A/n: Halo.Ketemu lagi sama saya. Cerita ini terinspirasi dari cerita Pinocchio. Tapi, alurnya beda, loh. Yaudah lah. Terserah sih kalo mau dibilang plagiat atau apaan. Yang penting, saya buat fanfic berdasarkan pola pikir saya sendiri! Camkan itu!


Pinocchio

Len x Miku

Vocaloid Yamaha © Crypton Future Media


Chapter

1 of 6

.

.

.

.

.

Don't like, don't read!


Angin sepoy-sepoy mengelus rambut panjangnya. Kini gadis itu menatap sebuah dua batu nisan yang bertulis Hatsune. Bulir-bulir air menetes dari mata bewarna ceruleannya itu. Lalu ia memeluk kedua batu nisan yang telah lama ada ditempat angker tersebut.

"Semoga kalian tenang disana. A-aku akan baik-baik saja disini," ucap gadis itu lalu berdiri, "Aku harap kita semua bisa menghabiskan waktu bersama. Tetapi Tuhan tidak mengizinkan. Kalian pergi meninggalkanku begitu saja," gadis itu terisak.

"T-tapi, jika kalian bahagia disana, mudah-mudahan aku juga akan bahagia disini. Sindromku masih saja mengangguku. Tapi jangan khawatir," ucapnya lagi sambil tersenyum.

"Aku akan mengunjungi kalian lagi oke?" sambungnya. Lalu gadis itu pergi dan meninggalkan tempat yang bertuliskan Tempat Pemakaman Umum.

Ketika gadis itu melewati beberapa perumahan, ia melihat seorang gadis yang seumuran dengannya sedang merenung dibawah pohon.

"Apa yang terjadi?" tanya gadis berambut toska itu. Dia melihat perempuan manis di depannya yang memiliki rambut blonde sebahu dan warna mata cerulean.

"Siapa kau?" tanya gadis berambut blonde itu dengan kasar.

"Um, namaku Miku Hatsune. Senang berkenalan denganmu," ucap gadis yang bernama Miku.

"N-namaku R-Rin Kagamine," ujar Rin.

"Apa yang terjadi, Rin?" tanya Miku.

"Tolong, jangan sangat sopan denganku. Aku biasanya memakai bahasa gaul begitu," jawab Rin dengan pipinya yang memerah. Miku hanya sweatdrop dan ber-o ria.

"B-baiklah kalau begitu. Jadi, gue? Lu?" tanya Miku lagi dengan wajah bingungnya.

"Yap! Jadi lu bisa bantu gue marahin saudara gua gak?" ceplos Rin bahagia. Wajahnya tampak bersinar-sinar.

"Dengan senang hati!" balas Miku riang. Entah apa yang membuat Miku menjadi begitu. Kesambet, mungkin.

Yap! Kata yang cocok.

OooOooO

"Tadaima," seru Rin dengan suaranya yang cempreng.

"Okaeri. Suara lu cempreng amat!" balas seseorang. Tetapi suaranya agak lebih berat dari suara Rin. Lebih tepatnya, mengarah ke suara anak cowok.

"Apa hak lu ngejek suara gue, Len?" teriak Rin dengan suaranya yang –nambah– cempreng. Mungkin kalo pake toa lebih cempreng.

Len? Siapa Len? gumam Miku dalam hati.

Cowok yang bernama Len itu pun berjalan menuju ruang keluarga. Warna rambut Len sama persis seperti warna rambut Rin, blonde. Warna matanya cerulean.

Indah.

Len melihat gadis berambut toska itu.

"Rin, siapa dia?" tanya Len sambil menunjuk kearah Miku.

"Oh. Dia Miku Hatsune. Calon tunanganmu, lho~," goda Rin sambil menepuk pundak Miku.

Wajah Miku dan Len memerah.

"T-tunangan? Yang bener?" tanya Len khawatir. Rin mengangguk.

"Rin-chan! A-aku bukan tunangan—"

"Ah ah. Gaya bicaranya, Miku," Rin memotong perkataan Miku.

