#The Story From Nanboku-Cho#
.
.
.
Musim Semi, Kediaman Selir Go-Daigo, Fujiwara no Tameko.
Semilir lembut angin dimusim semi terasa menghantarkan kebahagiaan amat sangat pada istana Kekaisaran Go-Daigo, walau saat itu tengah terjadi perpecahan dikalangan para bangsawan istana. Antara mempercayai sang Kaisar, ataukah Pangeran Kuniyoshi, yang merupakan putra dari Kaisar Go-Nijo.
"Heaaaaah!"
Peluh bercucuran dari pelipis sang Selir Kaisar Go-Daigo. Kelopaknya terpejam erat menahan sakit yang amat sangat pada daerah selangkangannya.
Wanita berambut merah darah itu terus berteriak, bahkan menjerit kesakitan pada para pelayan, dan tabib yang kini tengah membantunya dalam bersalin. Ya, ia kini bertaruh nyawa untuk kebahagiaan si Kecil, yang rupanya ingin segera melihat takdirnya sebagai salah satu dari keluarga Kekaisaran Go-Daigo.
"Terus Ojou-sama! Tinggal sedikit lagi! Bertahanlah!"
Helai hitamnya bergerak menahan sakit, "Aku tidak tahan lagi, Saneyo!"
"Ayo, Ojou-sama!"
Pelayannya terus berteriak menyemangati, tak perduli pada jeritan kesakitannya. Tidak! Ia harus berjuang! Demi si Kecil!
"AARGGHHH!"
Sret!
"Oek! Oek!"
Suara itu terdengar. Tangisan kecil yang selama ini selalu ia rindukan keberadaannya. Secercah kebahagiaan terlihat tulus di wajah cantiknya yang bersibah peluh perjuangan. Bibir ranumnya tersenyum lembut.
Saneyo tersenyum senang saat lengannya perlahan menggendong tubuh kecil si Bayi menuju pelukan Ibunya. Tersenyum lembut pada Selir Tameyo.
"Selamat Ojou-sama, dia putri yang cantik…"
Bibirnya tersenyum lembut, seraya jemari lentiknya mengusap pipi tembem sang Putri, "Kau benar, Saneyo…"
Pelayannya terkekeh pelan, "Jadi, Anda akan menamainya siapa?"
Tameyo mendekap erat tubuh kecil putrinya, "Naruto. Fujiwara no Himawari."
The Story From Nanboku-Cho
*
Naruto belong to Masashi Kishimoto
Romance, & Historical
Rate; T
This fic belong to Miyako Shirayuki Phantomhive
Don't Like Don't Read!
Check This Out!
Musim gugur, 17 Tahun Kemudian
Dedaunan kering mulai berjatuhan dari ranting yang selama ini mereka tempati. Perlahan gugur di sapu angin yang berhembus lembut, meninggalkan rona baru pertanda berakhirnya musim panas.
Drap! Drap! Drap!
Tubuh ramping berbalut furisode biru muda bercorak teratai putih dengan dibalut berlapis-lapis junihitoe, berlari tergopoh-gopoh. Senyum manis tak henti-henti ia ukir di wajah manisnya, membuat beberapa pelayan tersenyum senang melihat keceriaan sang Putri Selir di pagi hari ini. Terkecuali untuk seorang wanita berumur sekitar 40 tahunan yang mengejarnya susah payah. Benar-benar seorang putri yang bersemangat.
Wajahnya menoleh ke belakang, menatap pelayannya dengan senyum jahil, "Saneyo-san~ kenapa wajahmu seperti itu? Anggap saja ini latihan dariku! Hahaha!"
Wanita bernama Toin Saneyo itu berhenti berlari, lalu melambaikan tangannya lemas dengan napas yang tersengal-sengal. Meminta sang Putri untuk berhenti mengerjainya di pagi ini.
"Kenapa berhenti, Saneyo-san?" gadis keturunan Kaisar Go-Daigo itu terkekeh pelan, lalu menghampiri Saneyo dengan tatapan senang.
Saneyo menegakkan tubuhnya, dengan napas yang masih tersengal, "Astaga, Hime-sama… mengertilah, umur saya tidak semuda Anda…"
Helai pirangnya bergerak anggun saat tertawa puas mendengar pernyataan dari sang Pelayan, namun setelahnya, jemari lentik itu terulur membantu pelayannya agar kembali berjalan.
"Maaf," bibirnya tersenyum manis, "Hanya kali ini saja, Saneyo-san."
