Summary:
"Kau tidak pantas berada di keluarga Hyuuga!" | "Sudah tak ada yang lain." | "Lihatlah, TOU-SAN, aku bukanlah Hinata yang lemah." | "Ternyata mengasyikkan melakukan ini. Aku ingin yang lebih!"


"SILENT MURDERER"

Disclaimer:
All characters of Naruto belong to Masashi Kishimoto-sensei, the twin brother of Seishi Kishimoto

Warning:
Suspense, no lemon inside (maybe just implicit), Dark Hinata (I'm so sorry, Hinata lovers), Out of character, Alternate Universe

PART ONE


"Kau tidak pantas berada di keluarga Hyuuga! Sebaiknya kau pergi dari sini!" bentak Ayah padaku. Aku tercengang mendengar seruan Ayah. Air mata menggenangi pipiku, mengaburkan pandanganku.

"T-tapi T-Tou-san.. Ak-Aku—"

"Kami tidak pernah mentolerir orang lemah sepertimu," desis Ayah dingin, "Kau tidak pantas memanggilku 'Ayah'," Ayah menarik napas sebentar dan melanjutkan, "Mulai detik ini, aku hanya memiliki seorang anak bernama Hanabi."

Aku membelalak tak percaya. Apakah aku salah dengar? Baru saja Ayah mengusirku hanya karena masalah sepele. Hanya karena aku tak pernah bisa menguasai teknik tomoe nage dan kata gatame dalam permainan Judo yang berkali-kali beliau ajarkan padaku. Tidak. Itu bukanlah masalah sepele baginya. Itu adalah masalah besar.

"T-Tou-san, k-kumohon, ak-aku a-akan berusaha!" ucapku dengan bibir bergetar. Kulihat Ayah berdiri dan menatap jijik ke arahku. Aku pun merangkak untuk memeluk kakinya—meminta belas kasihan.

Ayah menendang aku dengan kasar sehingga aku terjerembab di tanah. Tak kuasa lagi kubendung air mataku.

'Ah, bodoh! Air mata ini akan membuat Tou-san semakin membencimu, Hinata!' seruku dalam hati kepada diriku sendiri.

"Kau menangis?! Cih!" Ayah mendecih lalu membuang ludahnya ke arahku, "Kau makin terlihat lemah dan hina. Kusarankan padamu untuk segera angkat kaki dari desa Hyuuga sebelum kau membuat aku menjadi seorang pembunuh." Kemudian Ayah—maksudku—Hiashi Hyuuga pergi meninggalkan aku yang berderai air mata.

Kemudian aku mengelap air mataku dengan kasar lalu berdiri tegap dan mendesis penuh kebencian, "Akan kubalas kau, Hiashi."

-xxx-

Di sinilah aku sekarang. Berjalan tersaruk-saruk di pinggiran Kota Konoha dengan sebuah ransel melekat di punggungku. Lapar. Kupegang perutku dan merasakannya berbunyi untuk segera diisi makanan. Ah, mengapa tak kuambil saja uang yang ditawarkan Hanabi?

Hanabi. Omong-omong soal Hanabi, aku mengingat ucapannya tadi. Bayang-bayang wajahnya yang berlinang air mata berkelebat dalam ingatanku.

"Hinata-nee, kumohon jangan pergi!" serunya saat itu, membuat perasaanku terasa tercabik-cabik.

"Mulai hari ini, aku bukan kakakmu lagi, Hana-chan. Hyuuga Hiashi sudah mengusirku," ujarku lembut sembari mengumbar senyum yang mati-matian kugunakan untuk menahan air mataku agar tidak tumpah.

"Kalau begitu, terimalah ini!" desak Hanabi sembari menyodorkan beberapa lembar uang.

"Tak usah Hana-chan. Gunakanlah itu untuk dirimu sendiri," ucapku yang sudah berhasil memasukkan beberapa pakaian ke dalam ransel. "Aku pergi dulu." Kukecup singkat dahinya dan aku pergi meninggalkan kamar dengan diiringi raungan memilukan yang keluar dari bibir Hanabi.

Aku menghela napas saat mengingat kejadian dua jam yang lalu itu. Hah? Dua jam? Apa itu artinya aku sudah berjalan selama dua jam?

