My First Fanfic!

Title : Forever

Happy Reading, Minna-san! And Don't Forget To REVIEW :3

.

.

.

Hei, kau yang ada disana…

Bisakah kau tatap aku walau sebentar?

"Lihat dia! Sudah pincang, tak tahu malu lagi!"

Huh, mana ada pemuda yang sudi hidup bersamanya, menyusahkan!"

"…"

"Iya. Dia kan hanya gadis menyusahkan di sekolah ini."

.

.

Aku tahu aku memang tak pantas ditatap…

Tapi, kuharap, kau tahu…

Pengorbananku selama ini…

Kulakukan, semata-mata…

"Sasuke, kenapa kau mengintip kunci jawaban soal itu?"

"A-aa…"

"Sensei, itu salahku! Gomen!"

"Hah? Bukankah kau sejak tadi hanya duduk di bangku sana?"

"A-ano… sebenarnya, a-aku menyuruh pemuda ini untuk mencuri kunci jawaban… ta-tapi…"

"…"

"Hah! Apa maksudmu?"

"Go-gomenasai, Sensei! Maaf!"

"Berdiri di depan tiang bendera, sekarang!"

"…"

"Ha-hai!"

"…"

.

.

hanya demimu.

.

Hei, tunggu sebentar.

Kenapa aku harus membicarakanmu?

"Lihat tuh, masa pemuda itu membawa gadis murahan itu ke sekolah ini lagi! Di tengah hujan begini lagi! Kuso!"

"Wah, kenapa kita tidak musnahkan gadis itu saja?"

"Wah, ide bagus, Karin-chan!"

"Muehehe…"

"…"

.

.

Oh, itu pasti-

"Sa-Sasuke…"

"…"

"Ini… Untukmu selama kegiatan menginap tiga hari itu dilaksanakan."

"Cih! Baiklah!"

"A-arigatou!"

"Hn."

.

-karena aku mencintaimu, kan?

.

Walaupun aku tahu impianku selamanya hanya tergantung…

Tapi, kuharap…

Selama nafasku masih bisa kugenggam dalam jiwaku…

"He-hei! Kau muntah darah lagi?"

"Ti-tidak, Ino!"

"Kenapa? Katakan! Kenapa denganmu?"

"A-ano… aku tak apa, Ino!"

.

.

selagi mataku masih berfungsi untuk menatapmu…

"Lihat!"

"Hn?"

"Sasuke… bagaimana pendapatmu?"

"Dia…

… tampan."

.

.

... selagi bibir dan suaraku masih berfungsi untuk berbicara padamu…

"Kuharap…"

"…"

"Kau bahagia dengannya ya, Sasuke?"

"…"

"Sa-sayonara…"

"Cih, mendokusei."

.

.

selagi batinku masih bisa merasakan sisi kebaikanmu…

"Tunggu!"

"A… Sasuke?"

"Ini!"

"Pa-payung?"

"Pakailah! Jangan kehujanan begitu!"

"…"

"Nanti kau sakit, baka!"

"Arigatou…"

"Cih. Iya iya."

.

.

dan selagi topeng sandiwaraku masih berfungsi untuk tersenyum padamu dibalik rasa sakitku…

"Kau…"

"…"

"Kenapa kau malah senang dengan hubungan mereka?"

"Kenapa?"

"Iya, Hinata dan Sasuke! Kuso!"

"Ja-jangan begitu. Aku… aku memang senang kok."

"Jangan bohong!"

"Sumpah demi apapun, aku sama sekali nggak…

… bohong."

.

.

Aku akan tetap setia menunggu penantian panjangku…

"Tunggu sebentar! Mereka bilang apa barusan?"

"Katanya…

… Sasuke akan pergi ke Amerika selama setahun."

"…"

"Maka dari itu. Kami harap kau bisa sabar ya…"

"…"

.

.

sebelum semua yang kumiliki itu…

"Kankermu semakin mengganas, dan membuatmu mati rasa tiap harinya…"

"A-apa?"

"Dan yang terpenting…

… kanker ini makin menyingkatkan waktu bernafasmu di dunia."

.

.

direbut habis oleh Tuhan.

"Sayonara, Sasuke-kun…"

.

