Kau tidak bisa menatap matanya, kau pun sulit untuk meraihnya. Ia memanggil namamu, suaranya yang begitu kau sukai terdengar menyenangkan di telingamu, bergema di gendang telingamu dengan lembut. Kau menyahut, kembali memanggil namanya dengan suara yang bergetar karena gugup. Ia tersenyum dengan senyum yang membuat dirimu tidak bisa berpaling dari wajahnya.
Ia kembali tersenyum hangat, membuatmu ingin sekali meraihnya. Namun ia begitu pendiam, hingga membuatmu begitu penasaran akan sikapnya itu.
Hingga kau tersadar, cahaya itu berada di matanya.
.
.
Light Is In Your Eyes
Story by Titania aka 16choco25
K-ON!©kakifly
.
.
After School Teatime adalah dimensi baru dari kehidupan seorang Akiyama Mio. Bersama Hirasawa Yui, Tainaka Ritsu, dan Kotobuki Tsumugi, ia mengawali karirnya, karir bermusiknya dengan membentuk band itu dengan posisinya sebagai bassist.
Namun setelah mereka lulus bersamaan dari sekolah menengah, terasa banyak hal yang terjadi.
Yui pergi meneruskan kuliah bermusiknya ke Osaka. Ritsu pergi ke Hiroshima, mengambil kuliah jurusan sejarah. Dan Tsumugi—terlebih karena faktor ia yang berada di lingkungan keluarga berada dan Mio tahu benar bahwa gadis itu begitu ingin mengenal kehidupan orang biasa, maka itu Tsumugi mengambil kuliah jurusan sosial di luar negeri.
Dan Mio sendiri tetap di Tokyo. Tetap sibuk bermain bass seperti biasanya. Dan mencoba menulis beberapa lagu, walau ia sendiri agak kurang yakin dengan kemampuannya sendiri. Sejak hubungan antara personil After School Teatime melonggar, ia semakin kesepian. Dan Mio merasa hubungan mereka semakin aneh. Ia sendirian.
Bila dihubungi, Ritsu, Yui, atau Tsumugi—terkadang mereka tidak bisa mengangkat, atau tidak sengaja tidak mengangkat, dan mereka sibuk. Mereka terlalu sibuk dengan urusannya sehingga tidak mementingkannya. Mereka tenggelam dalam dunia baru yang mereka jalani. Dunia milik sendiri. Kalau dihitung-hitung, sudah nyaris setahun mereka tidak bertemu.
Dan Mio selalu sendirian di Tokyo. Ia mengisi waktu luangnya dengan bekerja sambilan sebagai pengajar musik di sebuah sekolah menengah. Hari ini adalah hari pertamanya mengajar. Ia merasa lelah. Gadis berambut panjang itu begitu lelah. Ia baru saja selesai mengajar di sekolah itu dan baru pulang jam tiga sore tadi. Sekarang ia menyendiri di taman belakang sekolah. Musim semi adalah kebahagiaan, mengingat sakura yang baru bermekaran. Ia biasa menyeduh teh hijau dan menyantap bekalnya di bawah pohon sakura. Tapi kali ini, ia buru-buru berlari dengan cepat.
Awan hitam memenuhi langit Tokyo. Gemuruh kecil mulai bergetar di gendang telinga Mio. Beberapa orang di sekitarnya sudah membawa payung beraneka warna. Tetes-tetes air mulai berjatuhan. Udara tiba-tiba saja menjadi dingin. Ia merapatkan jaket merah yang dikenakannya. Kalau sudah begini, ia akan sulit pulang. Ia mengaduk-aduk tasnya sambil berlari, bola matanya menyusuri setiap sudut tasnya, mencari payung.
Nihil. Tak ada payung. Terpaksa ia berlari ke gedung tua di depan taman, sebelah stasiun kereta. Menadahi kepalanya dengan tas. Menunggu hujan itu selesai. Ia melirik ke atas atap gedung, dan melihat tetesan air berjatuhan dengan semakin cepat. Hujan itu begitu deras. Gemuruh memenuhi telinganya. Air mulai mengenang di pinggir jalan. "Lama sekali," gerutunya.
Ia melihat ke sekelilingnya. Tidak ada kendaraan yang lewat. Taksi yang lewat saja selalu sudah ada yang mengisi. Ah, kali ini hujan begitu menyebalkan.
"Senpai."