"Yo!" seru seseorang di sebelahku. Aku tak sempat membalas sapaannya, karena rasa lapar yang kian menjadi itu membuatku kehabisan tenaga. Jangankan untuk membalas sapaannya. Untuk bernapas saja sudah untung aku bisa. "Sombong sekali!" ucap orang itu lagi.

Tanpa dikomando, tubuhku terhuyung dan berakhir di jalanan Konoha yang berdebu. Setelahnya rasa sakit yang amat sangat itu menyerangku dan membawaku ke alam bawah sadar.

-xxx-

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, dan yang pertama kali kulihat adalah langit-langit dengan corak indah dengan paduan warna hitam dan merah; dan juga lampu berwarna putih yang agak redup. Kudapati diriku tengah berbaring di ranjang king size, dengan selimut tebal berwarna hitam menyelimuti tubuhku hingga sebatas dagu.

Di mana aku?

Aku pun mendudukkan diriku di sudut ranjang dan menyibakkan selimut itu bersiap untuk turun, hingga kudengar suara pintu kamar mandi yang berada di salah satu sisi kamar itu terbuka, dan menampakkan sosok maskulin dengan kulit putih pucat, rambut sehitam burung black raven. dan bermata sekelam malam. Mata yang teduh. Namun menyembunyikan kekejaman di dalamnya.

Laki-laki itu melihatku dengan alis terangkat tinggi. Aku kembali meringkukkan tubuhku, dan menarik selimut, yang sudah berada di bawah kakiku, hingga mencapai dadaku. Orang itu pun berjalan mendekati dan duduk di dekatku, membuat aku menatap was-was ke arahnya.

"Yo!" kata orang itu sambil mengangkat sebelah tangannya dengan wajah stoic. Suara yang sama dengan suara yang menyapaku di jalanan tadi. "Siapa namamu?"

"H-Hi-Hinata," jawabku gelagapan, dengan tangan mencengkeram selimut dengan erat.

Laki-laki bermata hitam itu memegang tanganku dan menariknya pelan, mengisyaratkan agar aku tak perlu khawatir.

"Hanya Hinata?" tanya laki-laki berparas tampan itu.

Bibirku hampir saja membuka untuk mengucap 'Hyuuga Hinata', namun kukurungkan niatku dan aku hanya memberikan gelengan samar sebagai tanggapan atas pertanyaannya.

"Tidak ada?" tanyanya dengan alis terangkat dan kubalas dengan anggukan. Pria itu mengerutkan keningnya dan bertanya lagi, "Kulihat dari matamu, kau Hyuuga, ya?"

"Y-ya. S-sampai hari i-ini..." timpalku setengah berbisik.

"Hn. Kurasa aku mengerti," ucapnya dengan nada simpatik, "Aku Uchiha Itachi. Douzo yoroshiku!" Ia pun tersenyum ramah padaku membuat aku merasa sedikit lebih tenang.

"Kochira koso yoroshiku!" balasku ramah.

"Um, ke mana tujuanmu? Biar kuantar," tanya Itachi padaku.

Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. Sebenarnya tak ada tujuan pasti yang jadi arah perjalananku. Jadi aku hanya menggeleng pelan dan menunduk.

Melihat perubaha ekspresi dalam wajahku, Itachi menepuk kepalaku, tersenyum, dan berkata, "Kalau begitu, selamat datang di tujuanmu!"

Aku tertegun mendengar ucapannya. Apa maksudnya?

"Mulai hari ini, kau boleh tinggal bersamaku. Dan mulai hari ini namamu kuganti menjadi Uchiha Hinata. Bagaimana?" lanjut Itachi, seakan mengerti yang ada di pikiranku, dengan wajah kembali datar. "Tenang, aku akan membiayai segala keperluanmu."

"A-aku—"

"Ssh... Kuanggap kau setuju. Sekarang, sebagai upah untukku, ceritakan alasanmu kabur dari rumah," kata Itachi.

Saat aku hendak membuka mulut untuk menceritakan segala yang terjadi, rasa sakit menyerang perutku. Ah, aku masih lapar. Tanganku pun mulai menekan perutku—menahan rasa sakit—dan aku mulai mengerang kesakitan.

"Hey, kau baik-baik saja?" tanya Itachi dengan satu tangan menyentuh pundakku.

"Go-gomen na sai, Itachi-san, a-aku ak-akan menceritakannya... Rrh.. T-tapi... Ah, s-setelah kau m-memberi a-aku makan," erangku dengan kedua pipi merona merah.

