standard disclaimer applied.
|| 0068 || 779910 || 217 || 61412 || 9488 ||
"Sasuke-kun, cepat!"
Suara sang ibu menyadarkan anak kecil berusia sepuluh tahun yang tengah sibuk dengan laptop yang menyala di mejanya. Window yang terbuka itu menampilkan OVA dari sebuah anime kesayangannya. Ya, bocah bernama Sasuke itu memang seorang otaku yang tergila-gila dengan hal-hal berbau Jepang.
Korban dari fetish-nya itu tak lain adalah seorang pemuda yang kini sedang duduk manis di atas sepedanya dan tengah menunggunya. Pemuda itu bernama Naruto. Seorang mahasiswa yang juga merangkap sebagai guru privat Sasuke—dia sangat tidak suka jika disebut baby sitter—yang terkenal dengan keinosenannya.
Bahkan Sasuke pun merasa dia yang lebih dewasa dari Naruto.
Ya, Naruto boleh saja sudah mahasiswa dan lebih pintar. Boleh saja lebih tinggi. Tapi faktanya, Naruto tetap uke untuk seorang Sasuke Uchiha, bocah berusia sepuluh tahun seorang otaku yang kini menjadi tanggung jawabnya. Lalu, sejak kapan Sasuke mengenal tentang seme-uke? Tentu hal itu bukan masalah untuk bocah otaku merangkap fudanshi itu. Sekali lagi, keinosenan Naruto-lah yang membuat otak bocah berusia sepuluh tahun menganggapnya uke.
Innocent.
Di usianya yang sudah sembilan belas tahun, Naruto bahkan belum pernah berpacaran. Bukan itu saja, pemuda yang memang cukup pintar itu juga tak mampu menolak ketika banyak gadis menggodanya atau pemuda yang mengerjainya. Naruto tak bisa marah. Hanya dengan Sasuke-lah pemuda itu bisa sesekali kesal.
Tapi, tetap saja apalah arti kemarahan si Innocent Naruto jika berhadapan dengan Freak Otaku macam Sasuke, huh?
"Kau lama sekali, Teme," komentar Naruto ketika Sasuke telah siap mengikuti Naruto ke kampusnya.
"Hn."
"Kau sibuk dengan fetish-mu lagi?" tanya Naruto seraya mengayuh sepeda itu pelan, setelah Sasuke naik dan membonceng di belakangnya.
"Hn," jawab Sasuke singkat. Matanya tengah fokus pada komik di tangannya. Benar-benar bocah setan. Saat Naruto terengah mengayuh sepeda, ia justru asyik dengan komiknya. Poor Naruto! =="
"Aku semalam tidak tidur," cerita Naruto.
"Kenapa?"
"Gadis-gadis itu sibuk mengirim e-mail ke ponselku."
"Kau balas semua?" Sasuke melepas sejenak matanya dari komik dan menatap belakang kepala blonde Naruto.
"Ya. Kau tahu, aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi mereka. Mereka begitu baik."
'Doeng.'
Ingin rasanya Sasuke memukul dan mengganti otak pemuda yang katanya cerdas itu.
Bagaimana mungkin Naruto bisa menyebut gadis yang selalu merayunya saat di kelas atau tak henti-hentinya mengirimi email dan meneleponnya itu begitu baik? Mereka setan kalau bagi Sasuke. Dan Naruto bukannya senang dengan semua perhatianehmgangguan itu. Tapi, dia hanya terlalu polos untuk menghadapi semuanya. Saat seperti inilah seorang bocah sepuluh tahun bernama Sasuke sangat dibutuhkan keberadaannya.
"Seperti biasanya, Sasuke-kun. Kau harus menunggu di perpustakaan selama aku kuliah." Naruto turun dari sepedanya setelah pemuda mungil di belakangnya turun lebih dulu.
"Yah, Naruto-dobe! Kenapa kau tidak mengizinkanku untuk menunggu di kantin?" Sasuke melepas matanya dari komik di tangannya dan menatap Naruto kesal.
"Aku tidak cukup bodoh untuk kau tipu, Bocah!"
"Kau yang bocah, Naruto!"
"Kau lebih Bocah, dan panggil aku 'Onii-san'!"
"Nah, hanya seorang bocah yang meributkan nama panggilan."
Skak mat.
Terlihat perempatan imajiner muncul di pelipis Naruto.
"Naruto?"
Tiba-tiba suara bass memanggil namanya, membuat dua sosok yang tengah berdebat dengan maha tidak penting itu menoleh. Dua pasang mata itu menemukan sosok yang kini tersenyum di belakang mereka.
"Kakashi-sensei." Naruto membungkuk memberi hormat. Sementara Sasuke meningkatkan wajah cemberutnya berkali lipat melihat tingkah Naruto yang mendadak kembali inosen di depan Kakashi, yang diketahui sebagai dosennya.
"Kau belum ke kelas?"
"Saya harus mengantarkan Sasuke dulu."
Kakashi mengangguk paham. "Jangan sampai terlambat."
Naruto menarik lengan mungil Sasuke menjauh dan meninggalkan Kakashi yang terus menatap sosoknya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya yang tertutup masker. Tunggu, darimana mereka tahu kalau Kakashi tengah tersenyum dan bukannya menyeringai, huh?
Sebuah rahasia yang cukup diketahui oleh Kakashi sendiri adalah, ia mengagumi sosok mahasiswanya yang terkenal inosen dan cerdas itu. Ya, Naruto si Innocent Boy yang selalu didampingi setan kecil di sisinya, yang seolah menjadi pelindung dari orang-orang yang berusaha mendekati si Innocent. Kakashi tak terpengaruh. Toh, bukan level-nya bertarung dengan anak kecil itu. Atau, benarkah begitu?
"Aku tahu dosen itu menyukaimu, Naruto," ucap Sasuke yang tengah mengimbangi langkah lebar Naruto.
"Sungguh? Syukurlah, aku tidak ingin dosen itu membenciku."
"Baka," desis Sasuke pelan.
"Yah! Teme apa maksudmu? Jangan kaukira aku tidak dengar!" Naruto berhenti dan menatap pemuda mungil di sampingnya.
"Lupakan hanya pendapat tak penting dari anak kecil." Sasuke mengelak. "Cepat! Kau tidak ingin terlambat, 'kan?"
Sasuke melepaskan pegangan Naruto dan berjalan dengan tangan terlipat di belakang kepala meninggalkan sosok yang innocent –atau bodoh?– itu di belakangnya.
Ya, bagaimana tidak bodoh? Maksud Sasuke adalah Kakashi menyukai Naruto sebagai normalnya laki-laki, sementara Naruto menganggap itu hanya sebagai perasaan suka dosen dan mahasiswa? Poor Naruto –again! –_–"
Tapi, setidaknya dengan itu, Sasuke tahu, bahwa ia harus melindungi Naruto-nya, si Innocent Boy-nya.
Ya, dan sekarang pertarungan antara dosen dan bocah berusia sepuluh tahun untuk memperebutkan si Innocent Boy... dimulai!
.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG...
