Broken Promise
Summary:
Tiap kumelangkah maju untuk menjalani kehidupanku sekarang, aku merasa kejam. Kejam karena berusaha melupakan masa laluku—masa laluku denganmu.
Disclaimer:
Vocaloid © Yamaha and Crypton corporation
From Me to You fic © Asakuro Yuuki
Pairing:
Miku X Kaito
Warning:
1. Dont like? Paksain like! #dor# enggak enggak, yang bener: Dont like? Dont read!
2. sedikit bergalau karena author lagi ndengerin From Y to Y
3. selang-seling antara sekarang sama flashback tiap ada ruler line.
CHAPTER 1
Langit gelap berselimut mega. Gumpalannya semakin pekat, menandakan hujan akan segera turun.
Aku melangkah gontai, menuntun sepeda yang biasa kubawa ke sekolah, menelusuri jalan pulang sambil sesekali terantuk kerikil karena melamun. Sesekali tatapanku kosong, menatap tali sepatu putihku yang lebih menarik dari pemandangan orang berpacaran di sana sini.
Tapi aku tak peduli, aku hanya ingin lupa kalau aku sedang sendirian. Aku hanya ingin lupa bahwa kini kau tidak ada lagi di sampingku.
Benar saja, tak lama kemudian, hujan turun. Memang tidak deras—belum deras—namun aku merasa rintik-rintiknya begitu dingin, menusuk kulitku hingga menembus reseptor rasa sakitku. Dingin bagai es, namun tajam bagai jarum. Pedih.
Aku berhenti melangkah, berusaha menikmati sebuah esensi hujan yang perih namun menenangkan.
Hujan semakin deras, orang-orang di sekitarku berlarian mencari tempat berteduh. Hingga kini hanya aku sendirian di tepi jalan, tak berteduh. Melainkan mengulas sebuah senyum pahit samar ketika merasakan titik-titik air seolah membekukan tubuhku.
Biarlah seperti ini. Aku ingin merasakan sakit. Sakit untuk menebus kesalahanku—padamu.
"Hei, aku murid baru di sini," ucapmu riang. Manik matamu yang berwarna biru langit itu seakan berbinar. "Kau mau datang di pesta yang dibuat ibuku nanti malam? Kami meryaakan kepindahan kami ke Tokyo ini."
Aku tertegun, tak menyangka akan kau ajak bicara dengan santai. Tadinya kupikir kau adalah murid baru yang sombong dan datar. Namun dibaliknya, kau ternyata ramah dan periang.
"Bagaimana? Ini undangannya." Lanjutmu lagi, kini menyodorkan undangan berwarna biru pucat.
Saat itu aku berpikir, mengapa semua yang berkaitan denganmu berwarna biru? Helai rambutmu yang berkilau itu biru, irismu yang indah itu biru, serta undangan awal persahabatan kita juga biru.
Aku menerima undangan itu, pelan tanpa menyahut. Bagai anak kucing yang mengambil gulungan wol dengan pelan karena takut ketahuan. Aku bisa merasa kau memandangiku dengan perasaan lega.
"...Terimakasih." Jawabku, kemudian kembali terfokus pada bacaanku, Pride and Prejudice karya Jane Austen.
Kau tertawa samar, meski aku tidak tahu apa yang lucu. Kurasakan kini kau yang duduk di bangku sebelahku memandangiku—atau mungkin memandangi buku bacaanku.
Sebenarnya tak masalah, namun aku bisa merasakan deru nafasmu di telingaku. Dan itu... membuatku gugup.
"Err... Shion-san," panggilku. "Bisakah kau bangkit dari sana? Ah, bukan—bukan aku mengusir..., ta—tapi—"
Kau tertawa lagi.
Aku memerah.
"Baiklah," akhirnya kau menjawab. "Aku akan pergi. Namun datang ke pesta di rumahku ya. Aku menunggumu." Lanjutmu tersenyum. Aku memalingkan muka gugup.
Ketika aku menoleh lagi, kau sudah berada di antara gerombolan anak laki-laki, menonton mereka bermain video game.