"Ah sudahlah," Miku pasrah.

"Oh ya, Miku. Tolong bantuin gue marahin Len ya?" bisik Rin ke Miku.

"Buat apa?" bisik Miku balik.

Len yang melihat aksi bisik-berbisik mereka, dia akhirnya lebih memilih pergi kembali ke kamarnya.

Rin menghentikan langkah Len dengan cara menarik bajunya, "Woi! Mau kemana lu?"

Len menoleh kearah Rin dan Miku. Wajahnya tampak suram, "Kalo gak ada masalah lagi, gua mau kekamar!" suaranya serak.

"Len? Kenapa lu? Tumben jadi marah gitu," ucap Rin iseng, "Lu belum memperkenalkan diri lu ke Miku," sambung Rin.

Len berjalan menuju Miku.

"Nama gua Len."

"Len doang? Gak punya marga?" kini Miku yang tampak bingung.

"Gue adalah saudara kembarnya RinBrengsek. Tentunya gue punya marga yang sama dengan Rin. Paham?" Len merendahkan suaranya pada kata 'paham'. Mata Miku membesar, lalu ia mengangguk. Jarak mereka cuma lima sentimeter. Semburat merah memenuhi wajah Miku.

"Len?" Rin melihat aksi keduanya sambil minum jus jeruk miliknya,

"Jangan cipokan di depan jomblo dong. Ngelamar aja belum, mau cipokan duluan," sambung Rin sambil menghisap jus jeruknya.

"Gua aja belum punya pacar. Tapi gua udah punya doi. Dia ganteng banget loh," Rin berhenti sebentar, lalu melanjutkan perkataannya tadi, "Gua juga berharap, gua nikah duluan sama dia sebelum kalian berdua," sambungnya kembali sambil mengkhayal.

"Gue gak mau nyipok dia tau! Wajahnya aja udah kayak nenek sihir gini!" Len mengejek sambil membuang wajahnya ke arah jendela. Karena wajah Len sudah memerah.

"Hey! Wajah jelek jangan ngejek dong! Ngaca! Wajah sendiri kayak monyet gitu— 'ukh," Miku cegukan.

Rin langsung menghampiri Miku, "Miku...lu gak kenapa-napa 'kan?" tanya Rin khawatir.

Miku tersenyum, "Iya. Cuma cegukan doang kok— 'ukh," Miku cegukan lagi. Len yang melihat Miku cegukan dua kali, akhirnya dia menolong Miku.

"Miku. Lu gapapa kan?" Len berbicara.

"Jangan sentuh gue!" Miku membentak.

"Gue mau pulang!" bentak Miku lagi.

"Miku? Gua m-minta maaf. G-gua gak ada maksud buat nyindir elu. Gua jujur, lu itu cantik," Len panik.

"..."

"Cie...Miku! Kita berhasil! Akhirnya Len ngomong 'minta maaf' juga," seru Rin bahagia.

Len selama ini tidak pernah berbicara minta maaf. Tapi Len pertama kali melakukannya untuk Miku. Perasaan aneh merasuki diri mereka berdua.

"Rin-chan. Aku mau bicara padamu," Miku melihat kearah Rin dan Rin mengangguk.

Len hanya terdiam disana dan tidak tau harus melakukan apa. Pipi Len sudah memerah. Dia telah di kerjain oleh saudara kembarnya sendiri dan gadis itu.

OooOooO

"APA? Lu kena sindrom Pinocchio?" tanya Rin dengan keponya.

"Iya. Gue juga ga tau sindrom itu asalnya dari mana. Tapi gue pengen sindrom itu hilang," ujar Miku lemas.

"Jadi lu ga bisa bohong gitu? Lu harus berkata jujur terus?" tanya Rin was-was.

"... Iya., jawab Miku.

"... Jadi, lu tadi bohong kalo Len itu wajahnya nggak kayak monyet?" tanya Rin sambil menggoda. Miku ngeblush.

