membuat seluruh perhatian teman-temanku dan Heechul Seonsaengnim mengarah pada kami yang masih cukup jauh dari tempat mereka berada. Namun aku tidak peduli karena keperawanan pantatku lebih penting dari itu.

"Makanya berhenti bergerak dari gendonganku!" Chanyeol balas meneriakiku dan aku merengut. "Tapi aku kurang satu puta—"

"—sudah cukup untukmu. Kau sakit. Aku akan meminta ijin agar kau bisa ke UKS." Chanyeol memotong ucapanku dan aku mendelik. "Aku tidak perlu ke—"

"—diam." Chanyeol berujar final, dan tidak ada yang bisa kulakukan selain diam. Lagipula aku terlalu pusing untuk berdebat lebih lanjut dengannya. Dan kupikir, berbaring di UKS tidak terlalu buruk untuk saat ini.

Akhirnya Chanyeol kembali berjalan dan sampailah kami di hadapan Heechul Seonsaengnim. Keadaan senyap untuk beberapa saat sampai akhirnya, entah bagaimana, secara serempak temanku bersorak-sorak menggoda dan bersiul-siul sementara Heechul Seonsaengnim menyeringai di tempatnya. "Oh, lihat betapa mesranya kalian."

Dari cuitan teman-teman yang lain terdengar semacam jangan-jangan mereka sudah jadian, atau Chanyeol menang banyak, dan wah Chanyeol mulai berselingkuh.

Aku menghembuskan nafas kasar dan berbisik di telinga Chanyeol. "Yah, bungkam mereka."

Hebatnya, untuk kali ini Chanyeol tidak protes. Dapat kulihat Chanyeol yang mendelik ke arah teman-teman. "Hentikan percakapan bodoh kalian. Pacarku seribu kali lebih cantik dan seksi dari babi ini," aku mendelik mendengarnya menghinaku, namun belum sempat aku menyela, Chanyeol sudah kembali berbicara, "dan Heechul Seonsaengnim, Baekhyun sakit. Aku akan membawanya ke UKS."

Heechul Seonsaengnim menggangguk. "Baiklah, akan kuijinkan. Kau sekalian juga akan kuijinkan, jaga pacar barumu ini saja."

"Aish, Heechul Seonsaengnim, aku tidak sudi berpacaran dengan caplang ini." Aku mengerang pelan, tidak peduli Heechul Seonsaengnim mendengarnya atau tidak. Kemudian Chanyeol tanpa sepatah katapun berbalik dan membawaku menuju ke UKS.

Sesampainya di UKS, Chanyeol membaringkanku di salah satu ranjang yang terletak paling pojok. Setelah sukses membaringkanku, dapat kulihat Chanyeol yang langsung merenggangkan tubuhnya. Aku meringis sendiri mendengarkan tubuh Chanyeol yang mengeluarkan bunyi saat ia melakukan perenggangan.

"Aku berat sekali, ya?" secara refleks aku bertanya dan Chanyeol menatapku pias. "Menurutmu?"

Aku terkekeh canggung. "Maaf."

"Bukan masalah dan—hey, jangan bertingkah sopan seperti itu, kau membuatku takut." Chanyeol menyeringai ke arahku, membuatku mendengus. "Terserahlah."

"Ah ya, ngomong-ngomong kau sudah makan?" Chanyeol tiba-tiba bertanya, dan aku menggeleng. "Belum, kenapa?"

Chanyeol langsung bergegas melangkah menuju pintu UKS. Sebelum keluar dari UKS, ia berujar cepat. "Tunggu sebentar."

Aku mengernyitkan dahi melihat Chanyeol yang terburu-buru seperti itu, namun akhirnya aku memilih masa bodoh dan menyandarkan tubuhku pada sandaran ranjang. Aku terdiam sembari mengedarkan tatapanku pada UKS selama beberapa menit sampai akhirnya terdengar suara pintu UKS terbuka, menampilkan Chanyeol yang masuk sembari membawa sepotong sandwich dan sebotol air mineral.

"Cepat makan," Chanyeol mengulurkan sandwich dan air mineral yang ia bawa dan aku menerimanya dalam diam. Chanyeol kembali bergerak menuju almari yang berisi obat-obatan, sementara aku membuka bungkus sandwich dan mengunyahnya. "Setelah itu kau minum obat."

