Espada dan Akatsuki. Dua organisasi internasional dari belahan bumi yang berbeda, yang sama terkenalnya di bidang masing-masing. Keduanya tak saling berhubungan, namun ternyata seutas benang merah melibatkan mereka dalam berbagai peristiwa tak terduga, menguak berbagai masa lalu menyedihkan yang dikubur dalam-dalam demi kepercayaan akan masa depan.
.
Disclaimer:
Bleach © Tite Kubo
Naruto © Masashi Kishimoto
.
AU
-Espada dan Akatsuki terdiri atas manusia-manusia biasa (bukan roh, arrancar, atau ninja) dengan beberapa kelebihan yang masuk akal dalam batasan manusia-
Past, Present, and Future by Roux Marlet
Chapter 1: The Introduction
Pinggiran kota Madrid, 9 Oktober 1974
"Akhirnya kau datang juga, Itachi!" sapa si wajah-hiu Kisame Hoshigaki pada sahabat baiknya yang baru masuk ke karavan. Itachi Uchiha kelihatan capek—wajahnya sekusut rambut hitamnya—dan dia membawa sebuah tas hitam kecil yang diletakkannya di meja dengan hati-hati seakan benda itu terbuat dari kaca.
"Hai, Kisame," Itachi menghela napas keras sambil menghempaskan tubuhnya ke salah satu dipan di dalam karavan.
"Bagaimana—" Kisame memulai—
DUAARRRR!
Suara ledakan terdengar di samping karavan memecah keheningan sore itu, membuat kendaraan yang sedang diparkir di tepi sungai itu sedikit terguncang.
"—dengan tugasmu, Itachi? Sudah kaudapatkan benda itu?" lanjut Kisame seakan tanpa interupsi.
DUAARRRRR!
Itachi meraih tasnya. "Karena itulah aku agak terlambat. Para bandit Jepang sudah mencurinya duluan. Perlu taktik khusus untuk merebutnya dari mereka," dibukanya tas itu.
.
.
.
Di luar karavan terdengar seseorang berteriak, "Sialan kau, Deidara! Apa kau tak bisa membiarkanku menjalankan ritualku dengan tenang?!"
Orang berambut pirang yang dipanggil Deidara itu menyahut, "Hei, hei, sori Hidan. Aku baru saja dapat ide, un, mungkin ritualmu yang menjemukan itu bisa jadi lebih hidup dengan seni-ku."
Hidan berteriak marah. "Kau mengacaukannya, bodoh! Sekarang aku harus mengulanginya dari awal. Kau bisa membuat Dewa Jashin murka!" Hidan bangkit dari posisi bersila-nya lalu meraih pedangnya yang dari tadi tergeletak di sampingnya—berbentuk seperti sabit bermata tiga. Dikejarnya Deidara, yang tentu saja langsung kabur melihat senjata Hidan yang amit-amit. Namun sambil berlari dia sempat melontarkan beberapa peledaknya ke arah Hidan.
Duar—duar—duar—Hidan kewalahan menghindari bom Deidara. Deidara kembali ke karavan sambil tertawa-tawa. Di samping karavan itu ada satu karavan lagi, lebih besar.
"Ha-ha! Itulah orang yang tak bisa mengerti seni!" Deidara menoleh pada rekannya yang bertopeng, Tobi. "Kau lihat si fanatik itu, Tobi? Dia kalah menghadapi seni-ku!"
"Eee.. Senpai? Sepertinya kau terlalu kejam padanya…" Tobi menyahut. Topeng oranye Tobi menutupi seluruh wajahnya, hanya menyisakan satu lubang untuk mata kanannya.
"Ah, kau sama saja, un. Kau—"
"Deidara, Tobi. Jangan main-main saja. Panggil Hidan kemari. Masuk ke karavan besar. Kita harus bersiap," ujar Pain, pria berambut oranye dan muka penuh tindikan sambil masuk ke dalam karavan yang baru datang bersama satu-satunya wanita di kelompok mereka, Konan—istri Pain.