.

.

Karena dialah aku.

Yang tak akan mendapatkanmu…

hingga ujung penantian panjangku tiba…

selamanya.

+.+

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rated : T+

Warning : Abal Tingkat Akut.

Before : Reading This Fic ^^

After : Review This Fic ^^

Hohoho… Happy Reading!

.

.

.

Angin pagi Konoha, mengantar Sakura untuk berangkat menuju sekolah.

Ia tersenyum, meski hatinya tak secerah senyumnya saat ini.

Dan tidak jauh dari tempat Sakura berada, terlihat seorang gadis cantik nan jelita yang sedang berjalan kusut dengan sebelah kaki yang ia seret dan sebelah kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Para siswa yang sempat berpapasan dengannya, hanya bisa menatap gadis rapuh itu dengan wajah beku dan beberapa pemikiran yang berbeda-beda. Yah, karena dia itu-

"Ohayou, minna-san."

-adalah Sakura tersendiri.

.

.

.

Semua mata menatap lurus kearahnya. Oh, tidak semua. Hanya seorang pemuda saja yang hanya melirik sekilas sang gadis, tak lama kemudian ia kembali menulis sesuatu diatas sebuah lembaran kertas putih halusnya. Beberapa siswa mulai berbisik dan membicarakan tentang Sakura, bahkan ada yang secara sengaja mencibir Sakura tanpa rasa bersalah yang mampu terdengar jelas di telinga Sakura yang masih berfungsi baik itu.

Sakura hanya bisa menarik nafas berat, begitu mendengar cibiran halus namun cukup menusuk hatinya tepat dari seorang gadis muda yang cantik, manis, dan cukup perfect, yang bisa kalian sebut 'Ratu Berambut Merah' itu.

"Wah, lihat tuh! Kenapa gadis SLB bisa masuk kesini? Huh, ckck. Benar-benar tak tahu malu ya?"

"HAHAHA…"

Sontak, hampir seluruh penghuni kelas menertawakan Sakura yang terkena cibiran manis nan pedas dari mulut gadis sombong itu. Sakura pun segera menaruh tasnya diatas bangkunya yang terletak paling ujung di kelas, dan beralih untuk mengambil sebuah buku dan membacanya dengan tekun.

Dan tetap saja, keheningan akan hancur begitu saja jika kalian kembali melihat sosok gadis sombong itu mulai menyiapkan ancang-ancang mencibirnya itu.

"Lihat dia! Sudah pincang, tak tahu malu lagi!" cibir Karin tepat di sebelah telinga Sakura. Dan tentu saja Sakura dapat mendengarnya dengan jelas.

Sakura terdiam. Halaman buku yang sempat dibacanya, hanya bisa ia perhatikan dengan wajah kusut dan membingungkan. Sebenarnya, ucapan gadis itu benar saja. Ia seorang gadis pincang, tapi mau saja masuk ke kelas dengan penghuni yang keseluruhannya adalah orang terpandang dan mudah mencibir tanpa rasa bersalah itu.

Sakura menghela napas berat, sebelum akhirnya ia kembali menekuni buku yang sempat ia baca barusan.

Justru sikap itulah yang membuat Karin semakin geram.

"Dan kalian tahu nggak? Sakura itu gadis yang ter-"

"Jangan sampai kutampar pipimu hanya karena mencibir gadis itu, Karin," nasihat tajam seorang wanita berambut ungu terkuncir pendek dengan papan nama bertuliskan 'Anko Mitarashi' itu. Tanpa ampun, wanita itu segera menarik tangan Karin dan memaksanya duduk di bangku gadis berambut merah itu.

"Aduh…" rintih Karin, saat tangannya memerah akibat dipegang dengan paksa dan erat oleh Anko, menuju bangku tempat duduknya.

Huh, wanita sialan! Kenapa ia membela Sakura terus, sih? Baka.

Sakura menatap Karin yang sedang mengaduh kesakitan itu tanpa senyum licik sedikitpun, hanya sebuah tatapan datar yang takkan pernah dimengerti apa maksudnya itu. Entah kenapa, tiba-tiba pandangannya beralih ke seorang pemuda tampan berambut chickenbutt yang sedang menulis rangkuman pelajaran sejarah di kelasnya. Yah, gadis yang selalu ia cintai sejak kecil.

