Satu hal yang berubah sejak aku bertemu dengannya adalah..

... Suara hujan itu ajaib

Sama seperti suara petikan senar gitar yang selalu ia mainkan.

Melodi itu seperti menyihirku.

.

.


Tearsdrop In The Rain

-Chapter 1-

Warning : Yaoi, typo(s), harsh word, AU

Shingeki no kyojin © Ishiyama hajime


.

.

.

Namanya Eren Jaeger, seorang junior divisi seni rupa di Akademi Wand der Freiheit

Namanya Rivaille, seorang senior divisi musik di Akademi yang sama.

Keduanya adalah orang yang sangat berbeda, seperti kedua kutub bumi. Jika Eren adalah utara, maka Rivaille adalah selatan. Jika Eren adalah selatan, maka Rivaille adalah utara.

Apa yang membuat cerita antara mereka menarik?

Ya.. ibarat dua kutub magnet yang berbeda,

Mereka akan selalu tarik menarik.

.

.

Warna hijau tua, hijau muda, hijau kebiruan, hijau kekuningan dan variasi warna hijau yang lain seakan saling berbagi kisah di atas kanvas besar di pangkuan Eren.

Bocah berambut coklat itu menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang tidak menapak bumi. Kursi kayu coklat yang sedikit basah tidak ia perdulikan walaupun membuat seragamnya ikut basah. Mulutnya menyenandungkan sebuah melodi asal-asalan yang terlintas di otaknya. Matanya yang beriris hijau bagai batu emerald tersebut bergerak-gerak mengikuti gerakan kuas dan pemandangan di hadapannya.

Cahaya matahari yang memantul pada tetesan air hujan di atas daun tampak seperti kristal di mata bocah itu. Aroma tanah basah yang khas setelah hujan menemani lukisan yang ia buat. Sang bocah itu tersenyum melihat karyanya yang hampir selesai.

"Eren!" Sebuah suara lelaki memanggil nama bocah yang sedang asik dalam aktivitasnya itu. Ia tidak menyadari bahwa barusan namanya dipanggil.

"Eren!" Suara itu kembali meneriaki namanya. Tapi bocah bernama Eren itu tidak bergeming dan masih asik dengan cat minyak dan kuas nya.

Akhirnya sebuah tangan menepuk pundak Eren pelan. Bocah itu pun menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa pelakunya.

"Ah, Armin.. Ada apa?" tanya Eren.

"Kau tahu tidak kalau ini gedung senior? Aku mencari-carimu dari tadi, Eren."

"Err.. tapi pemandangan disini yang mau kulukis.." Eren menunjukkan lukisannya yang hampir selesai.

Armin terdiam sesaat memperhatikan lukisan itu dan bola matanya bergerak memperhatikan taman kecil di depan mereka, bocah berambut pirang itupun mendesah.

"Baiklah.. aku ada di gedung Maria jika kau mencariku, semua murid sekelas melukis disana," kata Armin lalu berjalan meninggalkan Eren.

Eren pun tersenyum dan mengangguk, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Taman kecil di belakang gedung Sina tersebut memang tidak seindah pemandangan air mancur yang ada di gedung Maria. Tapi Eren merasa bosan pada air mancur yang selalu ia lihat dari jendela kelasnya itu setiap hari. Ia ingin melukis sesuatu yang berbeda, maka dari itu ia bersusah payah membawa-bawa kanvas dan peralatan lukisnya ke gedung Sina yang cukup jauh jaraknya.

Eren teringat sewaktu ia mengantarkan beberapa berkas ke gedung Sina ia melewati taman kecil tersebut. Tidak ada siswa yang duduk atau bersantai disana, hanya seorang tukang sapu yang membersihkan sampah daun yang berguguran. Namun Eren sempat terhenti sebentar memandangi pemandangan yang dilewatinya itu.

Hijau, warna hijau yang tidak biasa baginya.

Warna hijau yang sangat indah. Mulai dari rerumputan liar yang menjadi lantainya, beberapa tanaman hias yang Eren tebak adalah milik klub kebun, dua pohon Cherry yang tidak terlalu besar juga sebuah pohon maple yang daunnya mulai memerah.

