Semenjak kecil, amanah sudah diturunkan padanya.
"Jadilah orang mayoritas yang lurus mengikuti arus, tak perlu sok keras kepala dan melawan jalurmu sendiri. Taati aturan, jauhi apa yang dilarang, dan hiduplah tenang. Jangan sampai kau ditendang masyarakat karena hanya salah belok sedikit saja."
Ibunya seperti dokter, begitu pikir Watari yang berumur 4 tahun dan masih mengompol tiap malam. Beliau seperti dokter, mengucapkan hal aneh yang tak Watari pahami. Di klinik, dirinya hanya mengangguk-angguk dengan tatapan bengong saja ketika orang dewasa berjas serba putih itu mengoceh dengan senyun terkulum yang ditunjukkan padanya. Terkadang dia mendapat cubitan pipi gratis, dan terkadang lagi permen lollipop gratis.
Walaupun tak paham, Watari hanya mengangguk saja. Ibunya tersenyum, mengelus kepalanya, dan berujar lembut,
"Maksudnya, Ryota ga boleh ngelawan jalan Tuhan."
"Tuhan punya jalan bu?" Anak polos tetaplah anak polos, yang terkadang tanyanya bisa mengundang tawa. Ibunya, dengan kekehan yang keluar, menggeleng pelan.
"Nanti ketika dewasa, Ryota akan tahu. Nah, tadi katanya mau main sama Kousei? Ayo pergi, nanti Kousei lama menunggu."
.
Ketika tas ransel hitam sudah tersampir di bahunya tiap pagi, dan mulai bisa mengerti betapa menyenangkannya sekolah dasar, Watari menjadi anak taat aturan.
Bangun tepat jam lima pagi? Sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
Menjadi duta lingkungan di kelas? Jangan tanya siapa yang sukarela mengikutinya.
Mengumpulkan tugas tepat waktu? Siapa yang pertama meletakkannya di meja guru coba.
Dengan begini, Watari berpikir ibunya akan tenang karena sungguhlah, dia adalah anak baik nan teladan. Tak mau macam-macam yang bertolak belakang dari aturan yang telah ditetapkan.
Tapi, pubertas mengubahnya.
Hal yang wajar, karena Watari sedang mencari-cari jati dirinya sendiri. Melakukan banyak hal menarik yang kadangkala tak berguna. Kenakalan dan kejahilan yang merasuki dirinya sampai-sampai wali kelas berceloteh panjang lebar padanya. Bergonta-ganti gadis cantik nan aduhai seusianya, kemudian berpisah bahkan tak sampai seminggu.
Tapi ada saja, selalu, dua orang yang mengingatkannya, berjalan beriringan bersamanya, dan mungkin salah satunya menjadi pemicu menyimpangnya prinsip taat aturan Watari.
Dia melihat Kousei, dan wajah itu membuatnya berdetak bangun, sadar bahwa ada orang yang penting di hidupnya.
Dia menatap Tsubaki, dan cengiran itu menghangatkannya, benar, hidup itu dipenuhi keindahan.
Mungkin,
Satu penyimpangan saja, akan mengubah masa depannya. Tapi Watari yakin sekarang. Ini hidupnya, dia yang memindahkan bidak di dalamnya.
Ya atau tidak sama sekali.
..
(Maap saya cuma kangen Watari. Maapkan fic sampah ini)
