Summary: Bukan hanya Germany yang menyadarinya; semua orang tahu bahwa Italy Veneziano telah berubah. Selagi ia mencari sebabnya, tak disangka-sangka Germany malah menemukan luka lama yang kembali terkorek. Dark multi-chap fic.

Disclaimer: Hetalia: Axis Powers © Himaruya Hidekaz


"Apa yang kau lakukan di sini?"

Mata berwarna biru tua itu menatap balik dengan pandangan bersalah, walaupun tak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya.

"Tolong, France. Kalau kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk minta maaf, lebih baik kau simpan saja lidahmu daripada aku memotongnya nanti."

Kaki yang berdiri tegap dan kuat, seperti sama sekali tak ada niat setitikpun untuk beranjak dari tempat itu. Benar-benar; kekerasan kepalanya ini benar-benar membuatnya marah. Entah sedari kapan ia benar-benar ingin membunuh seseorang seperti ini.

"Bonnefoy," satu kata yang dilancarkan dengan penuh amarah. "Pergi. Atau mati."

Sebuah ancaman kosong belaka; ia sudah tak punya armada lagi. Jangankan membunuh, tenaga untuk melawan balik saja ia tak punya kalau-kalau lelaki berambut pirang yang ada di depannya ini akan menyerangnya kembali.

Tetapi dia yang ada di depannya hanya menghela napasnya—bagaikan berharap bahwa semua rasa bersalahnya ini akan segera keluar begitu ia mengeluarkan butir-butir air bercampur udara itu. Tetapi hal itu tak mungkin terjadi, dan ia harus menyelesaikan sesuatu yang harus ia selesaikan yang karena alasan itulah ia datang ke sini. Dan seketika itu pula ia menyerahkan sesuatu yang terbungkus kain berwarna hitam ke dekapan lelaki yang berambut perak.

"Aku hanya akan menyerahkan ini, Prussia."

Ia berbalik tanpa sempat melihat reaksi lelaki berambut perak itu begitu melihat isi bungkusan tersebut—dan segera menaiki kudanya –sebuah mustang hitam dengan surai perak- yang gagah. Dan dengan satu tatapan sedih lainnya ke arah lelaki yang mendekap bungkusan hitam itu erat-erat, ia berkata dengan suara serak:

"Maafkan aku, Beillschimdt."


Prologue: A Bird Chimes

"Englaaaand~! Tambah birnya lagi!"

"Uurh—bir… satu biji…, siyaap~!"

Prussia langsung menyambar gelas bir itu dari tangan England yang masih setengah sadar, dan dengan satu tegukan langsung meludeskan isi gelas tersebut dan menaruhnya di atas pantry dengan suara 'TOOK!' yang memuaskan.

"Danké, bartender!" ucapnya puas sembari menghapus tetesan bir yang ada di mulutnya menggunakan tangannya. Memang, rasanya memang senang sekali jika sudah meminum bir, sampai-sampai membuatnya menyelipkan kata-kata dari bahasa asalmu sendiri.

"Jadi," ujar seorang lelaki berambut pirang lain yang duduk di ujung pantry—memegang sebuah gelas kaca berbentuk flute berisi sampanye merah muda yang tinggal setengah. "Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Romano, Spain? Baik-baik sajakah?"

Duduk di sebelah Prussia adalah seorang personifikasi dari negara Spanyol—dengan kata lain Spain—yang memiliki kulit sedikit lebih kecoklatan daripada tiga orang lainnya di ruangan itu. Rambut pendeknya berwarna coklat tua, ditemani dengan dua permata hijau ametis yang memenuhi soket matanya. Bibirnya tampak merekahkan senyum dungu (yang banyak orang bilang cukup atraktif) selagi tangannya bermain-main dengan gelas tumbler yang berisi jus tomat beralkohol. Dan entah bagaimana caranya, senyum dungunya yang atraktif itu merekah makin lebar, dijamin membuat seribu gadis lainnya di luar sana mati kehabisan darah.