Ia menoleh. Kaget. Lelaki anak sekolah menengah. Seragam itu—seragam sekolah menengah yang diajarnya. Rambutnya hitam rata dengan poni depan keningnya. Tingginya sekitar seratus tujuh puluhan sentimeter—sedikit lebih tinggi darinya. Iris hitam tersembunyi di balik kacamata hitamnya. Jaket abu-abunya basah karena hujan. Tunggu dulu—barusan ia memanggil Mio—senpai?
Berarti—anak lelaki ini mengenalnya? Kening Mio berkernyit. Alisnya sedikit terangkat. "Maaf, siapa?" tanyanya dengan nada bingung. Ia benar-benar tidak tahu siapa sosok di hadapannya ini.
"Senpai baru saja masuk ke kelasku satu jam yang lalu," jelas lelaki itu kalem. "Kelas 3-1?" Ia berusaha mengingatkan. Mata Mio langsung membulat. Ia akhirnya ingat, anak lelaki ini, ketua kelas 3-1 yang baru sejam yang lalu ia ajar. "Ah, kau ketua kelas 3-1. Maaf, pengalaman pertama mengajar. Aku terlalu sibuk sehingga melupakan banyak hal." Ya, tidak salah lagi. Anak ini memang anak yang ia lihat di kelas 3-1 tadi.
"Senpai tidak pulang?"
Mio menggeleng. "Ti-tidak. Hujannya terlalu deras. Aku tidak bisa pulang."
Anak lelaki itu menyodorkan payung berwarna hitam. "Ini," katanya. Tangan Mio meraih payung hitam itu ragu-ragu. "Untukku?" tanya Mio balik. Lelaki itu mengangguk tanpa ekspresi. Mata hitam dibalik kacamata itu menengadah, menatap rintik-rintik air hujan yang berjatuhan dari atap. Mio yang jadi merasa tidak enak melihat ekspresi lelaki itu.
"Kau sendiri bagaimana?" Bagaimana pun Mio tidak mau merepotkan orang lain. Apalagi di tengah hujan deras seperti ini. Lelaki itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku masih bisa menyetop taksi yang lewat. Lagipula uangku pun cukup." Lelaki itu menepuk tasnya dengan riang. Ia menatap jalanan. Masih saja begitu, setiap taksi yang melewatinya selalu ada penumpangnya. Selalu begitu.
Mio menatap lelaki itu. "Siapa namamu?"
"Aragaki Ikuya." Ikuya tersenyum sambil mengulurkan tangan ramah. Tangan itu langsung Mio sambar. Mio melirik payung di tangannya dan hujan yang semakin deras. Mio masih ragu. Ikuya nampaknya masih menyadari keraguan Mio, dan lelaki berkacamata itu hanya tersenyum kecil. "Bawa saja, tidak apa-apa."
"Terima kasih." Mio tersenyum. Ia langsung berlari menerjang hujan dengan payung di tangannya. Ia berbalik, menatap Ikuya dari kejauhan. "Kukembalikan besok!" teriaknya. Anak lelaki itu mengangguk, menatap gadis berambut panjang yang hanya berbeda usia setahun dengannya itu dari kejauhan. Rambut hitamnya tertutupi payung hitam yang ia berikan. Gurunya, atau tepatnya gadis yang ia kagumi sejak pertama kali mengajar di kelasnya pagi itu.
Akiyama Mio.
.
.
Kacamata Ikuya sedikit berembun. Pagi ini ia melihat guru pendamping sementaranya, di depan ruangan sepi di pinggir koridor. Banyak temannya sudah membicarakan kehadiran guru pendamping baru itu dan Ikuya begitu penasaran. Jaket abu-abu, sepatu hitam, dan ikat pinggang hitam. Ikuya mempercepat langkahnya dua kali lipat lebih cepat daripada biasanya, sehingga guru baru itu tidak melihatnya. Sudah ia duga, guru itu tidak memedulikannya, dan ia sendiri tidak bisa tidak peduli. Langkah sepatu Ikuya berderap melewati ia yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dasi pita itu melingkari lehernya, Ia menggunakan syal sebagai pelengkap penampilannya. Syal kotak-kotak. Rambut hitamnya terurai ke belakang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan apa adanya.
