I'm Not Straight Anymore

Chapter 1

Love Letter

Warning: Yaoi, OOC, NaruSasu, Typo, dll

Disclaimer: them not mine

Sasuke POV first,

next chapter normal POV


Aku bangun pagi itu seperti biasa, masih berusaha tidak membanting ponselku yang menyala akibat alaram yang kupasang pada pukul 06.00 tadi malam. Saat bangkit, aku sadar jika aku bermimpi buruk, dan alasan kenapa Orichimaru Sensei mengejar-ngejarku di mimpiku, itu karena aku belum mengerjakan tugasnya untuk hari ini.

"Sial!" umpatku saat memasuki kamar mandi, segera membersihkan diri.

Aku menyampirkan tas selempangan yang kubeli tahun lalu ketika keluar dari apartemen. Itachi tidak pulang lagi, itu berarti aku harus pergi tanpa sarapan telur orak-arik dan bacon yang biasa dia buatkan untukku. Aku tiba-tiba merindukan pria itu. Jika seperti ini terus, aku akan terkena magh akut.

Ingatkan aku untuk mengutuk kakakku nanti.

Di lantai tiga, lift terbuka lalu muncul lah makhluk absurd yang mengaku jadi sahabatku sampai mati, namanya Sakura. Dia tidak terlalu cantik dan tidak terlalu tinggi. Rambutnya berwarna pink senada dengan namanya (bunga sakura). Matanya mengkilap. Entah sejak kapan gadis itu lengket dan mengekor seperti aku ini pantas untuk dijadikan panutan. Itu tidak masalah lagi buatku—dia sahabatku satu-satunya. Jika dia tidak melakukan itu, mungkin aku tidak akan pernah punya sahabat sampai sekarang.

"Sasuke!" pekiknya secara berlebih, segera mendekap lengan kiriku dengan erat.

Kupingku langsung kututup rapat-rapat dengan musik, paham betul dengan kelakuannya jika sedang menujukkan raut wajah seperti itu. Lihatlah! Mulutnya mengoceh panjang lebar dan aku tidak tahu apa yang dia bicarakan. Tidak, maksudku, aku memang tidak tahu apa yang dibicarakannya, tapi aku tahu topik apa yang sedang dia bahas.

"... Karena itu aku memutuskan untuk memberikan surat cintaku padanya hari ini."

Aku mendengar perkataan terakhirnya ketika sampai di sekolah.

"Kau serius?" tanyaku hati-hati, sedikit mengernyit.

Kau melihat aku sedang cemburu? Tidak. Ini bukan tentang cemburu dan semacamnya, aku hanya khawatir. Dia sahabatku dan memutuskan untuk memberikan surat cinta pada orang yang disukainya. Itu bukan masalah sebenarnya. Masalahnya ada pada cowok yang jadi incarannya—dan jangan berpikir yang macam-macam tentang itu juga. Aku tidak suka padanya—aku bukan homo.

Namanya Naruto, cowok terlalu populer untuk disandingkan dengan Sakura yang terlalu tidak populer. Bukannya aku meremehkan aura sahabatku, atau menganggap sepele kekuatan cinta yang dimiliki olehnya, tapi melihat kenyataannya memang seperti itu. Orang-orang populer hanya akan bergaul dengan orang-orang populer lainnya, yang tidak populer mereka anggap sebagai penggila mereka—meski itu tidak benar.

"Aku serius," kata Sakura dengan mata hampir keluar, terlalu berbinar. "Aku ragu awalnya, tapi saat kau bilang akan membantuku, aku senang sekali."

"Hah?" aku menoleh buru-buru, mataku menyipit tajam. "Kapan aku mengatakannya?"

"Tadi saat di bis."

Aku akan membuang headset-ku jauh-jauh ketika bersama Sakura. Sial! Aku kecolongan. Aku ingin menjelaskan kebenarannya mengenai kejadian di bis (bahwa aku tidak memperhatikannya), tapi mengingat dia sahabatku dan aku tidak ingin membuatnya kecewa, aku menuruti saja permintaannya kali ini. Setidaknya aku harus berbuat baik pada orang yang akan menderita setelah penolakan cintanya.

