Saint Seiya © Masami Kurumada
Puzzle Pieces in Culpability © Shimmer Caca
Kepingan-kepingan memory mulai tersusun acak di kepalanya, laksana teka-teki yang siap dipecahkan. Sementara lilin kehidupan hampir padam, waktunya semakin sedikit. / "Dia … selalu ada di sini. Melindungi kalian."/ "Kegelapan kini kan membelunggumu, ikuti jejak sang Dewa Dunia Bawah atau tersesat selamanya dalam kepedihan abadi."/ "kali ini saja. Dengarkan aku."
Warnings : OOC, Typo(s), Marry sue OC, dan segala kegajean lainnya. DLDR. Anti OC? Mending jangan baca deh.
Italic: Flashback
"Hosh … kimitachi,"
Shizen menyapu Sanctuary yang sudah hancur berantakkan, matanya melirik ke belakang tempat di mana Kakaknya, Saga, bernaung dalam kekuasaan kotor sebagai Paus, Pope Chamber. Ia terduduk di tanah, sementara enam dewi di depannya tersenyum sinis, siap membawa Shizen ke hadapan Raja Kronos.
"Mari, Nona Shizen," Mnemosyne mengajaknya dengan sopan dan suara yang halus, tapi Shizen tetap mendecih lalu meludah di depan mereka.
Themis mengerang tak suka, "Kau menentang Dewi dengan tubuh yang hampir mati begitu? Dasar bodoh!" Ia mengangkat tangannya ke atas tinggi-tinggi, siap menyerang Shizen kembali namun berhasil ditahan Rhea.
"Anatachi … douishite?" Shizen bangkit, mengelap darah yang keluar dari mulutnya, "Doushite no?!" auranya menguar dengan kegelapan pekat, untuk beberapa detik langit siang sudah sekelam malam. Tangan terkepal kuat, menyiapkan tinju untuk menghantam mereka satu per satu meski rasanya tak mungkin. Bahunya bergetar, namun tak mungkin ia akan menangis di sini. Suara erangan, bersamaan dengan langkah kaki yang mengepak kuat di tanah.
Dugh
Satu orang menghindar lalu dengan cepat melumpuhkan titik siku Shizen. "Rhea," Shizen menatap Rhea meski pandangannya telah kabur, ia terhuyung-huyung ke belakang sambil memegang lengannya yang berhasil dilumpuhkan. "Seharusnya kau membenciku,"
"Aku memang membencimu."
Dengan anggun dan cosmo yang luar biasa mengkilau, Rhea menghampiri Shizen, lalu menepuk dahinya membuat gadis itu terlempar ke belekang.
"Itulah sebabnya aku di sini," ia menatap langit yang perlahan-lahan kembali cerah, "Kau memiliki dua pilihan. Cosmomu adalah kegelapan, penghancur dan juga penyelamat. Ikutlah dengan kami dan bersama-sama membuat dunia yang baru."
Shizen menerawang jauh ke atas, teringat ketika pertama kali ia bertemu Saga, ketika ia dan Minos piknik bersama, atau ketika ia melihat tawa orang-orang di Kota Athens. Terlalu banyak kenangan di dunia yang ia tempati sekarang. Meskipun pada nyatanya semua kini berubah.
Gadis itu tertawa konyol, "Kau boleh menghasutku sekarang. Aku tidak peduli…" ia tersenyum lembut sambil menatap tanah yang sedang ia pijak. "Meski dunia berubah sekali pun, aku tak akan meninggalkan atau menghancurkan bumi yang kini aku tempati!"
"Kita akan membuat dunia yang lebih baik dari sekarang. Tanpa perang. Tanpa pertumpahan darah. Hanya dunia yang damai dengan satu Tuhan," Phoebe mengernyitkan dahi menatap Shizen.
"Sudah kubilang aku tidak peduli!" ia membakar cosmonya mencapai langit, "Aku tidak akan meninggalkan bumi ini karena terlalu banyak kenangan di dalamnya. Aku tidak akan meninggalkan Saga-nii, Kanon-nii, Minos, dan semua orang yang aku sayang!" Rhea tersenyum mengejek sedangkan Thetys dan Theia mendecih. "Aku menjaga kepercayaan orang-orang lemah. Aku bersumpah setia pada Athena."
Langkahnya semakin tegas, ia mengayunkan tangannya ke samping dan segumpal cosmo menguar di atasnya. Ia harus membuat sebuah pilihan. Mati atau kalah dalam kegelapan. "Kau akan–"
"Phainomenon…"
"Apa?! Tidak mungkin!"
"—Arkhein!"
Tempat mereka diselimuti oleh awan gelap terbungkus api, petir menggelegar di mana-mana, dan angin topan muncul di kejauhan. Shizen tersenyum lemah, lalu jatuh ke tanah 'Aku membuka segelnya…' dapat ia lihat dewi enam pilar terkepung di antara bencana alam yang ia hasilkan. Mata merahnya berair, menatap awan kelabu yang semakin lama semaki kabur. Mungkin ini akhir hidupnya, mungkin inilah akhir dari semua perasaan yang ada, pada akhirnya ia harus menemukan sendiri konsep kematian itu.