Selain itu hal yang membuat Eren tertarik adalah lampu hitam di sudut taman. Lampu yang setinggi bahu Eren itu sudah pecah beberapa bagian kacanya, sepertinya benda itu sudah berdiri lama sekali disana. Sejak saat itu Eren bertekad akan melukis taman itu.

'Lihat saja, aku akan mengabadikan sosok kalian di kanvasku'

.

.

.

"Hngg.. apa yang dia lakukan disitu?" Petra memperhatikan lelaki yang sedang asik melukis dibangku taman dari dalam kelasnya.

"Dimana? Dimana? Hee… Dasinya berwarna hijau, dia masih kelas satu. Berani sekali bocah itu datang ke Sina—aakh-" Petra menyikut lelaki yang duduk disampingnya itu lantas lidah lelaki itupun tergigit tapi itu bukan pemandangan aneh bagi Petra dan teman-teman sekelasnya.

"Sepertinya ia sedang melukis taman reot itu," kata seorang lelaki yang duduk dibelakang Petra. Lelaki bernama Erd tersebut sedang sibuk memperbaiki ikatan rambutnya yang longgar. Lelaki disebelah Erd ikut memperhatikan bocah yang sedang melukis di luar tersebut.

"Tidak terlalu jelas sih.. tapi lukisannya bagus," celetuk lelaki bernama Gunther itu. Mereka berempat pun lantas membicarakan tentang taman kecil dan bocah yang melukis disana, diikuti canda tawa dan senda gurau.

Seorang lelaki beriris kelabu yang duduk di depan Petra melepas headphone yang ia pakai sejak tadi. Walaupun sambil mendengarkan lagu, ia masih bisa mendengar perbincangan teman sekelasnya itu samar-samar. Matanya ia arahkan ke jendela yang dekat dengan mejanya itu.

Tak ada yang menarik.

Hanya seorang bocah kelas satu divisi seni rupa yang sedang melukis taman reot yang menjadi pemandangan kelasnya tiap hari.

"Rivaille, kau sudah memilih lagu yang akan dimainkan di kelas ensemble besok?" tanya Erd pada lelaki tersebut.

Lelaki itu diam tidak menjawab, tangannya seperti mencari-cari sesuatu di kolong mejanya.

"Ini, ambil sesuai nama kalian." Tangan nya di arahkan ke belakang. Rivaille memberikan banyak lembaran partitur musik tanpa menoleh, ia kembali mendengarkan musik dari headphonenya.

Auruo lantas mengambil lembaran partitur tersebut.

"Ah, lagu ini bagus sekali.." kata Petra yang diikuti anggukan setuju lainnya.

"Oi Rivaille, kau yakin memainkan lagu Jupiter untuk ensemble kecil begini?" tanya Erd tapi percuma karena telinga orang yang ditanya sedang disumpal dengan barang elektronik tersebut, yah.. walaupun lelaki itu sebenarnya masih bisa mendengar pertanyaannya.

"Dia bahkan sudah mengaransemen nya buat kita semua," gumam Gunther sambil mentelaah isi partitur di tangannya. "Aku tidak sabar memainkan ini," lanjutnya.

Suasana kelas yang gaduh dengan obrolan, suara tawa dan alat musik membuat kepala Rivaille pusing. Bahkan volume penuh di Mp3 playernya masih kalah dengan kebisingan disekitarnya. Ini dia satu hal yang sangat Rivaille benci jika tidak ada guru yang mengajar.

Rivaille bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu keluar.

Masih ada dua jam kurang sebelum bel tanda akhir pelajaran berbunyi, ditambah satu jam waktu istirahat berarti waktu tidur yang lebih lama untuk Rivaille.

Lelaki berdasi biru itu sedang menaiki tangga untuk menuju atap. Beberapa siswi yang berpapasan dengannya langsung menutup muka menahan teriakan senang, dan Rivaille melewati mereka begitu saja.

Ya, Rivaille bisa dikatakan seorang idola sekolah. Idola di divisi musik lebih tepatnya.

