"Seijuurou, aku berangkat!" sebuah teriakan berat menggema di sebuah apartemen sederhana. Setelah itu terdengar suara bedebam sedikit keras –suara pintu tertutup. Seorang pemuda yang lagi melakukan kegiatan mencuci piring menghentikan kegiatannya sebentar. Ia mematikan keran air, melap tangannya yang masih basah dengan serbet, kemudian tergesa-gesa mengambil sebuah bekal berwarna biru tua yang sudah terbungkus kain dengan rapi dan berlari keluar kamar apartemennya.

"Daiki!" Seijuurou berteriak. Memanggil pemuda yang masih berdiri di depan pintu lift dengan tampang gelisah –menunggu pintu lift segera terbuka. Ia menoleh, mendengar suara istri tercintanya memanggil namanya sambil memperlihatkan sebuah kotak yang dibawanya.

"Maaf, Seijuurou. Aku lupa," katanya setelah sang istri sudah ada dihadapannya. "Aku terburu-buru tadi. Aku harus tiba di kantor pukul 8 tepat. Dan sekarang sudah pukul delapan kurang lima belas menit," ia kembali melihat jam tangannya. Kali ini ditambah dengan menghentakan ujung sepatunya. Gelisah makin merayapinya mendapati pintu lift belum juga terbuka.

"Buru-buru sih buru-buru. Tapi jangan sampai kau melupakan makan siangmu. Aku tak mau nanti kau membeli makan sembarangan di luar yang kadar gizinya belum jelas," Seijuurou berkacak pinggang. Memulai ceramahnya di pagi hari. "Makanya ketika kubangunkan jangan tidur lagi. Beginilah jadinya. Bahkan kau belum memberikan kecupan sampai jumpai padaku,"

Ting!

Pintu lift terbuka. Sadar atau tidak manik safir Daiki nampak bersinar. Ia menerima bekal yang diberikan istri tercinta. Memberikan ciuman ringan di kening sang istri sambil mengelus surai merahnya lembut.

"Iya, iya, aku mengerti. Lain kali takkan kuulangi. Aku pergi dulu ya,"

"Ah, tunggu sebentar," tangan Seijuurou menarik ujung jas hitam yang dikenakan Daiki. Menghalangi Daiki yang mencoba berlari ke arah lift yang terbuka. Kedua tangan Seijuurou dengan lihai merapikan kerah kemeja suaminya yang sedikit berdiri dan membetulkan dasinya, "Nah, kalau begini kan jadi rapi," Seijuurou tersenyum puas melihat hasil tangannya barusan. Daiki juga ikutan tersenyum karenanya. Senang rasanya memiliki istri yang begitu perhatian. Tapi sekarang bukan waktunya untuk bermesra-mesraan.

"Aku berangkat ya,"

"Un," Seijuurou mengangguk lalu memperhatikan suaminya yang mempercepat gerak tubuhnya saat pintu lift yang terbuka mulai menunjukkan tanda-tanda ingin menutup. Ia berhasil masuk pada saat yang tepat. Di luar lift, Seijuurou melambai-lambaikan tangannya ke sang suami sebagai salam perpisahan. Ia mengeluarkan senyuman hangat melihat tingkah suaminya yang tak pernah berubah meski suaminya sekarang sudah menjadi seorang polisi. Tetap ceroboh seperti biasa.

.

.

.

Aomine Daiki dan Akashi Seijuurou. Tidak –sekarang sudah berganti menjadi Aomine Seijuurou. Pasangan muda yang umur pernikahan mereka tidak lebih dari dua tahun. Tinggal di sebuah apartemen sederhana. Hasil dari pernikahan mereka adalah seorang anak laki-laki bersurai merah, berpupil beda warna dengan yang satu berwarna merah dan yang lainnya berwarna emas –katanya sih pupil yang emas keturunan dari nenek Daiki– dengan wajah sebelas dua belas dengan Seijuurou. Bulan ini umurnya mencapai empat belas bulan.

