Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto

Story by Miyyy-chan

Pair : SasuSaku and others

Warn : DLDR, AU, OOC, TYPO

.

.

.

.

.

Sakura POV

HARI itu adalah sabtu terburuk seumur hidupku. Langit mendung dan angin membawa hawa sejuk kemana-mana, musim gugur sudah mulai terasa di Konohagakure. Mungkin orang lain tengah bersantai menikmati akhir pekan mereka di balik selimut yang hangat, melupakan pekerjaan yang membebani pikiran mereka, aku harus berangkat kerja. Oh, ini risiko sok-sok an ingin menjadi sosok penyelamat hidup seseorang. Terkadang aku memang menikmatinya, tetapi menjadi dokter ternyata lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Contohnya ya sekarang.

Aku terus mengumpat sepanjang perjalanan menuju halte bus yang jaraknya sekitar seratus meter dari apartemenku. Halte bus itu dibangun tepat di depan sebuah coffee shop yang menjadi langgananku setiap pagi. Masih ada sekitar, oh tidak, dua menit lagi busnya datang! Aku segera berlari masuk ke dalam coffee shop.

"Yamato-san, tolong pesanan seperti biasa!" seruku ketika membuka pintu café.

"Kau sangat terlambat hari ini." Jawab seorang laki-laki yang tengah mengelap meja, "Untungnya, pesananmu tinggal di ambil saja."

"Aku harus meringkuk di depan penghangat ruangan gara-gara Orochimaru enggan memperbaiki pemanas air di kamar mandiku," keluhku sambil mengaduk-aduk tas, mencari dompet. "Shannaro, Yamato-san, dompetku ketinggalan di tas satu lagi!" aku buru-buru merebut gelas kertas berisi cappuccino hangat pesananku setiap pagi, yang di letakkan Yamato di atas meja kasir, "aku akan membayarnya sewaktu pulang!" jawabku buru-buru sebelum Yamato sempat memprotes, dan aku langsung berlari keluar karena bus yang aku tunggu-tunggu sudah sampai di halte.

Penghangat ruangan di dalam bus langsung membuatku merasa nyaman. Karena akhir pekan dan masih terlalu pagi, bus ini sangat sepi. Hanya ada supir, seorang pria tua yang tengah tertidur dengan menutupi mukanya menggunakan sebuah topi lusuh, dan seorang wanita paruh baya cantik yang duduk di sampingku. Wanita itu terus menerus mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya sambil menggerutu.

Aku menghela napas panjang dan menyesap cappuccino yang mulai mendingin itu. Terlambat bangun membuatku tidak sempat sarapan. Dan aku terancam tidak makan siang karena tidak membawa dompet. Semoga saja ada yang berbaik hati mau menraktir makan nanti. Aku terkejut ketika wanita tadi berteriak kepada ponselnya. Supir bus juga terkejut, tanpa sengaja dia menekan klakson. Tetapi si pria yang tengah tertidur sama sekali tidak terganggu.

"Kau memang anak durhaka Itachi-kun! Jemput Kaa-san sekarang di halte bus dekat rumah!" Seru wanita paruh baya itu kepada seseorang di seberang telepon. "Kau tidak membaca pesan yang aku kirim tadi? Aku sudah kedinginan menunggu salah satu di antara kalian berdua menjemputku, jadi aku memutuskan untuk pulang dengan bus!" wanita itu diam sejenak, "Anak tengil itu tidak mengangkat teleponku, dia tidak pulang ke rumah semalam. Kami-sama, apa yang kau lakukan semalaman sampai kau tidak tau adikmu pulang ke rumah atau tidak?" wanita itu benar-benar terlihat kesal, "Aku tidak akan memaafkanmu jika kau minum-minum sampai mabuk semalam." Wanita itu memutuskan telepon, bergumam tidak jelas, sambil mengutak-atik ponselnya, wanita paruh baya itu melontarkan tatapan minta maaf kepadaku, "aku minta maaf karena membuat suasana tidak nyaman. Anak laki-laki jaman sekarang memang sulit di mintai tolong."