Talentanya membuat perempuan maupun laki-laki jatuh cinta pada musiknya. Semua murid divisi musik pasti tahu dengan siswa senior yang badannya tidak terlalu tinggi tersebut. Tidak hanya dapat memainkan satu instrumen musik, kabarnya ia bisa memainkan banyak instrumen dengan handal.

Tapi Rivaille sama sekali tidak peduli dengan kepopulerannya. Karena tidak ada satupun wanita yang mampu membuat seorang Rivaille jatuh hati padanya karena itulah ia juga dijuluki pangeran es.

"Rivaille senpai."

Rivaille mendongakkan kepalanya dan menangkap sebuah sosok perempuan "Ackerman, bolos dari pelajaran huh? Dan apa yang kau lakukan di Sina?" tanya Rivaille.

"Aku habis mengantarkan sesuatu ke Madame Hanji, senpai." Siswi yang lebih tinggi 10 senti dari Rivaille itu menunjukkan selembar kertas di tangan kanannya.

"Menyingkir, kau menutupi jalanku," usir Rivaille, ia melewati siswi kelas dua yang lebih akrab dipanggil Mikasa tersebut. Walaupun masih kelas dua wanita itu adalah rival nya, kemampuan musiknya mendapat rekor 'tidak buruk' dari Rivaille.

Langit sangat berawan hari itu, tidak terlalu panas dan sempurna untuk sesi tidur Rivaille kali ini. Ada beberapa kursi kayu yang diletakkan di atap tersebut, cukup bersih untuk Rivaille gunakan untuk pembaringannya setiap hari dan dalam hitungan menit ia sudah terlelap.

.

.

.

"Hmm..? Kenapa lukisanmu beda sendiri Eren?"

Eren terkesiap dan buru-buru menunduk ke arah gurunya tersebut.

"Maaf Sir! Sa-saya tidak ingin melukis air mancur itu jadi.. saya melukis taman kecil yang ada di gedung Sina" kata Eren lirih.

Sir Irvin mengangguk-angguk, "Kau tahu? Aku tidak pernah melarang kalian untuk melukis pemandangan lain. Tergantung inisiatif kalian dalam memilih objek yang akan kalian lukis," kata Irvin yang dijawab suara gaduh seluruh kelas.

"Tahu begitu aku memilih melukis Mikasa senpai," celetuk Jean, salah satu teman sekelas Eren.

"Aku juga.. lebih baik melukis roti dan kentang," kata wanita berkuncir kuda di tempat duduk paling belakang.

Eren menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Err.. jadi tidak ada masalah dengan lukisanku kan sir?"

"Lukisanmu selalu luar biasa Eren, aku sangat menyukainya. Tapi bagiku semua lukisanmu tampak monoton."

"Eh?"

"Kau sepertinya sangat suka dengan warna hijau ya? Semua lukisanmu selalu menggunakan banyak warna hijau. Kenapa tidak kau coba warna yang lain?" kata Irvin sambil tersenyum pada muridnya yang bersurai coklat tersebut. Ia mengembalikan lukisan Eren dan mulai mengomentari lukisan muridnya yang lain.

Eren kembali ke tempat duduknya disamping Jean. Ia menghela nafas panjang.

"Hoi, bukannya kata Sir Irvin lukisanmu bagus?"

"Iya, tapi ia benar juga tentang sikap fanatik ku pada warna hijau. Sudah berkali-kali aku berusaha melukis dengan warna lain tapi pada akhirnya selalu hancur," jawab Eren kesal. Ia menyandarkan kepalanya di atas meja menghadap ke arah Jean.

"Bagaimana dengan lukisanmu, heh?" tanya Eren.

Seringai Jean keluar, ia menunjukkan lukisannya yang membuat Eren sontak membesarkan matanya, ia yakin ada hal yang rumpang di lukisan itu.

"JEAN ASTAGA KENAPA ITU PATUNG KUDA?" seru Eren membuat seluruh kelas menatapnya lalu Eren langsung mengatupkan kedua tangannya meminta maaf.

Kembali pada Jean, ia malah tertawa geli. Eren menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyikut perut Jean pelan.