Chanyeol meletakkan obat yang ditemukannya di meja samping ranjang tempatku berbaring. Aku dengan cepat mengunyah potongan sandwich yang berada di dalam mulutku dan menelannya sebelum akhirnya berujar. "Uh, Yeol... terima kasih."

Untuk pertama kalinya, aku dengan suka rela mengeluarkan senyumku kepada Chanyeol. Dapat kulihat Chanyeol yang tetap diam di tempatnya, menatapku dengan mata yang membesar—kupikir dia mungkin terkejut melihatku tersenyum—namun yang cukup mengejutkan untukku adalah ia bahkan tidak bergerak hingga satu menit lamanya hanya untuk memperhatikan wajahku. Aku jadi kikuk sendiri dan hampir saja berdeham untuk memecah keheningan yang ada, namun Chanyeol sudah lebih dulu dapat kembali normal dan berujar padaku. "Untuk?"

"Mempedulikanku," aku mengunyah dan menelan potongan terakhir sandwich, "menggendongku, meminta Heechul Seonsaengnim untuk mengijinkanku ke UKS, membungkam mulut sok tahu teman-teman—meskipun pakai hinaan padaku, membawaku ke UKS, dan untuk makanan, minuman, serta obatnya."

Kemudian aku tersenyum lagi secara refleks, dan kulihat Chanyeol membeku lagi di tempatnya. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah senyumanku semengerikan itu, namun entah mengapa aku tidak bisa menghentikan senyumanku. "Pacarmu beruntung memilikimu."

"Oh, apa ini semacam kode kalau kau menyukaiku?" Chanyeol akhirnya kembali normal dan bertanya, membuatku langsung melunturkan senyumanku dan mendengus. "Hah? Menajiskan, bagiku kau tetap seorang bajingan."

"Tch, sudah sana minum obatmu." Chanyeol memerintah dan duduk di sisi ranjangku. Herannya, aku tidak minat untuk protes dan justru menggeser tubuhku agar Chanyeol bisa duduk lebih leluasa. Aku dengan cepat meminum obatku, kemudian meletakkan air mineralku di meja.

Sekilas aku menoleh ke arah Chanyeol dan kulihat ia mengusap dahinya menggunakan punggung telapak tangannya. Aku menggeleng pelan, dan entah mendapat inisiatif darimana, aku merogoh sapu tangan dari saku celana olahragaku, kemudian mengelap keringat Chanyeol yang membasahi wajah hingga lehernya.

Perlakuan mendadakku membuat Chanyeol menoleh ke arahku dengan cepat, dan matanya mendelik lebar. Namun ia tetap bungkam sampai aku menyelesaikan usapan sapu tanganku pada wajahnya dan menjauhkan sapu tanganku, baru ia mulai berbicara. "Apa yang kau lakukan?"

Aku menggumam pelan, "anggap saja sebagai balas budi?"

"Tch, konyol." Lagi-lagi Chanyeol mendecih, namun tidak kupedulikan. Aku menidurkan diriku di samping Chanyeol yang masih duduk di sisi ranjang, dan kakiku bergerak untuk meraih selimut. Aku menyelimuti diriku, lalu menoleh ke arah Chanyeol yang terdiam. "Hey, tolong naikkan suhu ruangannya."

"Kau menggigil." Gumam Chanyeol sembari menaikkan suhu ruangan menggunakan remote. Karena ucapan Chanyeol, aku baru sadar kalau memang aku menggigil.

Selimutku kurapatkan ke tubuhku, dan aku mencoba memejamkan wajahku. Dapat kurasakan pergerakan Chanyeol di kasurku, kemudian rasa hangat menyelimuti tubuhku. Lebih hangat daripada selimut UKS.

Otomatis aku membuka mata, hanya untuk mendapati dada Chanyeol tepat di hadapanku dan sebuah lengan mengunci di pinggangku. Aku menelisik, menyadari bahwa Chanyeol ikut memasukkan tubuhnya dalam selimut untuk memelukku.

Tidak. Ini aneh.

Aku mendongak, mendapati Chanyeol yang menatapku dengan tatapan teduh. "Lebih hangat?"

"Kau—" aku mengernyitkan dahi, "—waras?"

"Tidak, untuk hari ini. Sudah sana tidur, aku juga ingin tidur." Entah untuk keberapa kalinya hari ini Chanyeol memerintahku. Aku hendak menjawab, namun sebelah tangan Chanyeol telah menelusup ke balik leherku dan menekan kepalaku sehingga wajahku tenggelam di dadanya. Jadilah aku berbaring berbantalkan tangan Chanyeol, sementara sebelah tangan Chanyeol yang lain melingkar dengan erat di pinggangku.

