-PATH OF DESTINY-

CHAPTER 1: The promise

(Sakura's side)

Aku melangkahkan kakiku dengan terburu-buru. Sudah jam 6 lewat, aku ada janji dengan kedua orang tuaku untuk makan malam bersama sekaligus ingin membicarakan sesuatu. Entah apa itu. Aku belum sempat memikirkannya karena kesibukanku hari ini.

Pagi-pagi dari jam delapan, aku berada di sekolah. Mengajar seperti hari-hari biasa. Selesai jam setengah 4. Lalu aku memberikan pelajaran tambahan kepada 10 orang murid di kelasku yang dengan bodohnya mendapat nilai bulat sempurna di ulangan matematika. "Kuso" umpatku sejak pagi tanpa henti. Jam 5 setelah memberikan pelajaran tambahan aku bermaksud segera meluncur ke tempat janjianku dengan ayah dan ibu, tapi tiba-tiba saja orang tua murid menelpon dan mengatakan anaknya belum sampai di rumah. Ya Tuhan, untung saja anak itu bisa kutemukan di taman sedang bersama teman-temannya. Bermain sampai lupa waktu. Sang ibu menangis meraung-raung seolah-olah anaknya baru saja meninggal. "Kuso" lagi-lagi aku mengumpat dalam hati dan menyumpahi hari ini. "Kenapa hari ini terasa begitu sial?"

Kulirik lagi jarum arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. 18:14.

Tenanglah Sakura, toh ini hanya janji makan malam dengan ayah dan ibu bukan dengan pacar atau teman kencanmu. Berkali-kali aku memperingatkan diriku sendiri. Tapi… momen berharga ini sangat jarang terjadi. Aku mungkin terlalu larut dalam kehidupanku sendiri selama kurang lebih lima tahun terakhir, tepatnya dari sejak aku memutuskan untuk tinggal terpisah dari orang tuaku.

Di umur 22 tahun saat aku mulai bekerja, kuputuskan untuk meninggalkan rumah sederhana orang tuaku di pinggiran kota dan tinggal di apartemen mungil yang murah di dalam kota. Hidup melajang hingga usia 26 tahun, memiliki pekerjaan tetap dengan gaji cukup dan kadang melakukan pekerjaan paruh waktu di hari libur. Toh aku memang tidak memiliki hal menarik dalam hidup ini selain bekerja.

Dari kejauhan bisa kulihat restoran itu. Tuhan, itu restoran mahal. Apa orang tuaku sedang kaya mendadak? Aku menghentikan langkahku, mengatur nafas lalu kulangkahkan kakiku memasuki restoran disambut oleh pelayan berpakaian formal. "Yapari.. restoran ini memang restoran mahal" gumamku sedikit kagum dengan pelayan dan dekorasi restoran itu.

"Sudah pesan tempat, Miss?" Tanya si pelayan sopan.

"Ah, iya. Meja 18." Jawabku. Untung ingat dengan nomor mejanya.

"Mari ikut saya" pelayan itu mengantarku ke tempat yang kutuju.

Mataku terbelalak ketika melihat sosok itu tengah duduk dihadapanku. Rambut raven dan mata onyx yang selalu menatap dengan tajam. Uchiha Sasuke.

Ada apa ini, Tuhan? Kenapa dia ada disini? Kenapa dia dari semua laki-laki di dunia ini?

"Sakura, kamu tumbuh menjadi wanita cantik yang enerjik" ujar wanita setengah baya di sebelah kiri Sasuke. Aku menatap takjub pada wanita itu. Wanita yang elegan. Tidak heran, mereka tergolong keluarga elit.

Aku tersenyum. "Terima kasih. Maaf tadi saya terlambat." Seruku pelan.

Wanita itu tertawa bak nyonya-nyonya lalu berkata, "Mungkin itu sudah jadi kebiasaan ya, meminta maaf karena terlambat, apa itu pengaruh murid-muridmu?"

Aku sedikit malu. "Mungkin" jawabku cengengesan.

"Kamu sudah besar Sakura" Wanita itu melanjutkan seperti sedang menerawang.

"Dia sudah menginjak usia 26 tahun" ujar ibuku seraya tersenyum padaku.

"Sakura" pria setengah baya di sebelah kanan Sasuke memanggilku dengan lembut. Aku segera melayangkan pandanganku. Itu ayah Sasuke, Uchiha Fugaku, mantan walikota. "Kami mengundangmu karena ada sesuatu yang ingin kami bicarakan." Lanjutnya serius.

Aku menatap satu keluarga itu secara bergantian, di sebelah kanan ayah Sasuke ada Itachi bersama istrinya, Shion. Mereka tampak mengikuti pembicaraan ini dengan tenang. Tepat dihadapanku ada Sasuke yang sedari tadi tampak sibuk dengan gadgetnya. Di sebelah kiri Sasuke ada ibunya yang sedari tadi memasang wajah ceria.

Aku melirik kedua orang tuaku bergantian. Apa yang diinginkan keluarga elit ini dari keluarga sederhana nan berkecukupan seperti keluargaku? Tidak mengenai hutang, rasanya tidak mungkin harus mengadakan pertemuan seformal ini karena hutang, apalagi dengan seluruh anggota keluarga.

Aku diam mendengarkan.

"Kami ingin melamarmu" ujar ayah Sasuke yang dengan sukses membuatku tampak seperti batu.