"Kau mengubah bentuk patung di air mancur dengan wajahmu? Dasar gila."

Jean mentoyol kepala Eren, "Enak saja. Bukan begitu bodoh. Aku tidak suka dengan patung kepala sekolah yang ada di air mancur itu jadi kuganti dengan ini. Bagus bukan?"

Eren mendesah, setidaknya ada yang punya masalah lebih buruk dari pada dirinya dalam melukis.

"Terserahmu lah Jean."

.

.

"Kau yakin tidak mau ikut bersamaku, Eren?" tanya Armin di depan mobil sedan hitam jemputannya. Mobil itu menjemput Armin tepat didepan gedung Maria tempat mereka berdiri sekarang.

"Tidak Armin, aku tahu kau masih les diluar. Arahnya berlawanan dengan rumahku jadi kau duluan saja." Eren melambaikan tangannya pada Armin.

Armin menghela nafas, ia pun masuk kedalam mobil dan melambaikan tangan pada Eren, "Sampai besok Eren."

Eren pun menarik jasnya rapat-rapat agar menutupi tubuhnya. Udara dingin mulai membungkus kota yang diguyur hujan. Ia memperhatikan tetesan air yang jatuh ketanah seakan sedang berperang. Lalu memperhatikan ke arah langit yang kelabu.

"Apa aku berlari ke halte saja ya? Kurasa hujan nya tidak-akan berhenti jika aku menunggu disini" Eren menengadahkan tangannya merasakan tetesan air hujan.

Seisi sekolah sudah mulai sepi karena mereka sudah pulang terlebih dahulu kecuali beberapa yang masih punya kepentingan di sekolah. Eren dan Armin terpaksa tinggal lebih lama karena tugas piket sedangkan Jean yang ikut bertugas kabur entah kemana.

Baru 15 menit Eren menunggu dan ia sudah kehilangan kesabaran, "Ah! Persetan dengan hujan ini, aku lari saja!"

Bocah setinggi 170 senti itupun berlari melawan derasnya hujan dengan hanya dipayungi tas. Jarak dari sekolah menuju halte bus lumayan jauh tapi Eren memang tipe orang yang tidak sabaran. Namun Eren tidak menyangka kalau ditengah perjalanannya hujan deras itu perlahan malah menjadi badai dan Eren terpaksa berteduh di gereja kecil tua yang ada tak jauh dari sekolahnya.

"Ah, angin sial.." rutuknya setelah masuk ke dalam gereja tersebut. Di dalamnya masih agak terawat, walaupun agak berdebu disana-sini tapi Eren rasa gereja tersebut masih layak dipakai.

Rambut dan seragam bocah itu menjadi basah kuyup seketika. Eren pun mengambil handuk dari tasnya yang selamat karena pada akhirnya ia peluk di tengah jalan agar buku-bukunya tidak basah. Eren melepas sepatunya dan sekitar setengah liter air keluar saat Eren membaliknya. Bagian depan lantai gereja itu menjadi basah karena ulah Eren.

Bocah itu pun akhirnya hanya memakai kemeja dan celananya karena jas nya terpaksa di jemur agar tidak terlalu basah. Eren berjalan kesana-kemari menunggu badai reda tapi tentu saja tidak sesingkat itu. Bocah tak sabaran itu pun mengetuk-ngetukan tangannya pada salah satu kursi paling belakang yang menimbulkan suara gema di gereja tersebut.

"Oi, kau tidak tahu kalau harus tenang didalam tempat ibadah, huh?"

Eren sempat terloncat mendengar suara dari belakangnya, ia memberanikan diri menghadap ke belakang ke arah altar tapi ia tidak melihat sosok siapapun.

"Ma-maaf!" Eren yang ketakutan setengah mati merasakan lututnya lemas.

"Hmm..?"

Bulu kuduk Eren berdiri saat mendengar suara yang sama itu kembali menggema di seluruh ruangan. Badai diluar membuat penerangan di gereja tanpa lampu tersebut menjadi sedikit gelap, membuat Eren tambah ketakutan. Bocah itu pun memejamkan matanya dan berjongkok di tengah ruangan. Suara petir dan derasnya hujan menambah kengerian suasana di tempat itu.