Aku bisa merasakan aroma hujan menembus indera penciumanku. Menghanyutkan pikiranku dengan sejuknya esensinya. Namun sekaligus membuatku menggigil karena dinginnya.
Semua memang ada baik dan buruknya bukan? Selalu ada sisi tersembunyi di balik dugaan kita.
Aku kembali menatap langit. Langit masih kelabu, namun tak sekelabu tadi.
Aku kemudian tertawa. Dengan rasa sakit yang menjalar di hati.
Di mana kau di saat-saat seperti ini?
"Berapa nilaimu, Kai-kun?" tanyaku padamu. Kugenggam sisi kertas hasil ulangan biologiku erat hingga kusut.
Di kertas itu, tertera angka 56.
"Nilaiku? 85, bagaimana denganmu, Mi-chan?"
Ah, aku kalah lagi. Selalu saja, setiap pelajaran Matematika dan IPA, aku selalu kalah darimu.
Kusodorkan kertas ulanganku padamu, membuatmu membaca angka merah yang dibaca 56 itu.
"Jelek..., padahal aku sudah belajar..." keluhku. Aku duduk di bangku di sampingnya, menopang dagu putus asa. Memang sih, orangtuaku tidak akan marah dengan nilai ini, namun tetap saja—nilai ini jelek.
Kau tersenyum, kemudian mengacak-acak rambutku.
"Jangan nyerah dong, hidup nggak akan berhenti di sini hanya gara-gara kamu dapet nilai ulangan biologi jelek." Kelakarmu. Aku cemberut sambil membetulkan rambutku. "Kalau kamu terus berusaha, pasti nilai-nilaimu bakal jadi bagus! Semua ada prosesnya." Lanjutmu.
Mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu, membuatku sedikit tenang.
"Benar, ya?" kataku. "ulangan biologi pertama semester ini aku kan dapat 45, jadi ada peningkatan." Ujarku, kemudian tersenyum lega padamu.
"Nah, itu tahu," sahutnya sambil tersenyum.
"Makasih semangatnya, Kai-kuuuuuuun!"
Kulanjutkan langkahku. Rumahku kini sudah dekat. Aku ingin segera masuk rumah, kemudian menikmati saat-saat sendiri karena orangtuaku sedang pergi, dan baru pulang besok pagi.
Aku melangkah sambil menuntun sepedaku, langkahku sengaja kulambatkan. Aku masih ingin menikmati esensi hujan bersama kenangan-kenangan yang terputar kembali bagai film di benakku.
Jujur, di langit yang kelam ini
Aku menyesal
Menyesali langkahku waktu itu
Seandainya aku menatap lurus ke depan saat itu
Aku pasti tahu
Bahwa seharusnya aku tak mengambil jalan itu
Kuparkirkan sepedaku di depan teras, kemudian mengambil tasku yang basah dari keranjangnya. Kubuka pintu rumah setelah memutar kunci yang kuambil dari saku seragamku.
Saatnya sendirian.
Tunggu, bukankah aku memang selalu sendirian? Aku tersenyum, pahit.
"Mi-chaaaan," panggilmu. Dan sejurus kemudian, lenganmu telah berada di pundakku, merangkulku.
Wajahku memerah. Bagaimana tidak? Hampir semua orang di area kantin melihat ke arah kami. Terutama para kakak kelas. Padahal kau populer di antara mereka...
"Tu—tunggu, Kai-kun," ujarku, kemudian dengan hati-hati, kulepaskan tanganmu dari pundakku, kemudian duduk di salah satu kursi di kantin ini, dan meletakkan semangkuk ramen di mejanya.
Aku takut ada gosip di antara kita.
Aku dan kau sangat dekat, dan terkadang, semua itu bisa menimbulkan salah paham, bukan? Terutama karena kau populer.
Aku memutar otak. Aku harus tau cara agar tidak ada gosip yang tidak mengenakkan.