Deidara mencibir. "Oi, Hidan! Kita disuruh masuk!" teriaknya pada Hidan yang sedang berjalan kembali dengan muka kesal dan mengacung-acungkan tinju ke arahnya. "Ayo, Tobi, jangan bengong terus."
"Hah? Eh, iya Senpai…"
Akatsuki. Kelompok sukses pebisnis gelap yang melakukan perjalanan ke seluruh dunia berdagang barang terlarang: narkoba, senjata ilegal, barang curian. Pain, sang ketua, memiliki relasi "bisnis" semacam itu di mana-mana. Kakuzu si bendahara handal, pandai mengatur keuangan mereka. Selain itu ada Zetsu si ahli menyamar dan Sasori dengan ilmu hipnotis yang selalu berhasil digunakan untuk menyusup ke museum atau tempat semacam itu. Dan ada pula si peramal Itachi, yang berkat ilmu warisan klan Uchiha ia selalu dapat memilih waktu dan tempat yang aman sehingga perdagangan mereka tak pernah terendus aparat. Selebihnya, semua anggota Akatsuki dibekali kemampuan bela diri yang dapat digunakan sewaktu-waktu, misalnya jika keberadaan mereka terancam oleh pedagang gelap lain yang lebih licik dan mencoba menipu mereka. Ditambah dengan dua orang jago pedang dalam kelompok ini—Kisame dengan Samehada-nya dan Hidan dengan sabit mata-tiga-nya—nama Akatsuki sudah terkenal dan disegani di dunia bisnis ilegal.
Akatsuki sudah berkelana lewat Asia dan Afrika sebelah utara. Karena sering singgah ke berbagai negara, mereka fasih berbicara dalam bahasa Inggris.
Itachi baru saja memperoleh barang baru yang mahal harganya, dengan sedikit kerja keras selama dua minggu di Maroko, sementara yang lain melanjutkan perjalanan—terakhir mereka berdagang di Maroko sebelum menyeberang ke Spanyol. Selama ini mereka bergerak dengan karavan—seperti kaum gipsi. Pain mendapatkannya dengan harga murah di India, bertahun-tahun lalu. Dua karavan, untuk sepuluh orang. Itachi, Kisame, Sasori, dan Zetsu menghuni karavan yang lebih kecil. Sisanya tinggal di karavan yang satu lagi. Kedua karavan memiliki gambar awan merah di bagian depan—lambang Akatsuki. Akatsuki selalu memakai jubah hitam dengan lambang itu jika berdagang.
Bagian paling depan karavan adalah tempat kemudi dan penyimpanan makanan. Bagian tengah terdiri atas dipan-dipan yang bisa dilipat—fungsi ganda sebagai tempat tidur atau kursi. Berikutnya adalah bilik gudang, di mana barang-barang dagangan disimpan. Paling belakang adalah kamar mandi.
Untuk karavan yang besar, ada sebuah bilik kecil di dekat gudang, tempat Konan tidur. Pain pernah bilang dia tidak segan membunuh siapapun yang berani mengganggu Konan—jadi bilik itu dihindari oleh yang lain. Semua anggota Akatsuki menghargai sikap Pain itu. Soliditas mereka yang membuat Akatsuki bisa bertahan hampir tujuh tahun.
Malam ini mereka akan berdagang di Madrid.
"Hei, Mila-Rose, ini baru yang namanya permata!"
Wanita yang dipanggil Mila-Rose itu menoleh dengan sinis pada lawan bicaranya—wanita yang lebih muda—yang tengah menunjuk sebuah permata merah delima yang dipajang seorang pria muda berambut hitam.
"Aku tahu, Apache. Aku sudah sering berurusan dengan permata, tahu? Kau saja yang ketinggalan zaman." Ia berjalan terus menyusul dua wanita lain yang sudah beranjak ke dagangan lain di pasar gelap itu.
Apache mencibir. "Huh, sok tahu." Dia melirik pria yang duduk di belakang permata itu. Pria itu tersenyum dingin—kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas. Apache heran, apa orang ini mengalami penuaan dini?