Wanita berambut hitam di sanggul besar itu hanya mendengus, lalu balas tersenyum pada sang Safir yang telah ia rawat selama lebih dari 17 tahun ini. Putri selir bergelar Fujiwara no Tameko ini telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
"Hanya kali ini?" Saneyo tersenyum kecut, "Anda telah melakukannya berkali-kali pada saya, Hime-sama."
Gadis beriris safir itu tertawa keras, mau tak mau membuatnya tersenyum lembut pada sosok cantik di hadapannya kini. Anggun, manis, cerdas, dan ceria… begitulah sosok sang Putri di matanya.
Walaupun hanya anak selir yang sering di perlakukan berbeda, ia tetap tersenyum dengan kepalan tangan meninju udara. Bukankah ia gadis yang tak mudah putus asa?
"Setidaknya aku telah meminta maaf, bukan?" Saneyo memutar bola matanya maklum, "Benarkan Saneyo-san?" dan ia kembali tertawa.
Saneyo tersenyum kecil, seraya berjalan ke depan, diikuti oleh derap langkah terburu-buru dari sang Putri.
"Ya, ya, Naruto-himesama…" tubuhnya membungkuk kala bertemu dengan seorang pelayan—yang juga membalasnya—dan berhenti melangkah, "Sebelum kita kembali ke washitsu Anda. Ada yang perlu saya sampaikan…"
Safirnya menatap iris coklat Saneyo bingung, "Eh? Apa itu?"
Saneyo tertunduk menatap lantai kayu yang mereka pijak, namun kembali mendongak, menatap serius pada safir di hadapannya.
"Kaisar ingin agar Anda segera menemui beliau di bangunan utama kerajaan."
Alisnya berkerut semakin bingung, "Untuk apa? Tidak biasanya, Kaisar ingin aku menemuinya. Tidak. Dia tidak pernah memanggilku!"
Saneyo menggeleng tidak tahu, "Entahlah, sepertinya hal itu sangat penting, sehingga Anda dipanggil untuk menghadap beliau."
Bibir ranumnya mengerucut tidak terima dengan jawaban Saneyo. Oh ayolah~ ia ingin kepastian!
"Baiklah, aku akan menemuinya sekarang."
#
*The Story From Nanboku-Cho*
#
Tap… tap… tap…
Telapak kaki beralas tabi putih itu melangkah pelan dalam heningnya washitsu luas di bangunan utama kerajaan Kaisar Go-Daigo.
Safir miliknya menatap kagum pada arsitektur rumit yang terukir di setiap sudut washitsu, tak terkecuali ukiran Seiryuu yang melingkari pilar-pilar penopang istana utama. Indah, hanya itulah yang terpikir olehnya saat pertama kali menginjakkan kaki di washitsu semegah itu.
Tap…
Langkahnya terhenti tepat di depan singgasana emas sang Kaisar, lalu menundukkan kepala, sebelum duduk bersimpuh di depan sang Kaisar.
"Fujiwara no Himawari…" suara beratnya terdengar tegas, namun tak ada kehangatan seorang ayah di suara itu. Terdengar seperti panggilan seorang Raja kepada pelayannya.
Kepalanya tertunduk menyentuh lantai, "Hamba, Kaisar…"
Pria tua itu berdeham keras, "Angkat wajahmu."
Sesuai dengan perintah sang Kaisar, helaian pirangnya yang tergerai kembali mendongak menatap Kaisar yang merupakan Ayahnya itu.
"Naruto…" telinganya refleks fokus pada berat sang Kaisar, "Saat ini, aku sebagai Kaisar terancam turun tahta akibat Keshogunan Kamakura yang menentukan jalannya suksesi kekaisaran, mengatakan, bila Pangeran Kuniyoshi—putra Kaisar Go-Nijo—telah beranjak dewasa, aku akan turun tahta.
Kedudukan ku sebagai pejabat sementara Kaisar, rupanya menyebabkan anak keturunan ku tidak berhak atas tahta. Kau tahu apa maksudku bukan?"
"…"
Diam. Bibirnya tak dapat bergerak merangkai sebuah kalimat yang 'kan menjawab jelas seluruh pernyataan dari Ayahnya ini. Iris seindah langit musim panas itu menatap tidak percaya pada sang Ayah.
Apa maksudnya ini? Ia sama sekali tak mengerti apa yang akan di rencanakan oleh Ayahnya! Tidak! Ia tidak ingin mengerti hal itu!
"Kaisar, saya—"
"Ku anggap kau mengerti, Naruto." Ia terdiam, bibirnya memerah akibat terus ia gigiti, "Lalu, aku ingin kau segera bersiap."
Alisnya berkerut, "Bersiap untuk apa, Kaisar?"