"Ah, Kai-kun, aku ada ide," kataku padamu. Kau yang sedari tadi memainkan sumpit merespon dengan tolehan. "Bagaimana kalau kita membuat janji?"
Kau menegakkan dudukmu.
"Janji apa?" tanyamu, memandangku penasaran.
"Janji... uhm...," aku berlagak berpikir, mengetuk-ngetukkan sumpit ke permukaan meja. "Janji bahwa hubungan kita hanya akan sebatas sahabat! Bagaimana?"
Kau terlihat berpikir sejenak.
Aku tahu. Aku tahu aku akan menyesali janji ini suatu hari nanti. Aku tahu, ini semua hanya karena paranoid-ku yang takut akan berita tidak mengenakkan.
Aku yakin, aku akan menyesalinya. Namun kupikir, selama janji ini ada, aku bisa menjaga perasaanku.
Kau tiba-tiba tersenyum, membuatku terkejut karena tak menyangka reaksi itu.
"Tentu saja, 'sahabat'ku yang baik,"
Dan kau mengacak-acak rambutku, seperti biasa.
Setidaknya, dengan janji ini, kami bisa membantah berita yang tidak mengenakkan.
Kutuangkan isi se-sachet kopi instan ke dalam sebuah mug hitam. Di kepalaku, bertengger headset yang terhubung ke mp3 milikku. Dari sana, terdengar lagu berjudul Bird yang dinyanyikan oleh Yuya Matsushita.
Tangan kiriku memperbesar volumenya, membuatku tak bisa mendengar apapun selain lagu itu.
Namun tak apa, aku hanya ingin lupa bahwa aku sedang sendirian. Aku hanya ingin menutup kembali luka lama yang kini terbuka lagi.
Kutuangkan air hangat ke dalam mug tadi, kemudian kuaduk hingga rata. Aroma kopi menguar. Kusesap kopi itu, sambil menikmati aromanya yang berbaur dengan aroma hujan dari luar.
Hingga akhirnya kopi itu habis.
.
Wajahmu yang terlelap berona sedih
Seakan engkau mengalami mimpi buruk
Aku ada di sini, berada di sisimu
Ku takkan pergi ke manapun
How do I live without you?
.
Mug bekas kopi itu jatuh dengan suara menusuk.
"Kau gila," gelakku, melihatnya membawa lima cup es krim dari kantin. Wajahmu ketika itu terlihat polos, membuatku ingin mencubit pipimu.
"Aku hanya lapar," jawabmu, kemudian meletakkan lima cup es krim itu di mejamu. Seakan kembali memeriksa apakah ada cacat di masing-masing cup itu.
"Memangnya es krim bisa membuatmu kenyang?" cibirku. Aku menopangkan daguku, menatapmu yang kini tengah membuka satu dari lima cup es krim itu.
"Bagiku iya," sahutmu dengan nada senang, menyendokkan es krim itu. "Mi-chan mau?"
tanyamu, kemudian menyodorkan slah satu cup yang masih utuh.
Aku menggeleng. "Kau lapar kan? Kalau aku meminta satu, nanti Kai-kun nggak kenyang,"
Kau tertawa mendengar jawabanku.
"Kalau yang minta kamu, perutku bisa kompromi kok, lagipula, 'sahabat' harus berbagi pada 'sahabat'nya, kan?" jelasmu, kembali menyodorkan satu cup yang tadi.
Pada akhirnya, aku menerimanya.
Saat itu, kurasakan diriku berdebar-debar.
Setelah membereskan pecahan mug tadi, kuputuskan untuk pergi ke kamar. Mungkin istirahat bisa membuatku menjernihkan otakku.
Pasti lebih menyehatkan.
Kututup pintu kamarku, kemudian membaringkan diriku di kasur ber-sprei biru di sisi kamar.
Ah, biru. Warna itu selalu mengingatkanku padamu. Kau yang dulu berada di sampingku. Yang dulu pernah tertawa bersamaku.