"Kau mau beli, Señorita? Permata ini tadinya milik Natasha Dragomirroff, bangsawan Rusia." Pria itu bicara dalam bahasa Inggris.
"Atau kau mencari sesuatu yang seperti ini?" Seorang pria lain, berwajah menyeramkan—seperti hiu, karena pipinya yang kelabu penuh bekas luka—muncul di belakang pria muda-tapi-tua itu, menyodorkan beberapa bungkusan berisi bubuk putih. Heroin.
Apache baru akan menjawab ketika sebuah suara wanita yang dalam, dingin, tapi berwibawa memanggilnya.
"Apache."
Ada sesuatu dalam suara itu yang membawa atmosfer mencekam. Apache langsung meninggalkan kedua pedagang itu dan menghampiri wanita yang memanggilnya—kulitnya gelap, rambutnya pirang. Wanita itu menatap bawahannya dingin.
"Maafkan saya, Nona Harribel," bisik Apache sambil menunduk.
"Kita di sini bukan untuk belanja," bisik wanita berkulit gelap itu—Tia Harribel—dingin. "Ayo Sun-Sun, Mila-Rose."
Itachi mengamati keempat wanita itu, yang sedang menuju tempat Sasori dan Zetsu.
"Kenapa, Itachi? Kau naksir salah satu dari mereka?" goda Kisame.
". . ."
"Hah.. Dasar, wanita yang hitam itu, padahal tadi kita nyaris dapat pembeli!" Kisame ikut duduk di sebelah Itachi. "Hei, kenapa kau diam? Tadi aku hanya bercanda…"
"…Kau tidak merasa ada yang aneh?" Itachi membuka suara.
"Aneh?" Kisame mengerutkan alis. "Kalau yang kaumaksud lain dari biasanya, itu karena pembeli di sini tak hanya orang-orang Spanyol. Kudengar di Madrid inilah tempat pertemuan arus perdagangan gelap di Eropa Barat. Hm, selain di Paris."
"Persis! Begitu banyak calon pembeli yang mondar-mandir, tapi kenapa nyaris tak ada yang benar-benar membeli? Kau lihat, keempat wanita itu juga dari tadi tidak beli apa-apa, kan? Lalu…" Itachi mengedarkan pandangannya. "…bahkan Kakuzu kelihatan lesu. Sepertinya hari ini kita tidak laku."
Kisame menguap. Kadang kata-kata Itachi bisa begitu rumit. "Mungkin kau benar," ujarnya sambil mengelus cincin kuning di jari manis kirinya.
Satu lagi yang khas Akatsuki, kesepuluh orang itu mengenakan cincin di jari yang berlainan—dengan ukiran yang berbeda pula.
Las Noches, 10 Oktober, dini hari.
Harribel sudah kembali bersama ketiga fraccion-nya. Ia segera menuju ruangan Sousuke Aizen. Di jalan ia bertemu Espada tinggi kurus berwajah licik.
"Tuan Aizen tahu kau membawa fraccion, Harribel."
Harribel tidak menggubrisnya. Ia berjalan melewati rekannya itu, lalu masuk ke ruangan Aizen.
"Tuan Aizen pasti marah," ujar si Quinta Espada, nomor 5, sambil melangkah ke arah berlawanan.
"Beliau tidak akan marah karena soal sepele begitu, Nnoitra," ujar Espada bermata turquoise yang berpapasan dengannya. Nnoitra berhenti, menoleh menatap lawan bicaranya.
"Sok tahu kau, Ulquiorra. Harribel pasti kena marah karena bertindak tanpa izin. Tapi kalau kau yang melakukannya… entahlah. Aku ragu kalau dia akan pernah marah padamu. Kau kan anak emasnya," sahut Nnoitra dengan nada sok.
"Dari dulu kau selalu sentimen dengan Tres Espada. Dulu Nelliel, sekarang—"
"Jangan pernah sebut nama itu lagi, Ulquiorra! Wanita itu pengkhianat busuk!"
