Hai guys! Udaha lama banget kita nggak bertemu. EcrivainHachan24 telah KEMBALIII! HAHAHAHA mari tebar confetti! *padahal dia orang nggak penting*.
Apa kabar kalian semua? Belakangan saya sibuk sekali dengan tugas-tugas kuliah, dan Writer's Block saya semakin parah (duh, bahkan terakhir kali saya update fanfiction adalah tujuh bulan yang lalu!) sehingga sulit sekali menulis di waktu-waktu padat itu (ya ngeles dikit nggak apa kan?) tapi berhubung saya sedang libur dan agak-agak stres karena bosan dan WB saya nggak kunjung sembuh, yasudah akhirnya saya coba nulis lagi. Jadi yah, fanfic ini semacam "pemanasan" gitulah sebelum saya aktif lagi hehe.
Oke, sudah cukup kangen-kangenannya ya! Selamat membaca :)
Falling (in) Between
a VOCALOID FANFIC
By : EcrivainHachan24
Desclaimer by Yamaha Crypton Future Media
Sebuah fic "pemanasan" setelah hiatus.
WARNING!
Klise, typo, dan lain-lain. Maafkan saya.
DON'T LIKE, DON'T READ!
.
.
.
.
.
"Have you ever been in love? Horrible isn't it? It makes you so vulnerable. It opens your chest and it opens up your heart and it means that someone can get inside you and mess you up."
―Neil Gaiman,The Sandman, Vol. 9: The Kindly Ones.
.
Prolog
Megurine Luka
Aku percaya orang tidak bisa berubah.
Tak peduli berapa kali pun kesempatan yang kauberikan untuk mereka, kurasa kesempatan itu takkan pernah cukup. Sekali? Dua kali? Seratus kali? Hingga berapa kali seseorang akhirnya membuka matanya lebar-lebar, menatap realita, ditampar oleh kenyataan bahwa mereka sesungguhnya tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua. Sama sekali. Dan kau tahu hal yang paling absurd? Kau membiarkan dirimu jatuh, disakiti, dan diperdaya oleh hal yang sama.
Bahkan kerbau terdengar lebih cerdas.
Bukankah itu menggelikan?
Maksudku, segala tetek bengek mengenai cinta—hah! Cinta! Aku bahkan tidak percaya cinta.
Aku berkaca dari orangtuaku. Mereka bercerai saat aku berusia lima tahun. Aku tidak begitu ingat wajah ayahku—ia sudah lama pergi dari kehidupanku dan ibuku. Aku ingat masa-masa di mana keadaan rumah yang begitu mencekam; mereka—ayah dan ibuku—seperti anjing dan kucing tiap kali mereka melihat wajah satu sama lain. Aku ingat bagaimana mereka menyebut-nyebut namaku, melempari satu sama lain dengan pecahan piring atau semacamnya, mendengar suara caci maki satu sama lain, meneriakan, dan suara pintu yang dibanting.
Aku berkaca pada teman-temanku yang menangis, putus asa, dan kehilangan arah saat putus cinta. Hah, awalnya mereka begitu memuja pacar-pacar mereka itu dengan cara yang memuakkan (tapi hei, sebagai teman yang baik, aku tidak mungkin melontarkan perkataan itu keras-keras di depan wajah mereka bukan?) tentang betapa mereka mencintai pacar mereka itu, bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama, pesan dan telepon-telepon manis yang menghiasi mimpi-mimpi mereka, dan bagaimana pacar mereka itu "berbeda dari yang lainnya" (yeah aku sudah mendengarnya ratusan kali, dan semuanya berakhir dengan "ternyata mereka semua sama saja!". Pffft)... hingga akhirnya keadaan mulai berubah ketika mereka tak lagi sehangat dulu, dan masing-masing tidak siap dengan perubahan itu; pertengkaran terus menerus, hingga akhirnya putus, kemudian mereka akan menangis tiap malam hingga bantal mereka lembab setiap pagi.
Aku berkaca pada berita-berita di televisi dan koran. Bagaimana bisa ada orang yang bunuh diri karena cintanya ditolak? Atau karena diputus pacarnya? Mana? Katanya cinta membawakan kebahagiaan bagi yang merasakannya?
Haha.
Seperti itukah cinta?