"Romano tiap hari makin cakep~! Aiih, Prussia, France, harusnya kau lihat bagaimana mukanya si Romano waktu kemaren kita panen tomat! Aaah, rasa-rasanya aku baru saja ditembak oleh panah cupid saat itu!" jelasnya dengan entusias tinggi, terkadang memberikan gerak-gerik bagaimana ia menyelesaikan 'panen tomat'-nya itu bersama Romano-nya tersayang, dan sesekali memeluk dirinya sendiri bagai sedang memeluk Romano. Prussia dan France membalasnya dengan sebuah dengusan.

"Pssh. Kau mah tiap hari kena panah cupid, Spain. Mati aja sekalian kalau perlu," ejek lelaki berambut perak yang disebelahnya sambil kembali menenggak gelas bir kelimanya. Spontan yang diejek langsung memajukan bibirnya sedih dan ditemani oleh tawa geli France (di mana sang bartender England tampak sedang meneteskan iler selagi ia mengelap gelas-gelas kaca lainnya, sama sekali buta dengan pembicaraan ketiga orang lainnya di sana).

"Buu! K-kan lebih baik kalau aku mati kena panah cupidnya Romano! Lah, kalian sendiri tidak pernah merasakan cinta," di mana Spain membuat bentuk hati dengan kedua tangannya sambil mengedipkan sebelah mata, "-kan?"

France tertawa terbahak-bahak begitu melihat gerakan Spain yang begitu mengundang tawa (di sisi lain amat sangat mengejek Prussia yang terhormat yang 'bangga' akan kesendiriannya tanpa sesuatu yang ia 'harap' takkan pernah dapatkan bernama cinta itu, sehingga membuatnya langsung merebahkan wajah ke meja pantry untuk menyembunyikan air matanya karena gagal mempersunting Hungary), dan ia membalas dengan bangga, "Ooh, kau mengejek-ku, matador? Tidak mungkin seseorang seperti aku ini tak pernah merasakan cinta! Kau tahu bagaimana orang-orang sering menyelipkan kata 'From Paris, with Love' karena terdengar seksi itu, bukan? Itu karena kak France membagikan cintanya setiap hari!"

"Menjijikkan. Pantas saja kudengar angka kehamilan di luar nikah di negaramu naik," sahut seseorang lainnya yang dilancarkan dengan aksen Inggris yang tebal, membuat tiga pasang mata melihat ke arah bartender yang rupa-rupanya mulai sadar (karena dalam keadaan mabuk, dapat dipastikan England akan mengoceh tentang salah satu jajahan favoritnya, bukan tentang France sebagaiamanapun yang lain mengusilinya).

Usung tak ada usung, France langsung mengguyur muka England dengan sampanyenya, walhasil membuat muka sang bartender kembali memerah dan alhasil membawanya kembali ke keadaan mabuk.

"Lanjut," perintah Prussia. Dua temannya menganggukan kepalanya tanda setuju; jam masih menunjukkan pukul sebelas malam, dan ketiga orang itu tidak mau pesta kecil mereka akan dihancurkan oleh England yang pasti akan langsung mengamuk begitu ia tahu (dan sadar) bahwa France telah seenaknya menggunakan joint bawah tanah miliknya tanpa izin, terutama karena ia telah mendobrak masuk ke rumahnya bagai maling, menidurkan (bukan meniduri, walaupun Hungary tampaknya tertarik untuk melihat) Scotland dan Ireland dengan obat tidur yang dimasukkan ke dalam minuman mereka ("Rencananya biar kita cuman berempat sama England aja gituh,"), dan membiarkan Sealand keluar malam bersama Wy dan Serboga juga North Cyprus (untunglah yang keluar bukan France, kalau tidak kasihan Wy kehilangan kesuciannya pada umur yang begitu belia).

"Jadi-," Spain terbatuk-batuk sedikit. "Sampai di mana kita tadi?"