Guru pendamping sementara baru itu begitu dingin. Kacamata Ikuya mengarah padanya, sejak pertama kali melihatnya di ujung koridor sekolah. Ikuya mengamatinya, mengamati hal-hal apa saja yang membuatnya begitu diam dan tenang. Bagi Ikuya, sosok Akiyama Mio yang baru saja dilihatnya pagi ini sangat mirip dengan ibunya. Ia tahu benar sikapnya seperti apa. Dari yang jarang hingga sering dilakukannya. Dari yang umum hingga detail terkecil. Dan sikap pendiamnya itu semakin membuat Ikuya penasaran pada senpai berambut panjang itu.
Ia terlihat seperti pribadi yang menutup privasinya sendiri, namun bagi Ikuya—ia sedikit terkesan pribadi yang cukup ramah pada orang lain. Bagi Ikuya, Mio adalah gadis misterius yang menjadi teka-teki yang mengasyikkan. Membuatnya memeras otak hingga dirinya merasa lelah. Sikap diamnya adalah hal menarik dari sosoknya. Ikuya mendapatinya sibuk dengan buku-buku teori musiknya, tidak seperti guru lain yang saling mengobrol satu sama lain. Ia seakan menutup dari para guru. Padahal ia guru juga, bukan? Seharusnya ia berinteraksi dengan guru-guru lainnya. Apalagi ia guru baru.
Mata Ikuya mungkin sudah berubah menjadi titik karena bosan—namun akibat rasa ingin tahunya yang menggelegak ini mendesaknya untuk mempertahankan kelakuan anehnya ini, memandangi aktivitas guru baru itu. Guru baru itu duduk, menyilangkan kakinya, dan matanya sibuk menyusuri kata demi kata yang ada di buku tebalnya itu. Dan sebenarnya hal itu membosankan, namun Ikuya malah merasa tertarik.
Dan jujur saja—sosok Mio memang sudah membuatnya kagum sejak awal mereka bertemu. Ia berbeda.
"Selamat siang, mulai hari ini hingga enam bulan ke depan, saya akan mengajar musik di sekolah ini. Perkenalkan, nama saya Akiyama Mio." Kata-kata senpai itu begitu ia ingat, saat pertama kali memasuki kelasnya, kelas 3-1. Suasana kelas langsung ribut, begitu melihat senpai yang penampilannya manis seperti Mio—siapa sangka bahwa mereka akan didampingi guru pendamping yang hanya berbeda setahun dari mereka? Saat itu Ikuya menopangkan dagunya, melirik Mio yang berdiri tegak di depan kelas layaknya seorang murid baru.
"Senpai alumni sekolah ini?"
"Senpai bassist After School Teatime, bukan?"
"Eh? Band sekolah tahun lalu itu?"
"Vokalisnya Hirasawa Yui, bukan?"
"Sudah punya kekasih belum, Senpai?"
Gadis berambut panjang itu buru-buru menenangkan mereka, murid-murid barunya yang semakin ribut dengan wajah gugup. "E-eh… Ya, benar. Saya alumni sekolah ini, dan saya juga bassist dari band sekolah ini tahun lalu, kami tampil di acara kelulusan. Tentu saja kalian masih ingat. After School Teatime. Dan untuk pertanyaan terakhir… umm. Saya belum tertarik untuk menjalin hubungan serius, saya masih lajang."
Sorak-sorai para murid lelaki langsung terdengar dengan ricuh. Sepertinya itu berita baik bagi mereka.
"Kenapa nama band Senpai After School Teatime?" Seorang siswa dengan rambut pendek sebahu mengangkat tangannya. Mio memajukan dagunya. "Hm, begini. Nama itu dipilih karena—saat itu kami sering berkumpul di ruang ekskul dan minum teh bersama-sama usai pulang sekolah," jelas Mio dengan nada menyakinkan. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di papan tulis, meraih kapur dan mulai menulis.
Kalimat dengan huruf besar. Music Test.
"Sebenarnya saya mendapat perintah dari Yamanaka-san." Mio menarik napasnya dalam-dalam. "Beliau bilang, kalian akan mendapat giliran tes untuk nilai pelajaran musim semi. Kalian berkelompok, masing-masing kelompok terdiri dari dua orang dan segera memilih lagu untuk ditampilkan. Satu orang bernyanyi dan satu orang lagi bermain alat musik. Bagi yang mendapat nilai besar, Yamanaka-san bisa merekrutnya ke dalam klub musik. Bagaimana?"
Sorak-sorai ricuh kembali melengking, sorak-sorai kecewa. Tes itu begitu mendadak. Murid-murid buru-buru membentuk kelompok masing-masing dan tiba-tiba seorang siswa laki-laki berkacamata mengangkat tangannya. "Senpai, aku tidak dapat kelompok." Mio buru-buru menghampiri murid-murid yang sedang sibuk membentuk kelompok. "Ada yang belum mendapat kelompok?"
