Nyhahaha... Halo Minna-san! *Teriak di puncak gunung* #PLAKPLAK
Rei comeback! #PLAKPLAK! Iya, Rei tau fic Rei yang lain belum selesai dan udah lama belum update. Tapi Rei ga tahan pengen publish fic ini. beneren .V
Ini fic yang menurut Rei sangat aneh. kenapa? Minna-san akan segera tau. *pose ala detektif* #PLAKPLAK
yupz.. Happy reading!
.
.
.
Naruto by. Masashi Kishimoto
Yuri To Hanabi by. IceQueen Rei-chan Yuki
NaruSasu/SasuNaru?
T
Family/Hurt/Comfort/Romance
Shonen-ai?
Don't Like Don't Read
Teriknya musim panas mengharuskan Naruto berkali-kali kembali ke dapur untuk membuat jus dingin. Tugas sekolahnya yang menumpuk yang menyebabkan Naruto seharian berkutat di depan komputernya. Padahal Naruto berencana menghabiskan libur musim panasnya dengan pergi ke suatu tempat. Kemana saja asalkan tidak bertemu dengan 'orang baru' di rumahnya.
Naruto tak habis pikir, bagaimana bisa Namikaze Minato, Ayahnya, pulang dengan membawa 'orang baru' itu. Hidup berdua saja tidak apa-apa. Kenapa sampai mengangkat anak lagi.
Dari cerita Minato, orang baru itu sudah tak punya orang tua dan Kakaknya sibuk mengurusi pekerjaan di berbagai tempat sampai dia sering ditinggal berhari-hari. Katakan saja Minato bersahabat baik dengan orang tuanya. Jadi itu alasan dia diangkat anak?
Dia hanya lebih muda satu tahun dari Naruto. Usia 16 tahun bukanlah anak yang harus dimanja. Dia sudah bisa menjaga dirinya sendiri. Biarkan saja dia hidup sendirian. Tidak diangkat anak juga dia tidak akan mati.
"Naruto, bagaimana tugasmu?" Minato menutup koran yang dibacanya ketika Naruto bergabung di meja makan bersamanya.
"Masih banyak." Jawab Naruto singkat. Segelas jus jeruk langsung dihabiskannya dengan sekali teguk.
"Oh ya, dimana penganggu itu?" Sambung Naruto sambil melihat-lihat sekitarnya.
"Naruto, namanya Sasuke. Dan dia bukan penganggu. Kau masih belum bisa mengakuinya sebagai Adikmu?"
"Tousan. Aku tidak butuh Adik." Naruto menatap dingin pada Minato.
Minato menghela nafas. Percuma berkali-kali menyuruh Naruto mengakui keluarga barunya. Naruto tak bisa menerima ada orang baru di rumahnya. "Sasuke sedang ada di rumah kaca."
"Hah!" Naruto segera menuju ke rumah kaca di belakang rumahnya. Itu tempat dia menyimpan bunga-bunga lily yang ditanam Ibunya dan selama ini Naruto tak mengijinkan siapapun masuk ke tempat itu. Berani sekali orang baru itu masuk kesana.
"Hey, pengganggu!" Naruto membanting pintu kaca dengan kasar. Tanpa membuang waktu, Naruto merampas lily putih ditangan Sasuke. "Jangan memetik bunga-bunga ini sembarangan!"
"Ma-maaf, Na-Naruto-nii…" Ucap Sasuke terbata. Sasuke agak takut melihat wajah marah Naruto. Selama seminggu dia tinggal di rumah barunya, Naruto sering berbuat kasar padanya. Tidak jarang pula Naruto melukainya.
"Apanya yang maaf! Berani-beraninya kau masuk tempat ini tanpa ijin dariku. Kau pikir kau siapa! Meskipun kau sudah menjadi bagian dari keluargaku bukan berarti kau berbuat seenaknya disini. Apalagi kau masuk dan memetik bunga-bunga ini tanpa sepengetahuanku!" Naruto melemparkan bunga lily itu pada Sasuke.
"Hanya setangkai tidak apa-apa 'kan?"
BYUR!
Naruto menyiram Sasuke dengan seember air. Ember yang sudah kosong itu juga Naruto lemparkan pada Sasuke. "Kau bilang 'Hanya'! Susah payah aku dan Ibuku menanamnya. Lalu kau memetiknya dan kau bilang 'Hanya'!"
"Maaf…" Suara Sasuke bergetar. Dia terlalu terkejut dengan sikap Naruto. Sasuke tak menyangka memetik setangkai lily putih bisa membuat Naruto semarah itu.
"Keluar dan jangan pernah masuk ke tempat ini lagi!" Naruto menarik paksa tangan Sasuke. Setelah berada diluar rumah kaca, Naruto mendorong Sasuke sampai terjatuh.
"Naruto-nii… Maaf…" Ucap Sasuke pelan.