Itachi mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Kau lapar?" tanyanya dengan raut wajah keheranan.

"I-iya... Jika k-kau ti-tidak k-keberatan," sahutku malu-malu.

-xxx-

"Bagaima? Sudah siap bercerita?" tanya Itachi dengan dua alis terangkat tinggi sambil menatap geli ke arahku yang sedang makan.

"Eh, i-iya, I-Itachi-san," ucapku dengan suara yang sangat amat pelan setelah meneguk segelas air.

"Kalau begitu, ceritakanlah!" timpal Itachi sambil meletakkan kepalanya di atas meja, dan memandangku dengan tatapan kau-harus-menceritakannya-sekarang-atau-aku-akan-mengusirmu.

Cerita yang sangat memuakkan itu pun mengalir begitu saja dari bibirku—tanpa kegagapan. Tanpa sadar, aku mengepalkan kedua tanganku dan memukulkannya beberapa kali ke meja makan—membuat benda-benda di atasnya ikut bergerak. Tak kusadari juga kuluapkan segala emosi dalam ceritaku, sehingga suaraku terdengar amat lantang dan menggebu-gebu. Hingga ketika ceritaku mencapai akhirnya, kurasakan air mataku mulai meleleh membasahi pipiku.

Bodoh. Mengapa di saat-saat seperti ini aku justru menunjukkan kelemahanku?

Tiba-tiba kurasakan ada beban tambahan di pundakku. Aku mendongak dan mendapati Itachi yang tengah merangkulku, tersenyum lembut dan memandangku hangat dengan mata hitam kelamnya.

"Sekarang apa yang ingin kau lakukan?" tanya Itachi padaku.

Aku menghela napas perlahan dan berkata dengan sangat geram, "Aku ingin membalas Hyuuga Hiashi."

Itachi tersenyum miring—setengah menyeringai. "Aku akan membantumu," ucapnya singkat sembari mengecup dahiku.

Alih-alih merona merah karena dicium Itachi, wajahku justru memancarkan aura kegelapan.

-xxx-

"Hina-chan! Bangun! Ayo kita mulai latihan pertama!" seru Itachi sembari mengguncang tubuhku yang masih berbaring setengah tidur di ranjang.

"Latihan apa?" tanyaku lemas sambil menguap lebar-lebar.

"Bukannya kemarin kau bilang, kau akan membalas mantan ayahmu?" tanya Itachi sambil tetap mengguncang tubuhku.

Aku pun melenguh pelan, dan mulai bergerak untuk meregangkan otot-ototku yang kaku akibat tidak digerakkan semalaman, dan akibat perjalanan jauh yang kulakukan kemarin.

"Ohayou, Itachi-san!" ujarku pelan saat sudah benar-benar bangun, sambil tersenyum.

Itachi pun naik ke tempat tidur dan memposisikan dirinya di atasku dengan dua tangan di sebelah telingaku untuk menyangga tubuhnya. Kurasakan wajahku memanas saat laki-laki tampan itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bisa saja aku berteriak, karena dalam keluarga Hyuuga, hal ini sangatlah tidak sopan. Tapi peduli setan, aku bukan lagi seorang Hyuuga.

"Sampai kapan kau akan memanggilku dengan embel-embel 'san'?" tanya Itachi sambil tersenyum. Ia semakin mendekatkan wajahnya dan melanjutkan, "Panggil aku 'Itachi-kun'!" kemudian ia mengecup bibirku cukup lama.

-xxx-

Aku banyak melamun sepanjang latihan pedang pertamaku ini. Berkali-kali bayang-bayang Itachi yang mencium bibirku melintas di benakku. Memang itu bukan ciuman pertamaku, karena aku pernah dicium oleh sepupuku—yang notabene bernama Neji—sepuluh tahun yang lalu ketika aku masih berusia delapan tahun.

"Hina-chan, pegang pedang itu dengan kuat. Jangan lengah. Aku bisa menyerangmu kapan saja!" seru Itachi, membuyarkan lamunanku.

"G-gomen ne, Itachi-kun," kataku dengan suara teramat pelan dan pipi semerah tomat. Aku pun memperbaiki cara memegang pedangku dan mencoba fokus pada latihan pertama ini. Aku sudah bertekad dalam hati untuk membuang jauh-jauh kelemahanku, dan tidak membiarkan Itachi melihat sisi lemahku.