"L-Len-kun itu...dia memang nggak mirip monyet. D-dia...–ganteng– dia shota," Miku yang jujur itu lagi ngeblush. Miku tidak percaya ia mengatakannya.

Dia shota, benak Rin. Shota. Kata-kata yang sangat Len benci. Len memang shota. Tapi sayangnya dia tidak polos. Lebih tepatnya, dia agak mesum.

Rin menyeringai, "Oh. Jadi maksudnya lu cinta pada pandangan pertama pada Len gitu?".

Miku langsung menegakkan kepalanya-berusaha untuk menjelaskan, "B-bukan itu maksudnya— 'ukh," Miku cegukan kembali. Rin semakin menyeringai.

Jadi gue bener. Miku suka sama Len. Mungkin juga sebaliknya. Gue harus cari teman cupid gua buat Len sama Miku, gumam Rin.

"Rin-chan?" suara Miku terdengar agak gugup.

"Ya Miku?" jawab Rin tersenyum.

"A-aku mau pulang."

"Miku. Plis deh, kata-katamu itu jangan terlalu sopan. Gak enak dengernya," balas Rin ketus.

"..."

"...Ah. Maafkan. Gue gak ada maksud buat marah. Gue cuma gak nyaman terlalu sopan kayak lu," ucap Rin sambil menatap kearah kakinya.

"Iya. Gak apa-apa kok. Rin? Apakah kita bisa jadi sahabat?" tanya Miku lembut.

Mata Rin menatap wajah Miku. Miku sangat polos. Dia mungkin sering diajarkan sopan santun. Sedangkan Rin dan Len, mereka jarang diajarkan sopan santun oleh orang tua mereka.

"T-tentu. Gue sangat senang bisa jadi temen lu, Mik," ucap Rin tersenyum.

Miku tersenyum balik.

OooOooO

"Arrrghhh!" Len frustasi. Kenapa dia salting ketika berada dekat Miku? Perasaan aneh ini terus mengganggu dirinya.

Len terus menjambak-jambak rambut blonde nya itu. Apa yang terjadi padanya? Ia tidak boleh cinta pada pandangan pertama terhadap Miku! Karena dia telah menaruh hati kepada Utatane Piko.

Utatane Piko adalah sahabat Len sejak dia masih SD. Sampai sekarang, persahabatan mereka tidak pernah putus. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Len menyukai Piko.

Len tau hal itu agak sedikit menjijikkan. Tapi ia juga tidak tau, dia harus memilih Piko atau Miku.

"...Piko atau Miku? Kalau Miku, kami bisa mempunyai seorang anak kelak. Karena dia bisa melahirkan. Nah, kalau Piko? Piko itu laki-laki. Mana mungkin dia bisa melahirkan. Pasti hidup menyedihkan jika tidak punya anak," Len merenung.

Len juga merasa bingung. Kenapa Miku sering cegukan.

"Argh! Lebih baik gue tanya Rin," Len keluar dari kamarnya dan mencari Rin.

OooOooO

"Nanti datang kesini lagi ya! Jaa nee!" suara cempreng Rin terdengar di telinga Len.

"Rin," ucap Len sambil melihat kearah saudara kembarnya itu.

"Hoi?"

"Miku kenapa? Kenapa dia sering cegukan?"

"Ehem. Kayaknya ada yang perhatian disini." Rin menyeringai.

Pipi Len memerah seketika, "B-bukan itu maksudku!" wajah Len sudah memerah seperti kepiting rebus, "Gue cuma mau tau doang," lanjutnya sambil memalingkan wajah.

"Miku...dia terkena sindrom Pinocchio. Jadi dia tidak bisa berbohong sama sekali. Jika dia berbohong, dia pasti akan cegukan," jelas Rin dengan nada yang cukup serius. Len ber-o ria.

"Oh. Terima kasih atas infonya, Rin," Len langsung pergi ke kamarnya kembali.
Sebenarnya Rin sedih melihat saudara kembarnya begitu dingin. Semenjak orang tua mereka meninggal, perubahan sikap Len menurun drastis. Tetapi anehnya, Len selalu berbeda ketika dia sedang berhadapan dengan Miku. Seperti tampak...lebih bahagia.