Hum, bagaimana kabarmu saat ini, Sasuke?

Hanya pertanyaan kecil seperti itulah yang hanya mampu Sakura ucapkan dalam hati untuk Sasuke, tidak secara langsung atau melalui lisan.

.

.

.

TENG… TENG… TENG…

Bel istirahat pun berbunyi, membuat senang perut keroncongan para siswa yang sedang belajar dengan tenang di kelas itu.

"Nah, hari ini… cukup sudah ajaran yang kusampaikan. Lain hari, akan kuberikan tes tambahan untuk nilai harian kalian, agar nilai kalian tidak menurun dan bisa menambah rata-rata nilai kalian sampai lulus nanti. Oke, sayonara. Selamat beristirahat," ujar Anko, sebelum ia menyudahi ajarannya dan bergegas memasuki kelasnya. Sakura pun menghela nafas lega, kemudian menyimpan seluruh buku-bukunya, kemudian memasukkannya ke dalam tas ranselnya. Tanpa disuruh, Sakura segera melirik Sasuke yang sedang berkumpul bersama seluruh 'teman-temannya'.

"SAKURA!"

Gadis itu mengalihkan perhatiannya, ketika mendengar suara nyaring seorang gadis berambut pirang terkuncir tinggi yang sedang berlari dengan wajah manja kearahnya.

Dia Ino Yamanaka. Kakak kelas Sakura yang ayahnya adalah seorang wakil kepala sekolah di Konoha Senior High School.

"I-Ino? Kenapa kau terlihat amat senang?" tanya Sakura, sambil tersenyum saat tahu sahabatnya saat ini sedang tak murung seperti hari-hari sebelumnya. Ino berdeham sebentar, kemudian kembali tersenyum sebelum ia menjawab pertanyaan Sakura barusan. "Kemarin, aku menemukan surat cinta dari Sai, yang akan kubalas hari ini! Apa jawabanku ya?"

Sakura terdiam sejenak, tak lama kemudian ia tersenyum cerah. "Um… kenapa tidak bilang iya saja? Bukankah kau sudah menyukainya sejak lama, Ino?" tanya Sakura dengan suara selembut dan sebahagia mungkin.

Yah, tentu saja yang namanya topeng sandiwara tetap akan terpasang dengan baik didepan wajah gadis berkaki pincang ini.

Ino menghela napas panjang, kemudian segera mengguncang-guncangkan tubuh Sakura dengan wajah semerah tomat rebus. "Gimana caranya? A-aku memang ingin jadi pacarnya, tapi entah kenapa rasanya berkata iya saja sangat memalukan buatku! Huuuh!" seru Ino dengan wajah memerah, kemudian segera menghempaskan diri diatas bangku yang sebelumnya Sakura duduki itu.

"Hum… bagaimana kalau-"

"Maaf, bisa kucari gadis bernama Ino?"

Sakura dan Ino terdiam, kemudian menoleh untuk melihat siapa yang sedang mencari sosok sahabat Sakura itu. Kini, wajah Ino hanya bisa memerah matang, melihat pemuda berkulit putih pucat yang sangat ia dambakan sudah berdiri di ambang pintu kelas Sakura. Sakura pun tersenyum, kemudian mendorong Ino untuk bergabung bersama Sai. "Ayolah, kau harus bisa berkata iya! Mudah kok, ucapkan saja iya. Dan apa yang kau impikan selama ini, akan berwujud jadi kenyataan."

Ino menatap Sakura sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Yah, kau benar, Sakura! Aku harus berani! Ya, berani, berani, berani…"

Sambil menatap Ino yang sedang berjalan bersama Sai keluar kelas, Sakura tersenyum hambar. Tidak, ia sama sekali tak cemburu dengan Ino yang begitu dekat dengan Sai. Justru dengan julukan terkenal Ino di sekolah yang Sakura kini tempati, Sakura jadi merasa cukup iri dengan sahabatnya. Gadis cantik yang lebih tua setahun darinya itu, memang sangat terkenal dengan kecantikan dan kepintaran otaknya dibanding siswa-siswi lainnya. Ingin, Sakura mengejar cita-cita menjadi gadis seperti Ino. Tapi, cita-citanya hanya mimpi tanpa bukti. Mimpi yang akan menggantung sama, sampai ia mati dan tidur dalam pelukan bumi untuk selamanya.

