Cast : find by yourself
Warning! 18+
.
.
.
PYARR!
Suara barang pecah terdengar dari salah satu ruangan di sebuah rumah mewah. Seseorang yang berada di ruang kamar bagian atas tersentak kaget.
"Papah!" wanita setengah baya namun belum terlihat tua tersebut langsung menghentikan aktifitas berdandanya di kamar lalu turun menuju asal suara pecahan tadi. Hanya ada sepasang suami istri saja di rumah mewah itu. Anak semata wayangnya sedang kuliah saat ini. Jadi pantas saja wanita itu langsung fokus ke suaminya.
"Papah! Papah! Papah dimana?" wanita itu berteriak sambil mencari sumber suara disetiap ruangan.
"Ya Tuhan! Papah! Bangun pah! Papah!" ia menemukan suaminya tergeletak lemas di dekat kulkas yang berada di pojok dapur. Wanita itu meletakkan kepala suaminya di atas pangkuannya. Jeonghan panik, ia tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya bisa menangis dan berusaha meyadarkan suaminya.
"Papah sabar ya. Ya Tuhan bagaimana ini?" Jeonghan masih saja berpikir kepada siapa ia harus meminta pertolongan. Namun isakan tangisnya membuat ia gagal menemukan ide. Ia ingin meminta bantuan kepada tetangganya, namun ia tidak mau meninggalkan suaminya sendirian disana. Tanpa berpikir panjang, Jeonghan merogoh hp nya di kantong sweaternya. Lalu menekan angka 2 untuk panggilan cepat pada anak angkat semata wayangnya.
"Halo." seseorang disana mengawali pembicaraan.
"Halo, Mingyu-ya!" terdengar suara bising di luar sana. Tawa beberapa teman gadis dan laki-lakinya juga terdengar di telinga Jeonghan. Namun ia mengabaikan apa yang sedang dilakukan oleh Mingyu.
"Mamah ada apa mah? Mamah kenapa menangis?"
"Cepat pulang, Gyu! Papah pingsan!"
"Papah pingsan? Ta.. tapi mah, aku baru saja sampai di rumah temanku mah."
"Apa kamu tidak merasa kasihan dengan papah? Eoh?"
"Baiklah mah. Aku akan segera pulang. Tunggu ya mah." Mingyu langsung mematikan teleponnya.
15 menit kemudian Mingyu sampai di rumah.
"Mamah! Mamah dimana mah!" Mingyu mencari keberadaan Jeonghan di setiap ruangan. Jeonghan yang sedari tadi menangis, mendengar teriakan Mingyu.
"Mamah disini, Gyu! Di dapur!" isakan tangisnya semakin membuat kepala Jeonghan sedikit pusing. Mingyu menemukan mereka di dapur. Ia langsung melemparkan tasnya asal.
"Papah! Papah bangun! Mah sebenarnya ada apa mah?" Mingyu memindahkan kepala Seungcheol ke pangkuannya.
"Mamah juga tidak tahu. Tiba-tiba papah pingsan."
"Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja mah."
"Iya, Gyu. Cepat!" Mingyu menggendong Seungcheol menuju mobilnya, diikuti Jeonghan di belakangnya.
Di ruang tunggu, hanya terlihat dua orang yang duduk disana.
"Mah, sudahlah jangan menangis terus. Kita harus yakin kalau papah pasti sembuh." Mingyu memeluk Jeonghan. Menenggelamkan wajah Jeonghan pada dada bidangnya. Terus berusaha menenangkan Jeonghan agar dia berhenti menangis. Sebenarnya Mingyu juga tidak tahan untuk membendung air matanya. Namun ia ingin terlihat tegar di hadapan mamahnya.
"Mingyu-ya.." panggil Jeonghan dengan suara lirih dibarengi isakan tangisnya.
"Iya mah?" Mingyu melihat jelas wajah sembab yang terlukis jelas di wajah beliau. Namun Jeonghan tidak memberi tatapan umpan balik kepada Mingyu.
"Mamah takut kehilangan papah.." tangisan Jeonghan semakin berat dan semakin susah untuk bernapas.
"Ssstt! Mamah.. Mamah gak boleh ngomong seperti itu mah."
"Ta.. tapi pe~" Jeonghan belum sempat melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan dimana Seungcheol dirawat.
"Saudari Jeonghan!" panggil dokter tersebut. Mingyu dan Jeonghan bangkit mendekati sang dokter.
"Bagaimana keadaan papah saya dok?" Mingyu mewakili Jeonghan karena beliau masih sulit untuk berbicara.
"Ayah anda terkena serangan jantung. Namun maafkan kami, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi takdir berkata lain." tangan kanan sang dokter menepuk-nepuk pelan pada lengan kiri Mingyu. Hanya ada satu pertanyaan yang setia mengelilingi otak Mingyu, "Papah meninggal."
"Maksud dokter apa dok!" Mingyu meninggikan volume suaranya. Bibirnya mulai menurun, namun ia menahannya. Retina matanya pun sudah tampak jelas terpenuhi oleh benih-benih air mata yang akan segera turun membasahi pipinya. Dan Jeonghan hanya bisa menyembunyikan wajahnya di dada Mingyu sambil terus menangis hingga kaos yang Mingyu pakai basah.
"Sekali lagi maafkan kami. Saudara Choi Seungcheol sudah meninggal dunia." air mata yang sedari tadi Mingyu simpan akhirnya jatuh juga. Mingyu memberikan sedikit belaian kasar pada rambut Jeonghan, berharap agar Jeonghan tenang disaat mendengar kalimat yang diucapkan dokter tadi.
"Tolong jangan bercanda dok! Tidak mungkin papah meninggal!"