"Ah, tidak apa." Jawabku cepat sambil tersenyum.

"Suamiku sedang di rawat di rumah sakit, aku menginap karena dia minta di temani. Dan aku harus pulang pagi ini untuk mengambil pakaian ganti, kusuruh putraku untuk menjemputku. Tapi sudah setengah jam aku menunggu di halte bus mereka tidak kunjung datang. Aku kedinginan dan akhirnya aku memutuskan untuk pulang naik bus. Dan lihat putraku yang nakal itu, dia baru mengangkat teleponku yang ke dua puluh satu kali, dan dia belum bangun dari tempat tidurnya!" curhat wanita paruh baya itu. Wajahnya sangat cantik biarpun sudah dimakan usia. Pastinya wanita ini dikagumi oleh banyak kaum adam sewaktu masih muda.

"Mungkin mereka sibuk, Baa-san." Jawabku sok tahu.

"Ah, tidak," wanita itu menggeleng-geleng kepalanya, "yang bicara di telepon tadi denganku, Itachi, kelihatannya dia mabuk-mabukan semalam. Putraku yang satu lagi, Sasuke, dia tidak di rumah."

Aku mengangguk-angguk Aku tidak tahu apa peduliku dengan kegiatan keluarga wanita paruh baya ini. Tapi wanita ini sangat ramah dan cantik. Aku benar-benar iri melihat dia masih terlihat anggun biarpun wajahnya terlihat jengkel karena menghadapi putranya.

"Siapa namamu, nak?" Tanya wanita itu.

"Sakura, Haruno Sakura," jawabku enggan.

"Kau cantik," puji wanita itu, "Aku dari dulu ingin punya anak perempuan. Aku selalu menyalahkan suamiku karena memberikan sepasang anak laki-laki nakal untukku. Dan rambut pink-mu itu, benar-benar berwarna! Rambut keluargaku itu, benar-benar suram!" oh yeah, memang salah laki-laki yang membawa kromosom x! Biasanya drama-drama bodoh di televisi selalu menyalahkan perempuan yang melahirkan keturunan perempuan untuk keluarganya. Dan wanita cantik di sampingku ini membuatku benar-benar terpesona karena dia cantik dan cerdas. Dan dia memujiku tadi asal kalian tau!

"Ah, tidak juga, aku juga kurang menyukai rambutku. Dia banyak membawa masalah untukku. Sewaktu masih sekolah aku pernah dihukum oleh Sensei, dikiranya aku mewarnai rambutku." Jawabku sambil memegangi rambut pink yang panjangnya sebahuku.

Wanita itu tertawa, benar-benar cantik dan membuatku gemas. Jika ibunya saja secantik ini, putranya yang dikatainya nakal pasti tampan-tampan! "Ya ampun, kau lucu sekali! Aku kira kau masih bersekolah? Atau apakah kau sudah kuliah?"

Bersekolah? Ini benar-benar shannaro! Biarpun terlambat tadi, aku sempat memakai make up untuk membuatku tampak dewasa! Aku menahan amarah dan menggeleng sopan, "tidak, aku sudah bekerja. Aku seorang dokter." Ya, memamerkan diri sedikit di depan wanita cantik yang dugaanku juga memiliki anak yang tampan tidak apa kan?"

"Oh, kau seorang dokter?" wanita itu membeo, aku semakin senang karena aku tampak seperti gadis baik-baik yang berpendidikan. "Aku Uchiha Mikoto, dokter spesialis kandungan di Amaterasu Hospital." Ujarnya riang. "Dimana kau bekerja?"