Aku harusnya menolak. Aku harusnya menendang Chanyeol menjauh dan menguasai kasur ini untuk diriku sendiri. Tapi yang kulakukan justru menyamankan diri di dalam pelukan Chanyeol dan sukses jatuh tertidur di hangatnya pelukan Chanyeol.

Kupikir tidak ada salahnya untuk aku ikut tidak waras hari ini juga.

Sebelum benar-benar memasuki alam mimpi, aku bisa mendengar seseorang yang tidak perlu kutebak lagi membisikkan sesuatu di telingaku.

"Selamat tidur, Baekhyun."

.

.

.

Semenjak insiden UKS yang aku tidak menyangka kalau Chanyeol memiliki sisi manusiawinya juga, selanjutnya kami menjalani hari dengan tenang. Ada sebuah kesepakatan tanpa suara antara aku dan Chanyeol yang memutuskan untuk menganggap kejadian di UKS itu hanyalah sebuah angin lalu—berharap kalau-kalau masing-masing dari kami bisa melupakannya sesegera mungkin.

Namun, setelah semua itu, entah mengapa Chanyeol tidak lagi mengusikku. Dia tidak lagi berusaha memancing emosiku atau sesuatu. Seperti hari ini tadi, beberapa minggu setelah insiden UKS itu, kelasku sedang membahas perwakilan kelas yang akan mengikuti lomba-lomba untuk classmeeting yang akan datang.

Ada empat lomba yang harus diikuti, fashion show, story telling, basket, dan sepak bola. Selain itu juga akan dipilih kelas yang menjadi supporter terbaik. Dari rapat kelas kami, sudah ditentukan siapa saja yang akan mengikuti basket, sepak bola, dan story telling. Hanya tersisa fashion show yang kini masih menjadi perdebatan karena—demi neptunus, entah bagaimana tiba-tiba seluruh teman-temanku memaksaku mengikutinya.

Maksudku, astaga, apa mereka bahkan telah lupa jenis kelaminku?

"Aku laki-laki, kalau kalian masih lupa." Aku mengeluarkan senyumanku tapi semua orang jelas tahu bahwa senyumanku tidak bermakna baik sama sekali. Jongdae yang tiba-tiba berkhianat dari sahabatku menjadi orang yang paling bersemangat memaksaku mengikuti fashion show sialan itu, merotasikan kedua bola matanya dan menyeringai. "Banyak laki-laki yang juga menjadi model, Baek, kalau kau lupa."

Sehun yang biasanya bungkam, tiba-tiba ikut menyuarakan dirinya di samping Chanyeol yang menopang dagunya. "Lagipula kau bahkan tidak terlihat seperti laki-laki."

Aku menatapnya garang, tapi dia malah mengangkat bahunya tidak peduli. "Apa? Maksudku, lihat saja wajahmu."

"Diam saja kau brengsek." Aku mendengus dan mengalihkan tatapanku, namun aku justru menemukan seluruh warga kelas menataapku dengan tatapan sudahlah-ikuti-saja-fashion-show-bodoh-itu yang jelas tidak akan pernah aku turuti. "Dan berhentilah menatapku seperti itu, aku tidak berminat untuk merubah pikiran."

"Please, Baek?" Luhan mengatupkan kedua tangannya.

"Tidak."

"Lakukan saja, cantik." Kali ini Jongin berbicara, tersenyum menggoda ke arahku yang kemudian kubalas dengan tatapan garang. Suara Jongin yang mengataiku cantik terngiang-ngiang tanpa henti di otakku dan semudah itu kadar kejengkelanku meningkat.

"Tidak akan," aku tersenyum dengan mata mendelik, "sayang."

Dan tiga detik kemudian, aku menyesali ucapanku sebelumnya. Secara otomatis tatapanku terarah pada Chanyeol. Aku mencoba menerka-nerka apakah Chanyeol akan menghinaku seperti biasanya atau akan tetap diam seperti yang ia lakukan belakangan ini.

Aku menunggu.

Sedetik, dua detik, sepuluh detik. Dan Chanyeol, tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Aku melirik ke atas, menangkap mata Chanyeol yang menatap padaku. Selain Chanyeol yang kebanyakan mendiamiku akhir-akhir ini, tatapan matanya juga aneh. Aku tidak pernah bisa berhenti merinding setiap kali mendapatinya menatapku dengan tatapan yang nyaris kosong. Seolah-olah ia sedang dihipnotis saja. Dan itu seperti bukan Park Chanyeol yang biasanya selalu menatapku dengan tatapan menghina.