Sakura yang malang.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

"Tolong berikan surat ini kepadanya," kata Sakura, mengeluarkan surat pink—perusak mata—itu kepadaku.

"Kenapa harus aku?" tanyaku tidak terima. "Kenapa tidak kau sendiri saja?"

"Kau sudah berjanji untuk menolongku!" seru Sakura manyun. "Kau kan ada dua kelas yang sama dengannya hari ini sebelum dan setelah jam istirahat. Lagipula, apa kau ingin melihatku pingsan di depannya sebelum menyerahkan surat itu."

Aku menyipit, tambah tidak terima. Dia meng-hack jadwalku! "Kenapa tidak kau letakan di lokernya saja, sih?"

"Lokernya selalu penuh dan aku tidak jamin dia akan membaca suratku ini jika aku meletakannya disana."

"Belum tentu juga dia akan menerima suratmu dengan cara seperti ini."

"Setidaknya kemuingkanannya lebih besar."

Aku menggeram. Sakura benar-benar gadis tangguh tidak pantang menyerah. Kenapa dia harus menangkal semua argumenku, sih? Aku menghela nafas.

"Baiklah, akan kucoba."

"Benarkah?" Sakura berjingkrak senang, sebelum memelukku sekilas. "Sankyuu, Sasuke, kau memang bestfriend-ku!" dia menyerahkan surat itu kepadaku dengan senyum lebar. "Aku berharap padamu. Ketemu jam makan siang, ya."

Dia melambaikan tangannya sebelum pergi meninggalkanku. Aku menatapnya kasian. Senyumnya itu akan hilang sebentar lagi. Oh, Sakura, seharusnya kau menyukai orang yang sederajat denganmu.

OoOoO

Aku mengambil buku di lokerku dan mengalami badmood mendadak gara-gara surat cinta. Memangnya apa, sih, yang keren dari dia? Aku menyipit. Naruto berada tak jauh dariku saat ini. Tawa renyahnya terdengar sampai ke ujung koridor. Dia berjalan santai bersama gerombolan teman-teman populernya dengan ransel tersampir disalah satu bahu. Aku tanpa sadar menatapnya terus.

Aku jelas lebih tinggi dari dia, meski tubuhku kurus—bukan berarti kurang makan—aku yakin aku tak kalah kuat darinya. Badanku juga tegap, rahang tegas, kulit putih (punyanya tan) khas Asia. Mungkin perbedaan yang paling mencolok adalah dia terlihat badboy dengan penampilannya, rambut pirangnya berantakan, dan aku terlihat goodboy dalam penampilanku, rambutku memang tidak berantakan, tapi tidak dibelah dua juga, plus aku memakai kacamata untuk membantu penglihatanku.

Uh-oh, dia balas menatapku ketika melewatiku!

Aku buru-buru melengos memutus tatapan itu, tiba-tiba feeling-ku tidak enak. Mungkin, jika aku minum ramuan keberuntungan milik Harry Potter, kakiku akan melangkah ke kelas Sakura dan mengembalikan surat cintanya. Tapi sayangnya aku tidak, dan langkahku malah berakhir di kelas Sejarah pagi ini.

"God, aku sampai lupa kalau aku lupa mengerjakan tugas!"

OoOoO

Sebenarnya, aku kelebihan rasa penasaran tentang keberanian Sakura yang muncul tiba-tiba. Dia tipe gadis pemalu di luar, tapi hyperaktif di dalam. Mungkin perasaannya sudah tidak terbendung lagi? Aku berpikir sesaat. Tapi tetap saja dia sudah tahu jawabannya. Naruto, kan, masih punya pacar, dan pacarnya cewek popule di sekolah. Kenapa aku bisa tahu? Jangan berpikir yang macam-macam dulu tentangku, aku bukan cowok penggosip. Sakura sendiri yang dengan baik hatinya menceritakan semua masalah Naruto padaku. Kau dengan kataku barusan? Semuanya.

Lebih dari muak jika kau tanya aku. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan sebagai sahabatnya? Tidak ada. Maka aku (kadang-kadang) menjadi pendengar yang baik untuknya.