Pria paruh baya itu tersenyum, tidak! Ia menyeringai. Menatap safir di hadapannya bagai kambing hitam yang siap untuk di tuduh. Ya, ia ingin memanfaatkannya.
"Sebelum rencana menggulingkan Keshogunan Kamakura di susun, aku ingin kau pergi ke selatan Kyoto untuk mengurus bala pasukan yang telah ku siapkan bila terjadi pertempuran. Kau akan pergi bersama salah satu samurai kepercayaanku untuk membantumu selama berada di sana."
Safirnya terbelalak kaget akan rencana buruk sang Ayah yang akan menggulingkan Keshogunan Kamakura hanya untuk mempertahankan tahta nya sebagai Kaisar.
Wajahnya mengeras. Ia tak ingin berbuat seperti ini! Ini perbuatan curang! "Maaf Yang Mulia, tapi saya ti—!"
"Bila kau menolaknya…" ia menyeringai senang, "aku akan menghukum mati, Tameyo dan Saneyo yang sangat kau sayangi."
Deg!
Jantungnya berdegup keras begitu mendengar nama sang Ibu, juga pelayan yang telah membesarkannya selama ini. Jemari lentik miliknya terasa kebas. Ibunya… wanita yang paling ia sayangi terancam di hukum mati, bila ia menolak titah itu! Hatinya bimbang!
Antara kejujuran dan kasih sayang yang telah Ibunya berikan selama ini yang bila ia menolak akan berakhir pada bilah katana. Ia tak ingin!
Tes… tes…
Helai pirangnya tertunduk. Menutupi tetes demi tetes kristal bening yang menuruni pipi putihnya tanpa perantara. Tak ada isak… hanya air mata atas penyesalan pada rakyat dan dirinya sendiri yang tak mampu menolak maupun membantah perintah itu…
Gundah?
Entahlah… dadanya terasa sesak saat itu.
"Haruskah?" bisiknya lirih.
Sang Kaisar mengangguk, "Demi orang kau sayangi, bukan?"
Kami-sama, ini bukan pilihan bila ia harus berjalan di antara bilah kasih sayang dan kejujuran yang telah Ibunya ajarkan selama ini. Sehidup semati, ia sama sekali tak menginginkan perintah itu!
Bila saja Ibu dan pelayan yang sangat ia sayangi tak ikut andil, ia akan menolaknya dengan tegas. Ia akan berteriak lantang menolak hal itu! Biarlah ia berakhir pada penjara bawah tanah, atau penjagal yang kapan saja siap memenggal kepalanya.
Apakah ini sosok Ayah yang selalu ia tanyakan pada Ibunya? Sosok seorang pria egois yang tak tahu malu! Sungguh tak sudi ia hidup dengan darah pria ini yang mengalir mulus di nadinya!
Kepala pirangnya tertunduk lesu. Enggan menatap sang Kaisar yang telah menurunkan perintah itu untuknya.
Hela napas berat terdengar darinya, "Saya… bersedia…"
'Maafkan hamba Kami-sama…'
Satu sulutan api, akan mengundang sekumpulan asap yang menyesakkan dada.
Satu kecurangan, akan mengundang beribu masalah yang menguraikan banyak air mata.
Menolak atau membantah… penderitaannya tak akan berakhir.
#
*The Story From Nanboku-Cho*
#
Aku sama sekali tak mengerti apa yang ada di pikiran Ayah saat itu! Hei, apa ia masih pantas disebut Ayah bila kelakuannya seperti itu? Ini menggelikan.
Kutatap penasaran pada seorang lelaki yang umurnya tak jauh dariku. Ia mengenakan kinagashi hitam, dengan wakizashi yang selalu bersarang di pinggangnya. Ah, tak lupa rambut hitam ravennya yang mencuat ke belakang. Mirip pantat ayam… mungkin…
Ia berjalan santai di sebelahku. Harus ku akui, wajahnya sedikit kaku dan terkesan datar. Yah, paling tidak itulah kesan pertamaku setelah bertemu dengannya di bangunan utama Istana.
Ah, kudengar dari Tou-sama, ia merupakan samurai kepercayaannya. Tampan memang… tapi sama sekali tidak berekspresi! Aku mulai berpikiran kalau dia salah satu penyuka sesama jenis—yang berarti ia tidak suka gadis sepertiku—yang kini tengah dibicarakan kalangan istana. Termasuk paviliun tempatku tinggal.
Tidak-tidak… kata Kaa-sama, aku tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain. Dengan begitu, selamat Uchiha Sasuke, kau telah lolos dari pemikiran bodoh dari seorang Fujiwara no Himawari. Bagus sekali, aku mengatai pemikiranku sendiri bodoh.