"France ngehamilin cewek?" tebak Prussia.

"Bukan," bantah France (yang tampaknya terlalu cepat, walau untungnya kedua orang lainnya tampak tidak menyadarinya. Untunglah; ia tidak mau Marianne mengadukannya ke pengadilan nanti). "Dan aku yakin kita sedang membicarakan l'amour tadi."

"Oh, iya, kau benar!" ujar Spain setuju sambil mengacungkan jarinya. Spain kemudian menyeruput jus tomatnya, sebelum berkata, "Nah, Prussia belum ngomong apa-apa tentang amor, nih! Ayo, Prus, ngomong sesuatu tentang cinta!"

Prussia menggertakkan giginya lagi; memang terkadang dua temannya ini bisa menjadi amat sangat brengsek tergantung sirkumstansi yang sedang terjadi, seperti saat ini, yang tentu saja membuatnya sangat terpojok.

"Ooh, diamlah, Spain. Dan kau juga, France. Aku tak bisa menikmati birku, nih." Jawab Prussia ketus sambil meminum birnya sedikit demi sedikit, mulai sedikit tak mood untuk melanjutkan topik yang cukup sensitif baginya ini.

"Aaw, Prussiaku yang malang, kalah dengan seorang aristokrat masam yang nggak aneh kalau England itu temannya," dekut France, sama sekali tak mengindahkan peringatan dan ekspresi masam Prussia yang jelas-jelas mengisyaratkan: gue-bad-mood-loe-ndeket-vital -region-loe-gw-invade—(karena jelas-jelas France malah lebih senang –seperti biasa- jika vital region-nya kena 'invasi') lelaki berambut pirang itu malah berganti posisi tempat duduk di atas kursi sebelah Prussia yang tak diduduki Spain, dan memberikan lelaki berambut perak itu sebuah pelukan.

"Ooh, Prussia. Kau tahu temanmu ini bersedia memberikan 'cinta' kepadamu setiap malam," lanjut France yang spontan langsung membuat bulu kuduk Prussia –yang masih tersembunyi dalam dekapan dada France- berdiri.

"Gigi loe, kodok! Ngapain gue mau-maunya dikasih cinta—dari semua orang—olehmu!" teriak Prussia kencang sebelum melepaskan diri dari dekapan France. Segeralah beragam kata-kata yang tak jelas (yang tampaknya adalah bahasa Jerman—cukup terlihat dari pembacaan kata-katanya yang sesaat berhenti-berhenti) keluar dari mulutnya selagi ia sendiri mencari udara setelah cukup lama hidungnya terhadang dada France yang cukup 'harum' ("Gila, pake parfum apaan lagi tuh si Francis. Baunya dah kaya' minyak nyong-nyong…").

"Ooi, France. Jangan ejek Prussia lagi, dong. Kasihan tuh," ujar Spain yang kemudian memberikan sebuah senyum simpatik kepada Prussia yang sudah kembali duduk di sebelahnya, meminum birnya lagi untuk benar-benar menetralkan bau parfum nyong-nyong France yang sangat menyengat.

"Aaw, tidak seru," jawabnya, sebelum memesan sebuah sampanye lain kepada England (yang masih 'cukup' mabuk, untuk saat ini, setidaknya). "Ayo kita ngomongin orang lain lagi, dong. Jarang-jarang kita kumpul-kumpul begini tapi yang ada malahan England ngoceh tentang Dia-yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut," dengan Dia-yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut mengacu kepada salah seorang negara yang obesitas hiper-aktif pula yang dijamin akan membuat England yang mabuk rewel sampai pagi begitu disebut, bukan mengacu kepada salah seorang alumni sekolah sihir yang dulu pernah England datangi (atau setidaknya, itulah yang England pernah ceritakan kepada France. Sampai saat ini pun France sendiri tidak yakin kalau sekolah itu ada). "Ada yang mau memulai kita mau ngomongin siapa?"

