Title: Dan Kau Hadir (Mengubah Segalanya)
Author: nanaspineapple
Pairing: Kaisoo
Genre: Romance, drama, slice of life
Rating: T
Disclaimer: Kesamaan nama tokoh memang disengaja
Word Count: 3,544
Summary: Do Kyungsoo yang mengedepankan logika dan Kim Jongin yang mengandalkan imajinasi. Bagaimana jika dipaksa bersatu?


CHAPTER 1 — Kencan-Kencan Gagal

Lampu-lampu yang menggantung di restoran itu tinggi, tak terjangkau hanya dengan tangan kosong. Cahayanya tidak terang, tapi tidak seredup itu sampai membuat mata sakit. Siapapun tahu maksudnya sengaja dibuat seperti itu agar kesannya lebih romantis, tapi Jongin—Jongin tidak merasakannya.

Ia duduk di balik salah satu meja di restoran itu—tipikal restoran mahal, menurutnya. Meja-meja ditutupi kain putih bersih, perkakas makan mahal, lilin wangi di atas meja, dan pengunjung harus mengenakan pakaian formal, bersepatu serta berdompet tebal untuk masuk ke dalam.

Di seberangnya ada lelaki lain yang diam dan serius, matanya mengikuti buih-buih yang memudar perlahan di dalam gelas winenya. Keheningan di antara mereka terasa berat dan tidak menyenangkan, seperti segumpal nasi yang tersangkut di tenggorokan.

Ponsel lelaki itu berdering lagi, dan seperti yang sudah-sudah, ia mengeluarkannya dari kantung hanya untuk memutus teleponnya. Jongin penasaran kenapa ia tidak mematikan ponselnya saja.

Tidak nyaman dengan keheningan yang sudah hinggap di antara mereka terlalu lama, Jongin akhirnya berdehem dan angkat bicara.

"Kau tahu, Kyungsoo-ssi," ujar Jongin gugup, ia berusaha menjaga suaranya sestabil mungkin. "Mumpung masih awal, kita bisa menolak."

Jawabannya tidak langsung datang, tapi Jongin sudah mengiranya sejak sebelum bertanya. Kyungsoo melipat kedua lengannya di depan dada, dan Jongin sudah bisa membayangkannya—Kyungsoo melakukan itu di tengah rapatnya dengan direktur-direktur lain saat sedang diskusi tentang ekspansi perusahaan.

Semua ini terlalu tiba-tiba, mereka berdua sama-sama tahu. Pacar seharusnya bisa dicari dari dulu, waktu mereka masih muda dan waktu luang hanya dipakai untuk bersenang-senang. Sekarang mereka berdua sama-sama terlalu tua untuk punya pacar, kerjaan yang menumpuk di depan wajah menghalangi mereka untuk melihat sekeliling, mencari tahu kalau ada cinta yang bisa diraih.

Jongin sendiri tidak bisa berkata apa-apa waktu orangtuanya tiba-tiba datang ke rumahnya dan menyerahkan foto lelaki bermata bulat yang sekarang duduk di depannya ini—Do Kyungsoo.

"Do Kyungsoo, Direktur Keuangan di perusahaan garmen Alexanderous—kamu suka beli kemeja dari situ, kan? Umurnya 28 tahun, mapan, koneksi bagus."

Waktu ibunya bilang begitu, Jongin hanya bisa mendecih pelan. Tipikal menantu idaman, ya, Bu? Sayangnya ia tidak mengatakannya keras-keras. Pertanyaan itu mati di lidahnya, tepat saat matanya benar-benar mencermati wajah Kyungsoo di foto itu dan ia harus mengakui kalau ia agak… tertarik.

Visual Kyungsoo memang membuat orang ingin menatapnya lama-lama, tapi begitu orangtua mereka menjadwalkan kencan makan malam pertama kali dan Jongin bertemu dengannya langsung, kesannya agak berubah. Wajah Kyungsoo tertekuk dan bibirnya terus cemberut, membuatnya terlihat seperti bukan orang yang menyenangkan. Matanya begitu lelah sampai-sampai ia terlihat begitu tua, padahal Jongin hanya lebih muda setahun.

