Kelopak bunga berguguran ditiup angin

Dengan pasrah mereka hanya terbawa olehnya

Terombang-ambing sampai sang angin lelah membawanya

Dan sang kelopak berpikir, apakah ini akhir ia mengelilingi dunia?

Ketika sang manusia memetiknya

Dan mengambungnya kembali ke angkasa, terbawa kembali oleh sang angin

Itulah yang akan kulakukan

Seperti manusia yang memetiknya

Saat kau tidak ingat apa tujuanmu

Memelihara 69 bunga matahari tersebut

Di perkarangan kafemu...


GabriMicha Runa Presents

69 Bunga Matahari Ku Tanamkan Untukmu

.

Disclaimer: Sengoku Basara chara milik CAPCOM. Jika fanfic ini baru milik saya~

Warning! SHO-AI (atau slash?) fanfic! Mungkin terlihat saat di chapter 2.

.

Enjoy.

.

.

.


For FID #6


Kriiing! Kriingg!

Kubuka mataku tepat sebelum alarm ponselku berbunyi, terlambat membangunkanku yang sudah sedari tadi melek. Mulutku terbuka kecil untuk menarik oksigen sebanyak mungkin yang bisa ia tarik, diselingan air keringat dingin membasahi pelipisku.

"...Panas... Kok bisa sepanas ini ya?"

Selimut tebal kubuka dari badanku dan berdiri dari futonku. Kuambil ponselku untuk melihat jam berapa sekarang ini.

"Jam 06.00. Cukup cepat pagi ini," ucapku dengan nada kecil, lalu menggulung futonku bersamaan dengan bantal, selimut, dan guling, benda wajib bagiku agar dapat tidur nyenyak.

Perkenalkan, aku Chousokabe Motochika. Orang-orang sering mengatai namaku sangat cantik. 'Chika-chan', nama panggilan yang tidak sebanding dengan penampilanku sekarang. Mungkin itu julukanku yang hanya dan tak akan bertahan, ketika orang-orang sudah melihat tatapan maut dari manik biru mudaku.

Oh ya bicara soal mata, aku tidak seperti orang normal pada umumnya. Mata kiriku terluka ketika study tour sekolah saat SMP karena tergores beling. Kejadian itu pun bermula saat aku didorong teman sekelasku untuk menggoda seorang gadis yang tengah membawa pecahan beling piring ketika berlibur di pantai di kota Hiroshima.

Ah aku benar-benar tidak ingin menceritakannya sedetail mungkin. Sungguh, perasaanku sangat terluka saat mendapat laporan mata kiriku positif cacat dan tidak bisa melihat lagi.

"Yah, cuaca pagi ini cerah sekali," ucapku sehabis mengunci kamar apartemenku sambil menenteng tas selempang dengan tali pendek.

"Waktunya untuk memulai kehidupan sekolah yang baru."


...

Aku bukanlah bayangan yang ada saat cahayamu datang

Namun aku adalah samudra

Yang akan meredakan kekuatanmu

Untuk tetap mengkukuhkan kenanganmu

Kenangan manismu

Kenangan terindahmu

Kenangan pertamamu

...


"Motochika! Oy!"

Sesosok pria berambut cepak hitam berlari ke arahku dengan tergopoh-gopoh. Sambil berlari, ia melambaikan tangannya dengan ria.

"Hah? Kau di SMA K juga?" tanyaku kaget melihat kawan senasib—maksudnya mata kami sama-sama ditutup oleh eyepatch walau beda belahan mata, mengenakan seragam yang sama dengan yang ku pakai. Jas hitam dengan seragam putih di dalamnya, juga dasi merah gelap belang kuning tua.

"Gyahaha! Aku beruntung bisa satu SMA denganmu, kawan!" ia mengepalkan tangannya dan meninju pundakku pelan sesudah menyusulku. "Aku dengar dirimu memang masuk SMA disana. So, aku memang sengaja mengejarmu."

"Masamune... kau..."

"That's not problem, eh?" ucapnya santai berbicara bahasa asing—bahasa inggris, dengan fasih.

Date Masamune, kawanku sejak SD—bahkan tetangga. Dia anak blasteran—mungkin, yang suka berteman denganku sejak kecil, dan kami memang tidak bisa dipisahkan. Kakaknya, Katakura Kojuurou, bahkan mempercayakan Masamune dititip ke rumah Kunichika, Ibuku, karena dia merasa tenang melihat keributan kami berdua saat bertemu.