Dua tahun yang lalu sebelum pernikahan mereka, sempat terjadi kendala. Seijuurou tidak direstui oleh sang ayah untuk menikah dengan Daiki. Penyebabnya karena perbedaan status dan latar belakang mereka. Tapi Seijuurou tetap membantah dan tak mendengar perkataan sang ayah. Beberapa hari setelah kejadian itu, nama Akashi Seijuurou dicoret dari daftar nama keluarga Akashi. Ia sudah tak dianggap lagi dari bagian Akashi. Seijuurou tak menyesal. Ia justru bahagia bisa hidup dengan Daiki dan menjadi bagian dari Aomine. Cukup masa kecilnya saja ia mengalami masa-masa pahit. Ia tak ingin dewasa pun mengalami hal yang sama. Orang tua Daiki pun sangat perhatian kepadanya. Ia sudah dianggap seperti anak mereka sendiri.

Kehidupan mereka selama dua tahun berjalan lancar tanpa hambatan. Seijuurou sebagai seorang istri memberikan apa yang dibutuhkan oleh seorang suami. Ekonomi mereka lancar, meski gaji Daiki tidak terlalu besar, tetapi Seijuurou tidak pernah mengeluh dengan keuangan suaminya. Maka dari itu ia juga bekerja sebagai pelayan cafe di dekat tempat tinggalnya. Seijuurou merasa beruntung memiliki teman dan tetangga yang baik yang siap membantu kapan pun mereka butuh. Ia pun sering kali menitipkan putranya ke tetangga ketika ia bekerja.

.

.

.

'Kore ga boku no ai no akashi desu'

Kuroko no Basket by Fujimaki Tadatoshi

This Story by Akashiki Kazuyuki

Pairing : Aomine x Possessive!Akashi

Rated : T

Genre : Hurt/Comfort, Romance, Family

Chapter : 1 of 2/3 (?) *masih belum tahu -_-*

Warning : SHO AI. YAOI. M-PREG. OOC. TYPOS. AU. LEBAY.

.

.

.

"Maaf, aku merepotkanmu lagi hari ini,"

Jemari telunjuk pemuda di depannya sudah menempel tepat di bibirnya. Isyarat untuk tidak berbicara lagi. Pemuda berambut raven itu menampilkan sebuah senyuman hangat sambil menerima anak berusia empat belas bulan dalam dekapannya.

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak mengatakan hal itu lagi?" nada bicaranya lembut. Terkesan seperti seorang wanita. "Aku akan marah jika kau mengatakannya lagi," ujarnya lagi.

Seijuurou tersenyum. Satu orang lagi yang baik padanya.

"Sei-chan, mama berangkat kerja dulu ya," Seijuurou memberikan kecupan ringan di dahi sang anak yang sudah digendong tetangganya. Mengganggu sang putra semata wayang yang masih asyik bermain gunting-guntingan di tangannya. Bukan gunting benaran, hanya gunting plastik.

"Tatsuya-san, aku titip Sei-chan ya,"

Lelaki yang namanya sudah berubah menjadi Murasakibara Tatsuya mengangguk pelan sekali. "Serahkan saja padaku,"

Melambaikan tangannya sebentar, Seijuurou berbalik badan pergi meninggalkan putranya untuk bekerja. Sebuah aktivitas rutin setiap hari yang ia lakukan. Mulai dari membangunkan suami, menyiapkan sarapan dan bekal untuk suaminya serta menyiapkan apa-apa yang dibutuhkan suaminya sebelum berangkat kerja, memberikan susu pada Sei ketika ia sudah bangun dan menyuapinya bubur buatannya sendirinya. Lalu setelah Daiki berangkat kerja, ia akan memandikan Sei, barulah ia bersiap-siap untuk berangkat kerja. Semua ini merupakan aktivitas rutinnya, kecuali hari Sabtu dan Minggu.

Ketika ia bekerja, ia akan menitipkan putranya ke tetangga di sebelahnya. Kebetulan sekali mereka orang yang baik. Tatsuya tak bekerja. Tugasnya persis seperti ibu rumah tangga. Ia memang dilarang oleh suaminya –Murasakibara Atsushi– untuk bekerja. Alasannya normal, ia tak mau istrinya akan kelelahan bekerja. Dulu Daiki juga meminta hal yang sama seperti yang Atsushi katakan pada Tatsuya. Sayang tingkat keras kepala istri mereka begitu jauh berbeda. Seijuurou tentu saja menolak untuk tidak bekerja. Ia tak mau terlalu bergantung pada Daiki meski Daiki selalu berulang kali mengatakan kalau dirinya adalah suaminya dan Seijuurou berhak bergantung padanya. Tapi Seijuurou tetap kekeh pada pendiriannya.