Kulirik ia melalui ekor mataku. Sama sekali tak ada ekspresi!
"Kau ini terbuat dari batu ya?"
Ia tak menjawab celetukkan ku, dan malah memalingkan tatapannya ke arah lain. Dasar!
"Hei! Bila ada yang mengajak mu bicara, tatap lawan bicaramu, baka! Tidak sopan!"
Langkahnya terhenti, dan raven itu menoleh padaku. Iris kelam miliknya menatap ku datar. Apa-apaan orang ini? Menyebalkan sekali!
"Kau sendiri tidak sopan," tubuhnya mencondong kearahku, tepat di depan wajahku pula! "Berseru lantang menyebut seseorang yang baru kau kenal 'baka'."
Astaga… aku melupakannya tadi…
#
*The Story From Nanboku-Cho*
#
Onyx miliknya menatap lurus nan datar pada safir yang kini balas menatap matanya. Entah itu perasaan apa… yang pasti ia merasa sedang memandangi langit di musim panas. Ah, baru pertama kali ia melihat gadis secantik Putri Kaisar ini. Camkan, Putri Kaisar.
Iris bak langit di malam hari-nya bergulir memperhatikan setiap detail dari wajah sang Putri yang 'kan di jaganya nanti.
Kulit putih, namun tak pucat… terkesan seperti putih gading atau orang lain biasa menyebutnya putih susu.
Helai pirang keemasan yang terurai tersibak angin, layaknya kilau gandum matang yang terkena terpaan sinar mentari sore. Indah, dan berkilau seperti emas sungguhan.
Ah, lihat safirnya! Membulat kaget, dan sama sekali tak berkedip sedikit pun. Baru pertama kali ia melihat iris seperti itu. Biru safir… layaknya langit musim panas tak berawan. Sungguh, bila ia kekasih dari gadis ini, maka ia tak akan bosan untuk terus menatap iris indahnya, walau musim panas telah berakhir.
Sosok gadis di hadapannya kini sungguh berbeda dari ratusan, bahkan ribuan gadis yang telah ia temui. Rambutnya berkilau bak cahaya di sore hari… Iris birunya bahkan telah membuat ia terpesona.
"Kau yakin, kau itu keturunan Kaisar?"
Bibir ranumnya yang seperti plum setengah matang itu terkatup rapat. Jantungnya berdegup keras saat merasakan hembusan napas pemuda di hadapannya kini. Entah wajahnya kini semerah apa, bila pemuda bernama Uchiha Sasuke ini terus berada sedekat itu di wajahnya.
"T-tentu saja!" gadis itu berucap terbata, seraya melangkahkan kakinya ke belakang, menghindari jarak yang terlalu dekat dengan si Raven yang telah mencuri perhatiannya.
"Sama sekali tidak mirip."
Wajah manisnya tertekuk kesal. Ah, memang banyak yang telah berkata bila sosoknya ini sangat berbeda dari sang Ibu, maupun Ayahnya. Dari mereka berdua tak ada yang berambut pirang emas, maupun beriris bak langit biru. Bahkan terkadang ia ragu, bila ia benarlah anak Kaisar, atau anak buangan yang di pungut oleh sang Ibu. Miris memang memikirkannya…
Bibir ranumnya mengerucut tidak terima, "Sudahlah, kau itu malah menambah daftar kekesalanku hari ini…"
"Kesal setelah kau diperintahkan untuk 'hal itu' oleh Yang Mulia?"
"…"
Tak ada jawab yang terucap dari bibirnya. Bahkan, safir itu menatap ke arah lain, tak lagi menatap Sasuke kesal.
Lagi-lagi perasaan itu! Perasaan bersalah, dan ketidak-berdayaan dirinya terhadap ancaman sang Kaisar… Sungguh, ia merasa tak tepat untuk dilahirkan pada masa ini.
Gadis beriris safir itu menghela napas kesal, lalu berbalik melanjutkan langkahnya. Meninggalkan sosok pemuda tampan yang berdiri tak tentu di belakangnya.
"Untuk apa kau bertanya lagi?" langkahnya terhenti, helai pirangnya yang terurai mendongak menatap langit biru, "Itu hal yang mutlak pada masa ini… Sebisa mungkin kau harus mempertahankan kedudukanmu, bila tidak, habislah sudah. Kau hanya akan direndahkan di depan publik, tak berguna…"
"Meskipun itu hal tercurang yang pernah kau lakukan?"