"Jangan panggil aku Kakak! Aku bahkan tak mengakuimu sebagai Adikku!" bentak Naruto. Naruto berjongkok , mensejajarkan dirinya dengan Sasuke. "Ingat kata-kataku. Kalau kau berani masuk ke tempat ini lagi, aku akan menghabisimu." Ucap Naruto penuh nada ancaman.
"Bunga-bunga itu tidak akan mati kalau hanya dipetik satu saja. Kenapa Naruto-nii sampai marah begitu?"
Naruto menarik kerah baju Sasuke. "Kau tidak dengar tadi! Bunga-bunga itu susah payah ditanam oleh Ibuku. Aku tidak akan membiarkan seorangpun menyentuh hasil kerja keras Ibuku. Karena cuma ini yang ditinggalkan Ibuku! Sekarang pergi dari hadapanku!"
"Naruto-nii…" sasuke terpaku menatap mata Naruto berkaca-kaca. Baru kali ini dia melihat Naruto berekspresi. Setiap dia dan Naruto bertemu pandang, Naruto selalu menatapnya dingin tanpa ekspresi.
"PERGI!" Teriak Naruto frustasi. Perbuatan Sasuke kali ini meluapkan emosinya. Padahal Naruto mengira perasaannya sudah mati. Lama dia tak merasakan emosinya. Tapi sekarang Naruto merasakan lagi percampuran emosi memenuhi hatinya.
.
Sasuke beranjak dari sana. Meninggalkan Naruto yang masih tertunduk. Setelah Sasuke masuk ke rumah, barulah Naruto kembali ke rumah kaca dan mengambil bunga lily yang dipetik Sasuke.
Naruto berjalan lesu. Ingatan-ingatan tentang Ibunya tiba-tiba kembali. "Ini payah…" Seru Naruto. Kenapa bisa ingatan itu kembali. Kakinya seketika menjadi lemas dan naruto jatuh terduduk setelah membuka pintu rumah kacanya.
"Jangan datang lagi…" Naruto memeluk lututnya. Dia tahu tak bisa melakukan apapun untuk menghilangkan ingatan tentang Ibunya. Terutama ingatan tentang dia dan Ibunya ketika menanam lily putih itu. Yang menyakitkan bukan saat mengingat hari itu. Tapi saat mengingat apa yang diucapkan Ibunya di hari itu. Makna lily putih sama dengan prinsip Ibunya.
Apanya yang sama. Lily putih simbol keagungan dan kemurnian. Tak ada sangkut pautnya dengan prinsip yang selama ini dipegang Ibunya. Apa hubungannya lily putih dengan persahabatan.
Tangannya terkepal menghancurkan lily putih di genggamannya. Apanya yang seperti bunga. Hidup ya hidup. Bunga ya bunga. Tak perlu mengaitkan hidup dengan bunga jika tak ada artinya.
Prinsip itu hanya omong kosong belaka. Sama seperti dongeng-dongeng anak kecil. Tak berharga, tak ada gunanya memegang prinsip jika akhirnya mati karena prinsipnya sendiri.
"Yang paling menyenangkan bukanlah saat kau mencapai puncak sendirian, tapi saat kau berjuang bersama orang lain."
Tidak. Itu tidak benar. Apa mati demi orang lain itu menyenangkan? Nyawa bukan sesuatu yang bisa dikorbankan begitu saja. Sekali kehilangan nyawa takkan ada gantinya. Lebih berharga mana nyawa sendiri atau orang lain?
Wajahnya menengadah, menyaksikan awan-awan bergerombol menghalangi teriknya matahari dan membuat langit mendung. Dia tertawa. Tawa disaat hatinya sama sekali tak ingin tertawa, Merujuk pada satu kata. Ironi. "Bahkan saat musim panas, langit bisa mendung ya?"
Angin bertiup muram dari arah belakang, menerpa helai-helai pirangnya sampai menutupi wajah, sesaat rasa dingin menusuk tengkuk dan punggungnya. Dia tertawa lagi, masih dengan ironi. Entah sudah berapa lama, sejak terakhir kali ia mengakui dirinya lemah dan butuh seseorang untuk menopangnya.
Mungkin beberapa tahun. Beberapa tahun dia menyembunyikan sisi lemahnya, tapi sekarang pertahanannya hancur seketika karena ada orang yang menyentuh bunga kesayangan Ibunya.
Memangnya kenapa kalau disentuh? Bunga tak akan hancur karena disentuh saja. Kenapa pula dia harus marah ketika ada orang lain masuk ke taman Ibunya?
Hatinya sendiri yang menjawab. Karena diam-diam ada setitik kepercayaan pada prinsip yang dipegang Ibunya. Ada sedikit keyakinan bahwa kehidupan seperti bunga. Indah jika bersama-sama. Tak ada keindahan dari sekuntum bunga mekar diantara bunga mati.
Oleh karena itu, dia takut jika lambang prinsip Ibunya dihancurkan. Itulah alasan dia tidak mengijinkan siapapun masuk ke taman Ibunya. Dia ingin melindungi apa yang menjadi kepercayaan Ibunya.