Sejak Ibuku meninggal ketika umurku 11 tahun, saat itu juga aku terpisah darinya. Aku dengan 'terpaksa' dititipkan pada keluarga Mouri dan menetap hidup disana, dimana saat itu mereka memang butuh seorang anak menemani mereka karena anak kandung mereka katanya bersekolah di luar negeri. Tapi dengan sedikit keberanian, aku memberanikan diri menjadi mandiri dengan bekerja bersama seorang nelayan, Shimazu Yoshihiro dan cucunya Miyamoto Musashi. Lumayan memiliki penghasilan untuk membantu keluarga tersebut, walau keluarga Mouri bisa digolongkan dengan golongan 'sangat mampu'.

"Tidak. Bukan masalah."

Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, kami menceritakan pengalaman kami bersama. Dia mengeluh tentang diriku yang telah lama menghilang tanpa jejak, tentang dirinya yang bertemu orang polos dan bersahabat dengannya, dan lainnya.

"Motochika, kenapa diam?" tanya Masamune. "Dari tadi hanya aku yang bicara. We're bestfriend, aren't we?"

"Ah tidak. Kehidupanku memang biasa saja tanpa ada keunikan," jawabku. "Tinggal di apartemen sendirian sehabis aku memutuskan untuk berpisah dengan keluarga Mouri karena anak semata wayang mereka akan datang dari Australia, lalu menjalani kehidupan dengan bekerja tetap sebagai pekerja nelayan pada Yoshihiro-san walau kini dia menganggapku seperti anak angkat."

"Nothing special, huh?"

"Tidak ada yang spesial dalam kehidupanku, haha!"

Masamune menggeleng bukan main walau masih menyumbingkan senyuman. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat wajahnya yang antara kecewa atau heran denganku.

"Oh ya! Sehabis upacara penerimaan siswa baru, we're go to cafe from Sanada recommendation, want you?"

"Ke kafe?"

"Yap."

"Humm," aku berpikir sebentar.

"Motochika?"

"Baiklah! Boleh!"


"Perkenalkan, aku Shimazu Yoshihiro. Hanya seseorang yang menjadi bagian BK dan hanya mengabsen murid di kelas satu ini."

"S—YOSHIHIRO-SAN!?" teriakku langsung menunjuk pria tua gemuk berambut putih yang diikat dengan jenggot lebatnya menampakkan aksen tuanya.

"Yo! Motochika-kun!" sapanya. "Sapa-sapaanya nanti saja ya? Waktuku tak banyak, haha!"

"So, you know that guy," bisik Masamune yang duduk di depan bangkuku, tidak melengokku sekalipun.

"Dia yang kubilang menjadikan aku seperti anak angkatnya," bisikku balik. Masamune menyenderkan punggungnya, melipat tangannya dalam posisi enak sambil mengangguk.

"Date Masamune-don?"

"Here!"

"Sanada Yukimura-don?"

"HADIRRRR!" teriak pria berambut cepak coklat dengan ekor kuda, di sebelah bangku Masamune. Kami berdua yang dekat dengan posisi tersebut menutup telinga langsung.

"Hoho, anak muda yang bersemangat."

"Banget malahan," celetukku pelan dengan perlahan membuka telingaku.

"APA!?" pria bernama Sanada Yukimura protes padaku, dengan suara lantang seperti biasa.

"Jadi, ini maksudmu, Masamune?" bisikku. Masamune mengangguk.

"Pria yang unik, right?"

Aku cuma bisa tersenyum kecut mendengarnya, seakan ingin berkata, 'Masamune-yakin-apa-yang-kau-katakan?'.

"Chousokabe Motochika-don?"

"Hadir!" kataku mantap sambil mengangkat tanganku.

"Mouri Motonari-don?"

Hening.

"Motonari-don?" kembali Shimazu-san memanggil pemilik nama tersebut. Masih tidak ada sahutan.

'Hari pertama sekolah tidak hadir?' tanyaku dalam hati. 'Mouri ya? Aku juga dengar anak mereka melanjutkan SMA disini.'

"Maaf terlambat."

Kami satu kelas langsung menengok pemilik suara asing tersebut—yang berasal dari luar.

"Jadi kau Mouri Motonari?"

Seorang pria dengan rambut pendek coklat masuk ke dalam kelas sambil memperbaiki kacamatanya dengan jalan santai.

