Peringatan sebelumnya, cerita ini gak nyambung banget sama cerita Naruto, cuma pinjem karakter-karakternya Masashi Kishimoto. OOC nya luar biasa gak nanggung-nanggung. Unsur islam yang kental. hehehe yang tetep penasaran, silakan RR, yang gak suka, saya udah peringatkan dari awal ;)

Please, Enjoy! :D


"Neng Hinata?" panggil seseorang dari balik pintu kamar. Gadis yang dipanggil Hinata itu sontak menghentikan aktifitas membacanya, berjalan kearah pintu kemudian membukanya.

"Oh bibi. Ada apa, bi?" tanya Ginata pada sosok wanita paruh baya di depannya.

"Bisa tolong bawakan minum ini ke ruang tamu? Bukannya bibi gak mau, tapi bapak bilang harus sama Neng Hinata. Gak apa-apa, neng?"

"Memangnya ada tamu ya? Iya gak apa-apa bi, sini biar aku aja yang bawa." Ujar Hinata dengan tersenyum.

Segera gadis bermata indigo itu mengenakan jilbab, kemudian bergegas menuju ruang tamu dengan nampan minum di tangannya. Samar-samar terdengar percakapan hangat antara abinya dengan tamu yang entahlah sepertinya baru pertama kali ia mendengar suaranya. Dan benar saja, saat memasuki ruang tamu, diliriknya sekilas seseorang yang sedang asyik berbincang dengan abinya. Usianya mungkin tak jauh berbeda dengan abinya. Dari penampilannya Hinata dapat memastikan sepertinya bapak itu adalah salah satu ajengan kerabat abinya.

"Nah, ayo sini Teh!" perintah KH. Hiasi Hyuga, abinya Hinata dengan tenang. Hinata segera meletakkan minuman di atas meja.

"Ini adiknya Neji, benarkan?" tanya tamu abinya itu.

"Tahu ya Rei?" Hiasi balik bertanya kemudian tertawa renyah.

"Hanya menebak, terakhir kita bertemu anakmu baru Neji saja. Jadi ya mungkin saja Teteh ini adiknya."

"Benar. Ini Hinata, putri kedua. Ada lagi si bungsu, namanya Hanabi. Sepertinya belum pulang sekolah. Iya kan, Teh?"

"Iya, bi. Mungkin sebentar lagi." Jawab Hinataa disertai anggukan kecil.

"Ah iya, Hinata ini KH. Rei, teman lama abi." Kata Hiasi kepadanya. Hinata mengangguk tersenyum kepada teman abinya itu.

"Masih kuliah?" tanya KH. Rei.

"Tinggal menunggu wisuda saja." Jawab Hinata, kemudian mengangguk tersenyum.

"Ah iya-iya. Oh iya, sampai mana pembicaraan kita Hiasi?" kata KH. Rei disertai tawa.

"Itu, tentang pengembangan pembangunan pondok pesantrenmu."

"Benar, jadi..."

Hinata pamit mengundurkan diri saat dilihatnya abi dan temannya tengah kembali melanjutkan pembicaraan.


Sayup-sayup terdengar gema merdu shalawatan dari surau pesantren pimpinan KH. Hiasi, kegiatan rutin menjelang adzan maghrib berkumandang. Para santri maupun santriwati mulai bergegas menuju surau.

Tak tertinggal Hinata dan Hanabi, dengan atasan mukena yang menutupi aurat mereka dan sejadah serta Al Qur'an dalam dekapan, mereka berjalan menunduk menuju surau untuk melaksanakan shalat berjama'ah.

"Teteh, tahu nggak? Tadi aku papasan sama Kang Naruto dijalan. Dia nitip salam buat Teh Hinata. Idiih ganjen banget kan?" kata Hanabi dengan antusiasnya melapor.

"Udahlah de, gak usah di anggep ya!" pinta Hinata lembut sembari tersenyum kepada adiknya.