Perlahan dia membuka tangannya. Lily putih digenggamanya sudah hancur. Semua kelopak telah terlepas dari tangkainya.
Satu lagi perumpamaan ditemukannya. Satu bunga mekar diantara bunga mati memang tidak indah. Tapi bagaimana jika satu bunga mati diantara bunga mekar? Apa keindahan itu juga akan hilang?
Kali ini angin bertiup dari sisi kirinya, menyingkirkan kelopak-kelopak Lily beserta tangkainya dari tangannya. Beberapa saat kelopak-kelopak putih itu melayang kemudian terjatuh diantara bunga-bunga yang lain. Keindahan itu masih sama.
Satu bunga mati itu mati sendirian. Tak ada artinya. Tak ada satupun teori yang mengatakan jika satu bunga mati yang lainnya ikut mati.
Balikkan saja faktanya. Saat kau lebih mementingkan orang lain, apa orang-orang itu juga lebih mementingkanmu. Tidak. Karena setiap manusia terlahir dengan ego yang tinggi. Mereka akan terus berjalan demi meraih tujuan masing-masing.
Saat kau berhenti berjuang, apa orang-orang itu juga akan berhenti? Jangan harap. Mereka akan tetap berjalan dan meninggalkanmu lalu kau terlupakan. Itu berarti prinsip Ibunya salah besar 'kan?
Betah dengan posisinya, Naruto masih memeluk lutut, menatap lirih pada rumah kaca tempat favorit Ibunya. Berharap dengan itu pertanyaannya bisa terjawab. Alasan kenapa Ibunya lebih memilih membunuh dirinya sendiri.
.
Pantulan wajahnya di kaca tak dihiraukannya. Disekitar kakinya tercipta genangan air dari pakaiannya yang basah. "Naruto-nii…" Gumamnya pelan.
Keingintahuannya tentang Naruto yang membuat dia mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Dan Sasuke baru melihat ekspresi Naruto yang sekarang. Ekspresi itu bukan kepura-puraan. Mata biru yang tadi menatapnya berbeda.
"Kau baru saja memancing perasaannya." Minato buka suara. Setelah terdiam disofa, kini ia ikut memperhatikan Naruto. "Sejak kejadian itu, Naruto menutup dirinya dan menjauh dari keramaian. Dia tak pernah menunjukkan ekspresinya, dia juga tak mempedulikan orang lain."
Sasuke sedikit tak percaya pada cerita yang baru saja Minato beritahukan padanya. Sekalipun itu seorang Ibu, tapi membunuh dirinya sendiri demi keselamatan Anaknya, Sasuke kira itu hanya ada di novel-novel, bukan dunia nyata.
"Yang Naruto butuhkan adalah orang yang bisa dia percayai sepenuhnya. Orang yang akan selalu ada untuknya. Aku ingin melihat kepekaannya terhadap perasaan orang lain lagi. Tapi dengan sifatnya sekarang, akan sulit untuk memahaminya. Orang lain akan selalu salah menilai Naruto." Minato menghela nafas. Setiap kali Naruto menunjukkan perasaannya, Minato tak pernah tahan melihatnya. Naruto memang tidak menangis. Tapi wajah sedihnya itu cukup membuat Minato merasa bersalah.
Minato selalu meminta maaf pada Naruto karena tak bisa melindungi Ibunya, karena ia tak ada saat Naruto menyaksikan Ibunya bunuh diri. Dan yang ia dapatkan dari Naruto adalah "Tidak apa. Ini bukan salah Tousan." Sebuah kalimat penyangkalan yang Minato tahu hanya kepura-puraan.
"Aku mengerti, Tousan. Bagaimana sakitnya saat mengetahui dikhianati. Aku juga mengerti bagaimana sakitnya ditinggalkan orang yang disayangi."
Sasuke berharap saat ini dia bisa mengatakan pada Naruto kalau dia ada untuk Naruto. Nasibnya tak jauh berbeda dengan Naruto. Tapi tak perlu sampai seperti itu. Tidak semua akan meninggalkannya ketika dia berhenti berjuang. Masih akan ada yang menunggunya dan membantunya. Masih akan ada yang menyemangatinya.
"Seharusnya Naruto-nii sadar, masih ada Tousan…"
"Naruto tahu itu. Dia hanya takut, ketika dia mulai percaya, dia dikhianati. Seperti yang dialami Ibunya."
"Aku pun… Sama dengan Naruto-nii…"
-To Be Continued-
Oke. Ini adalah filosofi teraneh yang Rei buat. Pasti Minna-san juga berpendapat sama 'kan? Rei dapet inspirasi fic ini dari lagu The Gazette yang judulnya Pledge. Rei tau ga ada hubungannya, tapi musiknya itu lho.. Rei jadi ngebayangin Rei bikin video tentang NaruSasu. Dan JRENG JRENG… jadilah fic aneh ini…
Meskipun begitu, Rei harap Minna-san nggak pergi gitu aja setelah baca fic ini… misalnya dengan memberi Review? itu akan berharga sekali buat Rei… hehehehe…..