Ulquiorra terdiam. Nnoitra berlalu dengan kesal. Matanya yang tinggal satu berkedut-kedut jengkel.
Ingin balas dendam pada seseorang? Espada bisa melaksanakannya tanpa sedikit pun kecurigaan akan timbul. Memata-matai, meneror, maupun membunuh orang sudah merupakan misi harian Espada. Sesuai arti namanya, Sepuluh Pedang, Espada terdiri atas sepuluh anggota yang diberi peringkat berdasarkan profesionalisme. Beberapa Espada memiliki kaki-tangan yang disebut fraccion. Dan tiap Espada memiliki nama alias untuk menjalankan misi, yang diberikan oleh Sousuke Aizen, pemimpin Espada dan juga merupakan salah satu bos mafia terkenal di Eropa. Espada juga menerima misi di luar Spanyol.
Las Noches, markas besar Espada, berupa bangunan besar di bawah sebuah rumah sederhana di Madrid. Masyarakat Madrid hanya mengetahui bahwa rumah itu milik seorang kakek tua bernama Señor Louisenbarn beserta keluarganya dan tak pernah bergaul dengan orang sekitarnya. Kelihatannya juga tak ada yang mau mendekati rumah itu karena suasananya yang selalu sepi, suram, seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Tak ada yang tahu bahwa di bawah tanah kota Madrid terdapat sebuah markas mafia berdarah dingin.
Suasana suram menyelubungi karavan besar Akatsuki pagi itu. Hujan deras menambah kemuraman wajah kesepuluh anggotanya. Hei—tunggu dulu—hanya ada sembilan orang. Siapa yang belum hadir?
"Sial sekali kita semalam!" keluh Kakuzu dari balik cadarnya. "Malam pertama biasanya paling banyak pemborong!"
"Itachi, kau bilang kita bakal laku keras di Spanyol! Mana buktinya?" timpal Hidan.
"Aku tidak tahu pasti di mana kita akan laku. Bisa saja bukan di Madrid," balas Itachi.
"Sudahlah. Mungkin kali ini kita hanya kurang beruntung," ujar Pain yang berusaha kelihatan tenang dan berwibawa walau hatinya juga sedang galau.
Untuk sesaat karavan itu hening. Kas mereka sedang menipis. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lalu tiba-tiba di tengah permenungan keputusasaan itu—
"##%$ #*%#!"
Serentetan teriakan dan umpatan paling brutal yang pernah didengar Itachi bergaung di bagian belakang karavan. Itu suara Deidara, orang yang tidak berkumpul di situ. Pain dan Tobi yang pertama bereaksi—bergegas menuju sumber suara di belakang, tempat penyimpanan barang mereka.
Wajah Deidara pucat pasi, campuran marah dan…takut? Ia berjongkok di sisi karavan, memandangi sesuatu di lantai dengan melotot.
"Ada apa, Deidara?" tanya Pain tegang. Melihat wajah Deidara, ia menduga sesuatu yang sangat mengerikan baru saja terjadi. Ia melihat ke arah pandangan Deidara. Laci kecil yang terbuka. Anggota Akatsuki lainnya menyusul di belakang Tobi.
"…" Deidara menelan ludah. "… Semua senjata peledakku… Hilang."
.
.
.
Hening.
.
.
.
Lalu tawa Hidan meledak.
"Haha! Kukira ada apa, Deidara! Kau ini mendramatisir suasana saja! Dasar—"
"Dan ouken dicuri."
Olok-olok terakhir Hidan tersangkut di tenggorokannya.
"APAAA?!"
Tunggu dulu—Dicuri?
To be continued.
A.N.
Special thanks to:
Rokuna Aldebaran dan Reiya Sumeragi, yang mendorong saya untuk menulis fanfiction. Juga pada Ollyn Nathania, seorang sahabat yang kepadanya saya berkonsultasi mengenai fiction ini.
Terakhir, terima kasih pada Anda yang membaca, apalagi yang me-review. Merci beaucoup.