.

.

.

"Selamat datang," sambutan ceria mengalir lancar dari bibir Seijuurou yang berada di balik meja kasir ketika pintu cafe terbuka dengan menampilkan sosok tamu yang baru tiba. "Ada yang bisa saya bantu, Tu-Tuan?" Seijuurou melebarkan matanya. Sosok laki-laki paruh baya yang berdiri gagah di depannya adalah sosok yang sangat ia kenal. Orang yang selama 18 tahun membesarkan dirinya seorang diri.

"A–Ayah," bibirnya terasa kelu. Kakinya di bawah entah kenapa bergetar. Ia tak boleh seperti ini. Ia harus bisa bersikap bak orang profesional.

"Ehem, –Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

Ia berdeham sekali. Kakinya yang gemetar ia paksa berdiri tegak. Lidahnya ia paksa untuk berbicara.

"Sebelum itu, saya minta untuk dilayani oleh orang lain," suara lelaki itu terdengar dingin. Wajahnya menggambarkan raut tegas.

"Baik. Kalau begitu biar saya panggilkan teman saya," Seijuurou berbalik badan masuk ke dalam. Meski bicaranya terdengar lancar tanpa hambatan. Jujur, ia merasa sakit mengetahui sang ayah tak mau dilayani olehnya. Jangankan dilayani, bertatapan mata pun ia enggan.

"Tetsuya, bisa gantikan aku bekerja di depan? Biar aku saja yang mengurus disini,"

Mimik wajah lawannya terlihat heran. Tapi ia tak banyak bicara. Ia menurut, dan pergi ke meja depan.

Seijuurou ingin. Dia ingin sekali bertemu ayahnya, menemani sang ayah, atau sekedar memberi teguran halus pada sang ayah kalau ia tidak boleh memakan yang terlalu manis ataupun terlalu asin. Tapi sejak hari itu, sang ayah tak mau lagi bertemu dengannya. Bukan hanya tak mau bertemu, tapi ia juga tak mau berhubungan lagi dengan anak kandungnya sendiri. Seijuurou tak menyerah. Ia tetap memberikan surat ucapan maaf di hari ayah, memberikan ucapan ulang tahun di hari lahirnya, mengirim kartu tahun baru setiap tanggal satu Januari, bahkan ia juga mengirimkan coklat di hari valentine sebagai wujud kasih sayangnya terhadap sang ayah. Tapi sang ayah tak pernah membalas. Seijuurou berpikir positif. Mungkin saja ayahnya terlalu sibuk dan tidak sempat membalas suratnya.

"Seijuurou-kun,"

"Iya, Tetsuya?" Seijuurou bahkan tak sadar kalau Kuroko sudah berdiri di depannya.

"Jam-ku sudah habis. Pria itu pelanggan terakhirku,"

"Baiklah, Tetsuya. Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini," Pria bersurai baby blue itu mengangguk. Ia membereskan barang-barang dan mengganti pakaiannya.

"Seijuurou-kun," ia kembali memanggil ketika selesai mengganti pakaiannya dan melampirkan tasnya di bahu kanan. Tangan pucatnya merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat.

"Aku lupa untuk menyerahkan ini," Kuroko menggenggam tangan Seijuurou dan meletakkan amplop itu di telapak tangannya. "Ini dari pria itu," ujar Kuroko lagi.

Seijuurou membuka amplop coklat itu. Manik rubynya kembali membulat. Di dalam amplop itu terdapat sebuah kartu rekening dan secarik kertas kecil bertuliskan beberapa digit nomor –nomor pin rekening tersebut.

.

.

.

"Selanjutnya, tumis bawang putih dan bawang merah ke minyak yang sudah dipanaskan-

Piip!