"Lagipula sejak tadi ponselmu terus berdering, sepertinya kau sibuk sekali…"

Jongin hampir menyerah mengajak Kyungsoo mengobrol, tapi ia penasaran karena lelaki itu tidak meresponnya sama sekali. Ia tahu rasanya bekerja di bawah tekanan, dikejar deadline dan tuntutan orang-orang di sekitarnya, tapi pekerjaan seperti Direktur Keuangan tak pernah terpikir olehnya. Laporan keuangan, grafik untung-rugi dan seluruh hutang-piutang. Semua itu tidak terjangkau otaknya.

Awalnya Jongin pikir Kyungsoo adalah petinggi perusahaan yang angkuh, yang membetulkan dasinya beberapa menit sekali dan terus-terusan menatap jam tangan karena ada hal lain yang harus dikerjakan. Jongin sudah terlalu sering melihat orang seperti itu, orang-orang hedonis yang berpikir kalau materi yang didapat dari duduk berjam-jam di balik meja di gedung tinggi itu cadangan nyawa. Orang-orang yang rela makan uangnya kalau kulkasnya kosong.

Kalau Kyungsoo orang seperti itu, Jongin pasti sudah pergi dari tadi.

Sayangnya ada yang berbeda dari orang ini, caranya memandang tidak angkuh, tapi bosan. Nada bicaranya juga tidak sombong, tapi malas. Postur tubuhnya tidak tegak dan percaya diri, tapi lunglai. Sekali lihat saja Jongin tahu kalau ia lelah. Bukan lelah setelah bekerja seharian, tapi lelah pada hidupnya sendiri. Mungkin pernah ada satu hari di mana ia memandang ke bawah dari jendela kantornya dan berpikir untuk melompat, mungkin ia pernah memandang benda tajam dan membayangkan rasanya benda itu digesekkan ke pergelangan tangannya, tapi Jongin tidak tahu. Jongin tidak tahu apa-apa.

Mata Kyungsoo menyiratkan sesuatu yang lain. Jongin melihatnya sebagai suatu keindahan yang dikerangkeng di balik tabel Buku Besar dan grafik hasil penjualan. Keindahan itu menjerit-jerit, minta dibebaskan, ingin melebarkan sayap dan terbang jauh-jauh. Biarpun mulut itu tertutup dan hanya bicara saat perlu saja, Jongin bisa mendengarnya melalui mata itu.

Makanya ia tak mampu menatap Kyungsoo terlalu lama. Jeritan yang berupa mata cokelat bulat itu terlalu kencang untuk disimpan sendiri. Jongin tidak kuat kalau disuruh ikut menahan perihnya.

"Kau tidak ingin menikah, Jongin-ssi?" tanya Kyungsoo tiba-tiba. Jongin sedikit terkejut, tapi ia berhasil menjaga ketenangan air wajahnya.

"Bukannya tidak ingin, sih…"

"Dengan kariermu yang seperti ini sekarang, kalau orang tuamu tidak memikirkannya untukmu, apa kau sempat memikirkannya sendiri?"

"Jadi cara pikirmu seperti itu." Jongin melengos, tapi ia lega karena Kyungsoo tidak keberatan walaupun pertanyaannya tidak dijawab. "Jadi maksudmu, kau setuju-setuju saja kita dijodohkan walaupun rumah tangga kita tidak bahagia? Pernikahan itu bukan syarat dan ketentuan untuk bebas dari kejaran orang tua, tahu. Itu pilihanmu sendiri."

Kali ini Kyungsoo menghela napas, lalu memindahkan lipatan lengannya ke atas meja. "Aku meragukan sesuatu yang sifatnya abstrak seperti cinta. Kita punya urusan sendiri. Kalaupun menikah, kurasa kita akan tetap sibuk sendiri-sendiri."

"Terus buat apa menikah kalau tidak saling peduli?" decih Jongin, mulai kesal. "Memangnya kalau kerja di bidang keuangan jadi hanya percaya nominal saja, ya?"

"Nominal itu fakta. Mereka bisa dibuktikan. Semua unsur laporan saling melengkapi sampai membentuk rangkaian yang bisa ditelusur interelasinya antarnominal."

