Gekkan Shoujo Nozaki-kun Fanfiction

Our Feelings

Gekkan Shoujo Nozaki-kun © Tsubaki Izumi

-tidak ada keuntungan materiil yang diterima atas pembuatan fanfiksi ini-

Warning for some typo(s)

.

[Perasaan kita … apakah bisa berubah?]

.

Gerimis di awal musim gugur.

Chiyo memandangi langit yang semakin terlihat gelap dari kaca jendela kelasnya.

"Oi, tidak pulang?"

Gadis itu berbalik dan mendapati sahabatnya Yuzuki sedang memakan roti melon keju dari kantin, "lupa bawa payung lagi?"

Ia merespon dengan gelengan, membuat pita dan helaian rambutnya ikut bergerak seiring gerakan yang ia buat.

"Aku bawa kok! Aku … akan pulang sebentar lagi, sekarang aku ingin memperhatikan hujan." Jawabnya sebelum kemudian kembali melihat ke langit melalui jendela yang sama.

Yuzuki mengerutkan dahinya sambil terus mengunyah, "Memperhatikan hujan? Kau terkadang bisa aneh juga." Ujar Lorelei klub musik itu sembari mengambil tasnya dari meja, "aku duluan ya!" Setelah berkata begitu gadis serampangan itu pun pergi meninggalkan Chiyo yang asyik tenggelam dalam lamunan di kelas seorang diri.

.

[Katanya, seiring waktu memang bisa]

.

Terdengar air hujan kini mulai menampar jendela-jendela kelas tak berdosa.

Dua puluh menit kemudian Chiyo akhinya sudah berada di loker sepatu. Matanya ia kerjapkan tak percaya dengan penglihatannya.

"Mikorin?" suaranya ia keraskan agar tak kalah dengan derasnya hujan.

Siapa yang tahu ternyata gerimis itu menjadi hujan sungguhan? Air bagai jatuh tercurah dari langit begitu saja.

Dan siapa sangka pula Chiyo akan menemukan pria surai merah itu tengah duduk dan terlihat depresi di sana? Tidak ada orang lain kini di loker sepatu selain mereka berdua—bersama dengan hujan yang tak kunjung diam.

"Sakura!"

Suara Mikoshiba pun terdengar lamat-lamat di telinganya, ekspresi lega yang kini tergambar di wajah Mikoshiba membuatnya menebak-nebak apa yang sedang terjadi.

"Kenapa belum pu—?" tanyanya seraya menghampiri pria yang duduk di pintu masuk gedung sekolah itu, namun, ia tak melanjutkan pertanyaan ketika jemari Mikoshiba menunjuk hujan. 'Ah, lupa bawa payung ya….' Sang pemuda tampan semakin berwajah cerah ketika melihat payung merah yang ada di tangan Chiyo.

"—tapi kurasa, payung ini tak akan banyak berfungsi." Lanjut Chiyo, dan entah kebetulan atau apa, petir pun mulai meramaikan hujan di senja itu. Seketika si pemuda kembali terlihat murung.

Gadis dengan dua buah pita merah di rambutnya itu berpikir sejenak, "hm … bagaimana kalau kita menunggu hujan teduh di klub drama?"

Seperti yang ia bisa tebak, ekspresi wajah Mikoshiba kembali berubah cerah.

.

[Tidak, pasti tidak mungkin bisa berubah]

.

"Jarang sekali Mikorin belum pulang pukul segini, ada apa?" tanya Chiyo ketika mereka melewati koridor sekolah menuju ruang klub drama.

"Aku … tadi keasyikan melihat spoiler game terbaru dan tanpa sadar semua sudah pulang." Atas jawaban itu, perempuan bertubuh mungil itu pun merasa bodoh sudah bertanya.

Selanjutnya mereka hanya diam. Bukannya tak ingin memecah keheningan, tetapi percuma saja berbicara dengan suara hujan deras sebagai backsound seperti sekarang ini. Serta tak lupa juga diselingi suara petir yang menggelegar—membuat Mikoshiba semakin mempersempit jarak di antara mereka.