"Saya tidak berbohong. Kamu harus menerima kenyataan nak."
"Tidak mung~ Mamah? Mah? Mamah?" Mingyu terkejut. Tiba-tiba tangisan Jeonghan berhenti, tangan Jeonghan yang sedari tadi setia memeluk pinggangnya kini menggantung lemas, dan beban tubuh Mingyu terasa berat dua kali lipat. Dengan cepat Mingyu melepaskan pelukannya dan menjauhkan wajah Jeonghan dari tubuhnya. Ia melihat mata Jeonghan terpejam. Wajahnya yang penuh kesedihan kini berubah menjadi tenang. Jeonghan pingsan.
"Mah! Mamah bangun! Mamah!" Mingyu menggoyang-goyangkan pipi Jeonghan.
"Sebaiknya kita bawa di ruang rawat. Mari saya bantu." ucap sang dokter sambil mengulurkan tangannya untuk membantu menggendong Jeonghan.
"Tidak usah Dok! Biar aku saja."
"Baiklah." Mingyu mulai mengangkat tubuh Jeonghan dan membawanya mengikuti dokter tersebut.
Sampailah Mingyu di ruang rawat yang ditujukkan oleh dokter tadi. Mingyu meletakkan Jeonghan secara perlahan di tempat tidur.
"Kamu tunggu diluar dulu ya. Biarkan saya memeiksa mamahmu dulu."
"Baik dok." Mingyu keluar meninggalkan ruangan. Ia duduk sejenak untuk menenangkan diri. Ia bingung harus berbuat apa lagi. Kini ia hanya memiliki seorang ibu. Sudah tidak ada lagi seseorang yang bisa menemaninya begadang nonton bola lagi.
"Sebaiknya aku melihat keadaan papah dulu." ucapnya dalam hati. Mingyu berlari menuju ruangan Seungcheol. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu yang dilengkapi dengan jendela kecil di tengah. Sehingga ia bisa melihat seorang ayah yang kini sudah tidak bisa mengajaknya berbicara lagi. Ia membuka knop pintu perlahan. Melangkahkan kakinya yang lemas mendekati Seungcheol.
"Papah.." sekali lagi air matanya jatuh membasahi pipinya. Mingyu benar-benar tidak tega melihat wajah Seungcheol yang terlihat pucat namun damai. Mingyu memeluk tubuh Seungcheol sejenak lalu melepaskannya lagi.
"Kenapa papah meninggalkanku dan juga mamah? Kenapa pah? Kenapa secepat ini?" Tangisan Mingyu semakin berat. Ia menggenggam erat tangan kanan Seungcheol.
"Mamah masih membutuhkan papah. Akupun juga masih butuh papah. Maafkan aku pah, aku belum bisa membahagiakan papah. Aku akan selalu mendoakan papah. Dan juga.."
"Aku berjanji akan menjaga mamah dengan baik."
"Semoga papah tenang disana." Mingyu mencium kening Seungcheol lalu pergi meninggalkannya. Mingyu kembali menuju ruangan Jeonghan. Ia langsung memasuki ruangan itu. Karena ia pikir pemeriksaan mamahnya sudah selesai.
"Mamah.." Mingyu melangkahkan kakinya menuju ke arah Jeonghan. Terlihat wajah Jeonghan yang masih di alam bawah sadarnya. Ia mengusap lembut rambut Jeonghan sesekali ia memijat tangan kiri Jeonghan. Tidak lama kemudian telapak tangan yang dipijat oleh Mingyu bergerak sedikit demi sedikit. Mingyu yang tertunduk, langsung mengangkat wajahnya. Melihat ke arah Jeonghan. Mata Jeonghan terbuka secara perlahan.
"Mamah.. Mamah sudah sadar." senyum lebar tampak jelas di wajah Mingyu. Ia menggenggam erat jari-jari tangan Jeonghan.
"Mamah ada dimana Gyu?" Jeonghan masih terlihat linglung. Ia masih berusaha untuk membiasakan keadaan sekitar.
"Mamah tadi pingsan, lalu dokter membawanya kemari."
"Papah! Papah mana papah! Papah dimana Gyu!" Tiba-tiba Jeonghan teringat oleh Seungcheol. Jeonghan meronta-ronta ingin bertemu Seungcheol. Ia memaksakan tubuhnya untuk bangkit dan melepas infus yang menempel di tangannya sambil menendang selimutnya.
"Yak! Yak! Mamah hentikan! Hentikan!" Mingyu menahan tubuh Jeonghan sekuat tenaga. Mencengkeram kedua lengannya agar Jeonghan berhenti meronta.
"Mamah ingin melihat keadaan papah Gyu.. Lepaskan mamah!" air mata Jeonghan kembali mengalir.
"Dengarkan aku mah! Mamah baru saja siuman. Tubuh mamah masih lemas. Mamah harus banyak istirahat dulu!" Mingyu berhasil menjinakkan Jeonghan.
"Tapi.. Papah.."
"Papah sudah meninggal mah. Apa mamah tidak ingat apa yang dikatakan dokter tadi?"
"Hiks.. hiks.. papah.. hiks.." tangisan Jeonghan semakin berat.
"Mamah.. Sudah mah.. mamah harus ikhlas. Kalau mamah nangis terus, papah juga ikut sedih disana." Jeonghan hanya mengangguk paham apa yang dikatakan Mingyu. Mingyu benar, ia harus belajar untuk ikhlas melepas kepergian Seungcheol.
Mingyu bangkit dari duduknya lalu memeluk tubuh Jeonghan.
"Tadi aku sudah melihat jasad papah. Mungkin sekarang papah sedang diotopsi."
Next?