"Berita malam ini, Haizaki Shougo yang merupakan seorang buronan perampokan bank kembali berhasil lolos dari kejaran polisi. Selain merampok, ia juga telah membunuh dua wanita di tempat kejadian. Sampai saat ini pihak polisi,"

"Sei-chan, bukankah mama sudah bilang untuk tidak memainkan remote TV," anak berumur satu tahun itu tak mendengarkan. Sekarang ia memukul-mukulkan remote TV itu ke lantai berulang kali. Wajahnya terlihat senang mendengar suara yang ditimbulkan akibat benturan remote dengan lantai.

"Sei-chan, ayo berikan remote itu ke mama," masih tak menurut, putranya justru memberikan gunting plastik ke tangan Seijuurou.

"Bukan yang ini sayang, tapi yang itu," tangan Seijuurou menunjuk ke tangan kanan putranya yang masih memegang remote.

Cklek!

"Tadaima," suara berat dengan nada lelah terdengar dari arah pintu depan.

"Okaeri!" Seijuurou langsung berlari kecil menuju pintu depan ketika mendengar suara berat milik suaminya.

"Aku kangen Daiki," Seijuurou memeluk Daiki erat. Mengganggu aktivitas Daiki yang hendak membuka sepatunya. Seijuurou mengacuhkan bau dan keringat yang menempel di tubuh Daiki. Seijuurou berjinjit, mengecup pelan bibir Daiki sebagai ucapan selamat datang.

"Hah? Bukannya tadi pagi sudah ketemu," Daiki masih mencoba melepas sepatu yang tinggal sebelah saat posisinya masih dipeluk Seijuurou. Tapi ketika ia mulai goyah, ia menghentikan aktivitasnya yang masih setengah jalan.

"Tetap saja aku kangen," Seijuurou semakin memeluk erat. Daiki mengacak-acak surai merah Seijuurou. Sikap Seijuurou yang manja kadang membuatnya gemas. Seijuurou hanya bersikap manja kepada dirinya, tidak kepada orang lain. Termasuk ayahnya sendiri.

"Mau makan? Atau mandi dulu?" masih dalam keadaan memeluk suaminya, Seijuurou mendongakkan kepalanya hanya sekedar melihat wajah suaminya yang tersenyum padanya.

"Aku maunya kamu," senyum Daiki berubah mesum.

"Itu tidak ada dalam pilihan,"

"Jadi kau menolak?" Daiki menyeringai jahil. Mukanya ia rendahkan untuk menjilat cuping telinga Seijuurou–mencoba menggodanya.

"Tapi aku belum menidurkan Sei," Seijuurou beralasan. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara aneh saat Daiki menjilat cuping telinganya.

"Kalau begitu cepat tidurkan dia. Aku akan menunggumu di kamar," muka Seijuurou entah kenapa memerah. Ini bukan yang pertama kalinya. Tapi tetap saja ia tidak bisa menghentikan debaran jantungnya yang terasa begitu cepat.

.

.

.

"Pa... Pa... " Sei kecil berjalan pelan menuju ayahnya yang duduk di ruang TV. Kedua tangannya terjulur ke depan dengan sebelah tangan menggenggam suatu kertas berwarna coklat.

"Hei, Sei. Ada apa?" Daiki langsung memeluk putranya yang berjalan ke arahnya di saat ia masih bersantai ria menikmati kopi pagi sambil menonton ramalan cuaca hari ini. Ia mencium pipi tembam Sei lalu mengangkat tubuh anaknya tinggi dengan kedua tangannya. Sei tertawa girang. Ia paling senang jika ada yang memperlakukannya seperti ini.

"Hmm, apa ini?" manik safir Daiki fokus pada sebuah kertas yang masih tergenggam di tangan Sei. Heran, biasanya kan Sei lebih tertarik dengan gunting plastik, bukan kertas. Apa ia mulai belajar cara menggunting?

Daiki membuka genggaman tangan kanan Sei perlahan. Mencoba mengambil sebuah amplop coklat yang sudah lecak –Daiki baru tahu kalau itu amplop ketika ia sudah mengambilnya– sesekali menggelitik tubuh Sei agar anaknya tidak menangis ketika ia merebut barang yang dipegangnya. Daiki merapikan sedikit amplop coklat itu, lalu memeriksa isinya karena ia merasa ada benda tipis yang kaku di dalamnya.