'Aku terlalu muda untuk dibunuh oleh roh jahat! Oh! maafkan aku tuhan!'

Sekarang terdengar suara kursi yang berdecit dan langkah kaki. Oh, Eren komat-kamit berdoa dalam hati. Ia menyesal kenapa harus berteduh di gereja tua yang tidak terpakai itu, oh bukan. Eren menyesal kenapa ia harus menolak tawaran Armin yang ingin mengantarnya pulang.

"Oi aku bukan hantu, bocah sialan."

"He?" Eren membuka matanya dan melihat siluet seorang lelaki yang berdiri didepannya. Ia mengusap-usap matanya meyakinkan dirinya bahwa yang ada di hadapannya itu bukan makhluk halus yang ada di pikirannya.

"Kau bukan makhluk halus kan?" tanya Eren ngeri dan sebuah tendangan menyambut pertanyaan itu. Sontak tubuh Eren jatuh kesamping.

"Apa-apaan itu?!" seru Eren memegang pipinya yang sedikit bengkak.

"Makhluk halus tidak bisa menendang kan?" Eren akhirnya dapat melihat sosok itu dengan jelas. Lelaki yang barusan menendangnya itu memakai seragam yang sama dengannya hanya saja warna dasinya berbeda.

"E-eh? Anda senior di Akademi Freiheit?" tanya Eren yang langsung berdiri dan membungkuk.

Lelaki itu ternyata hanya setinggi telinga Eren ketika mereka berdiri sejajar. Eren tertawa karena lega ternyata tidak ada roh jahat dimana-mana tapi lelaki itu menatap Eren dengan tajam saat bocah itu tertawa.

Ralat. Tidak ada roh jahat tapi ada manusia kerdil menyeramkan.

"Aku harap kau tidak menertawakan tinggiku."

Eren langsung menggelengkan kepala, "Tentu saja tidak senpai!" Nyeri di pipi kirinya masih terasa dan Eren tidak mau mendapat bonus bengkak di pipi kanannya.

"Err.. apa senpai juga berteduh disini?" tanya Eren mulai membuka topik baru.

Lelaki itu tidak menghiraukan pertanyaan Eren, ia malah menghampiri salah satu kursi dan merebahkan tubuhnya disana.

"Sebaiknya kau tidak ribut kali ini," katanya mengintimidasi.

Keringat dingin Eren keluar.

Suara hujan masih berderu dari luar dan tidak menandakan akan reda sama sekali. Eren pun memutuskan untuk duduk di kursi yang bersebrangan dari tempat senior yang tidak ia kenali itu tidur.

Eren menangkap sebuah barang hitam besar yang diletakkan di kolong kursi tersebut, dan ia bisa menebaknya kalau itu sebuah alat musik.

'Ho.. ternyata dia seniornya Mikasa'

Sekelebat cahaya membuat ruangan menjadi terang dalam sekejab dan kembali menjadi remang. Eren langsung menutup telinganya dan suara gemuruh besar membuat kursi-kursi di ruangan itu bergetar.

Suara hujan bukanlah termasuk dalam hal favorit Eren, sama halnya dengan petir. Eren yakin bukan hanya dirinya yang beranggapan seperti itu, karena suara hujan dan petir bagi Eren mengingatkannya pada upacara kematian mendiang ibunya.

"Laki-laki yang takut pada petir huh?"

Eren menoleh ke samping, lelaki itu sedang berusaha bangkit dari tidurnya. Ia pun duduk dan menatap Eren.

"Tidak.. aku hanya tidak suka." Eren membuang muka dan menunduk.

Lelaki itu melipat kedua tangannya di dada dan mendesah kesal, "Karena kau aku jadi tidak bisa kembali tidur, kau terlalu berisik."

"Senpai, suara hujan dan petir yang berisik. Aku diam-diam saja dari tadi."

Lelaki itu menatap Eren tajam, "Suara nafasmu yang menderu dan detak jantungmu yang tak karuan itu yang mengganggu. Aku tidak masalah dengan suara hujan ataupun petir."