Bukannya aku bodoh ataupun lemah karena tidak berusaha melangkah maju meninggalkan masa lalu, namun tiap kumelangkah maju untuk menjalani kehidupanku sekarang, aku merasa kejam. Kejam karena berusaha melupakan masa laluku—masa laluku denganmu.
'Ah, seharusnya...' pikirku. 'seharusnya dulu aku tidak membuat janji itu'.
Kusadari diriku begitu bodoh. Airmata menitik turun, mengalir di pipiku.
"Dasar guru sial," keluhmu. "Bayangkan, Mi-chan, masa ia bilang lukisanku yang menggunakan cat akrilik itu lukisan anak TK? Dia pasti belum pernah melihat lukisan milik adikku, Teito."
Aku tertawa.
"Lukisanku dibilang lukisan anak SD." Sahutku. "Guru itu memang seleranya aneh. Kadang yang biasa aja malah dibilang bagus. Anak kelas lain bilang guru itu suka karya yang lucu-lucu... Entah juga sih,"
"Aku lebih memilih seni musik daripada seni lukis, aku ingin kita cepat-cepat naik ke kelas dua." Ujarmu.
Ya, di sekolah ini, kelas satu mendapatkan pelajaran seni lukis, kelas dua mendapatkan seni musik, dan kelas tiga boleh memilih di antara keduanya.
"Aku ingin cepat-cepat lulus," kataku. "Tapi kalau lulus, kita pisah..."
"Memangnya kelulusan tuh akhir?" sahutmu waktu itu. "Kita kan masih bisa bareng meski udah lulus." ujarmu, tersenyum.
Aku tersenyum mendengarnya. Lagi, kurasakan dadaku berdegup kencang.
Haha, aneh. Padahal dulu aku yang membuat janji itu, tapi akhirnya akulah yang melanggarnya.
Bodoh sekali.
Kutatap langit-langit kamar. Perutku terasa perih karena hanya kuisi dengan segelas kopi. Namun aku tak peduli. Lagu From Y to Y terlantun dari headset-ku.
Tak bisakah kita kembali lagi seperti dulu?
'Ah' batinku. 'tentu saja tidak bisa. Dia sudah tak di sini lagi...'
Yang kutahu, penyesalan selalun muncul belakangan, ketika semuanya telah berakhir. Dan kini, aku benar-benar merasakannya.
.
Tak bisakah kita kembali?
Menghapus jarak, menyamarkan perasaan?
Apakah ini awal?
Awal untuk langkah yang kita tapaki
Langkah yang berbeda
Atau justru inilah akhir?
Akhir dari pertemuan dan persahabatan kita?
Karena kita takkan bertemu kembali...
.
Aku menyukaimu.
Satu kenyataan yang kusadari ketika kau dan aku melangkah menuju sekolah tadi pagi.
Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu.
Hal yang membuatku menyesali perjanjian yang kubuat sendiri.
Kupandangi sosokmu dari bangkuku, sosok yang sedang menopang dagu sambil mencatat rumus-rumus logaritma di papan tulis.
Kenapa semuanya terlambat?
Sejurus kemudian, seolah kau menyadari bahwa kau menjadi objek pandanganku, kau menoleh. Aku terpaku, namun tak mengalihkan pandangan. Kemudian kau tersenyum lebar.
Senyum yang sama ketika kau mendapatkan es krim-es krim itu.
Aku tersenyum, kecil. Kemudian mulai mencatat rumus di papan tulis.
Namun, bel malah berbunyi.
Waktunya istirahat. Guru bermarga Hiyama itu segera membereskan buku-buku rumusnya dan pergi meninggalkan kelas tanpa mengucap apa-apa. Dan meski mengucapkan sesuatu, pasti menyaru dengan suara anak-anak yang lega karena bebas dari rumus-rumus yang bejibun.
Kau menghampiriku dengan riang.
"Mau makan?" tanyamu padaku. Aku mengangguk, kemudian mengikutinya dari belakang.
"Hai, Shion-san!" tiba-tiba suara menyahut, memanggilmu. Sontak kau dan aku menoleh, mendapati seorang kakak kelas berambut merah muda lembut yang cantik dan berbadan bagai model menghampirimu.