"...Seijuurou?"

"Ya, Daiki?!" Seijuurou berteriak dari dapur. Masih mencuci piring bekas sarapan mereka.

"Kesini sebentar,"

Seijuurou menyudahi cucian piringnya. Ia bergegas menuju ruang TV. Nada suara suaminya terdengar berbeda. Ada pembicaraan serius sepertinya yang ingin ia bahas.

"Ada apa?" setelah bertanya Seijuurou langsung membulatkan matanya. Amplop coklat yang diberikan Kuroko dari ayahnya sudah berada di tangan Daiki. Bagaimana bisa?

"Kau bertemu ayah?"

Seijuurou menunduk. Sesuatu yang disembunyikan cepat atau lambat pasti juga akan ketahuan. Daiki menunggu respon dari istrinya hingga beberapa detik. Setelah mendapat anggukan pelan, Daiki kembali memberikan pertanyaan yang lain.

"Kenapa tidak bilang?"

Seijuurou diam. Memikirkan jawaban yang tepat agar suaminya tak memberinya pertanyaan yang lain.

"Hanya sebentar, tidak lama,"

"Tch, hei aku menanyakan kenapa kau tidak memberitahuku. Aku tidak menanyakan lama atau tidaknya kau menemui ayahmu,"

"Kupikir kau akan marah padaku. Lagi pula pertemuanku dengan ayah hanya kebetulan,"

Dahi Daiki mengernyit. Heran dengan jawaban istrinya. Putranya yang masih bermain dipangkuannya ia letakkan di karpet, membiarkan putranya bermain seorang diri sebentar sambil memungut gunting plastik merah di dekatnya. Daiki berdiri. Sepasang tangan tannya menangkup pipi kanan-kiri istrinya agar tak menunduk ke bawah. Mata mereka bertatapan. Daiki bisa melihat mata Seijuurou yang memancarkan kesedihan.

"Untuk apa aku marah? Aku takkan marah," ada jeda sebentar untuk ia mengambil nafas, "Aku malah ingin hubunganmu dengan ayah membaik," lalu mengecup bibir merah istrinya cepat.

Seijuurou menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak. Hubungan kami sama sekali tak membaik. Setelah melihat wajahku, ayah memintaku untuk pergi dan dilayani oleh orang lain. Tetsuya yang memberikan amplop coklat itu padaku," lalu Seijuurou memeluk Daiki erat. Menenggelamkan wajahnya ke dada bidang suaminya. Sedang Daiki sendiri hanya mengelus lembut punggung istrinya pelan. Ia tahu, meskipun istrinya terlihat kuat dari luar, tapi sebenarnya ia adalah sosok yang rapuh yang juga membutuhkan perhatian dari orang lain.

"Dia memberimu kartu rekening. Berarti dia masih menyayangimu sebagai anaknya. Ayah hanya tak ingin kau bekerja terlalu keras," kata Daiki melembut.

"Daiki, lalu bagaimana?" suaranya masih terpendam di balik dada Daiki.

"Kau ingin bertemu ayah?" tanyanya. Seijuurou menggeleng cepat. Pelukannya pada sang suami semakin erat.

"Tidak mau. Aku tak akan tahu akan bisa kembali lagi padamu atau tidak ketika bertemu dengan ayah. Aku tak tahu apa yang akan ayah lakukan padaku. Aku tak mau berpisah dengan Daiki. Aku hanya ingin Daiki,"

Daiki tersenyum melihat tingkah istrinya. Tangannya masih setia mengelus permukaan punggung istrinya. "Terserah kau saja, sayang," lalu tangannya membalas pelukan sang istri sambil mencium puncak kepalanya pelan.

'BRAKKK!'

Tapi suasana roman mereka tak berlangsung lama. Karena ada saja pengganggu yang datang tanpa diundang. Pintu apartemen mereka terbuka secara sedikit kasar. Lalu diikuti suara cempreng yang menggema di dalam apartemennya.