Wajah Eren memerah karena malu, senpainya itu pasti sudah menyadari ketakutannya. Lelaki itu tidak hentinya menatapi wajah Eren.

"Err.. senpai..? ada sesuatu diwajahku?" tanya Eren merasa risih dengan tatapan seniornya tersebut.

"Kau bocah yang melukis di taman reot itu."

Eren mengerutkan dahinya, seingat Eren ia tidak melihat satupun orang di taman saat melukis kecuali Armin pastinya.

"Aku melihatmu dari dalam kelas ku." Oh, seniornya itu ternyata peka terhadap ekspresi kebingungan Eren. Eren rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri, karena ia masih tahu sopan santun.

"Namaku Eren Jaeger, kelas satu divisi seni rupa."

"Rivaille," sahut lelaki itu.

Dalam hati Eren menyumpah-nyumpah kenapa seniornya itu irit sekali dalam berbicara.

"Rivaille senpai.. anda.. murid divisi musik?" tanya Eren basa-basi mencoba menghabiskan waktu sambil menunggu hujan reda.

"Aku rasa kau dapat menebaknya jika dapat melihat barang yang ada di bawah kursi ini bukan?" Alis Rivaille menukik di wajahnya. Lelaki itu kemudian berdiri dan menghampiri Eren.

"Menjijikan," katanya singkat pada Eren.

Alis Eren naik sebelah, ada apa dengan seniornya yang tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang cukup kasar itu pada Eren?

"Kau tidak tahu kebersihan bocah? Apa maksud dari air yang tergenang didekat pintu dan sepatu yang berserakan itu? kau tidak tahu tata krama? Apa karena tempat ini sudah tak terpakai lantas kau kotori saja seperti itu? kau ingin menambah bengkak pada pipimu itu?" Runtutan pertanyaan itu seperti bom yang jatuh di kepala Eren, dan tampang seniornya itu makin mengerikan saat menunjuk kekacauan yang dilakukan Eren.

"A..a..no.." Sulit sekali mencari alasan untuk seniornya itu. Walaupun baru kenal, Eren dapat merasakan kalau seniornya itu berpendirian keras dan sepertinya ia punya jiwa clean-freak.

"Sebaiknya kau bereskan kekacauan itu. Sekarang." Wajah Rivaille makin dekat dengan wajah Eren, dan tatapan kedua manik kelabu itu seperti ingin membunuhnya perlahan.

Eren sontak berlari kecil menuju pintu dan merapikan letak sepatu dan tasnya yang berantakan. Ia mengambil jas sekolahnya yang digantung di gagang pintu dan memakainya walaupun masih sangat basah.

'Daripada dapat bengkak tambahan,' batin Eren.

Eren kembali menoleh ke belakang ketika ia selesai membereskan tas dan sepatunya. Tapi genangan air akibat sepatu dan jasnya diabaikan. 'Mau diapakan lagi coba? Nanti juga basah kena hujan dari luar' batin Eren.

Seniornya itu sedang sibuk dengan ponselnya, Eren pun dengan gaya sok akrabnya duduk disebelah Rivaille.

"Senpai, kau disini sebelum hujan turun? Seragammu masih kering." Eren menunjuk-nunjuk seragam Rivaille. Pantas ada hal yang ganjil yang dirasakannya sejak tadi.

"Kau berisik sekali Jaeger. Apa aku harus menjahit mulut embermu itu?" kata Rivaille tapi ia masih berkutat dengan layar handphonenya.

"Ma-maaf senpai!" seru Eren dan langsung ia menjauh dari tempat Rivaille duduk.

Rivaille tampaknya sudah selesai berkutat dengan benda elektronik tersebut, ia pun melirik Eren.

"Oi, bocah. Rumahmu dimana?"

Eren terkejut dengan pertanyaan seniornya itu, "Eh?! Ada apa senpai?"

"Sudah katakan saja dimana."

"Err.. cukup jauh dari sini, kau kenal Mikasa senpai? Aku adik nya," jawab Eren.