Setelah pelajaran Sejarah selesai, anak-anak cewek masih berbicara dengan girang saat meninggalkan kelas. Aku mengeluh. Separuh pelajaran tadi tidak masuk sama sekali ke otakku. Mereka berisik sekali.

Tapi, yeah, berkat mereka kini aku tahu darimana datangnya keberanian Sakura.

Naruto baru putus dengan ceweknya tadi malam.

Aku mendengus hampir tak percaya. Sakura pasti tahu berita itu juga dan dia sepertinya berpikir punya kesempatan setelah putusnya Naruto. Tapi mengingat fans cowok itu hampir seperti fans yang dimiliki artis Hollywood, dia harusnya sudah sadar posisinya—dia tetap tidak mungkin diterima. Aku kejam? Tidak. Aku Cuma cowok realistis.

Sial, surat cintanya masih di dalam tasku! Aku membatin dongkil, segera melangkah ke kelas selanjutnya.

Kelas Matematika membludak. Aku tercengang dan ngeri sekaligus melihat cewek-cewek penggemar Naruto. Ini tidak baik. Kelasnya akan semakin bising sedangkan suara Iruka Sensei sangat pelan saat menjelaskan. Apa aku bolos saja untuk hari ini?

"Aku tidak ingin mendengar kenakalanmu, ingat Sasuke!"

Suara Itachi menghantui. Aku merutuk dalam hati. Kenapa pria itu harus punya kharisma tinggi, sih?! Aku benar-benar tidak bisa membantah, seberapa jauhnya pun jarak kami.

Aku mengambil kursi paling depan setelah berhasil masuk dengan susah payah. Jengkel, telingaku suah kusumbat padahal. Tapi, suara cewek-cewek dan rayuan dari Naruto masih terdengar dengan jelas. Kenapa Sakura harus suka dengan cowok seperti ini, sih. Tidak akan bahagia jadian juga.

Saat itu seseorang tersungkur di depan mejaku. Cowok nerd penggila komik, Rock Lee. Dia meringis saat bangkit dan duduk di mejanya. Fans Naruto memang bringas. Tapi tubuh Rock Lee kecil, sih, jadi didorong sedikit sudah jatuh. Kalau saja Sakura menyukai cowok itu, akan lebih mudah mereka pacaran. Aku mengangguk pelan. Dan aku pun akan mudah memberikan surat cinta—yang sudah tidak jamannya—kepada Rock Lee. Tapi masalahnya yang ditaksir Sakura adalah cowok bernama Naruto, yang berada dekat dengannya saja butuh perjuangan.

Aku akan minta traktiran setelah ini.

Iruka Sensei datang beberapa menit kemudian. Wajahnya sangat merah karena melihat gerombolan cewek-cewek dengan rok pendekdi kelasnya—dia pecinta cewek bermoral dan elegan. Aku? Pecinta kedamaian.

Semakin habis waktu, semakin aku gelisah. Suara Iruka Sensei yang menjelaskan logika Matematika sayup-sayup terdengar. Aku sudah ada di dunia lain.

"Sasuke!"

Refleks aku membuka mata lebar-lebar dan segera menoleh. Gadis sederhana berbingkai kacamata menatap teduh padaku, salah satu tangannya berada di pundakku.

"Eh, Hinata, ada apa?"

"Kau tertidur," katanya tandas. "Dari tadi Iruka Sensei memanggilmu."

"Hah?"

Aku mengalami pengusiran paling memalukan saat itu. Batinku meringis dan buru-buru mengambil tasku, menghindari tatapan tajam Iruka Sensei dan berjalan ke arah toilet untuk membasuh wajah.

Aku meletakan tas selempanganku di atas wastafel, menatap wajah layuku di cermin.

"Aaaahh!"

Berjengit. Sumpah! Suara desahan itu bukan milikku. Aku mengedarkan pandangan dan mendapati bilik paling ujung tertutup rapat. Aku yakin desahan itu keluar dari sana.

—dan kemudian terdengar lagi.

"Kuso, kenapa tidak cari hotal saja, sih!" gerutuku, buru-buru membasuh wajahku yang mulai segar gara-gara suara tadi. Sialan!

Tapi, tunggu dulu!

Aku mengamati tas ransel yang ada di samping wastafel, keningku mengernyit. Tas biru tua dengan gantungan lumba-lumba itu serasa familiar, tapi siapa?"