"Aku penulis. Aku tidak paham begituan. Tapi aku tidak setuju kalau kau bicara seperti itu."

"Aku Direktur Keuangan. Aku tidak hidup di Dunia Khayal. Jangan anggap sepele semua kertas-kertas remeh itu, bukannya kemeja yang kau pakai itu dari perusahaanku?"

Jongin tertawa renyah, tapi dia tidak terdengar mengejek. Pria ini sulit dilawan, dan Jongin tidak suka dikalahkan dalam berargumen. Tapi Do Kyungsoo ini spesial, ia berbeda, ia punya perspektif yang berbeda. Baru kali ini Jongin tidak membalas dengan kekeras kepalaannya yang biasanya setinggi langit.

"Tahu tidak?" tanya Jongin, senyumnya masih ada. Lengkungan bibir itu sedikit mengganggu Kyungsoo karena ekspresi Jongin tiba-tiba terlihat berbeda. Ia agak takut kalau setelah ini yang keluar dari mulut Jongin lebih aneh lagi. "Sepertinya aku malah jadi suka padamu."

Kencan pertama: gagal. Kyungsoo langsung pergi dan gelas winenya jatuh di meja, membasahi taplaknya.

oooooooooooooo

Yang Jongin butuhkan adalah ketenangan.

Tapi ketenangan menurut definisinya sedikit berbeda. Bukanlah situasi statis tanpa suara yang ia sebut tenang. Tenang adalah saat di mana ia tidak perlu duduk terlalu tegak, saat senyumnya bisa merekah begitu saja, saat tiba-tiba semua yang ia lihat memberinya inspirasi untuk menulis.

Ketenangan itu kadang ia temukan di pagi hari saat membuat sarapan dan melihat seekor burung melompat-lompat dari satu ranting ke ranting lainnya di pohon di depan apartemennya. Kadang ia menemukannya di dalam stasiun yang padat saat rush hour. Kadang ia menemukannya terselip di arsip-arsip kerjaannya di bawah meja. Ketenangan bisa ada di mana saja.

Anehnya, saat kencan makan malam yang gagal dengan Kyungsoo itu ia justru menemukan ketenangan.

Orang yang aneh, pikirnya pada diri sendiri sembari mengetik pesan pada ibunya, meminta wanita itu untuk mengatur kencan mereka lagi kapan-kapan.

"Memangnya aku sekretarismu," tawa Junmyeon saat Jongin menanyakan jadwalnya. Penulis itu hanya mengayun-ngayun kursinya dari kanan ke kiri, ada pulpen di tangan kanannya.

"Tapi kan Hyung yang tahu jadwalku."

Junmyeon bersandar di sofa yang terletak tak jauh dari meja kerja Jongin, matanya menerawang ke langit-langit, mengingat-ingat. "Deadlinemu untuk buku yang baru masih tiga minggu lagi. Kamu masih harus selesaikan cerpen bagian 6 untuk majalah bulan depan, deadlinenya tiga hari lagi. Tadi ada jurnalis dari koran minta wawancara, sudah kuatur besok siang. Sisanya… cuma menulis, kan."

"Kupingku sakit, nih."

"Manja. Cerpennya sudah selesai?"

"Sedikit lagi. Nanti sore, paling lama nanti malam kuemail, deh," jawab Jongin sambil memijat pelipisnya, tiba-tiba merasa pusing. Junmyeon hanya mengangguk-angguk di sofa, lalu melihat jam tangannya. "Mau pergi?"

"Enggak. Cuma heran aja, penulis sesibuk kamu manggil editornya ke rumah cuma buat diajak basa-basi," ledek Junmyeon yang tertawa saat Jongin memutar matanya. "Perjodohanmu gimana?"

Mendengar pertanyaan itu, Jongin berdiri dari kursinya untuk duduk di sebelah Junmyeon. Langkahnya lebar tapi pelan, dan Junmyeon biasanya akan memarahinya karena tidak pakai kaus kaki, tapi tidak hari ini. Wajah Jongin menuntut jawaban, dan biasanya itu tak pernah terjadi. Jongin hampir selalu bisa menjawab apa yang ia sendiri pertanyakan, makanya kali ini Junmyeon menatap mata Jongin yang penasaran, pertanyaan sudah menggantung di lidahnya.