Tidak jauh dari sisinya, terlihat seorang pemuda yang masih duduk santai sambil sesekali tersenyum tipis melihat catatan dalam buku yang selalu ia bawa kemana-mana itu. Tentulah kalian tahu siapa pemuda yang terkenal akan keangkuhannya ini, Uchiha Sasuke.

Sakura melirik Sasuke sekilas, sebelum akhirnya ia kembali duduk dan menatap lurus ke papan tulis.

"Huh! HENING SEKALI!"

Keheningan antara sepasang makhluk berbeda derajat itu, dihancurkan oleh Karin dan kawan-kawan yang masuk dengan suara nyaring dan penuh manjanya itu. Melihat Sasuke yang sedang asyik duduk di bangkunya, Karin berniat mengganggunya dengan mengajaknya berbicara mesra seperti sebelum-sebelumnya. Huh, tentu saja kalian tahu apa perhatian yang Sasuke berikan untuk gadis manja ini. Polos, alias –cuek bebek-.

"Sasuke-kun… sejak tadi hanya menulis saja? Menulis apa sih?" tanya Karin, yang mencuri kesempatan untuk mengintip apa yang saat ini sedang Sasuke kerjakan.

Segera, Sasuke menutup buku yang sempat ia baca itu dan menatap Karin tajam. "Jangan ganggu aku, pergi sana."

Karin menghela nafas panjang, dan malah membuat Sasuke kesal dengan semakin mendekatkan diri dengannya, dengan cara duduk tepat di samping –atau bersebelahan- dengan Sasuke. Sasuke hanya bisa menghela napas panjang. Huh, gadis sialan!

"Bisa nggak sih nggak menggangguku? Aku nggak membutuhkanmu saat ini kok," kata Sasuke, berusaha mengusir Karin dari hadapannya.

"Huh, apa maksudmu sih? Sebagai makhluk paling terkenal se-Konoha, harusnya kita bangga dan saling menyayangi, benar kan?"

Tiba-tiba saja, perhatian Karin beralih ke Sakura yang sedang menatap langit cerah Konoha, dari jendela kelas unggulan tersebut. Ia tersenyum licik, mengumpulkan segala macam cara agar Sakura bisa terpojokkan saat ini juga.

"… nggak seperti gadis yang ada di ujung sana, tuh."

Sakura yang mendengar cibiran Karin, otomatis beralih menatap Karin yang sedang tersenyum licik sambil menatapnya.

Oh, lagi-lagi!

"Sasuke… menurutmu, Sakura dibutuhkan di kelas ini… atau nggak?" tanya Karin, sambil membelai lembut pipi Sasuke, yang ditentang kasar oleh pemuda pemilik wajah tertampan se-Konoha itu. "Terserah, bukan urusanku."

Dheg!

Mendengar ucapan Sasuke barusan, entah kenapa hati Sakura jadi cukup sakit. Ia pun hanya bisa tersenyum, tersenyum, dan tersenyum.

Hehe, memang itu takdirku sebagai gadis yang terbuang, bukan?

"Wah… kalau begitu, aku dan seluruh teman-temanku bisa mempermainkan gadis itu?" tanya Karin, yang dibalas dengan kedikan bahu Sasuke. "Terserah."

Karin tersenyum licik, kemudian berjalan pelan kearah Sakura yang sudah bingung lagi, bagaimana cara agar ia tak terusik dari gadis sombong itu.

"Hei, Baka. Kau sangat menyusahkan, ya?"

Sakura terdiam. Untuk Ino, ia memang mampu untuk mengucapkan kata-kata dari bibir manisnya tanpa perlu merasa takut atau bimbang. Tapi, di hadapan Karin? Ia merasa seperti gadis yang tak bisa bertanggung jawab akan ucapan-ucapan yang sudah ia tahan di batinnya itu.