Namun cahaya kegelapan yang dipancarkan Rhea lebih terang dari kabut tebal beracun, ia berhasil menemukan Shizen dengan cepat dan tanpa membuang-buang waktu lagi meninju wajah Shizen, sementara di belakang, kelima saudaranya yang lain sudah terjatuh ke dalam bumi yang terbelah dua.
"Jika aku tak bisa membawamu dalam keadaan hidup. Maka dengan sangat terpaksa dan senang hati, akan kuambil nyawamu, Shizen."
Rhea mencekik Shizen dan mengangkat gadis itu ke atas, tangannya memancarkan aura kuat sementara Shizen tak dapat mengeluarkan suara selain pekikan tertahan. Ia sekarat di tangan sang Ratu Titan.
Ia mengayunkan kakinya ke samping, namun berhasil ditahan Rhea sautu centi sebelum kaki itu terkena wajahnya. Rhea mendecih kecil dan melempar Shizen ke tanah, suara bedebum keras serta pekikan kecil mengisi tempat yang kini menjadi lebih hancur. Tatapan angkuh sang Ratu Titan seakan menyongsong jiwa yang tak lama akan berakhir itu. Shizen meringkih kesakitan.
"Cosmic Marionettion!"
Rhea membeku di tempat, sementara Shizen terbelalak melihat tiga surplice hitam yang muncul di hadapan mereka. Bibirnya terbuka, memanggil Minos tanpa suara. Kedua yang lainnya selekas menyambangi jurus mereka, beberapa saat membuat Rhea linglung.
"Aiacos!" Minos meneriaki nama rekan se-Hakimnya dan seorang pemuda berambut gelap membawa Shizen dalam gendongannya.
Perlahan, namun pasti, benang marionette milik Minos terlepas oleh cosmo besar sang Titan yang kembali stabil. Rhadamanthys segera memberikan raungan wyvernnya yang maha dahsyat, dalam sekejap ketiga hakim itu hilang bersisakan Rhea dengan cosmo gelap yang membakar, "Tikus-tikus pengganggu."
Di ambang kesadarannya itu, otak Shizen seperti bekerja kembali ke masa lalu.
"Onii-san daijoubu?" dia tau Saga adalah orang yang baik, ia tersiksa dalam kekuatan gelap Ares. Shizen melihatnya. Melihatnya yang meraung ketakutan di depan cermin. Melihatnya terperangkap dalam gejolak batinnya sendiri. Dan Shizen selalu terisak untuk itu.
"Jangan tinggalkan aku," tapi Saga –dengan kepribadian aslinya– hanya mengusap kepala Shizen dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Pada akhirnya mereka hanya memperalatmu, Saga-nii … kumohon, kali ini saja. Dengarkan aku."
Ia kembali terisak, namun Saga sudah kembali berdiri tepat setelah ia mengecup dahi Shizen. Rambutnya berubah warna menjadi kelabu, Ares sialan itu mengambil kembali tubuh kakaknya. Saga menggunakan kembali topeng pausnya dan berjalan keluar meninggalkan Shizen. "… Onegai …"
Mungkin ini salahnya.
Dia berdiri di depan pohon pinus yang telah tumbuh besar dekat Kuil Leo. Memperhatikan si Singa Muda yang terduduk di bawah pohon lainnya dengan tatapan sendu. Begitu kesepian. Dan sedih. Shizen tak tahan lagi melihat Aiolia yang seperti itu. Ia bergerak perlahan mendekati pemuda itu, tak berniat mengusik ketenangannya.
"Kenapa kau ke sini?" Aiolia semakin menekukan wajah saat sadar bahwa Shizen berdiri di belakangnya. "Gomennasai,"
Ia mengangkat kepalanya, memperhatikan Shizen. "Aku tidak bermaksud menganggumu," Shizen duduk di sampingnya. "Kau terlihat begitu sedih hari ini."
"Ini hari saat kakakku mati," hati Shizen mencelus mendengarnya.
"Gomennasai,"
"Kenapa kau meminta maaf terus? Kau berbuat salah padaku?"
Shizen menunduk. "Aku menyalahkan diriku, entah apa … aku hanya bingung,"
Pemuda itu mengerjapkan matanya berkali-kali, "Shizen ya? Pelayan Kuil Gemini?" Shizen tersenyum mendengarnya, lalu mengangguk.
"Jika kau berpikir seperti itu, maka itulah aku," ia menerawang menatap langit. "Pasti kau juga mencari-cari sesuatu untuk disalahkan, bukan? Sesuatu yang dapat disalahkan atas nasib sialmu …" Aiolia terhenyak, lalu menatap awan seperti yang dilakukan Shizen. Ada perasaan lega bagi Shizen karena bisa berbicara seperti ini pada Aiolia.