"Sebenarnya aku panggil Hyung ke sini mau bicara soal itu," ujar Jongin begitu ia duduk di sebelah Junmyeon, satu kakinya diangkat ke atas kursi dan ia duduk menghadap Junmyeon.

Ada nostalgia saat itu, karena Junmyeon ingat saat Jongin baru saja jadi penulis, banyak bertanya ini dan itu, meneleponnya tengah malam untuk diskusi. Hal itu berlanjut setahun penuh sebelum Jongin benar-benar berhenti, dan ia tumbuh menjadi penulis yang banyak berpikir, riset mandiri dan observasi seharian. Sudah lima tahun Junmyeon tidak melihat Jongin seperti ini.

"Kenapa dengan orang pilihan orang tuamu itu?" tanya Junmyeon, ikut-ikutan serius. Belum pernah mereka bicara soal cinta sebelumnya. Memang kadang Jongin bertanya soal Yifan, pacar Junmyeon, tapi hanya sebagai basa-basi sore hari, menanyakan kabar dan kesibukan. Mereka tak ada waktu untuk mengobrol.

"Aku—aku juga tidak tahu. Direktur Keuangan, iya. Tapi—tapi dia… berbeda dengan yang kukira? Galak, tapi sedih. Masih muda, tapi terlihat layu. Etos kerja tinggi, tapi malas. Aku kurang paham."

Sebagai editornya, Junmyeon selalu jadi tempat Jongin untuk curhat. Soal kerjaan, soal ponselnya yang rusak, soal orang penerbit yang menyebalkan, sampai soal cucian piring di rumah. Tapi tidak pernah soal pacar. Junmyeon ingat Jongin bercerita soal mantannya, Taemin, yang pacaran dengannya selama kuliah, tapi lalu ia dicampakkan begitu saja. Rasanya sejak itu Jongin menyerah untuk menjalin hubungan dan hanya fokus pada kerjaannya. Makanya waktu Jongin bilang ia akan dijodohkan orangtuanya, Junmyeon sangat kaget.

"Tapi kamu tertarik padanya?" tanya Junmyeon lembut, biarpun sedikit banyak ia sudah tahu jawabannya. Jongin mungkin sudah jauh lebih dewasa dari Jongin yang ia temui lima tahun lalu—gelagapan dan celingukan di kantor, tapi ada kepolosan yang tersisa di matanya, kepolosan yang membuatnya mudah dibaca.

"Kalau bisa, sih… aku ingin mengenalnya lebih jauh dulu. Orang tua kami masih beri waktu untuk pdkt sampai akhir musim dingin. Tapi Direktur itu pasti sibuk, ya, Hyung? Aku harus gimana, dong?"

Nada Jongin yang mendesak membuat Junmyeon ingin menertawakannya, tapi ia tidak melakukannya. Sudah hampir enam tahun lebih Jongin tidak pacaran, dan biarpun selama itu ia sudah menulis lebih dari 3 novel tentang cinta, ternyata saat menghadapi kenyataan lelaki ini sudah lumayan berkarat juga.

"Begini, Jongin." Junmyeon meletakkan satu tangannya di bahu Jongin, meremasnya pelan seolah memberi semangat. "Aku cukup paham situasinya. Kalian berdua sama-sama sibuk. Setidaknya mintalah nomor kontaknya. Coba kamu yang inisiatif untuk menemuinya, pasti kesannya lain."

Itulah bagaimana Jongin meminta ibunya untuk meminta nomor Kyungsoo ke orang tuanya, dan ia hanya tertawa garing saat ibunya tersenyum jahil padanya, terkesan karena Jongin ingin menemuinya. Yang ia dapat hanya nomor sekretaris Kyungsoo karena kadang Kyungsoo sulit dihubungi, tapi tidak ada salahnya mencoba.

oooooooooooooo

Saat itu jam sebelas lewat, tapi Jongin sudah sampai di kantor Kyungsoo. Ia sudah mengirim cerpennya ke Junmyeon dua hari yang lalu, di subjectnya ditulis 'cerpen' dan di bodynya dilampirkan dokumen cerpennya, tapi ada yang berbeda. Biasanya ia tidak menulis apa-apa, tapi malam itu ia menulis, 'aku akan menemui Kyungsoo di kantornya,' dan bukannya email, Junmyeon langsung meneleponnya.

