Bagi Lenka, cukup segelas susu jahe di kedai mungil nan sederhana, meski alienasi yang ia jelajahi, itu sudah cukup untuk mengisi tahun baru.
Sudah cukup. Suasana hangat yang tercipta mendekap Lenka. Riuh rendah transportasi yang berlalu-lalang, tawa orang-orang yang menjejak rua menuju festival, atau letupan kembang api pribadi yang diluncurkan dari rumah-rumah, tak mengusiknya. Lenka berkelana dalam imaji dan menciptakan buana sendiri.
Lenka memang bukan tipe gadis yang suka meluapkan euforia dalam pekik-pekik beroktaf tinggi. Ia memilih menumpahkan euforianya pada satu wadah tersendiri, pada imajinasi dan fantasinya yang sunyi. Lagi pula Lenka tak banyak memiliki teman yang bisa diajak bersenang-senang secara demikian. Hanya saja, sang kakak mendorong Lenka untuk sekadar berjalan-jalan menyusuri rua menuju festival, terserah Lenka mau berhenti di mana, yang penting Lenka tahu dunia luar, begitu kata sang kakak yang mengkhawatirkan Lenka menjadi kurang pergaulan. Akhirnya Lenka memilih untuk duduk di kedai ini.
Itu semua sudah cukup. Tak perlu hal muluk-muluk untuk kebahagiaan Lenka. Lenka tak pernah meminta hal-hal yang berlebihan. Bahkan Lenka tak meminta kehadiran seorang lelaki bersurai teal—yang realitanya kini tengah duduk di hadapannya, ikut-ikutan memesan segelas susu jahe, pura-pura sibuk membaca pesan di telepon selularnya seraya mencelup-celupkan biskuit cokelat ke dalam susu jahe.
"Tahun baru seperti ini," Lenka memilih membuka konversasi, menyingkap hening dan rasa canggung yang menggelayuti,"kenapa kau malah ada di sini, Mikuo?"
"Memangnya salah?" Mikuo terlihat apatis, mengunyah biskuit cokelat yang berlumur manis pedas susu jahe. Mata Mikuo bahkan tak terpancang pada Lenka, seolah ada remeh yang hendak ia utarakan. Kening Lenka berkedut. "Tentu saja salah."
"Apa yang salah?" Kini netra Mikuo yang senada dengan rambutnya sedikit mengerling pada Lenka. Lenka menghela napas merasa eksistensinya baru dihargai meski dengan harga yang paling rendah. "Aku tidak mengundangmu."
"Kedai ini bukan milik nenekmu. Siapa saja bebas datang ke sini."
"Tapi kau duduk di depanku!"
"Tempat yang lain penuh."
Lenka menggeleng. Mungkin Mikuo telah menjadi bodoh atau rabun. Saat Mikuo datang, masih ada beberapa meja yang kosong. Mikuo harusnya tak menjadikan tempat di hadapan Lenka sebagai opsi pilihan!
"Kalau kau tidak suka," Mikuo memasukkan handphone-nya ke dalam saku celana,"pulang saja."
"Kurasa aku yang harusnya punya hak berkata begitu. Aku yang duluan datang ke sini," ujar Lenka ketus, membela haknya atas titik favoritnya. Lenka mulai merasa lelaki ini merusak rasa hangat dan bahagia yang ia susun secercah demi secercah sedari tadi.
Mikuo bertopang dagu, memandang ke luar. Lenka merasa tak ada segelintir pun hal yang ia pahami dari presensi Mikuo saat ini. Entah apa maksud Mikuo menjadikan kursi di hadapan Lenka sebagai destinasi, Lenka masih ingin protes. Tapi kemudian Mikuo berkata,"Syukurlah tidak hujan." Ia mengalihkan topik perbincangan. Tapi Lenka terpancing juga. "Memang kenapa?"
"Ya, kembang api bisa sukses dinyalakan," jawab Mikuo. Ada jeda sejenak sebelum kemudian ia berkata dengan nol koma satu hesitansi. "Mau lihat kembang api bersamaku?"
Mata Lenka membundar. Mendadak ada sekelumit benci yang memantik bunga api di dalam hatinya. Tapi meski bunga api itu terkesan mungil, tingkat probabilitas hati Lenka untuk cepat hangus sangat tinggi. Ia tak suka. Benar-benar tak suka atas lima kata yang baru saja Mikuo bebaskan.
"Dasar bodoh!" cerca Lenka. Netra Mikuo ikut melebar. "Apa kaubilang?!"
"Kau—kau bodoh!" Lenka mengatupkan mulutnya cepat-cepat, menyadari volumenya bisa menarik atensi para pengunjung. Ia melanjutkan dengan suara lirih. "Kau … bukankah harusnya kau mengajak kakakku?"
"Ya, ya, tapi Rin sedang sibuk dengan tugas pekerjaan yang tidak bisa diganggu gugat. Lalu, kebetulan aku bertemu denganmu di sini." Mikuo melontarkan alasan tanpa rasa bersalah menyambang. Wajah Lenka jadi semakin suram. "Tapi … kau tidak bisa mengajakku begitu saja!"
"Memangnya kenapa? Kau kan calon adik iparku!"
"Ya, dan kakakku calon istrimu!"
"Aku hanya mencoba menjalin koneksi baik dengan famili tunanganku."
Tanpa diduga, Lenka langsung berdiri dengan wajah getir, menatap Mikuo dalam-dalam, menggumam pilu. "Aku lupa mengatakan … selamat atas pernikahanmu dengan kakak dua minggu lagi."
"Huh? Kenapa tiba-tiba—"
Tapi Lenka terlanjur pergi menuju kasir, membayar susu jahenya, melangkah melewati pintu tanpa sekali pun menoleh Mikuo lagi.
(Dua tahun lalu, Mikuo masih milik Lenka, masih kekasih Lenka, mengajaknya menonton kembang api di kedai yang sama)