"Ackerman? Marga kalian berbeda." Rivaille menaikkan sebelah alisnya.

"Err.. yah itu karena kami saudara tiri. Biasanya aku pulang bersama Mikasa, tapi hari ini aku mendapat tugas piket," kata Eren.

Tak lama setelah Eren menjelaskan ada suara ketukan dari pintu, Rivaille segera berdiri dan membawa alat musiknya yang ada di bawah kursi kemudian menghampiri pintu dan membukakan pintu tersebut.

"Lama," kata Rivaille, Eren mengamati dari tempat duduknya ada dua lelaki bertubuh besar memakai jas serba hitam dan membawa payung, Eren yakin ia melihat limousine hitam dibelakang mereka.

Rivaille menoleh ke arah Eren, "Kau mau ikut atau tidak?"

"Eh? Aku boleh menumpang?"

.

.

"Di sini saja senpai, aku biasa naik bus kok." Eren menunjuk halte bus tak lama setelah mereka masuk kedalam Limousine milik seniornya itu yang sangat mewah, Eren jadi mengira-ngira bahwa senpainya itu seorang bangsawan dan semacamnya.

"Baiklah, Oi paman, berhenti di halte itu," perintah Rivaille dan limousine itupun segera menepi di halte tersebut.

"Terima kasih atas tumpangannya senpai!" ujar Eren sebelum ia keluar cepat-cepat dari kendaraan hitam itu agar tidak terkena rintikan hujan dan segera meneduh di halte.

"Hati-hati dijalan senpai!" seru Eren sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Rivaille yang hanya menatap ketus dari Limousinenya, dan kendaraan itu pun kembali melesat meninggalkan Eren sendiri.

Di dalam Limousine Rivaille malah tersenyum kecil dan mendengus, "Bocah yang berisik, dan ia membuat bangku disini jadi basah, tch.." gumam nya.

"Teman anda Rivaille-sama?" tanya seseorang yang duduk di bangku depan.

"Hanya bocah bodoh dari divisi seni rupa," jawab Rivaille.

Eren beruntung tak lama setelah Rivaille pergi sebuah bus datang jadi ia tidak usah berlama-lama di halte tersebut.

Ah, walaupun senpainya itu terlihat menyeramkan ternyata ia begitu baik hatinya, pikir Eren. Ia tidak bisa membayangkan kalau ia harus terus berteduh di gereja tua itu sampai malam, memikirkannya saja Eren sudah merinding.

"Rivaille senpai." Eren mengelus pipinya yang masih sedikit bengkak karena pukulan manis dari Rivaille tadi.

"Aku harus membuat sesuatu sebagai tanda terima kasih untuknya besok!"

.

.

Masih pukul enam pagi hari dan beberapa murid sudah tampak memenuhi gerbang depan Akademi Wan Der Freiheit. Eren Jaeger adalah salah satunya, biasanya ia langsung jalan menuju Gedung murid kelas satu yaitu gedung Maria, tapi ia malah celingukan didekat gerbang seperti menunggu seseorang.

"Eren, kau tidak segera ke kelas?" tanya Mikasa yang berangkat bersamanya pagi itu.

"Err.. Mikasa kau duluan saja, aku ada urusan sebentar disini," jawab Eren sambil tersenyum dan hal tersebut sukses membuat pipi Mikasa merona merah, yah.. adik tirinya itu memang sangat manis untuk ukuran seorang lelaki.

"Baiklah, belajar yang benar Eren."

Eren mengangguk, Mikasa pun meninggalkannya menuju gedung Rose tempat dimana semua murid kelas dua belajar. Mikasa itu anak yang jenius, begitu yang Eren pikir karena untuk memasuki divisi musik di akademi ini butuh nilai yang sangat tinggi, dan Mikasa selalu berada di peringkat pertama.

Setiap gedung dibagi menjadi dua bagian, gedung sebelah kanan adalah untuk Divisi Musik dan sebelah kiri untuk seni rupa. Tapi setiap murid boleh bebas untuk pergi ke bagian manapun, itulah yang diinginkan sang kepala sekolah yang Eren selalu anggap misterius itu. Keharmonisan dalam dua divisi sangat dijunjung tinggi disekolah ini.