"Aominecchi~ Seicchi~"

"Tch, Kise! Bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kesini?!" Daiki berteriak. Jengkel sekali rasanya melihat si pirang hadir di apartemennya tanpa diundang.

"Eh, are~ kalian lagi mesra-mesraan ya? Maaf ya mengganggu," tak ada nada penyesalan di dalam ucapannya. Justru tamu dadakan berambut pirang itu tersenyum jahil. Seijuurou buru-buru melepaskan pelukannya pada tubuh Daiki. Ia bergerak canggung memunguti mainan-mainan yang berceceran di karpet untuk menutupi rona merahnya.

"Kalau kau tahu mengganggu, jangan pernah lagi datang kesini!" Daiki berbicara ketus. Kentara sekali ia kesal.

"Hidoi-ssu! Aku kan cuma ingin bertemu dengan Seicchi~" Kise langsung mengangkat Sei yang masih bermain dengan gunting. Mengangkatnya tinggi-tinggi. Tapi Sei tidak terlihat senang seperti saat Daiki melakukannya padanya. Kedua kakinya bergoyang-goyang minta diturunkan. Kise tak mengerti maksud Sei. Ia justru memeluk Sei sambil menempelkan pipinya sendiri ke pipi gembul Sei. Membuat Sei makin risih.

"Lihat, Sei tak menyukaimu. Dia tak suka dengan orang berisik,"

"Aominecchi kejam. Aku kan kesini juga ingin menjemput Aominecchi supaya tidak terlambat lagi. Kasamatsu-senpai akan menendang bokongmu lagi loh jika Aominecchi terlambat lagi hari ini," Kise makin mendekap Sei. Kali ini Sei mencoba menusuk tangan putih susu milik Kise dengan gunting plastik miliknya.

"Apa? Dia menendang bokong Daiki?" mata Akashi menyipit mendengar penuturan Kise yang tak disengaja. Nadanya terdengar marah. Ia balik menatap suaminya meminta penjelasan lebih.

"Hei, Seijuurou. Dia atasanku, sudah sewajarnya dia– "

"Sewajarnya bagaimana? Itu merupakan pelecehan seksual. Aku ingin menghadapnya,"
Seijuurou memotong omongan Daiki yang belum sempat selesai. Kise nyengir sendiri. Baru kali ini ia melihat istri yang begitu possesive.

"Ne, ne, tidak keras kok Seijuuroucchi. Dia hanya memberi sedikit teguran," tidak keras, tapi sampai membuat Aominecchi terjatuh.

Seijuurou memandang Kise ragu. Masih tak percaya dengan perkataan teman suaminya.

"Aominecchi, ayo kita berangkat sekarang. Mari cepat selesaikan kasus kita kali ini," Daiki tepok jidat. Niat Kise yang ingin menghindarkan rekan kerjanya dari amarah istrinya malah tak berujung.

"Kalian sedang menghadapi kasus apa kali ini?" tuh kan, istrinya kepo.

"Hanya kasus menangkap seorang buronan, ada apa Seijuuroucchi?" Tuhan, apakah Daiki boleh menyumpal mulut si pirang?

Mata Seijuurou memincing mendengar kasus yang diucapkan Kise. Kedua maniknya kembali menatap suaminya tajam.

"Jangan-jangan kasus perampokan sekaligus pembunuhan yang ada di berita akhir-akhir ini?"

"Betul-ssu!" Kise menjawab terlalu bersemangat. Daiki hampir ingin menendang Kise keluar dari rumahnya.

"Daiki, bukankah aku sudah mengatakan jangan menangani kasus yang terlalu berbahaya,"

"Seijuurou, aku ini seorang polisi. Sudah sepantasnya aku– "

"Menempatkan diri pada apapun bahaya, begitu? Kau juga seorang ayah, Daiki. Ingat itu. Apa kau tahu bagaimana bahayanya seorang pembunuh itu? Aku tidak bodoh. Aku tahu kalau dia telah menembak dua orang wanita saat dia berusaha lolos,"

Seijuurou kembali memotong perkataan suaminya. Nadanya makin terdengar marah. Daiki menggigit bibirnya. Susah melepaskan dirinya jika Seijuurou sudah begini.