Bibirnya mengukir senyum pahit, "Aku tidak berbuat curang…" ia menghela napas berat, "Hanya… membantu, demi keselamatan orang-orang yang ku cintai. Itu saja, tidak lebih."
Langkah tegapnya berjalan menghampiri tubuh ramping Naruto, senyum mirisnya akan kehidupan dunia terukir samar di wajah tampan itu.
"Demi orang yang di cintai, maka apa saja akan di lakukan." Pemuda itu mendengus remeh, "Menyedihkan."
Senyum manis terukir di wajah manisnya kala mendongak, sehingga sang Onyx dapat melihat pesonanya dengan jelas, "Nah, itu kau mengerti!"
Keningnya berkerut bingung, "Memangnya siapa yang bilang aku tak mengerti?"
Gadis berumur 17 tahun itu tertawa pelan, "Wajahmu mungkin?"
Dan pemuda tampan di sebelahnya hanya dapat tersenyum tipis melihat tingkah sang Safir yang rupanya 'tlah mencuri perhatiannya. Tidak, jangan katakan bila ia jatuh cinta pada seorang Putri Bungsu dari Selir Tameyo Kaisar Go-Daigo?
Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak berdaya saat dentuman perasaan yang sedari tadi selalu membuatnya tertegun. Hei, walaupun ia seorang samurai, tak ada etika yang mengharuskannya bersikap segan bila cinta memaksanya untuk memberikan kasih sayang.
Mau tak mau ia kembali teringat etika-etika yang dulu sering gurunya ajarkan. Paling tidak ia hafal 8 di antaranya.
Dan paling tidak… ia telah melanggar satu etika itu.
Hanya satu, namun ia sangat menyadari kepentingan kata itu.
Jujur. Ya, hanya itu. Simpel bukan? Namun suatu kata yang terlalu sulit bila dimaknai, dan mungkin akan lebih sulit lagi bila kau melaksanakannya.
Namun, inilah hidup. Penuh dengan kekecewaan, keputus-asaan, dan sandiwara atas kejamnya dunia yang kini kita jalani.
#
*The Story From Nanboku-Cho*
#
"Berangkatlah saat malam hari, aku akan membuat alasan palsu untuk Saneyo dan Tameyo."
Perkataan Kaisar terus terngiang di telinganya. Membuat langkah kecilnya terhenti, dan menolehkan kepala—menatap sendu paviliun yang selama ini 'tlah ia tinggali.
Rasa bersalah yang terus menyelimutinya terasa sesak. Kebohongan yang menyembunyikan fakta, bahwa ia harus pergi dari sana secepat mungkin, sebelum Kaisar benar-benar mengusirnya untuk segera pergi ke istana selatan Kyoto yang 'tlah dipersiapkan sang Kaisar untuknya.
Sasuke yang lebih dulu berlari, ikut berbalik menghampiri dirinya yang tengah menyimpan sebanyak-banyaknya kenangan tentang kebersamaannya dengan sang Ibu, maupun pelayannya.
"Kita harus segera pergi dari sini, Naruto."
Helai pirangnya bergerak seiring ia berjalan menjauhi pagar istana. Rangkulan pemuda di sebelahnya terasa sangat nyaman untuk sekedar menenangkan gejolak hati. Namun mereka tak ada waktu. Roda dan permainan yang telah Kaisar rencanakan terus berputar.
Ia berharap 'mereka' yang sangat ia cintai akan baik-baik saja di sana.
"Sasuke…"
Ravennya sedikit menoleh saat mendengar lirih suara Naruto menyebut namanya. Langkah mereka terhenti sesaat.
"Hm?"
Grep!
Tak ia duga, tubuh mungil yang tadi ia rangkul, kini memeluk tubuh tegapnya erat. Membenamkan seluruh wajahnya di tengkuk pemuda itu, menghujamkan tetesan demi tetesan air mata yang sedari tadi terus terbendung mendesaknya keluar.
"Berjanjilah…" tubuhnya bergetar, "Berjanjilah kau akan selalu berada di sampingku… Jangan tinggalkan aku…"
Bibir tipisnya tersenyum kecil, lalu berbisik di telinga sang Gadis, "Ya, selama jantungku masih berdetak."