"Ah, Megurine-senpai," sahutmu.
"Iya, kalian mau ke mana?" tanyanya, berbasa-basi. Namun jadinya malah terkesan sok akrab di telingaku. Memangnya mau apa dia kalau tahu ke mana kami akan pergi? Mau ikut?
Tunggu, kok aku jadi sewot sendiri?
"Mau ke kantin, bersama Mi-chan." Jawabmu tenang, sambil menunjukku. Aku membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. Megurine-senpai tersenyum sekilas.
"Kau dan dia selalu bersama, apa kalian pacaran? Banyak yang bilang begitu lho.."
Deg.
Apa-apaan itu? Gosip?
Tanganku terkepal, kemudian kuberanikan diri mengucapkan kata-kata yang memang seharusnya diucapkan di saat-saat seperti ini.
"Tidak, kok," jawabku tenang sambil tersenyum. "Kami cuma sahabat, malah lebih seperti kakak-adik. Iya kan, Kaito-kun?" ujarku, kemudian meminta persetujuanmu.
Sekilas, kulihat kau menatap kosong ke depan, namun kemudian membenarkan perkataanku.
Megurine-senpai ber-'oh' ria, kemudian pamit meninggalkan kami.
Ponselku berdering.
Kuambil benda berwarna teal itu, kemudian membukanya. Ada satu pesan yang masuk. Kutekan tombol 'OK' untuk membukanya.
Ah, dari Rin-chan, sahabatku setelah kau pergi.
Hei, Miku, boleh aku ke rumahmu? Aku mau menanyakan PR Bahasa Inggris, sebagai gantinya, aku bantu kau mengerjakan PR Matematika. Bagaimana?
From: Rin Kagamine
Time: 04:45:07 PM
Kubalas pesan itu dengan menyetujuinya. Mungkin Rin bisa membuatku melupakan Kaito.
Ya, melupakannya.
Tidak, aku tidak benar-benar ingin menghilangkannya dari ingatanku. Aku hanya ingin melupakan kesedihan yang menimpaku setelah kehilangannya.
Karena di hari itu, dia pergi meninggalkanku. Tanpa memberitahu sebelumnya. Dan berkata, bahwa ia takkan kembali lagi.
Berhari-hari setelah kejadian dengan Megurine-senpai di lorong waktu itu, kau masih bersikap seperti biasanya.
Namun sejak kemarin, kau tidak masuk sekolah. Entah kenapa.
Aku telah mengirimimu SMS, namun ponselmu tidak aktif. Bukan tidak aktif, karena ketika kutelepon, kartu SIM ponselmu telah di non-aktifkan.
Aku mendesah pelan, aku cemas.
Namun saat istirahat, aku menemukan jawabannya. Jawabannya adalah, obrolan antara Gumiya dan Len, saudara kembar Rin, di kelas.
"Katanya Kaito pergi hari ini kan?" Suara itu suara Gumiya. Tunggu, kau... pergi? Ke mana? Kupasang telingaku untuk mendengar lebih jauh.
"Hah? Ke mana?" suara Len kali itu terdengar bingung.
"Dia pindah bersama orangtuanya ke Jerman." Jawab Gumiya. Aku tertegun. Pin... dah? Kenapa dia tidak bilang?
"Oh, yang itu, dia berangkat hari ini toh?" sura lain menyahut. Aku mengenali suara itu, suara Lui.
"Iya. Naik pesawat jam 12 kan?" ujar Gumiya.
"Sebentar lagi, dong." Celetuk Len, menoleh ke arah jam tangannya.
Reflek kulirik jam tanganku. Pukul setengah dua belas kurang lima menit.
Tak bisa, berpikir, aku lari dari kelas, meninggalkan bangkuku dan Rin yang berteriak bingung. Aku harus bertanya padanya, mengapa ia tidak memberitahuku soal ini.
Tok Tok Tok Tok
Pintu diketuk. Aku yang sedang menyeduh teh pun membukakan pintu. Dibaliknya, dengan menatap lurus, yang terlihat adalah pita yang da di puncak kepala Rin.