"Seijuurou, dengarkan aku," Daiki memegang kedua bahu Seijuurou. "Serumit dan sebahaya apapun kasus itu, aku pasti akan selesaikan. Kau tidak percaya padaku?" Daiki menatap lurus manik ruby istrinya. Mencoba membuat istrinya untuk mempercayainya meski hanya sedikit.

"Tapi kalau kau gagal kau akan meninggalkanku dan Sei-chan," Tapi Seijuurou bukan orang yang mudah percaya dengan orang lain termasuk suaminya sendiri. Ayahnya memang sudah mengajarkan hal seperti itu dari kecil. Hanya saja Seijuurou salah dalam menempatkan situasi.

"Jadi kau benar-benar tak percaya padaku?" Daiki menaikkan sebelah alisnya. Ia tak menyangka Seijuurou akan mengatakan kata-kata seperti itu.

"Bagaimana kalau kau tinggalkan saja pekerjaanmu itu dan memulai pekerjaan baru," arah pembicaraan Seijuurou mulai berubah.

"Hah? Apa maksudmu?" bahkan Daiki sendiri mulai tak mengerti arah pembicaraan istrinya. Pegangannya pada bahu Seijuurou terlepas.

"Jadi seorang pedagang pun tak buruk. Aku akan setia di sampingmu,"

"Seijuurou– "

"Aku rela meninggalkan ayah dan Akashi demi kamu. Apa kau tak mau meninggalkan pekerjaanmu demi aku?"

Suasana tegang. Daiki bingung harus berkata apa lagi. Kise pun ikut diam. Sei entah mengapa tiba-tiba gelisah. Kakinya terus bergoyang minta diturunkan. Kise menurunkan Sei dari gendongannya dan mendudukinya kembali di atas karpet.

"Aku berangkat dulu," Daiki memutuskan pembicaraan mereka paksa. Ia mencium bibir Seijuurou cepat, mengambil tasnya yang sudah siap di sofa, lalu pergi ke arah pintu. Daiki tahu kalau ia harus segera menghentikan pembicaraan ini sebelum mereka benar-benar bertengkar.

"Jadi Daiki lebih cinta dengan pekerjaan?" Seijuurou berkata lirih membuat langkah Daiki yang hampir mencapai pintu terhenti. Daiki menatap ke belakang sebentar. Melihat istrinya yang berwajah sendu mengangkat Sei yang masih gelisah di atas karpet. Sepertinya Sei tahu kalau orang tuanya sedang dalam kondisi tak baik. Meskipun Sei masih bayi, ia bisa merasakan suasana hati kedua orang tuanya sedang baik atau sedang buruk.

"... Aku berangkat," lalu terdengar suara pintu tertutup kembali. Kise yang masih berada di ruang TV membungkukkan badannya sedikit ke arah Seijuurou lalu menyusul pergi. Seijuurou menatap kepergian Kise dengan pandangan tak bersahabat.

Sejak awal pertemuan mereka, ia tidak pernah menyukai sosok Kise. Dulu ketika dirinya, Daiki, Murasakibara, dan Midorima berteman dari kelas satu SMP, hidup mereka tentram-tentram saja. Tapi semenjak kedatangan Kise sebagai murid baru di kelas dua SMA, persahabatan mereka mulai merenggang. Seijuurou merasa Kise telah mengambil Daiki darinya. Waktu yang Daiki gunakan lebih banyak untuk Kise daripada untuknya. Daiki lebih banyak bermain basket, jajan di kantin, atau bolos bersama Kise. Padahal dirinya sudah berpacaran dengan Daiki sejak kelas tiga SMP. Kise jugalah yang mengajak Daiki untuk bergabung ke dalam kepolisian. Seijuurou tahu kalau Daiki bercita-cita menjadi seorang polisi sejak Daiki masih TK. Tapi Kise yang memaksanya untuk ikut bergabung di Divisi Pembunuhan.

.

.

.