"Kita hanya kembali ke konsep manusia itu sendiri. Apa yang terjadi padaku kini, atau pun pada kakakku, semuanya telah terjadi." Shizen membendung air matanya. Kini ia dilema, anatara ingin memberitau kepada Aiolia tentang yang sebenarnya dan ingin menyelamatkan kakaknya, satu-satunya orang yang menganggap bahwa ia berguna. Rasa bersalah itu meluncur. Shizen buru-buru berdiri, hendak meninggalkan Aiolia. Ia menepuk bahu Aiolia sekejap, lalu berjalan meninggalkannya.
"Jika benar kau pelayang Kuil Gemini, apa kau tau di mana Gemini Saga berada?!" Aiolia berteriak agar suaranya mencapai Shizen yang sudah jauh. Gadis itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum miris menatap Aiolia.
"Dia … selalu ada di sini. Melindungi kalian."
Salahnya yang tidak memberitau semuanya sejak awal.
Shizen merasakan tubuhnya dibaringkan di suatu tempat yang dingin. Bahkan untuk membuka mata lagi pun rasanya tak sanggup, ia mengandalkan indra pendengarnya untuk bertahan hidup.
"Ambilkan selimut!"
"Kau, hati-hatilah dengannya."
"Apa-apaan ini?!"
"Kerja bagus, para hakim."
Di sana ribut sekali, namun satu yang dikenal Shizen, suara Minos. Mengerang kecil, Shizen memanggil pria pemilik surplice griffon yang kini terduduk di sampingnya.
"Kau akan selamat, Shizen. Percayalah," ia menggenggam tangan Shizen, tau bahwa gadis itu sedang panik sekarang. Pandora mendekati Minos dan menepuk bahunya, menyuruhnya untuk menjauh sementara ia sendiri yang menangani Shizen.
Awalnya Minos protes. Tentu saja. Ia tak dapat mempercayai Shizen pada siapapun kini, tapi saat melihat tatapan kesungguhan Pandora, mau tak mau ia mundur juga. Pandora dengan cermat memperbani luka-luka Shizen. "Gadis baik, dengarlah,
Kegelapan kini kan membelunggumu,
Ikuti jejak sang Dewa Dunia Bawah atau tersesat selamanya dalam kepedihan abadi."
Sementara Shizen memejamkan matanya erat-erat berusaha untuk tidak mendengarkan Pandora, Minos menggeram tak suka di belakang kedua saudaranya. Sialan. Biar bagaimanapun ia tetap tak bisa untuk membantah perintah Pandora agar rencana pembangkitan Tuan Hades sempurna. Kini ia harus melihat sendiri perempuan yang ia cintai selama berabad-abad menderita.
Pandora bangkit, melihat Aiacos, Rhadamanthys dan pandangannya tertuju lama sekali terhadap Minos. "Dia hampir mati. Tak mungkin disembuhkan kecuali Apollo sendiri yang turun tangan," mereka hanya diam tak bergeming, "Dan tidak ada ceritanya Apollo mau menyembuhkan gadis itu yang notebane anak Kronos, musuh para dewa."
Minos menghembuskan napas berat, dan dua dewa kembar sudah ada di belakangnya. "Itu benar," Hypnos angkat bicara.
"Satu-satunya cara adalah rencana itu." kini Thanatos yang membalas. Minos membatu di tempat. "Menunggu tujuh atau delapan tahun lagi tidak masalah, bukan?" Rhadamanthys mengangguk patuh sementara Pandora tampak menimbang-nimbang keputusannya.
"Dia bisa saja pergi 'lagi."
Semuanya hening. Memang benar yang diucapkan Pandora. Sementara kami tak bisa membesarkannya di sini.
"Kita berikan ia pada orang yang bisa kita percaya."
OWARI~
Buagh, dugh, plak, meong, gdebuk! (Author : Ampuunn readers! TvT)
To Be Continued
A/N
Hallo untuk siapa saja yang lagi ngebaca cerita ini (emangnya ada), well udah balik dari hiatus kok malah buat cerita gaje yang castnya OC itu-itu lagi? Simple kok, karena cerita yang satunya akan dis-continued. Kenapa? Karena alur cerita yang itu ada di laptop saya yang rusak, hueeee TTvTT serius deh, saya udah capek buat alur ceritanya, ee si laptop ini minta dibuang, asdfghjkl—sekali. Karena bingung mau diapakan lagi, jadi, dengan terpaksa saya buat cerita baru T_T. Semoga suka deh.
Dan ya, di sini juga adegan yang niatnya dulu mau dijadiin flashback malah diletakin jadi pembuka. Astagaa, mikir apaan saya ini XD Ahh, untuk bagian Minos, jangan mikir yang enggak-enggak dulu ya, mereka memang punya hubungan 'something' tapi pair Shizen tetap –em entahlah XP #digebukinlagi maksud saya iya, pair Shizen tetap Milo, tenang. Cuma ini kan sebelum yaa … rahasia dong :p
Oke, readertachi, RnR? XDD