"Berhati-hatilah. Biarkan lawanmu menyerang dahulu, lalu menghindar seperti ini, dan..." Itachi membuat gerakan menebas kepala lawan, "Kau membunuh satu lawan."

Aku mengangguk mengerti dan mulai mengikuti gerakan yang sudah dicontohkan oleh Itachi. Melihat gerakanku yang masih sangat payah, Itachi tertawa pelan, lalu mulai berjalan ke belakangku. Kemudian, Itachi mengatur posisi tangan dan kuda-kudaku dari belakang. Aku merasakan pipiku memanas saat kulitnya bersentuhan dengan kulitku dalam posisi memelukku.

Sekitar dua jam kami—ah, mungkin lebih tepatnya 'aku'—berlatih, aku sudah cukup menguasai beberapa gerakan seperti cara menangkis serangan, dan mengantisipasi gerakan lawan dengan gerakan-gerakan antisipasi yang tak terduga. Beruntung aku tidak mengeluarkan kelemahanku dalam latihan ini. Mungkin karena aku terlalu bersemangat untuk melakukan hal yang sangat ingin aku lakukan saat ini.

Membunuh Hyuuga Hiashi.

-xxx-

"Minumlah," kata Itachi sambil menyerahkan segelas teh hijau dan duduk di sebelahku. Ia menyeruput teh hijau miliknya sendiri dan berkata, "Perkembanganmu sangat cepat. Aku jadi meragukan kata-kata Hiashi bahwa kau lemah."

Aku mengangkat bahuku dan tertawa pelan. "A-ah. I-itu. K-kebetulan saja," ujarku malu-malu.

"Tidak mungkin. Aku tahu kau sebenarnya memiliki sisi kuat yang tidak kau sadari," timpal Itachi berusaha meyakinkanku.

"Y-yah, mu-mungkin saja. T-tetapi mungkin s-saja i-itu karena I-Itachi-kun yang mengajarkanku," kataku.

Itachi menepuk dan mengusap-usap rambutku, terkekeh pelan, dan berkata, "Apakah itu berpengaruh?"

Aku mengangguk dengan pasti, mengundang tawa Itachi. Mendengar tawanya, aku pun ikut tertawa bersamanya. Tidak ada salahnya, kan berbahagia? Jarang-jarang aku bisa tertawa seperti ini jika sedang berada di antara anggota keluarga Hyuuga yang lainnya. Yah, kita sama-sama tahu bagaimana Hyuuga Hiashi memperlakukanku, membuatku merasa tertekan. Sesungguhnya ada rasa syukur dalam hatiku saat Hiashi mengusirku dan mencabut nama keluargaku dengan semena-mena. Karena jika tidak demikian, aku tak bisa bertemu pria tampan bernama Itachi.

Sial. Apa yang kau pikirkan, Hinata?

"Itachi-kun, apakah kau tinggal sendiri di sini?" tanyaku tiba-tiba, saat tawa kami mereda.

Wajah Itachi tampak menegang. Ia menatap ke arahku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Antara kebencian, kesedihan, dan... rasa bahagia. Kemudian ia berdeham dan menjawab dengan ringan, "Sudah tak ada yang lain."

"M-maksud Itachi-kun?" tanyaku bingung.

"Sebenarnya masih ada adikku, namanya Sasuke. Namun ia sedang pergi ke Sunagakure untuk belajar," tutur Itachi untuk menjelaskan.

Penjelasan itu masih terlalu ambigu untukku. Aku tidak mengerti apa maksudnya, dan masih menginginkan penjelasan yang lebih. Entah mengapa debar jantungku tak dapat kutahan saat menantikan jawaban dan penuturan lebih dari Itachi. Aku membulatkan mataku menatapnya dengan pandangan horror. Itachi tampaknya mengerti dengan pandanganku. Ia mengeraskan rahangnya dan menjawabku.

"Aku telah membunuh semuanya."

To be continued


KWKWKWKWK KENAPA AKU HADIR DENGAN ITAHINA?!

WAH, INI FICTION RATE M PERTAMAKU LOH :D Eh, tapi di sini gak ada lemon loh ;) jangan harap yaaa yang otaknya MESUUUUM! xD *Digetok readers* gaktau aja authornya hentai parah *diceburin ke empang*.

Haaah, yasudahlah.. liat aja kelanjutannya yaaah kalo emang tertarik. Jangan lupa RnR! Arigatou!