Seluruh siswa memandang Mio dan anak laki-laki berkacamata itu kaget.
"Mustahil? Ketua kelas belum dapat kelompok?"
"Ketua kelas?!"
Ah, jadi anak lelaki ini ketua kelas ricuh ini. Di tengah-tengah kericuhan itu, Mio tidak tahu harus berbuat apa lagi.
"Ngg... Kelas kami secara keseluruhan siswanya ganjil. Tidak bisa membentuk kelompok dengan dua orang, sisanya satu siswa yang harus bekerja sendiri." Anak laki-laki itu buru-buru menyela. Mio tertunduk kesal. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" rutuknya. "Bagaimana, ya. Apa kau bisa tampil sendiri? Sebab, saya tidak mau melanggar perintah Yamanaka-san. Begini, kau tampil sendiri saja. Bagaimana?"
Anak laki-laki itu mengangguk. "Boleh. Tapi dengan syarat, nilai saya tidak seperti murid lain yang berkelompok. Bagaimana?"
"Baiklah." Mio mengulurkan jempolnya.
.
.
Mio sudah berusaha sebaik mungkin. Hari ketiganya mengajar, paling tidak sudah ada empat kelompok yang maju tampil ke depan. Ia mengitarkan pandangannya ke seluruh kelas. Sebelum mulai mengajar, ia menghampiri meja Ikuya. Ia menyodorkan payung hitam yang dipinjamkan Ikuya kemarin. "Terima kasih." Ia tersenyum. Ikuya hanya mengangguk, sambil memperhatikan penampilan Mio hari ini.
Kali ini terusan abu-abu, rok abu-abu gelap, serta syal kotak-kotak abu-abu putih. Sehari yang lalu Mio adalah si merah, cardigan merah, kaos putih sebagai dalaman, rok merah gelap, dan jepit rambut merah. Ikuya bisa melihatnya, dia gadis yang modis. Ia punya selera berbusana yang baik. Ia selalu menyenadakan penampilannya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penampilannya adalah daya tarik keduanya setelah sikapnya yang pendiam itu.
Ikuya tidak bisa beralasan bila ia memang sangat mengagumi Mio. Ia mengaguminya—namun Ikuya hanya berani menatap sosoknya dari kejauhan. Menatap gerak-geriknya dari kejauhan. Ikuya bahkan tidak berani sedikitpun untuk menyapa Mio selayaknya murid menyapa gurunya. Bahkan dua hari yang lalu saja, saat Ikuya menawarkan payung, ia harus benar-benar memberanikan dirinya. Ia harus memberanikan dirinya menatap senyum Mio. Ikuya harus berusaha keras untuk menyebut namanya. Baginya seorang Akiyama Mio dapat dengan begitu mudahnya membuatnya merasa begitu salah tingkah. Berkeringat gugup dan gemetar luar biasa.
Namun Ikuya menikmatinya. Baginya hal itu menyenangkan.
"Senpai!" Dengan beraninya ia mengangkat tangan.
Mata Mio mengarah padanya. "Aragaki Ikuya-kun?"
"Sa-saya ingin maju terlebih dahulu!" teriaknya keras, dan buru-buru maju ke depan kelas. Ia memegang keyboard di sebelah papan tulis. Mio selalu membawanya ketika pelajaran musik. Bersama bass kesayangannya. Seluruh mata murid memandangnya kaget, namun Ikuya berusaha keras memberanikan dirinya. Ia membetulkan posisi tangkai kacamatanya yang sedikit ke bawah. "Saya akan membawakan lagu Memory Heart Message dengan keyboard." Semalaman ia sudah berlatih keras. Ia yakin ia mampu. Ia pasti akan memainkan lagu ini dengan baik.
Seluruh siswa berkasak-kusuk. Mio hanya memperhatikan lelaki berkacamata itu dengan keyboard-nya. Gadis berambut panjang itu bahkan tidak yakin bahwa Ikuya bisa bermain keyboard dengan baik. Tapi begitu Ikuya menyentuh tuts keyboard-nya, seakan-akan Mio menyangkal pikirannya barusan. Mio melihat kemampuan lelaki berkacamata itu dengan keyboard-nya. Ia benar-benar berbakat—sungguh hebat. Ia bernyanyi sambil bermain piano. Mio akui, hal itu tidak mudah, namun Ikuya seakan-akan bisa mematahkan persepsinya tersebut, hal yang tidak mudah menjadi mudah. Musik yang tenang mengalun.