"Karenamu, Ino yang tipikal gadis terkenal dan seharusnya mengenal kami lebih dekat, malah lebih akrab denganmu, dan menjauhiku."

DEG… DEG… DEG…

"Satu pertanyaan saja…

… memangnya ada pemuda yang sudi hidup bersamamu? Kau menyusahkan, kan? Harusnya…

… nggak ada, kan?"

TAP! TAP! TAP!

Tanpa menunggu cibiran Karin selanjutnya, Sakura segera meninggalkan gadis itu dan berlari keluar kelas. Sebenarnya, bukan karena cibiran Karin yang terdengar pedas itulah yang ia permasalahkan sampai ia harus pergi berlari dari kelasnya itu. Tapi, karena-

Toilet, Khusus Perempuan

"UAHHHHKKKK…!"

Alih-alih, Sakura segera mengeluarkan hasrat muntahnya di dalam toilet khusus perempuan itu.

Ia menatap cairan yang keluar dari mulut manisnya itu. Cairan merah dengan beberapa lendir putih bercampur bersama darah tersebut. Ia menghela nafas, kemudian menatap wajah pucatnya di hadapan kaca toilet. Miris. Ya, sangat miris. Setelah menjadi gadis dengan sebelah kaki yang pincang, ia harus divonis berpenyakit leukemia. Hei, kalian tahu seberapa bahaya penyakit kanker darah itu kan? Lebih bahaya dari penyakit lainnya, penyakit lainnya yang kalian ketahui.

Sambil membersihkan westafel yang penuh dengan cairan darah itu, Sakura memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing itu. Kalau saja ia bisa menahan rasa sakit itu, mungkin ia masih duduk manis di bangkunya, tetap mendengar cibiran pedas Karin yang sudah lama ia biasakan itu.

"Cih," decihnya kesal, saat tahu kakinya semakin sulit ia gerakan lagi. Ia pun kembali membasuh wajahnya, bermaksud menghapus warna putih pucat di wajah manisnya itu. Wajah manis yang tak lama lagi akan terbebani tanah kubur untuk selamanya.

"Sakura!" seru Ino kaget, kemudian segera berlari menuju Sakura yang sedang membasuh wajahnya itu. "I-Ino? Kenapa kau bisa disini?"

"Jawab aku, kenapa lagi denganmu? Ta-tadi, kenapa kau muntah darah? Kenapa sih denganmu, hah?" tanya Ino, yang lebih tepat disebut interogasi untuk Sakura. Sakura terdiam seribu bahasa, begitu sulit untuk menjawab pertanyaan dari gadis yang sudah ia anggap sahabat sejatinya itu. "A-aku hanya muntah akibat sakit perut kok, kau tahu kan, kalau kadang-kadang aku suka sakit perut? Dan soal darah… yah, mulutku sedang sakit, dan beberapa sudut gusiku mengalami sariawan berdarah. Jadi, masuk akal kan jika kubilang aku muntah akibat sakit perut dan darah itu keluar akibat tercampur oleh darah dari luka sariawan di gusiku?"

"Jangan bohong, Sakura!" seru Ino, sambil mengguncang-guncangkan bahu Sakura seperti sebelumnya.

Sakura terdiam, kemudian menunduk kaku. "Hum, untuk sementara ini… kumohon jangan ingat lagi tentang muntah darah itu, kumohon…" kata Sakura, sambil memasang tampang memohon kepada gadis terkenal di depannya itu. Ino pun menghela napas kecewa. "Yah, mau gimana lagi? Aku hanya bisa menyemangatimu dari belakang ya."

"Iya, arigatou, Ino…"

"Doitta."

Sakura pun melangkah meninggalkan Ino, berjalan letih menuju kelasnya dengan kaki pincang dan sejumlah cibiran pedas yang mengarah tepat untuk kelemahan di bagian alat gerak bawahnya itu.

Huh, kenapa hanya aku yang bernasib begini, Tuhan?

Tanpa ia sadari, seorang pemuda dari kelas sama dengannya, sedang menatapnya dengan pandangan datar, ya, sangat datar.

.

.

.

"Syukurlah, hari ini aku bisa pulang cepat."