Aku benar-benar berharap wajahku tidak pucat saat ini, tapi aku tidak yakin. Aku punya pengalaman tidak mengenakkan dulu dengan seseorang bernama Uchiha Mikoto. Sewaktu aku kuliah, Uchiha Mikoto, wanita ini, pernah menjadi dosen pengganti ketika seorang dosenku, Yuhi Kurenai, cuti melahirkan. Dia cerdas tetapi tidak pintar mengajar. Sekembalinya Kurenai Sensei dari cutinya, aku mengeluhkan nilai-nilaiku yang menurun karena tidak terlalu paham apa yang diajarkannya. Saat itu aku tidak tahu bahwa Uchiha Mikoto menguping pembicaraan kami. Aku baru mengetahui Uchiha Mikoto menguping ketika 30 menit kemudian aku kembali ke ruangan Kurenai Sensei untuk mengambil jurnalku yang ketinggalan. Keadaan berbalik, aku menguping pembicaraan Uchiha Mikoto dengan Kurenai Sensei. Saat itu aku mendengar Uchiha Mikoto menangis karena merasa gagal memenuhi amanah Kurenai Sensei. Aku sangat menyesali perbuatanku, ketika hendak meminta maaf keesokan harinya, Uchiha Mikoto tidak pernah terlihat lagi ke Konoha University.

Dan sekarang, wanita cantik itu tengah mengobrol bersamaku. Wanita ini ibu dari anak laki-lakinya yang katanya nakal dan kuduga-duga memiliki wajah tampan. Mengapa aku tidak mengingatnya? Tetapi wajar aku tidak mengingatnya, ini sudah sekitar enam atau tujuh tahun dari kejadian itu. Enam atau tujuh tahun itu bukan waktu yang singkat.

Tetapi yang lebih membingungkan lagi, Uchiha Mikoto tidak mengingatku? Padahal rambut norak ini sangat diingat semua orang. Contohnya ketika aku bertemu Rock Lee, laki-laki konyol yang suka ngompol di celana ketika di sekolah dasar dulu, di bandara Sunagakure. Dia mengingatku karena rambut ini.

Aku benar-benar khawatir dan takut kalau-kalau Uchiha Mikoto mengingat kejadian enam tahun yang lalu, ini benar-benar sabtu terburuk sepanjang hidupku. Aku hendak menjawab pertanyaan Uchiha Mikoto, tetapi supir bus ini sudah menolongku. Bus akhirnya berhenti di halte dekat klinik tempat aku bekerja.

"Ah, Uchiha Baa-san, bus sudah berhenti di halte yang aku tuju. Senang berkenalan denganmu Uchiha Baa-san." Ujarku gugup. Aku segera meninggalkan bus tanpa melihat ke belakang lagi.

Sakura mengaduk-aduk ramen yang menjadi makan siangnya sabtu ini dengan pandangan kosong. Rapat yang usai dua puluh menit yang lalu benar-benar membebaninya.

"Kalau kau tidak mau makan, jangan membuatku mengeluarkan uangku yang berharga dong, Sakura-chan!" keluh Nohara Rin, teman seprofesinya sesama dokter di Klinik Sarutobi.

"Aku minta maaf Rin, tapi apa kata Ibuku kalau tahu aku kehilangan pekerjaan?" Sakura mengaduk-aduk ramennya sampai kuahnya keluar dari mangkuk dan tumpah ke meja.

"Ya ampun Sakura-chan!" Rin buru-buru menarik tisu dan mengelap tumpahan kuah Sakura sebelum semakin menyebar. "Mau bagaimana lagi, Hiruzen Sensei sudah tua, kliniknya juga sepi pasien. Wajar kan kalau dia ingin pensiun?"

"Aku benar-benar mengalami sabtu terburuk sepanjang hidupku," Sakura hampir menangis, matanya berkaca-kaca.

"Jangan berkata begitu," tukas Rin tajam. "Banyak orang di luar sana yang makan siang saja tidak tau kapan. Kau masih muda dan berbakat, Sakura-chan, kau bisa melamar pekerjaan di tempat lain."

Sakura menatap Rin, "Apa kau mau melamar pekerjaan di tempat lain juga?"

Rin menggeleng, "Aku tidak akan mencari pekerjaan lagi." Dia mengelus perutnya dengan sayang, "Kakashi-kun menyuruhku untuk resign jika usia kandunganku sudah lima bulan. Dia ingin aku merawat bayi ini secara intensif di rumah. Ya, kalau kejadiannya begini, aku tidak perlu repot-repot membuat surat resign kan?"