"Hidamari no youna kimi to tonari… Atatakai nemurini ochite yuketa… Tatto hito toki no yasuragi wo… Kimi ga kuretanda yo, tsuraetai yo… Arigatou tte…"
Jari-jemari kurusnya menari lincah di atas tuts keyboard. Ia bernyanyi dengan improvisasi. Terkadang ia memejamkan matanya, berusaha menghayati penampilannya. Mio melihat hal itu, jari-jemari itu seakan-akan telah hafal letak setiap tuts keyboard. Ia bisa menyentuh tuts itu tanpa melihatnya sama sekali. Ia mampu bermain dengan perasaan mendalam. Akhirnya, empat menit yang ia habiskan untuk menampilkan lagu sederhana itu, membuat seluruh siswa yang ada di kelas itu bangkit dari kursinya dan memberikan tepuk tangan yang seakan tidak ada habisnya setelah ia membungkukkan badannya.
Mio bangkit, mengacak rambut lelaki berkacamata itu. "Kau hebat sekali," pujinya dengan wajah antusias. "Kau bisa bermain musik dengan perasaan, sungguh. Kau… hebat sekali, Aragaki-kun. Aku tidak bisa bilang apa-apa. Arigatou."
Ikuya berusaha keras menyembunyikan pipinya yang memanas. Usahanya berlatih keras tidak sia-sia rupanya.
.
.
"Se-senpai!" Ikuya memanggil Mio dengan suara sedang. "Ti-tidak mau bicara terlebih dahulu denganku?" Ikuya menahannya sebelum Mio keluar dari pintu kelas. Mio membulatkan matanya. Mata bulatnya kini seperti manik-manik kaca yang berkilauan di mata Ikuya.
"Apa kau yang menahanku ini punya keperluan untuk menahanku?" Mio yang mulai bersikap sarkastis. Ikuya tetap tidak menyerah dan tetap menahan gadis berambut panjang itu. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya karena bingung melihat tingkah laku Ikuya yang di hadapannya terlihat agak aneh.
"Mmm…" Ikuya berusaha keras mencari-cari alasan. Ikuya memainkan jari-jemarinya, mencoba mencari-cari kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan gadis itu. "…a-aku butuh bantuanmu. Sungguh. A… aku dengar kau pemain bass yang baik di After School Teatime. A-aku butuh bantuanmu untuk…" Ikuya langsung berteriak. "Masuk klub musik! Ku-kumohon!"
Gadis berambut hitam panjang itu hanya tersenyum kecil. "Kau bicara seperti itu seolah seperti sudah begitu—mengenalku."
Ikuya buru-buru menyela, "a-aku mengenalmu! Aku tahu kau Akiyama Mio—pemain bass dari After School Teatime, band sekolah. Kau bassist terbaik di sekolah…"
"Hah? Siapa yang bilang bahwa aku adalah bassist terbaik di sekolah?" tanya Mio heran.
"Eh… yang bilang begitu… aku." Ikuya menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk kanannya. Wajahnya malu-malu.
Mio hanya mengulum senyum begitu mendengar Ikuya berkata seperti itu. Ia tidak berkata apa-apa lagi dan ia hanya mengangguk mengiyakan permintaan Ikuya. Ikuya tersenyum, begitu pula dirinya. Mio berjalan ke ruangan klub musik, diiringi Ikuya yang berjalan di sampingnya. Mio membuka pintu ruangan itu. Mengitarkan pandangannya sejenak. Tidak banyak yang berubah. Rasanya ia benar-benar merindukan After School Teatime sekarang.
"Ah, perangkat minum tehnya masih ada disini." Mio tersenyum begitu melihat lemari di ujung ruang klub musik, dengan cangkir-cangkir porselen di dalamnya. Ikuya melirik sekilas. "Oh, jadi dulu Senpai minum teh bersama anggota After School Teatime yang lain dengan cangkir-cangkir itu?"
"Benar," sahut Mio pelan.
Suasana kembali hening.
"Mm. Senpai. Boleh aku bertanya?" Ikuya berusaha memecah keheningan.
Mio menoleh. "Ya?"
"Kenapa Senpai begitu diam? Seakan-akan menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan guru lain."
.
.
To be continued.