Semangat, Pejuang Cinta, begitu katanya saat menelepon, dan Jongin langsung memutus teleponnya saat Junmyeon tertawa.

Jongin sudah menelepon sekretaris Kyungsoo, Park Sunyoung, bahwa ia sudah sampai. Sekarang ia mondar-mandir di lobi dengan bingung, membuat orang-orang yang lewat menatapnya heran. Jongin hanya pakai sweater dan celana jins, sepatunya lama tidak disemir dan mantel khaki tiga perempatnya agak lecek. Sementara para pegawai pakai setelan, dasi mereka segitiga sempurna dan sepatu mereka mengkilat. Sekali lihat saja Jongin tahu mereka cuma sok penting, pura-pura berjalan cepat sambil melihat jam seolah diburu waktu. Mereka cuma termakan uang, mereka tidak menikmati pekerjaan mereka.

Tiga menit kemudian, seorang wanita mungil menghampirinya. Senyumnya profesional tapi tulus, rambutnya cokelat dan pendek tapi diikat. Ia mengenakan kemeja putih yang disetrika rapi dengan rok span abu-abu yang pas dengan lingkar pinggangnya. Tanda pengenalnya dijepit di saku kemeja di dada kirinya, dan nama Park Sunyoung di bawah pas fotonya sudah bisa Jongin lihat dari jauh.

"Kim Jongin-ssi?" tanyanya sopan, dan saat mereka berjarak dua lengan, mereka sama-sama membungkuk dan mengucapkan salam.

"Iya, Park Sunyoung-ssi?" Jongin bertanya balik, dan wanita itu tersenyum lagi sambil menjulurkan lengannya. Jongin menjabat tangan itu pelan, merasa kaku pada semua keformalan ini.

"Silakan ikuti saya." Sunyoung menunjuk lift dengan telapak tangannya yang terbuka, dan Jongin hanya tersenyum kecil melihat gestur terlatih itu. Jongin melirik Sunyoung sekali dan ia takut karena wanita itu bisa mempertahankan senyumnya di wajahnya, sampai ia tidak tahu senyum itu tulus atau tidak.

Mereka masuk ke sebuah ruangan, besar dan terpisah dari yang lain. Interior ruangannya sederhana dan nyaman. Ruang tamunya besar dan masih ada satu pintu lagi ke ruangan kerja Kyungsoo yang terpisah. Di dekat pintu itu ada meja sekretaris, penuh tumpukan folder dan kertas.

"Direktur Do sedang ada rapat sekarang, mungkin selesainya sekitar jam makan siang. Silakan duduk dulu di sini." Jongin hanya menurut, ia duduk di salah satu kursi, tersenyum karena rasanya nyaman, dan menghela napas saat ia bersandar. Bahkan ruangan Pemimpin Redaksinya di kantor saja tidak sebesar ini. Sunyoung tiba-tiba datang lagi dengan secangkir teh, dan Jongin langsung duduk tegak.

"Oh, terima kasih," katanya saat wanita itu meletakkan cangkirnya di meja.

"Anda santai-santai saja. Kalau perlu sesuatu, saya di meja."

"Iya."

Jongin bisa merasakannya, suasana sibuk di ruangan Kyungsoo. Baru tiga puluh menit duduk saja, sudah ada tiga orang yang masuk ke dalam dan menyerahkan folder-folder ke Sunyoung. Wanita itu dengan telaten memeriksa isinya, dan kalau sesuai, ia menumpuknya di satu tempat terpisah.