OooOooO

Besoknya, Miku berjalan menuju pemakaman. Sebelum ia pergi kesana, Miku membeli seikat bunga terlebih dahulu.

Krring...*

"Selamat datang ditoko bunga FreshFlower. Silakan pilih bunga yang anda suka. Kami menyediakan beberapa bunga terlaris di kota ini," sapa sang penjaga toko dengan ramah. Miku hanya tersenyum dan memilih bunga yang akan ia beli.

Ketika mata Miku melesat pada seikat bunga mawar, matanya langsung membesar. Ia ingat kejadian ketika beberapa tahun yang lalu.

— Flashback —

"Mama! Papa! Lihat ini!" teriak gadis berumur 12 tahun itu. Orang tuanya langsung menghampiri gadis mungil itu.

"Ada apa, Miku?" tanya mama Miku lembut.

"Bunga ini cantik sekali. Seperti mama!" puji Miku kepada mamanya.

"Eh? Bukannya cantik seperti kamu?" goda mamanya.

"Mama ini. Bisa aja menggoda Miku," ujar sang papa.

"Yah. Dia memang cantik seperti bunga mawar. Tapi aku harap perilakunya tidak seperti bunga mawar. Lihat saja tangkainya, berduri. Seperti sifat pendiam, sombong, dan keji. Aku harap dia menjadi gadis yang baik dan disukai oleh banyak orang," ucap panjang lebar sang mama.

"Aku harap juga begitu," jawab papanya.

"Aaaaahhh!" Miku menangis kesakitan. Orang tuanya yang dari tadi sibuk berbicara langsung menghampiri putri kecilnya itu.

"Kenapa Miku?" tanya mamanya khawatir.

"Hiks...J-jari M-Miku berdarah...hiks...I-ini sakit, ma!" rengek Miku lalu memeluk mamanya.

"Jangan menangis lagi oke? Papa akan mengobatinya. Tenang saja," mamanya mencoba menenangkan Miku.

"Sudah," ucap sang papa bahagia. Miku langsung melihat jarinya yang sudah terlapisi oleh perban. Miku tersenyum bahagia.

"Terima kasih, mama, papa!"

— End Flashback —

Tetapi untung saja duri tangkai bunga mawar itu sudah dibersihkan. Jadi Miku bisa mengambil seikat bunga mawar itu.

Ketika Miku hendak mengambilnya, tiba-tiba ada tangan seseorang yang juga hendak mengambilnya. Miku menoleh kearah orang pemilik tangan tersebut.

Untuk kagetnya, Miku melihat Len menatap dirinya dengan senyuman. Wajah Miku menghangat.

"Oh. Maafkan. Aku seharusnya tidak mengambil barang milik orang," ucap Len sambil tersenyum lalu memindahkan kedua tangannya ke dalam sakunya.

"Gak apa-apa kok. Kalo mau, silakan. Gue bisa cari yang lain," balas Miku memalingkan wajahnya dari wajah Len.

"Nggak. Kan lu duluan. Silakan. Gue bisa cari yang lain," ucap Len lagi.

"Ah, maaf menganggu. Sebenarnya disini ada dua ikat bunga mawar. Silakan," sang penjaga toko itu memberitahu. Miku dan Len tersenyum ramah kepada penjaga toko tua itu.

"Terima kasih," ucap Len dan Miku bersamaan.

"Sama-sama. Kalian sangatlah cocok," puji penjaga toko seraya tersenyum ke arah mereka.

"Uh...terima kasih?...lagi," ucap mereka bedua bersama lagi lalu pergi dari toko itu.

"Miku," sapa Len tiba-tiba. Mereka masih didepan toko tersebut.

"Hmm?" Miku menatap Len.

"Lu mau pergi ke pemakaman?" Miku mengangguk, lalu Len tersenyum.

"Mau ikut sama gue?" tawar Len.


To be continued.