"Mouri?" desisku kecil. Ah, jadi ini anak mereka ya? Atau kebetulan marganya sama?

"Ah begitu alasannya. Baiklah Motonari-kun, silakan duduk."

Lelaki berbadan dan berparas cantik itu membungkuk hormat pada Shimazu-san, kemudian bangkit lagi. Wajahnya kini kelihatan basah akibat dipenuhi keringat.

Ku lihat ia melangkahkan kakinya kemana. Dia menuju ke arahku, dan aku menantang diriku untuk melihat wajahnya secara empat mata. Dia ikut melirikku dengan wajah dingin, dan beberapa saat ia membelalakkan matanya melihatku. Aku pun ikut merasakannya, dan saat aku merasa ikut terkejut, dia kembali pada ekspresinya yang biasa lalu duduk di sebelahku—satu-satunya bangku kosong hanya di belakang bangku Yukimura.

"Hum, anak keluarga Mouri ya?" mulaiku berbasa-basi.

"Iya. Mouri Motonari. Salam kenal," sahutnya datar.

"Chousokabe Motochika."

Dia menatapku horor langsung.

"C—Chousokabe?" lirihnya.

"Iya."

"Aku sepertinya pernah mengenalmu."

"Aku anak angkat keluarga Mouri dulunya," ucapku ramah. "Aku tidak menyangka akan bertemu anak dari orangtua angkatku sendiri, bahkan sekelas."

"Oh," ucapnya singkat.

"He? Apa ada yang salah?" tanyaku bingung.

"Lebih baik kau diam daripada mendapat tatapan tajam bapak berjenggot dan berkumis tebal itu," sahutnya sambil mengisyaratkan bahwa kini Shimazu-san menatap kami berdua tajam.

"Karena hari pertama, aku takkan memberi hukuman pada kalian," bilangnya dengan tatapan maut. Aku hanya bisa tersenyum masam menanggapinya.


Bel sekolah tanda pulang pun berbunyi. Anak-anak yang sedang bercakap-cakap menghiasi ruangan kelas. Sangat berisik.

"Motochika, yuk!" ajak Masamune yang tengah merangkul Yukimura—si anak berisik, layaknya sahabat.

"Yuk?"

"Ke kafe rekomendasian Yuki! Ah, I can't believe you forgot our plan," Masamune menatapku masam.

"Oh iya. Tapi maaf, aku tidak bawa uang. Maaf ya!" alasanku sebenarnya sangat tidak benar. Aku hanya merasa tidak mau pergi bersama mereka, entah kenapa.

"Aku traktir dong!" kata Masamune mantap.

"Lagian jika aku dan Masamune-dono saja, tidak seru!" sambung Yukimura.

Sepertinya aku tidak ada alasan lagi, ya?

"Motonari-dono, kafemu buka kan hari ini?"

"Masih buka."

Kami berdua—aku dan Masamune, memandang mereka bergantian dengan bola mata membesar.

"J—jadi, itu kafe milik Motonari?" tanya kami serempak. Motonari menatapku dingin langsung.

"Bagaimana kau tidak tahu keluarga Mouri kini punya kafe?" heran Mouri yang masih duduk di bangkunya, mengepak buku-bukunya yang berceceran di atas meja.

"Aku tidak diberi tahu," jawabku.

Kami berempat berombongan menuju dan sampai di tempat lokasi yang dituju. Kafe dengan nama "69 Sunflower" atau "Cancer Sunflower" karena angka 69 sekilas kulihat seperti lambang salah satu bintang, kepiting.

"Uniknya di kafe Motonari-dono, ada 69 bunga matahari seakan-akan seperti maskot kafe ini," bilang Yukimura semangat. "Dan semua kue menunya terbuat dari sesuatu yang berwarna kuning dan yang dekat dengan itu! Misal jeruk, limau, nanas, dan lainnya~"

Mouri hanya melirik Yukimura dengan wajah ketusnya, entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Padahal jika aku diposisinya, aku pasti akan bilang terima kasih.

Cowok susah ditebak, ya?

"69 bunga matahari?" kupandang takjub bunga-bunga matahari besar yang berjejer mengelilingi tempat para tamu untuk makan di pinggir pagar. "Kenapa tidak 70 sekalian? Nanggung."

"69 itu seperti lambang bintang 'cancer' yang mengingatkan Motonari pada Myokyou, gadis manis dengan zodiak cancer," terang serorang wanita paruh baya dengan menggunakan celemek dan baju terusan putih. "Mendiang pacarnya dulu suka sekali dengan bunga matahari."