Ia tidak suka atmosfer seperti ini. Rasanya seperti tak punya pilihan selain menyusuri jalan yang penuh duri. Sakit, tapi selalu ada sekoper uang yang diiming-imingi di depan wajah. Ia merasa penulis tidak pernah bekerja seperti itu. Deadline dan tuntutan memang ada, tapi sisanya terserah padanya. Ia bisa membuat tokoh novelnya bahagia, sakit, ia bahkan bisa membunuhnya.

Tapi Kyungsoo—Kyungsoo tidak bisa membunuh siapa-siapa.

Sekitar setengah jam kemudian, pintu terbuka, dan Jongin kira ada staff lain yang masuk membawa folder yang siap ditandatangani, tapi ternyata itu Kyungsoo. Kyungsoo yang berbeda dengan Kyungsoo yang Jongin temui di restoran beberapa hari lalu. Matanya hidup, bahkan berapi-api. Ekspresinya begitu serius, begitu buru-buru, begitu terlihat ingin bekerja lagi. Jujur saja, Jongin tercekat melihatnya.

"Selamat datang, Direktur-nim," salam Sunyoung sambil menghampiri Kyungsoo dan membungkuk padanya. Wanita itu menyerahkan ponsel Kyungsoo dan lelaki itu langsung menyalakan layarnya begitu menerimanya.

"Apa tadi Baekhyun ke sini?" tanya Kyungsoo setelah melihat ada berapa pesan masuk. Jongin masih terus menatapnya, menunggu Kyungsoo sadar kalau ia sedang duduk di ruang tamunya.

"Tidak, tapi—"

"Astaga."

Ketika Kyungsoo akhirnya menatapnya balik, Jongin tanpa sadar tersenyum. Kyungsoo orang yang jujur, ia bisa melihatnya. Dia tidak malu menunjukkan kalau ia benar-benar kaget, dari caranya melebarkan matanya yang sudah lebar dan mulutnya yang terbuka sedikit.

"Hai," sapa Jongin santai sambil melambaikan tangan. Kyungsoo masih menatapnya dengan tidak percaya, seolah ia baru saja melihat alien turun dari UFO. Di sela-sela kekagetannya yang belum selesai, Jongin berdiri dan berjalan menghampirinya.

"Sejak—sejak kapan dia di sini?" tanya Kyungsoo pada Sunyoung, nadanya panik. Jongin sampai harus menahan tawanya.

"Sekitar jam setengah dua belas, Direktur-nim," jawab Sunyoung tenang.

"Kok, kau biarkan dia masuk?"

"Eh, tadi malam saya ditelepon orang tua Anda, katanya Kim Jongin-ssi mau datang ke sini, jadi…"

Kyungsoo menggeram kesal, ia lupa kalau ia memang minta orang tuanya untuk selalu menghubunginya lewat Sunyoung karena semua jadwalnya ada di wanita itu. Ia sama sekali tidak kepikiran kalau Jongin akan meminta nomor Sunyoung untuk pergi ke sini, di saat seperti ini.

"Mumpung jam makan siang, makan di luar, yuk? Aku lapar nih," ceplos Jongin tiba-tiba, seolah-olah Kyungsoo sudah sembuh dari kagetnya yang barusan. Direktur itu menatapnya takut, tapi ia berusaha berpikir tenang dan mengabaikan Sunyoung yang mulai tersenyum jahil.

"Folder—laporan—Sunyoung-ah, ada berapa laporan yang harus kutanda tangani? Rapat berikutnya jam berapa?" tanya Kyungsoo, dalam hati berharap Sunyoung melihat rasa takut yang ia sorot dari matanya, rasa takut yang berteriak bahwa ia hanya ingin bekerja dan bekerja. Sayangnya Sunyoung sudah terlalu asyik melihat bosnya ini panik begitu.

"Laporannya bisa ditanda tangani nanti setelah makan siang, Direktur-nim. Anda tidak ada jadwal apa-apa sampai jam tiga," ujar Sunyoung sambil melirik Jongin, yang langsung dibalas dengan acungan jempol oleh lelaki tinggi itu.