Sakura mengangguk paham, dia benar-benar iri dengan Rin yang memiliki suami penyayang yang sayangnya hentai seperti Kakashi. Sedangkan Sakura? Pacar saja tidak punya.

"Bagaimana jika kau melamar pekerjaan di rumah sakit milik bosnya Kakashi-kun?" Tanya Rin. "Aku akan meminta tolong kepada Kakashi untuk mengurusnya jika kau mau."

Sakura tercengang, "Apa kau mau melakukan itu untukku, Rin?"

"Oh, dengan senang hati, Sakura-chan." Ujarnya riang. "Asal kau berkemauan dan berhenti mengaduk-aduk ramennya seperti itu."

Sakura langsung menghentikan kegitannya mengaduk-aduk ramen. "Baiklah, Rin! Mohon bantuannya."

Sakura menatap kosong sebuah undangan pernikahan yang ditemukannya di kotak pos. Acaranya sekitar tiga minggu lagi, acara pernikahan sahabatnya berambut kuning itu. Sakura mendesah pasrah, Rin, Naruto, Hinata, teman-temannya sudah menemukan pasangan hidupnya masing-masing. Sakura, pacar saja tidak punya.

Setelah mengunci pintu apartemennya, Sakura langsung menghempaskan dirinya ke atas sofa empuk miliknya. Jemarinya sibuk memilih kontak di ponselnya, dia menelepon sahabat kuningnya.

Teleponnya di angkat di dering ketiga, "Hei, Naruto baka!" seru Sakura riang. Tetapi tidak ada sahutan dari Naruto, suara-suara bising dan ramai di seberang telepon memenuhi indra pendengaran Sakura. "Naruto Baka! Seru Sakura sekali lagi.

"Teme! Tolong aku! Jangan-jangan!" Sakura mengerutkan dahinya mendengar suara Naruto yang menjerit-jerit seperti perempuan di seberang telepon.

"Naruto?"

"Hei, Kiba! Ibuku menelepon, jangan dulu!" terdengar suara Naruto makin menjauh.

"Sejak kapan kau membuat kontak ibumu dengan suffix 'chan' Naruto? Kau ingin mengkhianati ayahmu dan Hinata?" terdengar suara seorang pria dari balik telepon dan ucapannya itu disambut suara tawa membahana.

"Hah? Itu pasti Sakura-chan! Sakura-chan, tolong aku!" seru Naruto heboh. Tidak terdengar lagi percakapan-percakapan di seberang sana. Dan suara di seberang telepon semakin menjauh dari keramaian.

"Halo?"gumam Sakura.

"Hn," jawab suara dingin milik seseorang di seberang telepon.

"Siapa di sana? Apa Naruto baik-baik saja?" Tanya Sakura

"Hn, dia baik-baik saja."

"Apa yang sedang dia lakukan? Maksudku, apa yang sedang kalian lakukan disana? Mana Naruto? Aku ingin bicara dengannya." Sakura memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kanan.

"Dia sedang di kolam renang, dan aku menyelamatkan ponselnya dari kerusakan."

"Kolam..?"

"Kami sedang mengadakan pesta pelepasan lajang untuknya. Kau tidak perlu khawatir, dia tidak akan mati."

"Ini musim gugur, dan cuacanya cukup dingin! Kami-sama, segera angkat dia dari kolam!" ujar Sakura khawatir. Sebenarnya Sakura tidak peduli jika Naruto mati. Tapi dia khawatir dengan Hinata yang akan menangisi kematian konyol Naruto.

"Hn, dia tidak akan mati." Sebelum Sakura sempat berkata lagi, sosok di seberang telepon kembali berbicara, "Apa yang ingin kau sampaikan kepada dia? Aku mau kembali ke pesta."

"Aku ingin bicara dengannya dan memastikan dia baik-baik saja," Sakura keras kepala.

"Aku matikan."