"Ibu!" tukas Mouri. "Biar dia anak angkat Ibu, tapi tidak usah ceritakan hal privasiku!"

"Tidak apa kan? Ibu hanya menjelaskan kenapa nama kafe kita '69 Sunflower'," tanggap Ibunya dengan senyuman, kemudian menyodorkan menu padaku.

"Terserah Ibu lah. Aku ke dapur dulu, bu," pamit Mouri berlalu meninggalkan kami sambil menenteng tas selempangnya. Ibunya mempersilakan kami untuk duduk di salah satu meja yang kosong—yang muat berempat, lalu mengeluarkan catatan kecilnya.

"Jadi, pesan apa?" ramah Ibunya. Kami bertiga saling memandang diam.

"Dasar. Ya sudah, aku pesan Brownies with Lime Cream," pinta Masamune memulai.

"Orange Jelly Truckers," ucap Yukimura.

"Aku..." aku kebingungan setengah mati melihat daftar kue dalam menu. Kenapa tidak seperti kafe yang biasa kudatangi dimana kita menunjuk sebuah kue yang terpampang di dalam lemari kaca sebagai pesanan kita?

"Motochika lama sekali," keluh Masamune, dan langsung kuhadiahkan jitakan keras untuknya.

"Aku pesan Sunflower Cake with Chocochips saja."

"Wah! Itu cake yang digemari Motonari-ku loh!" senyum Ibunya yang hanya kusambut dengan tawa kecil. "Tunggu dulu ya, biar anakku yang nanti membawa kuenya kesini."

"Baik," jawab kami serempak dan membiarkan wanita periang berambut putih itu berlalu.

Tidak lama berselang, Mouri datang dengan memakai celemek dan kemeja putih sambil menenteng baki berisi pesanan kami. Ia meletakkan kue-kue tersebut di depan kami sesuai pesanan yang kami minta. Tapi anehnya, ada lagi seorang cewek berambut coklat dengan pakaian seperti Ibu Mouri, ikut menenteng baki dan meletakkan minuman dan kue lainnya di meja kami.

"Kata bos, kalian tidak perlu bayar hari ini," ucap gadis itu. "Ini spesial penyambutan anak angkat bos dengan anak bos sekaligus!"

"Ibu bilang begitu?" geram Mouri menatap gadis itu dengan tatapan tajam.

"Ya, Ibumu bilang begitu," jawab gadis itu. "Ya! Tsuruhime ngacir dulu ya~ Bye~" ucapnya terakhir dan berlalu dari hadapan kami berempat. Mouri mendesah nyaring, lalu ikut duduk di sisa kursi yang kosong.

"Selalu saja," kata Mouri kecil.

"Ayo kawan, santai saja! Kami kan temanmu!" ujarku, yang langsung dihadiahi tatapan dingin darinya.

"Sebenarnya, Ibu ingin kau kembali, Chousokabe," kata Mouri. "Kami kekurangan tenaga untuk bekerja di dapur maupun sebagai 'waiter'. Dan kalau bisa—"

"Hah? Sekamar denganmu!?" kagetku.

"I—Iya! Terpaksa!" ucapnya gagap. "Lagian kamarku luas juga kok."

"He~ Motochika bisa makan gratis kue dong~" goda Masamune. "How jealous me!"

"Iya! Aku juga cemburu!" Yukimura ikut-ikutan. "Kami juga ingin bekerja disini!"

"Tidak! Ibuku tidak memerintahkan yang lain untuk bekerja di tempat keluargaku!" sahut Mouri dingin. "Lagian, kalian pasti hanya modus bekerja demi kue gratis, bukan?"

"Kalau aku tentu tidak mungkin juga bekerja disini," bilang Masamune. "Aku punya dunia kerja sampinganku sendiri."

Yukimura menatap Masamune getir.

"Ah ya, mari kita makan yuk!" kataku memecah keheningan yang sempat tercipta beberapa menit tadi. "Soal tinggal dan bekerja disini, aku bisa saja setuju. Tapi aku juga harus membantu Shimazu-san untuk menangkap ikan."

"Kita diskusikan hal ini pada Ibuku nanti," tanggap Mouri yang baru saja memotong kue di depannya dan memasukkannya ke dalam mulutnya menggunakan garpu.