"Kita ngomongin Romano aja, yuk!" balas Spain dengan mata berbinar-binar, dimana kedua lelaki lainnya berbarengan berkata, "Nggak."

Spain langsung sesenggukan sendiri di kursinya (menggumamkan sesuatu tentang, "Ooh… Romano kecilku, kenapa tidak ada yang sadar akan keindahanmu?"), sedangkan France dan Prussia hanya memutar mata mereka; hal yang biasa terjadi jika mereka mengabaikan cinta-buta Spain terhadap Romanonya itu.

"Bagaimana… kalau tentang Veneziano…?"

Lagi-lagi semua mata terpasang ke arah sang bartender yang rupanya kembali mulai tidak mabuk. Prussia cepat-cepat bertindak dengan melemparkan sisa isi birnya ke wajah England dan dalam seketika berhasil (lagi) membuat mukanya kembali memerah. England kembali menyibukkan dirinya dengan urusan bartendernya selagi France menggumam, "Walau dia lagi mabuk, rasanya England ada benarnya juga. Aku belum pernah melihat Italy akhir-akhir ini."

"Ho-oh, ho-oh!" gumam Spain setuju yang ternyata sedang sambil menyeruput jus tomatnya ("Tengguk dulu minumannya, Spain. Kalo sampe muncrat ke mukaku, besok Madrid akan alami inflasi,"). Setelah berhasil meminum larutan tomat beralkohol itu, Spain melanjutkan, "France dan England benar, loh. Aku juga jarang banget ngeliat Italy sekarang. Romano sayangku aja udah nggak pernah cerita tentang dia! Padahal mereka kan saudaraan. Ayo, apa yang kau tahu tentang Italy, Prussia?"

Prussia menunjuk dirinya sendiri bingung. "Ke-kenapa malah aku yang ditanya?" Ia sedikit was-was ketika ketiga pasang mata (ya, bahkan England; kadar alkohol bir memang jauh lebih rendah daripada sampanye, sehingga membuatnya sedikit lebih 'sadar' daripada tadi ketika ia diguyur sampanye) melihatnya dengan rasa penasaran yang amat sangat.

"Yah," France menjentik-jentikkan jarinya ke batang gelas flute miliknya yang tadi telah diisikan oleh England sampanye yang sekarang berwarna kuning muda. "Maksudku, kupikir kau tahu gosip-gosip menarik tentang si kecil Italy. Maksudku, Italy kan tinggal di rumah Germany, kan? Dan kupikir kau pasti tau tentang keadaan dan hubungan mereka berdua, seperti itu? Berikan kami gosip yang menarik gituh, Prussia!"

Untuk sesaat (hanya untuk sesaat) France dan Spain melihat setitik keraguan di mata merah milik Prussia, sebelum digantikan oleh keangkuhannya kembali. Lelaki berambut perak itu hanya diam di tempatnya duduk, dengan dua (tiga) orang lainnya juga tetap duduk (berdiri) dalam diam pula untuk menunggu kemungkinan gosip luar biasa yang akan dilontarkan oleh mulut kasarnya itu.

Tapi, yang hanya bisa dikatakan oleh Prussia saat itu adalah:

"Sebenarnya…, Italy sudah tak tinggal lagi di rumahku."

~to be continued


Uum, tolong kesampingkan gaya tulisannya yang sedikit gila di chapter ini bagi yang mengharapkan bahwa nih multi-chap fic akan langsung dark pada awal-awalnya. Err, ya, saia buat ini karena sedikit terkejut karena belum ada fic dengan cerita seperti ini. Yah, saia menambahkan Karakter B (HRE) di samping Germany jadi setidaknya reader bisa kira-kira base-plot dari cerita ini. Jujur sih alasannya karena saia suka selfcest –digampar-, dan alasan lainnya karena emang plot point. Err, tolong kesampingkan rambling nggak jelas saia. –ditembak Swiss-

Uum, dan review? Karena hal itu dapat membuat saia bekerja lebih cepat :D