Walau sudah terbiasa dengan keberadaan cowok ini, Chiyo masih merasa risih ketika tubuh Mikoshiba yang menempel padanya bergesekan dengan tubuhnya seperti saat ini dan, dan hei—kenapa jantungnya malah berdetak lebih cepat?

.

[Eh, eh, tapi mungkin saja….]

.

Dengan Mikoshiba yang tetap menempel erat begitu, mereka sampai di depan pintu masuk ruang klub drama yang membuat Chiyo akhirnya bisa bernapas lega.

Gadis itu membuka pintu klub drama dengan bersemangat. Kepalanya penuh dengan perkiraan apa yang klub unik itu lakukan, mengira-ngira Kashima sedang memerankan peran apa sekarang.

Namun malang, mereka mendapati ruang klub drama itu kosong. Chiyo membenturkan kepalanya ke sudut pintu—ia lupa hari ini klub drama sedang beristirahat setelah pertunjukan musim gugur mereka kemarin siang. Bahkan Hori-senpai sang presiden klub pun tak didapati batang hidungnya.

Gadis itu melirik ke orang yang berdiri di sebelahnya, wajah pemuda itu terlihat tak karuan—seolah-olah bisa menangis kapan saja. Chiyo membenturkan kepalanya kembali ke pintu; lelah.

.

[Aku tak mengerti….]

.

"A-aku bukannya takut!"

"Iya iya,"

"Po-pokoknya tidak takut!"

"Iya iya,"

Akhirnya mereka kembali ke tempat semula—ruang loker. Mikoshiba memang berkali-kali berkata ia tak takut, tetapi ketika petir menyambar terasa begitu dekat, tiba-tiba saja jarak di antara mereka menjadi tak ada.

Chiyo menimbang-nimbang apa yang sebaiknya mereka lakukan sekarang. Harusnya tadi ia tak melamun dulu melihat gerimis sambil memikirkan Nozaki, tetapi jika ia tak melakukannya Mikorin pasti akan ketakutan sendirian sekarang.

Kesimpulan: Tuhan sayang pada orang bodoh.

Di samping itu … semakin dekat jarak di antara mereka semakin dadanya terasa sakit, seolah jantungnya ingin melompat keluar dan bermain lompat tali di perempatan terdekat, hei, hei, ini pasti tidak berarti apa-apa bukan? Apa ini salah satu pertanda masuk angin?

"Bagaimana jika kita tempuh saja hujannya?" ucapnya spontan ketika semakin tak tahan dengan jarak di antara mereka, bisa saja sebentar lagi Mikoshiba memeluknya atau bahkan pemuda itu akan melompat ke pangkuannya.

Mikoshiba menatapnya dengan pandangan, 'apa-kau-gila?'

"Berteduh di apartemen Nozaki-kun?"

Lagi, ekspresi cowok tampan (tapi bodoh) itu berubah senang.

Melihat ekspresi persetujuan itu Chiyo kemudian membuka payungnya dan mencoba menjajarkan tubuh mereka berdua untuk mengetahui apa payung itu cukup untuk melindungi dua orang.

Dan fakta dengan kejamnya berkata bahwa payung merahnya tak cukup besar.

"Mikorin, pakai saja dulu ke apartemen Nozaki-kun lalu kembalilah menjemputku, bagaimana?"

Mata pemuda itu bilang ia tak mau.

"Kalau begitu aku yang—"

Kali ini gelengan kuat yang Chiyo dapati.

"Aku lebih baik menggendongmu daripada pergi atau bahkan tinggal sendiri!"

Ah … dasar perempuan berkelamin lelaki….

.

[….jalani saja dulu]

.

Air hujan dari jalanan yang basah merembes ke sepatu dan celana panjang Mikoshiba tak membuatnya berhenti berlari. Karena ia berpendapat itu lebih baik daripada mereka (tepatnya dia) tak terkurung di sekolah sendirian.