Walaupun begitu, hanya Mikasa lah murid dari divisi musik yang Eren kenal, yah.. sampai kemarin ia bertemu dengan Rivaille.

"Rivaille senpai tidak datang-datang.." gumamnya, Eren hanya berharap bekal yang ia buat masih hangat di tas nya.

Sudah hampir pukul setengah tujuh dan bel akan segera berbunyi, karena Eren takut terlambat masuk ke kelas ia pun mengurungkan niatnya pagi itu, ia akan mencoba mendatanginya di waktu istirahat nanti, semoga saja senpainya itu masuk sekolah.

.

.

"Rivaille?"

Eren mengangguk mantap, Mikasa malah mengerutkan dahinya.

"Ada urusan apa dengan si kontet itu?" tanya Mikasa ketus, ia takut jangan-jangan Eren di bully atau semacamnya.

"Aku mau memberikan sesuatu padanya, ayolah Mikasa kau tahu ia ada di kelas berapa?" pinta Eren. Ia menghiraukan beberapa murid yang lalu lalang di depan kelas Mikasa siang itu, berharap mendapat informasi dari kakak tirinya itu.

"Tentu saja tahu, dia itu rivalku. Dia di kelas 3-A tapi aku yakin kau tidak akan menemukannya disana, semua anak divisi musik tahu ia ada di atap sekolah setiap istirahat," kata Mikasa dan Eren langsung memeluk kakaknya itu.

"Terima kasih Mikasa, aku pergi dulu!" ujar Eren sambil melesat menuju gedung Sina, mata Mikasa tertuju oleh benda kotak yang dibungkus kain di tangan kiri Eren.

"Oh, jadi itu alasan Eren memasak subuh-subuh? Apa yang kontet itu lakukan pada Eren.." gumam Mikasa.

Eren sedang berlari di tangga yang ada di gedung Sina, cukup melelahkan karena gedung Sina merupakan gedung yang lebih tinggi dua lantai dibanding dua gedung lainnya, Eren harus menaiki tangga hingga tujuh lantai untuk sampai ke atap.

Dan saat bocah berambut coklat itu membuka pintu besi yang mengarah ke atap gedung ia mendengar sebuah lantunan melodi yang begitu menarik.

Berbeda dengan dentingan piano milik Mikasa yang selalu membuat Eren kagum mendengarnya, melodi yang ia dengar kali ini seakan merengkuh hatinya, menyelimutinya dengan berbagai perasaan yang campur aduk antara kebahagiaan, kesedihan, kemenangan, kekalahan dan airmata.

Telinga Eren seakan dimanjakan dengan suara petikan senar yang ia dengar. Nada yang terdengar seperti badai, seperti rintikan hujan di malam hari namun lembut seperti musim semi.

Eren baru tahu sebuah alat musik dapat dimainkan seindah itu dan Eren hanya bisa terdiam memperhatikan sang gitaris bermain sendirian di atap tersebut.

Latar langit di belakangnya seperti beresonansi dengan musik yang keluar dari gitarnya. Eren menangkap pemandangan itu di kedua mata emerald nya dan saat itu juga, Eren telah jatuh cinta dengan warna biru dan figur yang bermain melengkapi lukisan yang ada di imajinasi Eren.

Musik itu mencapai klimaks dan berhenti.

"Kau punya alasan untuk mengganggu waktu sendiriku, Jaeger?" tanya sang gitaris sambil menoleh ke belakang menatap Eren yang masih berdiri terdiam.

Gitaris itu menaikkan sebelah alisnya, bocah itu ternyata cukup rapi dan bersih jika tidak kehujanan, pikirnya.

"Rivaille senpai.." Mulut Eren pun angkat bicara

"Kau... begitu indah."

To Be Continued


A/N

Hai Light kembali dengan fic multichap (berani banget bikin) yah.. kan lagi liburan..

Multichap slash pertama aku semoga berkenan yaa, rencananya ini cuma sedikit kok chapternya, ga lebih dari lima chapter :3

Mohon review readers sekalian