Aku memeluk tubuhku sendiri dan mengalihkan tatapanku kemana saja asalkan bukan Chanyeol. Kemudian aku baru menyadari kalau sedari tadi teman-teman yang lain menatapku, lalu melihat Chanyeol, kembali menatapku, setelahnya menatap Chanyeol lagi, seperti itu berulang-ulang membuatku risih. Dan aku memutuskan untuk memecah keheningan. "Apa, sih?"

"Oh," kulihat Joonmyeon yang seperti tersadar pertama kali, dan ia berdeham sejenak, "kau... ingin mengatakan sesuatu mungkin, Chanyeol?"

Yang lain langsung menoleh untuk menatap Chanyeol, namun aku sebisa mungkin menahan kepalaku untuk tidak ikut menoleh dan memilih untuk menatap Chanyeol diam-diam melalui ujung mataku. Aku mendapati Chanyeol yang melirikku sekilas kemudian menatap Joonmyeon polos. "Tidak ada."

Luhan langsung membuka mulutnya dengan matanya yang menatapku. "Jadi, bagaimana, Baek?"

"Tidak, tidak, dan tidak. Pokoknya pilih siapa saja selain aku, oh astaga. Tidakkah kalian lihat setumpuk perempuan di sini?" Aku berdecak sebelum akhirnya melangkahkan kakiku menuju pintu. "Aku tidak peduli kalian memilih siapa, aku menyetujuinya—asalkan itu bukan namaku!"

Dan setelahnya aku memutuskan untuk melangkah menjauhi kelas, meninggalkan teman-temanku yang masih ricuh.

Aku memutuskan untuk ke kantin dan memesan semangkuk besar ramyeon dan jus strawberry. Berdebat dengan teman-teman memang menguras kesabaran batinku hingga berdampak pada perutku. Ketika pesanan akhirnya datang, aku langsung menyantapnya secepat yang kubisa.

Sambil mengunyah ramyeon-ku, aku diam-diam berpikir tentang Chanyeol. Duh, sesungguhnya aku tidak terlalu sudi memikirkannya lama-lama, hanya saja Chanyeol yang menurutku aneh belakangan ini benar-benar membuatku heran.

Aku cukup mensyukurinya sih, mengingat Chanyeol yang tidak menyulut emosiku belakangan ini. Tapi entah karena sudah biasa atau bagaimana, aku justru merasa asing sendiri. Padahal aku yang mengharapkan ini, tapi justru aku sendiri yang merasa aneh.

Aku menggelengkan kepalaku, mencoba menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang menghantui otakku dan memutuskan untuk cukup menikmati makananku saja. Setelah mangkuk di hadapanku kosong, aku menghabiskan sisa jus strawberry-ku dan beranjak dari kantin.

Karena terlalu malas kembali ke kelas terlalu cepat, aku memutuskan untuk memilih jalan memutar. Sambil menggumamkan lagu secara random, aku berjalan melalui taman belakang sekolah yang kelewat sepi. Saking sepinya, aku bisa mendengar suara orang yang berbicara di depan gudang yang masih cukup jauh dari tempatku berdiri.

"Siapa?"

Aku masih berjalan santai, tidak peduli dengan suara yang berasal dari beberapa meter di dekatku. Mataku dapat menangkap tikungan yang tak jauh dari sini, di mana jika aku telah melewati tikungan itu dan berbelok ke kiri, aku akan menemukan pintu gudang di sana.

Langkahku semakin mendekati tikungan itu, namun langkahku terhenti seketika seiring dengan sebuah suara yang memasuki indera pendengaranku.

"Baekhyun."

Ada seseorang menyebut namaku.

Kuduga orang yang menyebut namaku itu adalah yang sedang berbincang di depan gudang. Aku belum bisa melihat wajahnya karena aku belum mencapai tikungan. Dengan sedikit terburu, aku kembali melangkah untuk mencari tahu siapa gerangan yang membicarakanku. Namun tepat ketika aku sampai di tikungan dan hendak berbelok, sesuatu menghantam tubuhku membuatku nyaris terjungkal ke belakang.

"Astaga!"


TBC!


xoxo,

baekfrappe.