Dan sambungan telepon itu benar-benar dimatikan sepihak. Sakura benar-benar kesal. Berkali-kali dia mencoba menelepon, tetapi hanya pesan suara Naruto yang menjawab. Sakura menyerah, dia mengirim pesan ke ponsel Naruto.

"Katakan kepada Naruto, undangannya sudah sampai ke apartemenku. Pastikan dia jangan mati. Aku tidak peduli dia mati atau tidak, aku hanya tidak ingin Hinata sedih!"

"Hn."

Sakura melempar ponselnya ke sofa. Rentetan kejadian hari ini ditambah laki-laki menyebalkan yang menjawab telepon naruto tadi benar-benar membuatnya lelah. Sekitar dua menit mencoba untuk tidur, ponselnya berdering.

"Sakura-chan!" seru Rin dari seberang telepon.

"Ada apa Rin?" Tanya Sakura lemah.

"Kau baik-baik saja?"

"Cuma sedikit mengantuk, kenapa?"

"Ah, begini Sakura-chan, aku sudah menanyai Kakashi-kun."

Sakura langsung tersadar mendengar kata 'Kakashi'. Ini bearti tentang pekerjaan barunya.

"Kakashi-kun bilang, yang punya rumah sakit itu adalah ayah dari bosnya."

Sakura kembali menghempaskan dirinya ke sandaran sofa, "jadi Kakashi tidak bisa membantuku?"

"Kerjaan bosnya tidak ada sangkut pautnya dengan rumah sakit itu."

"Begitu…" gumam Sakura sendu.

"Tapi Kakashi-kun berjanji akan bicara dengan bosnya. Kakashi-kun sedang mengirimkan nomor ponsel bosnya kepadamu."

Sakura dapat mendengar bunyi ting pelan dari ponsel yang diletakkan di telinganya "Kurasa sudah masuk Rin!"

"Kata Kakashi-kun, coba kau bicarakan dulu dengannya, supaya Kakashi-kun lebih mudah membicarakannya dengan bosnya itu."

"Baik, akan ku telepon segera."

"Baiklah, semoga sukses."

"Terima kasih Rin, kau benar-benar menolongku!"

"Ah, tidak apa Sakura-chan. Jika kau membutuhkan bantuanku, aku akan mencoba menolongmu!"

"Baiklah, aku tutup ya, aku akan bicara dengan bos Kakashi."

"Ah, iya, Kakashi-kun lupa menulis namanya di pesan yang dikirim untukmu. Nama bosnya Sasuke."

"Aku mengerti, namanya Sasuke."

Sakura benar-benar tampak riang, dia tengah menunggu Bos Kakashi yang bernama Sasuke itu mengangkat telepon. Karena tidak ada yang menjawab, Sakura mengetikkan pesan kepada si Sasuke itu. Kemudian kembali menelepon si Sasuke. Pada dering keempat, teleponnya di angkat!

"Halo, Sasuke-san? Ini Haruno Sakura, apa anda ada waktu untuk bicara?"

"Hn."

Sakura membeku, 'Hn'? bukankah ini..?

"Halo, kenapa menelepon saya?" Tanya suara dingin di seberang telepon.

Tidak salah lagi, pria bernama Sasuke, yang menjadi bosnya Kakashi ini adalah pria menyebalkan yang menjawab telepon Naruto tadi. Karena tau pria itu sedang sibuk dan Sakura merasa kesal dengan perbuatan pria itu menutup teleponnya seenak jidat, Sakura pun menjawab, "Ah, maaf, nanti ku telepon lagi."

Sakura menghela napas pasrah, pria menyebalkan itu yang akan membantunya mencari pekerjaan baru. Tetapi sakura tidak menyukai sikap dinginnya! Sakura pun bangkit dari sofa dan masuk ke dalam kamar. Di lemparnya ponsel itu ke atas tempat tidur. Dia akan mencoba menelepon pria itu besok pagi.

.

.

.

.

.

To be continued…

Author Note :

My first story guys, hope you enjoy it!