Kyungsoo ingin menangis.

oooooooooooooo

Dari datar, ekspresif, ke datar lagi. Transformasi yang dilakukan Kyungsoo begitu fantastis, membuat Jongin semakin penasaran saja. Ia jadi tidak tahu Kyungsoo sebenarnya seperti apa. Di depan sekretarisnya ia begitu jujur dan terbuka, ia juga tidak segalak yang Jongin bayangkan. Tapi caranya berjalan dalam diam mengikuti Jongin ke kedai makan yang tidak jauh dari kantornya, juga ketika ia menyebutkan pesanannya pada pelayan dengan suara yang begitu pelan jelas-jelas mengatakan yang sebaliknya.

Belum-belum perasaanku sudah dipermainkan begini, pikir Jongin, ia ingin menertawakan dirinya sendiri.

Sebenarnya Kyungsoo adalah orang yang selalu berusaha meminimalisir interaksi intim. Orang-orang yang benar-benar ia ajak ngobrol di kantor hanya Baekhyun, Auditor di departemen yang sama dengannya. Di antara seluruh pegawai di perusahaan mereka, sistem upper dan middle management tidak berlaku hanya bagi mereka saja. Secara pangkat memang Kyungsoo adalah orang paling penting di seluruh Departemen Keuangan, tapi secara kenyataan, Baekhyun adalah teman lamanya yang selalu bisa membuatnya ingat akan alasan-alasan mengapa ia harus tersenyum. Baekhyun adalah sahabatnya yang sangat berharga.

Di luar itu, Kyungsoo sangatlah asosial. Ia menolak didekati. Ia tak minat mendekati.

Pesanan mereka datang cukup cepat siang itu. Kyungsoo memesan sandwhich tuna dengan mashed potatoes serta kopi hitam. Jongin memesan french toast dengan topping mozarella dan secangkir latte. Jongin baru mau mengambil cangkirnya, tapi ia berhenti saat melihat Kyungsoo menyingkirkan bungkus kertas kecil berisi gula, lalu mengangkat cangkirnya ke mulut.

"Gulanya nggak dipakai?" tanya Jongin heran. Kopi yang itu kan pahit banget.

"Nggak. Lebih enak begini," jawab Kyungsoo singkat sebelum ia menyesap kopinya pelan-pelan. Jongin menurunkan tangannya ke pangkuannya lagi, lagi-lagi dibuat bingung.

"Seleramu pahit, sama kayak mukamu," ujar Jongin tiba-tiba. Kyungsoo masih meminum kopinya, sedikit-sedikit karena masih panas, dan ia menyipitkan mata pada Jongin dengan sinis. Jongin tersenyum, lalu buru-buru mengoreksi dirinya sendiri. "Enggak, sih. Kamu manis, ekspresimu saja yang pahit."

Kyungsoo tersedak, entah kopinya atau kata-kata Jongin barusan yang masuk jalur yang salah di dalam lehernya. Ia segera meletakkan kopinya di atas meja dan terbatuk-batuk, lalu dengan tangan gemetar ia mengeluarkan sapu tangan dan menutupi mulutnya sampai batuknya reda.

"Tiba-tiba bicara begitu, apaan sih?" bentak Kyungsoo geram. Wajahnya merah—mungkin campuran malu, kehabisan napas dan marah, Jongin tidak tahu.

"Serius, kok. Kamu manis. Coba dalamnya juga manis, pasti aku sudah suka, deh."

Sejak Kyungsoo mulai jadi direktur dua tahun lalu, ia selalu menghindari makan siang dengan para pejabat perusahaan. Kalaupun terpaksa ikut, yang mereka bicarakan hanya soal kerjaan. Kyungsoo tidak pernah suka mereka. Ia tidak suka dengan kepalsuan yang mereka pasang di wajah mereka. Kepalsuan yang disebut uang.

Siapa pejabat perusahaan yang haus uang kecuali Kyungsoo? Semuanya. Bahkan yang pangkatnya di bawahnya pun selalu haus akan materi. Kyungsoo tidak pernah tertarik dengan semuanya itu. Buatnya materi hanyalah fana. Sebenarnya nyata, tapi tidak membuatnya nyata. Uanglah yang selama ini mengejar-ngejarnya, bukan sebaliknya.

Makanya ia menyendiri. Makanya ia mati-matian berusaha dipromosikan sejak dulu, supaya dapat ruangan sendiri.