Dan malam itu mereka pergi menjauh dari tanah Kaisar Go-Daigo. Merantau pergi ke istana selatan Kyoto, berbekal keteguhan hati dan kepercayaan…
Langit yang menggelap tertelan kuasa mulai menggema, pertanda dentuman genderang perang 'kan segera terdengar…
Berhiaskan helai daun kecoklatan yang indah, sepasang betis 'kan terus melangkah menuju ke depan…
Dan detik itulah… tapak kaki yang terluka memaksakan takdir kehidupannya 'tuk terus melangkah. Ucapkan tanda kasih dan sayang…
Inilah hidup dan sandiwara yang terjadi…
#
*The Story From Nanboku-Cho*
To Be Continue
#
Keterangan:
Kaisar Go-Daigo: Kaisar Go-Daigo dilahirkan 26 November 1288 (Shōō tahun 1 bulan 11 hari 2) sebagai putera kedua kaisar ke-91 Kaisar Go-Uda dari garis keturunan Daikaku-ji. Pengangkatan dirinya sebagai pangeran dilakukan tahun 1302. Pada tahun 1304 diangkat sebagai Dazai no Sochi (kepala kantor Dazaifu), sehingga dipanggil Sochinomiya. Ibu kandungnya bernama Fujiwara no Tadako alias Dantenmon-in, putri anggota majelis tinggi bernama Itsutsuji Tadatsugu yang menjadi putri angkat Naidaijin bernama Kazan-in Moritsugu.
Ia ditunjuk sebagai putra mahkota pada tahun 1308 oleh Kaisar Hanazono dari garis keturunan Jimyō-in, dan naik tahta di usia 31 tahun sebagai Kaisar Go-Daigo pada tahun 1318. Namun, selama tiga tahun pertama masa pemerintahannya, Kaisar Go-Daigo hanya menjadi kaisar tituler. Ayah kandungnya, mantan Kaisar Go-Uda menjalankan sistem pemerintahan dari balik biara.
Dalam silsilah kekaisaran, Kaisar Go-Daigo dilahirkan dari percabangan garis keturunan utama. Sejak awalnya, faksi garis keturunan Daikaku-ji hanya menobatkan Kaisar Go-Daigo sebagai pejabat sementara kaisar. Setelah putera mahkota bernama Pangeran Kuniyoshi (anak mendiang Kaisar Go-Nijō) beranjak dewasa, Kaisar Go-Daigo harus turun tahta.
Kedudukan Kaisar Go-Daigo yang hanya sekadar pejabat sementara kaisar menyebabkan anak keturunannya tidak berhak atas tahta. Ia sendiri tidak menyangka bahwa dirinya hanya dijadikan kaisar tituler bagi mantan Kaisar Go-Uda yang memerintah dari balik biara. Kekecewaan Kaisar Go-Daigo membuat dirinya semakin antipati terhadap Keshogunan Kamakura yang menentukan jalannya suksesi kekaisaran.
Fujiwara no Tameko: Selir keempat dari 6 istri dan selir Kaisar Go-Daigo.
Toin Saneyo: Salah satu pelayan setia Selir Tameyo/Fujiwara no Tameko
Keshogunan Kamakura: Berkuasa di Jepang dari tahun 1185 hingga 1333 yang disebut zaman Kamakura yang merupakan zaman transisi menuju abad pertengahan jepang. Abad pertengahan berlangsung selama hampir 700 tahun ketika pemerintah pusat, istana, dan Kaisar Jepang umumnya hanya menjalankan fungsi-fungsi seremonial. Urusan sipil, militer, dan kehakiman dikendalikan oleh kelas samurai. Secara de facto, penguasa negeri kekuasaan politik berada di tangan shogun yang berasal dari klan samurai yang terkuat.
Pangeran Kuniyoshi: Putra Mahkota keturunan Jimyo-In, putra dari Kaisar Go-Nijo.
Tabi: Kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki untuk memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. ''Tabi'' dipakai sewaktu memakai sandal/geta/zori/waraji.
Junihitoe: Jubah 12 lapis yang dipakai oleh wanita Jepang zaman dulu di istana kaisar.
Wakizashi: Pedang Jepang tradisional dengan panjang mata bilah antara 30 dan 60 sentimeter (antara 12 hingga 24 inci), serupa tetapi lebih pendek bila dibandingkan dengan katana yang sering dikenakan bersama-sama. Apabila dikenakan bersama, pasangan pedang ini dikenali sebagai daisho, yang apabila diterjemahkan secara harafiah sebagai "besar dan kecil"; "dai" atau besar untuk katana, dan "sho" untuk wakizashi.
Wakizashi digunakan sebagai senjata samurai apabila tidak ada katana. Apabila memasuki bangunan suci atau bangunan istana, samurai akan meninggalkan katananya pada para pengawal pada pintu masuk. Namun, wakizashi selalu tetap dibawa pada setiap waktu, dan dengan itu, ia menjadi senjata bagi samurai, serupa seperti penggunaan pistol bagi tentara.