Sedangkan Chiyo yang kini tengah berada di dekapannya sedang mengatur napas dan detak jantung karena Mikoshiba menggendongnya dengan gendongan ala pengantin—pemuda itu yang memaksa.

Tangan kiri gadis itu memegangi payung, sedangkan tangan kanannya memegangi kaus Mikoshiba. Ia bisa merasakan ada ketukan yang sama cepatnya dengan jantungnya di sana. Mungkin … karena pemuda itu sedang berlari? Ya pasti karena itu.

Wajahnya memanas tiba-tiba, terlalu kontras dengan suhu dingin yang sekarang menyapu kulitnya.

'Kenapa aku berharap … apartemen Nozaki-kun menjadi sedikit lebih jauh?'

.

Hujan masih terus turun tanpa ampun.

Nozaki membuatkan dua cangkir teh hangat untuk asisten-asistennya tersebut. Chiyo dan Mikoshiba sudah mengganti pakaian mereka dengan yah, kostum yang ada di apartemen Nozaki, karena pakaian lelaki itu yang terlalu raksasa untuk mereka.

Syukurlah kostumnya tidak aneh, hanya gakuran dan baju sailor biasa—yang mereka kenakan secara terbalik dari gender mereka (karena gakuran yang berukuran kecil, Chiyo yang beruntung yang mendapatkannya) akhirnya setelah berdebat (sebenarnya lebih seperti rengekan) Mikoshiba memakai pakaian Nozaki yang sudah kekecilan.

"Tadi … kau menggendong Sakura ya?"

Nozaki bertanya sambil terus melanjutkan pekerjaan menggambarnya. Chiyo dan Mikoshiba saling berpandangan, sedetik kemudian Mikoshiba mengalihkan pandangannya.

"Yah … itu hal yang biasa dilakukan oleh seorang cowok keren 'kan?" pria itu menyibakkan rambut merahnya, berusaha terlihat cool walau sedikit gugup.

Seketika Nozaki langsung berhenti dari pekerjaannya. Ia menaruh pensil mekaniknya di atas meja begitu saja lalu menatap Mikoshiba dan Chiyo bergantian.

"Hm … bisa ceritakan lebih detail? Tepatnya bagaimana rasanya?"

Tertusuk rasanya. Sesaat tadi, di dalam hati Chiyo berharap Nozaki akan merasa cemburu walaupun sedikit, namun kenyataan memang selalu pahit untuk gadis yang bertepuk sebelah tangan seperti dirinya.

'Ah … rasanya mau terjun saja dari lantai tiga puluh….'

Kemudian si pita merah melirik Mikoshiba untuk sedikit mengalihkan rasa perih hatinya. Yah, dia juga penasaran pemuda itu akan menjawab apa.

"Rasanya … bi-biasa saja!"

Wajah Mikoshiba … ah, memerah hingga ke telinga….

'Eh?!'

.

*…*

.

Thanks for reading!

G-Mo

July 2014

p.s: semogafandominimakinramaihshshs.

.

Omake!

Beberapa hari setelah itu saat sepulang sekolah.

"Mikorin,"

"Ah, ya, Sakura?"

"Sebenarnya aku penasaran … Apa tidak ada perempuan yang sesuai kriteriamu? Maksudku bukan yang di game ataupun figure tentu saja."

"Hm?" rambut merah itu berpikir sejenak sambil melihat ke langit-langit koridor sekolah, "tidak ada..."

"Ja-jangan kau menyukai sesama—"

"TENTU SAJA TIDAK!"

"Ah…. Baiklah, terima kasih sudah menjawab," Chiyo mengangguk, sedikit, sedikit terlihat kecewa namun ia bisa menyembunyikannya dengan baik dari Mikoshiba, "ayo ke apartemen Nozaki-kun!"

"Um!"

'…kalau saja, kalau saja kau tidak menyukai Nozaki … Sakura.'

.

Biarkan saja

Biarkan saja mereka seperti ini—sementara

Sampai akhirnya

Ketika rasa gengsi

Terkalahkan oleh kata hati

.