"Mau aku bantu rapikan barang-barangmu itu?" tawar Mouri memberi bantuan ketika aku membuka kardusku yang berisi barang yang kukepak di apartemenku sebelumnya. Dia duduk di tepi spring bed ukuran king size miliknya, yang dulu sempat kutiduri ketika ia bersekolah di luar negeri.

"Tidak," jawabku pendek masih terus membongkar barang-barangku yang hanya sedikit.

"Untuk bajumu sudah disediakan lemarinya oleh Ibu. Untuk pernak-pernikmu... kurasa bisa bergabung dengan lemariku atau meja belajarku," desis Mouri sedikit tidak rela mengatakannya.

"Barangku hanya sedikit, tidak perlu cemas," kataku menenangkannya. "Aku saja membawa dua kardus besar kemari kan?"

"Ya. Aku tidur dulu. Jika mengantuk, besok saja bongkarnya. Ini sudah jam 11 malam," ucapnya kemudian merebahkan tubuhnya di kasur tersebut. "Oyasumi."

"Oyasumi," kataku kecil sambil memandang isi kardusku.

'Mungkin benar, aku besok saja merapikannya,' kataku dalam hati. Kuberdiri dan berjalan menuju tepi kasur yang kosong—disengajakan Mouri agar aku dapat tidur di sebelahnya, lalu merebahkan badanku. Kutatap wajah Mouri yang matanya terpejam dengan bulu mata lentiknya.

'Dulu aku pernah dengar dari Ibunya, Mouri itu wataknya dingin dan menyebalkan,' batinku. 'Tapi dia cukup baik denganku, mungkin.'

"Jangan menatapku, Chousokabe," desis Mouri dengan matanya yang dibuka setengah, menatapku dengan manik coklatnya. "Jika saja kau berani menyentuhku, aku takkan segan-segan membogemmu."

Kutarik apa yang kupikirkan tentangnya tadi.

"Memang kau kuat dariku?" ejekku dengan suara kecil. "Bagaimana kalau kita bertarung?"

"Kau menantangku dengan maksud mengejekku?"

"Mungkin bisa dikatakan begitu."

PLAK!

Gamparan keras menempel dengan lembutnya di pipi kananku.

"Tamparanku kuat kan?" ucapnya sambil memejamkan mata. "Tadi aku melihat nyamuk."

"Kuat sekali," desisku sambil meringis hebat. "Tunggu pembalasanku besok."

"Kutunggu," katanya sambil tertawa geli.

"Atau sekarang."

Aku memeluknya sangat kuat dalam keadaan mata terpejam. Ia mengerang sambil memaki dengan volume suara kecil.

"Lepaskan! Gila kau! Uhh—"

"Hukuman," ucapku diselingi senyum kepuasan.

"Sialan kau, Chousokabe."


Aku akan terus melihatmu

Aku akan terus menjagamu

Menemanimu

Menjaga agar kelopak-kelopak bunga matahari kalian

Tetap segar

Tetap kokoh meski badai menghadang

Entah

Aku tidak punya alasan untuk ini

Tapi aku hanya ingin

Agar kenangan bahagia pertamamu

Tidak roboh


A/N: Referent from someone doujinshi about BASARA

Well I guess that doujinshi is good! I advice you to not imagine when I seeing Motonari face at that doujinshi. I'm screaming in loud voice! Oh right! Fansgirling! My nose bleeding~

While Motonari in the bath room when he gonna ill before it, I'm really wanna to crying! Oh my gosh, he's really awesome or something like that for me~ I'm falling in love~

And now when I'm open it again on my phone, once again I wanna screaming! I asked myself, "How can that boy who getting mad easily but sometime cold, I really loved?" Sometime I thinking, why I doing weird when only seeing face Motonari? I love Yahiro from Special A too, but don't love much like Motonari. Oh that's mystery, thought.

Happy Fujoshi Independence Day minna! I'm sorry when you got some mistakes on my own fanfic!

Oh ya untuk pembaca setia (uhuk) fanfic saya yang berjudul, You're Our Saver nd You're Our Princess, maaf sementara di delay! Karena harus menyelesaikan fanfic untuk FID dulu huhu~

Untuk Dissa-CHAlovers, makasih peringatannya! Aku baru baca, ternyata memang ada. Hiks. Jadi aku bakal rewrite nanti.

Oh ya, BASARA Judge End episode lucu banget ya? SORIN TROLLING MOTONARI SAMPE AKU NGAKAK! /woi!