Yah, dia pendek sih.
"Hai, Miku. Aku membawa cemilan juga." Katanya, mengacungkan jeruk dan wafer cokelat, serta empat bungkus pocky.
Aku tersenyum lemah. Dan sepertinya, Rin menyadarinya.
"Eh? Kau kenapa Miku?" tanyanya cemas. "Ingat Kaito lagi?" tanyanya bertubi-tubi.
Aku menggeleng.
"Aku... tidak apa-apa."
Namun hatiku berkata lain. Setetes air mata jatuh menuruni pipiku.
Aku telah tiba di ruang tunggu bandara. Mataku menelusuri seluruh penjuru ruangan itu. Tak kutemukan sosok bersurai biru—kau. Aku makin panik. Mataku terasa panas, nafasku tersengal, namun aku belum menyerah. Aku harus menemukanmu.
Aku berlari menyusuri ruang tunggu yang luas. Namun masih nihil.
Kemudian kulihat kau, hendak menuju pesawat.
"KAI-KUUUN!" teriakku, memanggilmu. Dan aku bisa merasakannya, di antara deru nafasku yang tak teratur, dan di antara jantungku yang berdebar kelelahan, adalah sekilas perasaan lega yang sedikit menenangkan.
Kau berhenti melangkah. Menoleh padaku dengan tatapan terkejut. Aku tersenyum lebar, meski pipiku kini basah oleh air mata.
"Selamat jalan..." ujarku. Kau terpaku di tempatmu berdiri. "Cepat kembali ya..., aku akan merindukanmu."
Apa yang kukatakan? Bukankah tujuanku kemari adalah untuk menanyakan kenapa ia tidak memberitahuku?
Apa yang barusan kukatakan?
Kutatap sosokmu, menunggu jawaban yang keluar dari bibirmu. Berharap senyumanlah yang akan menguar dari wajahmu.
Namun, bukan. Tatapanmu berubah. Serius.
"Aku tak akan kembali."
Dan kemudian kau melangkah memasuki pesawat.
Aku bisa merasakan lututku melemas, aku jatuh terduduk.
Ya, dugaanku saat itu adalah, kau membenciku karena tau aku melanggar janji yang kubuat sendiri.
Aku duduk meringkuk di sofa, dengan Rin yang menepuk-nepuk pundakku. Di depan kami adalah televisi yang menampilkan sebuah anime.
Namun aku tak menontonnya.
Aku masih ingat raut wajahmu yang mengatakan bahwa kau takkan kembali. Tatapan serius yang seolah menusuk sekujur tubuhku. Masih kuingat dengan jelas..., meski sudah satu tahun berlalu sejak itu.
Tiba-tiba acara TV berganti menjadi acara berita dadakan. Mengenai kecelakaan pesawat seminggu lalu, tentang korban-korban tewasnya yang telah teridentifikasi.
Aku tak menyimak, kubenamkan kepalaku dalam lipatan tangan. Aku tak butuh berita. Aku hanya ingin melupakan kesedihan.
"Miku!" tiba-tiba Rin terpekik. "I—Itu..."
Aku mendongak, ke arah televisi. Menatap daftar korban teridentifikasi yang terpampang di layar.
Dan di antara nama-nama itu, namamu, Kaito Shion, terpampang bersama ciri-cirimu.
Aku menjerit histeris.
OWARI
A/N
Hoooooo saya galaaaaaaaaaaaaau
Makanya, kalo saya galau tuh bisa bikin fic panjang...
Oke, chap satu sudut pandang Miku selesai, chap depan sudut pandangnya Kaito XD
Cuma two shot kok, jadi jangan pusing dulu ya...
kalo banyak typo, maaf ya... huruf 'a', 'm', sama 'g' di keyboard laptop ini bermasalah =3=
Eh, btw, fic Memories kok belom apdet ya? #
Oke, oke, saya ketik nih...
Dan, minna-san, review please? OwO