Kinagashi: Kimono santai sehari-hari yang dikenakan pria untuk keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Bahannya bisa terbuat dari katun atau bahan campuran.
Furisode: Furisode adalah Kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas Furisode adalah pada bagian lengannya yang menjuntai dan sangat lebar. Bahannya berwarna-warni cerah dengan motif yang mencolok.
Kaisar Go-Nijo: Merupakan Kaisar ke-94 dari keturunan Jimyo-In.
8 Etika Samurai:
1. Gi (義 – integritas)
Menjaga kejujuran.
"Seorang ksatria harus paham betul tentang yang benar dan yang salah, dan berusaha keras melakukan yang benar dan menghindari yang salah. Dengan cara itulah bushido biasa hidup." (Kode etik samurai)
Seorang samurai senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan kebenaran. Integritas merupakan nilai bushido yang paling utama. Kata integritas mengandung arti jujur dan utuh.
Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dari seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung tinggi dalam falsafah bushido, dan merupakan dasar bagi insan manusia untuk lebih mengerti tentang moral dan etika.
2. Yū (勇 – keberanian)
Berani dalam menghadapi kesulitan.
"Pastikan kau menempa diri dengan latihan seribu hari, dan mengasah diri dengan latihan selama ribuan hari". (Miyamoto Musashi)
Keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan. Keberanian juga merupakan ciri para samurai, mereka siap dengan risiko apapun termasuk mempertaruhkan nyawa demi memperjuangkan keyakinan.
Keberanian mereka tercermin dalam prinsipnya yang menganggap hidupnya tidak lebih berharga dari sebuah bulu. Namun demikian, keberanian samurai tidak membabibuta, melainkan dilandasi latihan yang keras dan penuh disiplin.
3. Jin (仁 – kemurahan hati)
Memiliki sifat kasih sayang.
"Jadilah yang pertama dalam memaafkan."(Toyotomi Hideyoshi)
Bushido memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (Yin) dan feminin (Yang) . Jin mewakili sifat feminin yaitu mencintai. Meski berlatih ilmu pedang dan strategi berperang, para samurai harus memiliki sifat mencintai sesama, kasih sayang, dan peduli.
Kasih sayang dan kepedulian tidak hanya ditujukan pada atasan dan pimpinan namun pada kemanusiaan. Sikap ini harus tetap ditunjukan baik di siang hari yang terang benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.
4. Rei (礼 – menghormati)
Hormat kepada orang lain.
"Apakah kau sedang berjalan, berdiri diam, sedang duduk, atau sedang bersandar, di dalam perilaku dan sikapmu lah kau membawa diri dengan cara yang benar-benar mencerminkan prajurit sejati." (Kode etik samurai)
Seorang samurai tidak pernah bersikap kasar dan ceroboh, namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna sepanjang santun dan hormat tidak saja ditujukan pada pimpinan dan orang tua, namun kepada tamu atau siap pun yang ditemui. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalam memperlakukan benda ataupun senjata.
5. Makoto atau (信 – Shin) kejujuran) dan tulus-iklas.
Bersikap tulus dan ikhlas.
"Samurai mengatakan apa yang mereka maksudkan, dan melakukan apa yang mereka katakan. Mereka membuat janji dan berani menepatinya." (Toyotomi Hideyoshi)
"Perkataan seorang samurai lebih kuat daripada besi." (Kode etik samurai)
Seorang samurai senantiasa bersikap jujur dan tulus mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Para ksatria harus menjaga ucapannya dan selalu waspada tidak menggunjing, bahkan saat melihat atau mendengar hal-hal buruk tentang kolega.
6. Meiyo (名誉 – kehormatan)
Menjaga kehormatan diri.
"Jika kau di depan publik, meski tidak bertugas, kalau tidak boleh sembarangan bersantai. Lebih baik kau membaca, berlatih kaligrafi, mengkaji sejarah, atau tatakrama keprajuritan." (Kode etik samurai)
Bagi samurai cara menjaga kehormatan adalah dengan menjalankan kode bushido secara konsisten sepanjang waktu dan tidak menggunakan jalan pintas yang melanggar samurai memiliki harga diri yang tinggi, yang mereka jaga dengan cara prilaku terhormat. Salah satu cara mereka menjaga kehormatan adalah tidak menyia-nyiakan waktu dan menghindari perilaku yang tidak berguna.
7. Chūgo (忠義 – loyal)
Menjaga kesetiaan kepada satu pimpinan dan guru.