"Naruto!"

Naruto Namikaze!

Otakku langsung bekerja. Tas Naruto tergeletak tanpa pemiliknya, dan surat cinta Sakura ada di tasku sekarang. Sepertinya aku tahu apa yang harus aku lakukan. Pandanganku mengedar lagi, memastikan tidak ada yang melihat. Dilihat cukup aman, aku mengeluarkan surat berwarna pink itu dan hati-hati memasukannya ke dalam tas biru tua.

"Apa yang kau lakukan?"

Terlonjak. Jantungku bekerja lebih ekstra, tapi bukan itu masalahnya. Naruto sudah berdiri di dekat pintu bilik dengan keadaan berantakan, seorang cewek yang keadaannya tak jauh beda berada di sampingnya. Pandangan kami (kembali) bertemu, dan—oh, shit—dia menyeringai.

Sejak kapan mereka selesai melakukan itu?! Teriakku histeris—dalam hati.

"Well, Naruto, aku tidak menyangka kau memiliki penggemar cowok juga."

"Tidak, ini—"

"Aku juga tidak menyangka," tanggap Naruto, tangannya bersedekap. "Kau satu kelas denganku, kan?"

"Ya. Dengar—"

"Sebaiknya aku pergi, Naruto," cewek itu mengecup bibir Naruto sekilas. "Thanks. Kau luar biasa."

"Aku bisa jelaskan," kataku begitu pintu toilet tertutup. "Itu memang surat cinta, tapi bukan dariku!"

"Aku tidak masalah jika ini darimu," Naruto mendekatiku, membuatku waspada.

Apa maksudnya itu?

"Tidak usah malu," bisiknya tepat di telingaku. Bulu kudukku segera meremang.

"Shit! Sudah kubilang itu bukan dariku!" aku berseru jengah, mendorong tubuh Naruto agak kencang.

"Well, darimu atau bukan, kau tetap yang mengantarkannya padaku," kata Naruto. "Jadi, itu seperti kau yang menyatakan cinta."

Aku terbelalak. Dia gila. Pemikiran dari mana itu?

"Brengsek, aku bukan homo!" seruku tidak terima. Naruto kembali mendekatiku. Kini aku tidak gentar, mataku nyalang menatap mata birunya.

"Aku juga tidak," bisiknya. "Tapi, jika untuk bersenang-senang, kenapa tidak?"

"Kau gila! Apa kau sudah kehabisan stok cewek?"

"Ya, aku kehabisan stok cewek yang jual malah—semuanya murahan."

Aku mendengus, hampir tidak percaya dengan perkataannya. "Kalau begitu, cari saja homo betulan!"

"Tidak. Cowok normal lebih menantang," kata Naruto semakin mendekat. Tanganku reflesk menahan dadanya. "Dan kau cukup menarik tanpa kacamatamu."

Beku. Perkataanya lebih menyeramkan daripada teriakan Iruka Sensei tadi. Cowok normal mana yang senang di goda oleh cowok lagi? Tidak ada.

"Menyingkirlah, Namikaze, kau membuatku merinding!" aku mencoba mendorongnya lagi, tapi tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Kedua tangannya yang berada di kedua sisi tubuhku, membuatku sangat jengah. Posisi seperti ini sangat menjijikan.

"Kenapa?" tanya Naruto menyebalkan. "Kau gugup?"

"Jijik."

Naruto terkekeh pelan, membuatku mengernyit. "Menaklukanmu akan sangat menyenangkan."

"Apa maks—"

Dan saat itu bibirnya membungkam bibirku. Mataku melotot hampir keluar. Entah kekuatan darimana, kini aku dapat mendorongnya dengan cukup keras hingga dia terbentur pintu bilik.

"Brengsek!" seruku marah. "Apa yang kau lakukan?!"

"Menciummu. Kau pacarku sekarang!"

TBC

Cerita ini saya post juga di Wattpad, atas nama Faufauchan, yang berarti saya bukan plagiat

Prefecsius Highmore dan Faufauchan adalah orang yang sama. Titik.

Kenapa saya tulis ulang di sini, ingin saja...

Ja, revew, please... :)