Sakura membereskan sejumlah alat tulis yang berada diatas mejanya, kemudian bergegas memasukkannya ke dalam ranselnya. Tak lama kemudian, ia segera berlari menyusuri tangga menuju lantai dasar, menemui Ino yang sudah menunggunya sejak tadi.

Tiba-tiba saja, ia berpapasan dengan Sasuke. Dan tanpa ia sadari, tubuhnya bertabrakan dengan tubuh pemuda berklan Uchiha itu.

"Go-gomenasai."

"Cih."

Pemuda itu hanya meliriknya kesal, kemudian kembali berlari menuju arah yang berlawanan dengan Sakura. Sakura menatap pemuda itu sambil tersenyum lirih, tak lama kemudian ia kembali turun dan segera menemui Ino yang sedang duduk sambil berbicara mesra dengan Sai.

Mereka bahagia sekali, ya. Sudah seperti suami-istri saja…

"AH, SAKURA!"

Gadis beriris aqua itu segera menghampiri sahabatnya, dan memeluknya seerat yang ia mampu. Pemuda berkulit pucat yang tadi sempat berbicara akrab dengannya, hanya tersenyum melihat sahabat karib pacarnya ini sudah datang. "Konnichiwa, Haruno-san."

"Konnichiwa, Senior Sai," kata Sakura sambil menunduk pelan, kemudian kembali tersenyum kepada Ino yang hatinya sedang berbunga-bunga itu.

"Ino, kurasa waktuku sudah habis. Aku sudah harus latihan melukis lagi, sayonara!" seru Sai, kemudian segera berlari meninggalkan Ino. Ino pun membalasnya dengan lambaian tangan sambil tersenyum ceria, kemudian kembali tersenyum kearah Sakura.

"HUH! BENAR-BENAR MENYENANGKAN, HAPPY DAY!" seru Ino 'norak', sambil terus memeluki sahabatnya.

Sakura yang menjadi korban kebahagiaan Ino saat ini, hanya mampu tersenyum semampu yang ia bisa. "Wah, aku turut bersyukur," kata Sakura, sambil menepuk-nepuk bahu Ino. Ino pun tertawa kecil. "Nah, bagaimana denganmu? Tentunya sudah ada rencana untuk mendekati pemuda itu, kan?"

Sakura terdiam, kemudian menoleh kearah Ino dengan tatapan nanar. Ia menggeleng kecil.

"Sesempurna apapun rencana yang kusiapkan untuk mendekatinya, tetap saja, usaha itu akan-"

-sia-sia.

"Hancur? Nggak dong, akan kubantu deh!" seru Ino, kemudian segera menepuk-nepuk bahu Sakura. Sakura hanya mampu tersenyum sambil menyembunyikan topeng sakit hati yang selalu tergembok erat di batinnya. Mungkin, untuk selamanya?

"INO!"

Ino menoleh, ketika melihat seorang gadis berambut panjang sepinggang dengan wajah manis, yang sedang berlari kecil kearahnya. "Kemana saja kamu, rapat organisasi kesiswaan akan dilaksanakan sebentar lagi!" serunya dengan wajah kesal, campur memerah. Ino tertawa kecil. "Ehehe, gomen. Oh ya, Sakura, tunggu aku ya, aku akan kembali nanti!"

Gadis beriris lavender yang mengetahui keberadaan Sakura di samping Ino, hanya mampu tersenyum semampunya. "Konnichiwa, Sakura-chan!"

"Konnichiwa, Senior Hinata," sapa Sakura dengan wajah senang, sebenarnya ia cukup iri dengan wajah cantik gadis yang terkenal akan keramahannya itu. Yah, wajah yang membuat 'lelaki itu' juga tertarik pada Hinata.

Sakura pun memilih untuk duduk di sebelah ruang guru, saat ia akan menunggu Ino yang katanya akan datang sebentar lagi.

TAP! TAP! TAP!

Ia hanya bisa kebingungan, melihat seorang pemuda berlari cepat, dan memasuki ruang guru dengan wajah gelisah dan gerakan yang sangat hati-hati dan cermat. Memberanikan diri, Sakura pun mencoba untuk menyapa pemuda beriris obsidian itu. "Sa-Sasuke… sedang apa?"