Pria dengan tinggi bersurai merah gelap mengambil barang-barangnya yang ada di bagasi. Lima tahun yang lalu ia balik ke negara tempat tinggal orang tuanya yang ada di Amerika. Dan tiga tahun setelahnya ia mendapat kabar dari kakak laki-laki ibunya kalau ia yang akan menjadi pewaris perusahaannya. Awalnya ia tak mengerti. Ia bukan berasal dari keluarga Akashi walaupun ibunya dulu bermarga Akashi. Ia tak mengerti. Setahunya, pamannya memiliki seorang putra laki-laki yang juga seumuran dengannya. Lalu, kenapa ia yang akan menjadi pewaris keluarga Akashi?

Hei, ia tak pintar. Otaknya begitu pas-pasan begitu berhubungan dengan yang namanya pelajaran. Kalau perusahaan Akashi dipegang olehnya, jangankan tujuh turunan. Satu turunan pun ia yakin perusahaannya akan mulai bangkrut.

Setelah itu, ibunya pun menjelaskan sesuatu yang membuat hatinya marah. Seijuurou telah keluar dari keluarga Akashi. Ia bukan bagian dari Akashi lagi. Pamannya –Masaomi– telah menganggap Seijuurou tidak pernah ada layaknya tak pernah lahir ke dunia. Seijuurou sudah dianggap mati. Yang membuat hatinya tambah kesal, karena Seijuurou telah berani meninggalkan keluarganya hanya untuk laki-laki yang tak jelas asal-usulnya. Bodoh sekali. Cinta? Apakah cinta sampai sekuat itu sampai-sampai sepupunya rela meninggalkan ayahnya sendiri demi cinta. Konyol. Kalau cinta itu seperti itu, dia rela dirinya tidak pernah mengalami yang namanya jatuh cinta.

Kagami merogoh kantung celananya. Hal pertama yang ia lakukan adalah meng-aktifkan kembali handphonenya. Lalu hal kedua yang ia lakukan mengirim email pada sepupunya untuk segera menyelesaikan masalah ini.

From : Me

To : Seijuurou

Subject : None

Aku ingin bertemu denganmu.

.

.

.

~ TBC ~

.

.

.

A/N :

Minna-san, saya datang lagi nih dengan membawa MC baru. Nggak kok, nggak saya buat panjang banget cerita ini. Hanya dua sampai tiga shoot. Endingnya pun sudah saya rencanakan dengan matang. Jadi saya usahakan untuk cerita ini nggak bakal molor updatenya seperti cerita lainnya. Jika memang ada yang menunggu saya mau memberitahu untuk chapter dua bakal saya update pas ulang tahunnya bang Daki.

Dalam pengetikan fict ini, sebenarnya saya sedikit risih dengan nama Seijuurou. Habisnya nama panggilannya kepanjangan. Tapi kalau saya singkat jadi Sei, nanti malah jadi mirip sama nama anaknya lagi. Mau bagaimana lagi, author yang satu ini memang kurang kreatif buatin nama buat anaknya Aomine dan Akashi. Jadi beginilah seadanya.

Rin-san, saya tepati loh janji saya. Mana janjimu? *ngelirik Aidoru* sudah berdebu tuh /ditendang. Maaf ya Rin-san kalau cerita ini mungkin mengecewakan. Dan maaf saya nggak bisa nunggu Rin-san buat publish bareng. Maaf kalau requestnya malah saya buat jadi MC. Waktu itu saya mau buatnya One Shoot tapi jadinya malah kepanjangan. Jadi saya bagi tiga saja. Tidak apa-apa ya?

Oh iya, saya mau juga promosi nih pada minna-san sekalian. Bagi para pembaca yang memiliki Whats Up dan berminat untuk bergabung dengan grup Ukeshi di WA grup bisa PM saya. Disana kita bisa fg-an bareng atau saling sharing antar author dan pembaca.

Eh kenapa AN-nya jadi panjang kayak nulis drable ya? Oke, daripada makin kepanjangan, saya mohon undur diri dulu. Minna-san yang sudah membaca cerita ini, saya mohon kritik dan sarannya untuk perbaikan tulisan saya mendatang. Atau yang masih bingung dengan cerita ini, silahkan tanya saja. Saya siap menjelaskan. Terima kasih sudah datang dan mampir ke cerita saya xD

_Akashiki Kazuyuki_