Disclaimer: All characters belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it .
Warning: au, miss-typos, plotless, and other stuffs.
a cup of dream
.
Kau selalu mengatakannya, bahwa kita tidak bisa memilih hal-hal yang terjadi di dalam hidup ini.
Seperti ceritamu. Kau yang menginginkan panggung kecil dengan gitar di pelukan, nada lembut yang menyambut setiap detik-detik jarum jam. Kelam malam yang berisi lightstick tanpa teriakan berlebihan; sebuah mini konser, tanpa riuh dan karut-marut.
Tapi hidup membawamu pada bintang-bintang. Pada teropong yang membawa matamu menyipit lelah, pada langit yang membentangkan gemintang, dan garis-garis semu yang mungkin ada dan tiada.
Kau hanya butuh musik dalam hidupmu. Dan teman. (Dan mungkin aku yang mengerti dirimu segini banyak). Bahwa esensi bintang di matamu tak seindah yang dikatakan orang-orang. Bahwa kau ekstremis yang bersembunyi di balik kamuflase stereotipe. Dan hidup ini, katamu. Hidup ini adalah tamengnya. Maka ketika hidup berkata seperti itu, kau pun tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
Tapi ...
Aku selalu suka saat kau tersenyum di balik petikan-petikan malam. Walau tipis dan tak berarti apa-apa. Tapi aku melihatnya, di matamu. Di matamu yang kelam namun seterang bintang. Mungkin karena itulah, karena itulah kau tak perlu bintang untuk dipuja, sebab matamu mencipta bintang. Dan bintang itu ada di antara musik-musik yang kata orang tak berarti apa-apa.
"Bagaimana kau bisa bertahan?"
"Dengan menerima."
Ketika itu, aku tahu aku jatuh cinta. Kepada kesederhanaanmu menatap kehidupan. Kepada setiap bintang yang bersinar di matamu. Di setiapmu. Di kehidupanmu. Kepada mimpi-mimpi yang mungkin sudah terajut di asamu. (Apakah ada aku di sana? Diam-diam aku bertanya-tanya).
Kau membuatku merajut mimpi dalam batas infiniti. Dan aku tak akan bilang siapa-siapa, bahwa kau ada di antaranya. Bersama jas putih yang mendekap stetoskop. Bersama rumah sederhana dan klinik kecil di sebelahnya. Bersama satu gadis kecil yang nantinya memanggil kita Mama Papa (hei, aku bilang batas mimpi ini infiniti, kan? Jadi, jangan protes).
Aku akan menjadi satu-satunya yang mendukungmu mendekap gitar. Mungkin di antara jam kerjamu yang sudah tak lagi pesat. Atau, di antara anniversary-anniversary yang terlewat. Aku akan menggenggam tanganmu, merasakan jemarimu yang kapalan karena terlampau lama beradu pada pik-pik kecil. Tapi tak apa. Aku tidak keberatan. Tidak akan keberatan.
Meski kau bilang berkali-kali, lagi-lagi, kita tak bisa memilih hal-hal yang terjadi dalam hidup ini. Tapi, aku tak akan berhenti bermimpi. Sebagaimana kau yang tak pernah menyerah pada mimpi di sepanjang senar gitarmu. Aku tak akan menyerah kepadamu. Jadi, mari kita sama-sama bermimpi.
Batas mimpi kita infiniti, Sasuke-kun.
.
.
(end.)
ps: sengaja gak ngetag genre, free interpretation. well, been a long time. and, yes, i miss this ship c":