Foto keluarga yang berada di ruang tamu terasa begitu palsu—senyumku, senyum ayah dan ibuku, bahkan segala yang terjadi dalam kehidupanku; semuanya terasa palsu. Pada akhirnya takkan ada gunanya.
Sebenarnya apa itu cinta?
Ketika kau melihat seseorang yang menarik perhatianmu, mengajaknya bicara satu sama lain, nyambung, saling berbagi kenangan dan memori, berpelukan, berciuman, bergandengan tangan, bercerita hal-hal tidak penting, dan kemudian akhirnya kau menyadari ada beberapa hal brengsek yang ada dalam diri pacarmu yang tidak dapat kau terima. Dunia tidak lagi tentang cinta kalian, dan dia tidak lagi sempurna di matamu—and vice versa, tentu saja. Ketika kau menyadari bahwa dunia kalian tidaklah sempurna seperti awalnya, kau mulai kecewa dengan duniamu, muak dengan tampangnya, dan jengkel setengah mati ketika dia ada di hadapanmu, kemudian kalian mulai menyakiti satu sama lain agar kau punya alasan untuk berpisah dengannya.
Mau tahu kenapa itu bisa terjadi?
Karena kita manusia, adalah makhluk yang egois. Kita membayangkan, dan bermimpi, kemudian kita menjual dan membeli mimpi; melalui tulisan-tulisan penulis kacangan yang mengarang buku-buku sampah, film-film tidak realistis yang membuatku mual, atau tips-tips di berbagai macam media massa. Maksudku, nggak ada orang yang benar-benar jatuh cinta hanya karena wangi parfummu atau apa 'kan?
Tapi itulah kenyataannya.
Kita menjual, membeli mimpi, dan mengutuk hal-hal yang tidak sesuai mimpi kita dengan menuntut pasangan dan keadaan agar ia sesuai dengan mimpi kita—dan dia juga melakukan hal yang sama, menuntut kita berbagai macam hal agar kita sesuai dengan apa yang dia cita-citakan, yang entah mengapa terdengar seperti acara bunuh-bunuhan di telingaku. Maksudku, kita benar-benar tidak bisa mencintai satu sama lain tanpa benar-benar menjadi diri kita sendiri, begitu? Dan setelah kita membuang jati diri kita jauh-jauh demi hal-hal memuakkan semacam cinta, kita akan sedih setengah mati ketika dia meninggalkan kita, merasa dunia kita hancur, padahal dialah orang yang paling bertanggung jawab atas hilangnya jati diri kita… dan kita menangisi orang macam itu?! Bukankah lebih realistis jika kita lebih peduli pada jati diri kita yang telah 'dibunuh' olehnya? Tapi kau menangisi orang yang 'membunuh'mu?!
Bodoh sekali.
Tolol luar biasa.
Mengerikan sekali.
Maksudku, cinta begitu overrated. Produk buatan abad duapuluh satu yang sama mengerikannya dengan para penjual mimpi. Apakah orang-orang zaman dulu menikah karena cinta? Kurasa tidak. Mereka bahkan dijodohkan oleh orangtua mereka dengan orang yang tidak mereka kenal sama sekali, kemudian tiba-tiba menikah, punya anak, dan bersatu sampai mati. Atau tidak. Apakah sebelumnya mereka saling cinta? Tidak 'kan? Intinya, mereka menikah karena mereka butuh, karena ingin, dan karena ada rasa tanggung jawab.
Itu terdengar lebih masuk akal, dan paradigma itulah yang lebih kuterima dibanding idealisme memuakkan yang dijual para penjual mimpi.
Aku menolak menjadi budak dan pembeli produk para penjual mimpi. Tidak, bahkan dalam mimpimu.
Aku percaya ketika kau membiarkan pertahananmu turun sedikit saja, maka kau memberikan kesempatan seseorang untuk menyakitimu, dan jangan biarkan hal-hal brengsek itu terjadi padamu, oke?
Yah. Begitulah awalnya.
Hingga aku bertemu situasi yang mengajarkanku tentang hidup—ah, tentang… cinta?
To be Continue
Pendek? Yah, namanya juga prolog (atau rant?) hehe. Tenang. Besok saya langsung update chapter 1 nya kok ;)
Bolehlah kasih komentarnya di kolom review?