"Aduh, aku gak habis pikir aja,Teh. Kang Naruto itu, apa dia gak takut sama abi? Masa berani terang-terangan suka sama anak gurunya sendiri." Hanabi masih asik mengomentari Naruto, salah satu santri di pesantren itu yang sudah lama ini menyukai Hinata. "Apa jangan-jangan teteh juga suka sama dia?"

"Ya enggalah de. Kamu tuh suka ngaco aja."

"Ya kan siapa tahu."

"Udah ah, nanti ada yang denger lagi, yuk masuk dari pada kehabisan barisan shalat."

Ya, sebenarnya Hinata sendiri terkadang merasa risih dengan datangnya titipa-titipan salam seperti yang datang dari Naruto. Bukan hanya Naruto saja, tak jarang ia mendapat salam dari beberapa laki-laki yang lain. Maklum saja, Hinata bagaikan mutiara diantara hamparan pasir. Siapa yang tak akan jatuh hati pada sosok lembut, pintar, menawan dan shalehah seperti Hinata? Namun, sikap Hinata yang acuh terhadap sikap-sikap yang datang dari beberapa laki-laki yang menaruh hati padanya tak ayal membuat mereka hanya dapat menghela napas.

Sampai saat ini, memang hati Hinata masih tak dapat dimiliki oleh siapapun, lagi pula Hinata tak mau ambil pusing dengan hal itu. Karena ia yakin, bila saatnya sudah tiba, Allah juga akan menuntunnya. Neji, kakak laki-laki satu-satunya pun baru beberapa bulan saja menikah dengan Tenten, salah satu santriwati kebanggaan abi, jadi kenapa harus terburu-buru?


Esoknya, Hiasi memanggil Neji dan istrinya untuk makan siang bersama. Karena memang setelah menikah, Hiasi membangunkan rumah untuk mereka, walau masih berada di lingkungan pesantren, namun tetap saja mereka jarang berkumpul bersama dikarenakan jadwal mengajar pesantren yang padat.

Selesai menyantap makanan yang dimasak bibi juru masak dan di bantu Hinata, tiba-tiba Neji membuka pembicaraan.

"Bi, sebentar lagi, abi akan menjadi kakek, lho." Kata Neji dengan raut muka yang begitu senangnya.

"Yang benar?" tanya Hiasi antusias.

"Teh Tenten hamil?" Hanabi tak kalah antusias bertanya. Neji dan Tenten mengangguk mengiyakan.

"Alhamdulillah. Abi senang sekali." Hiasi tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya atas kabar yang dibawakan putra sulungnya itu.

"Wah, aku akan jadi tante kalau begitu." Hinata tak tertinggal senang menyambut kabar gembira itu.

"Aku juga!" Hanabi tertawa, dan semua ikut tertawa melihat tingkah Hanabi. Anak itu memang selalu ceria.

"Sudah berapa lama, Teh?" tanya Hinata pada Tenten.

"Kata Bu Bidan sih menginjak minggu ketiga." Jawab Tenten dengan bangganya.

"Senangnya..."

"Kapan kalau begitu Teh Hinata akan menyusul A Neji? Biar keponakan aku jadi banyak." Ujar Hanabi masih dengan nada yang antusias.

"Yah kamu, de. Kenapa malah jadi bawa-bawa teteh?" Hinata protes, dan yang lainya hanya nyengir melihat tingkah kakak-adik yang satu ini.

"Tapi aku rasa, omongannya Hanabi ada benarnya juga. Umurmu kan sudah 22 tahun, teh. Kuliah juga sudah selesai kan tinggal menunggu wisuda saja." Kata Neji.

"Tuh kan, A Neji ikut-ikutan!"

"Justru itu, salah satu maksud abi mengumpulkan kalian yaitu abi mau membicarakan perihal teteh." Hiasi angkat bicara.

"Teteh, bi? Loh, emangnya ada apa?" tanya Hinata penasaran.