"Seorang ksatria mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melakukan pelayanan tugas." (Kode etik samurai)
Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Kesetiaan seorang ksatria tidak saja saat pimpinannya dalam keadaan sukses dan dalam keadaaan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, pimpinan mengalami banyak beban permasalahan, seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya. Puncak kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan tugas dan perjuangan.
8. Tei (悌 – menghormati orang tua)
Menghormati orang tua dan rendah hati.
"Tak peduli seberapa banyak kau menanamkan loyalitas dan kewajiban keluarga didalam hati, tanpa prilaku baik untuk mengekspresikan rasa hormat dan peduli pada pimpinan dan orang tua, maka kau tak bisa dikatakan sudah menghargai cara hidup samurai. (Kode etik samurai)."
Samurai sangat menghormati dan peduli pada orang yang lebih tua baik orang tua sendiri, pimpinan, maupun para leluhurnya. Mereka harus memahami silsilah keluarga juga asal-usulnya. Mereka fokus melayani dan tidak memikirkan jiwa dan raganya pribadi.
Author's Note:
Mā minna-san~ ^^
Akhirnya fiction gaje Mi-chan yang ke-13 jadi juga… hehe, semoga kalian gag bosan, dan informasi di atas membuat wawasan kalian bertambah dan juga semoga bermanfaat, ne! :D
Yah, kali ini tema fiction-nya Historical Fiction. Fiction yang lebih menjurus ke Sejarah Jepang zaman Nanboku-Cho, jadi jangan heran kalo nanti banyak intrik politik juga perang, soalnya fic ini benar-benar mengambil setting tempat/alur di zaman itu. bahkan konfliknya pun sama… dan hal itu membuat Mi pusing setengah hidup, karena harus banyak baca refrensi tentang zaman ini, agar tidak ada kesalah-pahaman, maupun kesalahan dalam hal informasi/keterangan yang diberikan.
Dan bila ada readers atau reviewers yang kuliah di sastra Jepang. Mi boleh minta nomor, alamat FB, e-mail kalian tidak? Kalian bisa bilang 'iya, saya kuliah di jurusan sana', nanti Mi akan mengirim PM. Soalnya ada banyak hal yang mau Mi tanyakan soal sejarah satu ini. Karena zaman ini yang paling banyak pemberontakan dan intrik sosial politik.
Mau tanya emak, eh, emang bener jurusan politik… tapi kan bukan tentang Jepang, ==" #pundung# Bapake? Mah, yang itu jangan di tanya… pasti ntar di marahin karena di kira Mi terlalu terobsesi dengan Jepang. Ah, tidak juga~ Hanya sejarah dan kebudayaannya saja. Sisanya? Musik, dan tarian. Hehehe #plak!
Nah, di sini Naruto bukan masuk tokoh asli. Cerita romance di chapter lainnya mungkin sedikit, tapi akan Mi usahakan bila masuk adegan romance, akan Mi buat sebaik dan seromantis mungkin.
Naruto sendiri adalah anak dari Selir Tameyo—ceritanya—yang memiliki kelainan pigmen, makanya rambut dan matanya berwarna begitu #maksa# Terpaksa karena Mi gag dapet list putri keturunan kaisar Go-Daigo. Dan malah dapet anak perempuannya Ashikaga Takauji. =="
Sedangkan tokoh Samurai alias Sasuke, Mi perankan sebagai Nitta Yoshisada, seorang samurai terkenal yang masuk pasukan istana Kaisar Go-Daigo, dan berhasil mengalahkan kubu #piiiiiip# dan #piiiiip# sehingga membuat #piiiiip# tumbang.
Yah, mungkin sekiranya begitu saja info dari Mi-chan. Semoga banyak yang membaca ya? Dan gag bingung dengan alur juga tokoh yang tenang saja, pendeskripsian tokohnya akan semirip mungkin dengan chara Naruto lain.
Tidak bermaksud memaksa untuk me-review agar cerita ini berlanjut. Tapi, Mi harapkan kalian ikut memberi pendapat juga komentar tentang fic ini. Bila memang fic ini cukup/sulit sekali di mengerti—wong authornya aja hampir gila ketawa" sendiri tengah malem gara" baca refrensi dan banyak kagak ngerti—dan meminta fic ini untuk dihapus atau tidak di lanjutkan, tolong sertakan alasan yang masuk akal. Shitsurei shimasu, minna-san… ^^
Terakhir, Mi mau ucapkan terima kasih pada readers dan juga reviewers yang telah membaca fic ini. Mi hanya berharap kalian mengerti dengan konflik yang akan terjadi di chapter lainnya.
Ore… Domo arigatou gozaimasu, minna~! XD