Biasanya untuk makan siang, ia akan bicara pada Sunyoung lewat intercom dan meminta tolong untuk dibelikan pesan-antar. Dan kali ini, adalah pertama kalinya dalam dua tahun, ia makan siang di luar. Seseorang seperti Kim Jongin bukanlah orang yang Kyungsoo harapkan ada di hidupnya, orang yang terlalu santai seolah tidak terikat peraturan. Pekerjaan Jongin yang seorang penulis juga sedikit mengganggunya, walaupun ia tidak pernah membenci sastra.

"Kamu selalu sibuk, ya?" tanya Jongin sambil menusuk sepotong french toastnya dengan garpu. Kyungsoo meliriknya dari balik poninya, jemarinya bermain-main dengan garpu di tangannya dan Jongin sebenarnya takut kalau direktur ini akan mengacungkan benda itu ke matanya.

"Buat apa tanya hal itu?"

"Hey. Saat ini aku punya kemungkinan untuk jadi suamimu, jadi biarkan aku mendekatimu, dong."

"Aneh. Jadi sekarang kau setuju untuk menikah denganku?"

Pertanyaan itu membuat Jongin berhenti mengunyah dan ingin meludahkan makanan yang sudah dilumat di dalam mulutnya ke wajah Kyungsoo. Ia sadar ia tidak bisa melakukan itu, jadi ia menelannya pelan-pelan. Jongin yang tadinya bersandar di kursinya mencondongkan badannya ke depan agar bisa melihat Kyungsoo lebih dekat. Tetapi ekspresi yang ada di wajahnya serius, dan itu membuat Kyungsoo gugup.

"Waktu kencan pertama itu sepertinya kamu yang tidak keberatan dengan perjodohan ini, deh. Kok, sekarang jadi kamu yang protes?"

oooooooooooooo

Udara di dalam kedai itu kering tapi tidak dingin, dan tanpa sadar Jongin merindukan kabut yang berhembus dari mulutnya saat ia bernapas. Saat ini sudah pertengahan musim gugur dan ia mengingatkan diri sendiri untuk pakai baju tebal kalau keluar.

Matanya lagi-lagi menatap ke kursi kosong di seberangnya. Gelas kopi itu masih ada isinya tapi sudah dingin, dan piring di sebelahnya hanya berisi saus tipis. Ia tersenyum. Sudah lama sekali ia bisa tersenyum tanpa alasan seperti ini. Kalau Junmyeon melihatnya pasti sudah ditertawakan.

Ia mengambil ponsel dari saku mantelnya, lalu mengetik sesuatu. Pandangan matanya ke layar ponselnya begitu dalam, seolah benda itu makhluk hidup. Buru-buru ia masukkan lagi ponselnya ke saku mantelnya dan berjalan keluar kedai.

Kencan kedua: gagal. Kyungsoo tidak mau bicara lagi. Ia yang ambil bon waktu pelayan mengantarnya ke meja mereka, langsung menghabiskan sandwhichnya dan kabur ke kasir untuk membayar makan mereka.

Oh, tapi lihat apa yang tadi diketik Jongin di ponselnya.

Traktir Do Kyungsoo di kencan berikutnya.


A/n: Hai. Guess who's back. Yey.
Kali ini saya kembali dengan mengusung (?) tema arranged marriage. Kepribadian dan latar belakang tokoh kali ini saya bikin rumit, jadi nanti kayaknya bakal agak panjang. FF ini sendiri belum selesai, jadi saya sendiri juga belum tau ini bakal sepanjang apa atau akhirnya seperti apa. Saya risih ngeliat FF ini di folder dari tahun kemarin, jadi saya 'paksa' diri saya sendiri untuk ngelanjutin dengan upload di sini. Supaya merasa obligated untuk nyeleseiin. Ehe.

Semoga sampai sini bisa menarik perhatian kalian semua untuk menunggu chapter berikutnya. Target saya tiap senin update, semoga saya gak mager.

Iya, itu judulnya saya ambil dari lirik lagu yang judul lagunya apa saya juga gak inget.

Makasih buat yang udah baca, terutama yang udah review :B