Sasuke meliriknya sekilas, sebelum akhirnya ia menggeleng pelan. "Bukan urusanmu."

Tak bisakah kau lebih tulus menjawab pertanyaanku?

Karena tahu pertanyaannya tak dianggap oleh Sasuke, Sakura segera menunduk dan memilih menunggu Ino dengan wajah yang ia tenggelamkan cukup dalam itu. Sasuke menatapnya sekilas, sebelum akhirnya ia kembali memasuki ruang guru yang saat ini begitu rahasia dan hanya bisa dimasuki oleh kaum guru itu.

Untuk apa Sasuke masuk ke ruangan yang dilarang untuk siswa itu?

"Hyah! BERHASIL!"

Sakura tercengang, mendengar suara seorang pemuda beriris sapphire, yang sedang toss bersama seorang pemuda bertato taring yang menyeringai bersamaan itu. "Akhirnya kita berhasil menjebaknya. YOSH!"

"Ya, dengan begini… paling tidak, kita bisa mempermalukan pemuda itu," kata Naruto sambil menyeringai.

Entah kenapa, perasaan Sakura jadi tak enak mendengar percakapan antara pemuda jahil itu.

"Sebentar lagi, pasti pemuda itu akan terkena marah kepala sekolah, membuat nama baiknya tercemar… Huh, dasar bodoh. Untung saja, kita sudah menyiapkan rencana ini matang-matang. Hanya demi gadis kesayangannya itu, ia sampai rela memasuki ruang terlarang itu! Yosh!"

Mendengar ucapan penuh semangat dari Kiba, membuat perasaan Sakura makin terasa tak enak.

Jangan katakan jika-

"Sasuke pasti akan diskor dan dianggap sebagai siswa terbiadab di sekolah kita! Yeah… !"

-Sasuke dijebak?

Sakura menatap Sasuke dari jendela ruang guru, yang sedang mengecek sebuah lemari di ruang guru dengan begitu cermat. Hatinya terasa sangat gelisah. Ia tak mau kalau Sasuke sampai dimarahi akibat jebakan dari sahabat yang mengkhianatinya itu.

Tolong Tuhan, bantu Sasuke!

TAP… TAP… TAP…

Sakura menahan nafasnya, melihat seorang pria perokok yang berjalan menuju ruang guru dengan wajah datar dan terus-menerus menghasilkan asap dari rokok yang dihisapnya. "Tolong Sasuke, Tuhan… Tolong Sasuke…" gumam Sakura berharap, dengan wajah memohon dan suara yang begitu pelan.

CEKLEK…

Hah? Kenapa bersamaan gini?

Pria bergelar sarjana itu terdiam, melihat Sasuke yang baru saja keluar dari ruang guru dengan membawa berkas kunci jawaban.

I-itu kan… kunci jawaban soal ujian nasional kelas dua belas!

"Sasuke, apa yang kau lakukan disini?" tanya Asuma dengan irisnya yang menatap tajam Sasuke. Sasuke yang tertangkap basah baru saja mengambil kertas kunci jawaban, hanya mampu menahan nafas dengan wajah ketakutan. Sasuke yang menatap wajah ketakutan Sasuke, hanya bisa berharap jika ini adalah mimpi buruknya bersama pemuda tampan itu. Hanya sebuah mimpi buruk.

"A-ano…" jawab Sasuke terbata-bata.

"Sasuke, kenapa kau mengintip kunci jawaban soal itu?"

"A-aa…"

Sakura yang berada diantara perkelahian itu, hanya bisa menatap Sasuke dan Asuma bergantian dengan keringat dingin. Ia tak mau melihat Sasuke yang terlihat buruk, jadi lebih baik-

"Sensei, itu salahku! Gomen!"

-ia mengalah.

Asuma yang mendengar pernyataan Sakura, hanya bisa membelalakkan kedua bola matanya. Ia sungguh tak percaya dengan ucapan gadis yang sejak tadi hanya duduk terdiam di bangku di sebelah ruang guru itu. "Hah? Bukankah kau sejak tadi hanya duduk di bangku sana?"