"Menurut abi, teteh sudah waktunya karena yang namanya perempuan itu, seumuran teteh sudah cukup untuk menikah." Papar Hiasi. Hinata memandang abinya dengan serius. Begitu pula Neji, Tenten dan bahkan Hanabi.

"Apa teteh sudah punya calon?" tanya Neji tak sabar. Hinata menggelengkan kepalanya. "Aku belum terpikir akan hal itu, A."

"Sebenarnya banyak tuh A yang suka sama Teh Hinata, cuma tetehnya aja yang gak pernah menanggapi mereka." Hanabi ikut berbicara.

"Apa abi punya calon untuk Hinata?" tanya Neji kali ini pada Hiasi.

"Ya makanya abi mau nanya dulu sama teteh. Gimana, apa ada yang sedang dekat dengan teteh?"

Hinata kembali menggelengkan kepalanya. "Abi kan tahu teteh kaya gimana. Kalau ada pun, pasti teteh bilang sama abi. Gak mungkin teteh bersembunyi di belakang abi kan?" Hiasi tersenyum senang atas jawaban putrinya. Ia bangga memiliki putra-putri yang jujur seperti mereka.

"Masih ingat temen abi yang kemaren bertamu?" kembali Hiasi bertanya pada Hinata.

"I-iya, bi." Jawab Hinata sedikit terbata. Entahlah tiba-tiba ia merasa dapat menebak apa yang akan dikatakan abinya selanjutnya.

"Memang siapa yang kemarin bertamu, bi?"Neji menyela penasaran.

"Temen lama abi, ajengan Rei. Masih ingat?" Neji menggeleng, tak ingat. "Sudah lama sekali soalnya. Mungkin dua puluh lima tahun yang lalu terakhir kami bertemu. Dan tidak sengaja sewaktu umroh kemarin, abi bertemu lagi dengannya di Mekah."

"Teh Hinata mau dijodohin sama temen abi itu, bi? Udah tua?" Hanabi bertanya, sontak membuat Hinata pucat, namun membuat Hiasi, Neji dan Tenten tertawa.

"Bukan, de. Bukan! Masa abi tega sama putrinya." Jawab Hiasi masih diselingi tawa. Hinata meghembuskan napas sedikit lega.

"Nah, kebetulan kemarin itu beliau sempat menceritakan putra bungsunya dan bermaksud mencarikan pendamping untuknya."

Hinata tertunduk, termenung. Tanpa ia sadari semua mata tertuju padanya. "E-eh?"

"Teteh pahamkan apa maksud abi?" tanya Hiasi lembut.

"Iya, bi."

"Jadi gimana?"

"E-eh? Gimana apanya, bi?" Hinata kikuk.

"Abi sendiri belum pernah bertemu langsung dengan anak bungsunya itu. Tapi kalau teteh setuju, nanti teteh ta'arufan dulu."

Kembali Hinata tertunduk merenung. Ia tak menyangka pembicaraan seperti ini akan muncul pada waktu dekat-dekat ini. Ia sendiri bingung. Bagaimana ini?

"Ya sudah, coba saja dulu, Teh. Kalau memang merasa tidak nyaman, kan bisa di batalkan. Itulah gunanya ta'aruf kan?" Kata Neji mencoba memberi masukan.

Hinata mengangkat wajahnya, menatap wajah abinya yang menunggu jawaban. Yaa Allah, ia ingin selalu menjadi anak yang patuh bagi abinya itu. Walau ini hanya masih berupa tawaran, lagi pula abinya tidak memaksa, tetapi apa ia tega menolak abinya? Akhirnya Hinata mengangguk.

"Bismillah, bi. Kalau menurut abi seperti itu, teteh ikut saja."

"Alhamdulillah kalau begitu. Abi kenal sekali ayahnya, Rei, dan Insya Allah, abi yakin, putranya itu adalah laki-laki yang baik."

Hinata mengangguk pasrah.


TBC :D

RR please :*