Sakura menghela nafas, samar-samar ia menatap Sasuke yang hanya menatapnya datar tanpa sebuah tatapan berterimakasih sekalipun. Ia tersenyum manis, kemudian sebisa mungkin mengangkat wajahnya, menatap Asuma yang sepertinya akan melayangkan hukuman untuk orang tak bersalah sepertinya. "A-ano… sebenarnya, a-aku menyuruh pemuda ini untuk mencuri kunci jawaban… ta-tapi…"

"…" Sasuke, kenapa kau hanya diam?

"Hah! Apa maksudmu?" tanya Asuma dengan wajah tak percaya. Ia tahu Sakura. Gadis cerdas yang berkaki pincang ini, mana mungkin bisa melakukan hal memalukan seperti ini?

"Go-gomenasai, Sensei! Maaf!" seru Sakura, sambil menunduk. Sasuke yang dibantu oleh Sakura, hanya bisa diam seribu bahasa.

"Berdiri di hadapan tiang bendera, sekarang!" perintah Asuma dengan wajah emosi. Yah, mau tidak mau, ia harus percaya dengan ucapan Sakura. Lah, Sakura sudah memberi pernyataan bohong yang harus ia percaya, bukan? Sakura memang dikenal sebagai gadis yang jarang sekali berbohong.

"…"

"Ha-hai!" jawab Sakura sambil menunduk, kemudian bergegas meninggalkan Asuma dan Sasuke menuju lapangan.

"…"

Kenapa… dia mengatakan hal itu?

.

.

.

Sore yang sangat mencekam. Masih di hadapan bendera putih berlingkar merah, seorang gadis tengah menatap tiang bendera itu dengan wajah pucat dan lutut yang lemas. Bahkan, sejak tadi ia sudah menahan hasrat untuk muntah seperti biasanya. Tuhan, siapapun itu, tolong bantu dia. Rasanya begitu iba melihat gadis leukemia hanya berdiri tanpa bantuan siapapun di depan tiang bendera, atas kesalahan yang tak pernah mau ia lakukan seumur hidup itu.

Kalau aku melakukan hal itu-

-bisakah setidaknya kau mengucapkan terima kasih untukku?

Sambil terus menatap tiang bendera itu, Sakura terus menahan kakinya untuk tetap tegak berdiri, melawan lelah yang mulai menggerogoti tulang kakinya yang sebelahnya miring atau pincang itu. Tuhan, jangan sampai ia pingsan. Ia tak mau pingsan, hanya karena hukuman semudah ini.

TIK… TIK… TIK…

Sakura menatap ke langit mendung, rintik hujan mulai membasahi Konoha, menemani waktu hukumannya itu. Ia terus menahan kakinya untuk tak merasa pegal, hanya karena ingin Sasuke tetap terlindungi olehnya.

Tu-Tuhan, rasanya kakiku sudah hampir mati rasa…

jangan sampai aku pingsan, kumohon…

Dengan wajah sangat pucat, Sakura terus menatap bendera hinomaru, bendera lambang negara Jepang itu. Kakinya sudah benar-benar mati rasa, bahkan sepertinya ia akan-

BRUGH!

GREP!

-pingsan.

Sakura membuka bola mata emeraldnya, kaget melihat wajah stoic yang sangat dekat dengannya. Bahkan, nafas pemuda itu dapat ia dengar sangat dekat dan masuk ke pori-pori wajah sang gadis. Suara barithonnya pun memecah keheningan antara sepasang manusia berbeda kelamin itu.

"Cuaca seperti ini benar-benar tak baik untuk seorang gadis.

Biar kugantikan tugas sia-siamu itu."

.

.

.

TBC :D

Waw… akhirnya fic perdanaku kepublish juga, dengan hasil yang abal abis, sampai aku cuma bisa cengo dengan semua bacaan yang kubuat capek-capek itu. Ingat! Berulang kali kuganti tiap cerita, biar feelnya kerasa. Tapi, apa daya? Aku hanya seorang manusia bodoh yang selalu menciptakan cerita bodoh tanpa ada bagus-bagusnya sama sekali.

Terima kasih untuk yang sudah baca!^^

Akhir kata…

R

E

V

I

E

W

.

P

L

E

A

S

E

?

XD