"M-melamarku?" aku tersenyum kebingungan. "Chotto matte.."

"Ini memang mendadak. Tapi, aku ingin menepati janjiku pada ibumu." Giliran ibu Sasuke berbicara.

"Janji?" aku semakin tidak mengerti.

"Aku berhutang budi pada ibumu saat mengandung Sasuke. Jika bukan karena ibumu, mungkin Sasuke tidak akan selamat waktu itu."

Deg.

Debaran jantungku sepertinya mulai berdengung di telingaku.

Sekitar 26 tahun lalu. (Author's side).

"Uchiha-san, daijoubu?" wanita yang sedang hamil muda itu memapah wanita yang telah hamil cukup besar.

"Haruno-san, perutku sakit sekali." Wanita berambut gelap yang sedang hamil besar itu menjawab dengan nada parau karena menahan sakit di perutnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Aku akan panggil ambulan. Bertahanlah Uchiha-san." Wanita yang lebih muda itu menyambar telepon di meja kerjanya. "Teman kerjaku yang sedang hamil besar mengerang kesakitan, tolong kirim ambulan! Iya. Baik. Aku akan membawanya turun gedung. Iya. Tolong cepatlah!" ia menutup telepon.

"Ambulan akan menjemput kita di bawah. Duduklah di kursi ini" Wanita muda itu menarik kursi beroda, kursi kerjanya, lalu memapah wanita yang sedang mengerang kesakitan agar dapat duduk di kursi. "Tarik nafas lalu hembuskan pelan-pelan, Uchiha-san. Aku akan membawamu ke lantai bawah."

Saat itu sedang jam makan siang, hanya sedikit karyawan yang berada di kantor, sehingga tidak ada yang bisa dimintai bantuan.

Wanita yang dipanggil Haruno-san terus mendorong wanita yang sedang hamil besar itu menuju lift. Saat ini mereka berada di lantai 15. Perlahan-lahan, lift itu membawa mereka turun. Suara sirene ambulan menyegarkan otak si wanita muda ketika ia keluar dari lift seraya mendorong kursi beroda miliknya tempat istri Fugaku Uchiha mengerang kesakitan.

"Sedikit lagi, bertahanlah."

"Terlambat sedikit saja, kemungkinan bayimu tidak bisa diselamatkan." Ujar Tsunade-sensei sambil menghela napas lega setelah mengetahui bayi Uchiha dalam keadaan normal.

Hati nyonya Uchiha mencelos penuh syukur. Untung saja dalam keadaan darurat tadi ada Haruno, teman kerjanya yang menolongnya. Kalo tidak, apa jadinya kehamilannya yang sudah menginjak bulan ke delapan itu.

"Kau harus berterima kasih pada Haruno-san. Kau akan dipindahkan ke ruang rawat." Tsunade-sensei tersenyum kemudian meninggalkan ruang gawat darurat.

Setibanya di ruang rawat, wanita muda Haruno duduk di kursi di sebelah ranjang Nyonya Uchiha. "Syukurlah bayinya selamat. Aku bahagia sekali sampai ingin menangis, Uchiha-san."

"Kalau bukan karena pertolonganmu mungkin bayiku sudah meninggal, Haruno-san. Aku harap, saat bayiku lahir nanti kau juga menganggapnya sebagai anakmu sendiri. Anakmu juga akan segera lahir. Ahh, aku punya ide. Jika anak yang kulahirkan laki-laki dan anak yang kau lahirkan perempuan, kuharap mereka bisa menikah. Pokoknya aku ingin agar anakku melindungi anakmu seumur hidupnya. Kuharap anakku nanti, cukup mengerti arti berterima kasih." Nyonya Uchiha tersenyum.

"Aahh.. tidak apa-apa, Uchiha-san. Mereka menikah atau tidak, tidak jadi masalah. Tapi kuharap mereka bisa saling melindungi. Sama seperti hari ini. Aku merasa sepertinya bayiku gelisah di dalam perutku karena ada sesuatu yang terasa menggelitik tapi membuatku tidak nyaman. Aku bermaksud membiarkannya mendengarkan musik, makanya aku kembali ke kantor dan malah menemukanmu kesakitan." Nyonya muda Haruno tersenyum dengan tenang. "Sepertinya kegelisahan bayiku yang membuatku bisa menyelamatkanmu, Uchiha-san."

Nyonya Uchiha mengelus-elus perut Nyonya Haruno. "Anak baik. Terima kasih banyak ya" tanpa sadar wanita Uchiha itu meneteskan air mata.

Author's side end.

Kembali ke masa sekarang. (Sakura's side)

Itu adalah sebulan menjelang kelahiran si bungsu Uchiha. Aku pernah mendengar kisah itu dari ibu, memang aku tidak begitu ingat. Tapi yang masih jelas bagiku, dalam ceritanya, ibu tidak pernah menyebut nama Uchiha. Kenapa?

"Kami tidak keberatan, Sakura" suara ibu membuyarkan lamunanku.

Hah? Aku tersentak mendengar pernyataan ibu. Kami-sama, sejak kapan hidupku diatur dengan cara seperti ini?

"Aku juga tidak keberatan" kali ini giliran si bungsu Uchiha yang mengeluarkan kata-kata berdurinya yang dengan sukses menancap di sekujur tubuhku. "Menikahlah denganku" baik, kalimat yang ia lontarkan kali ini membuatku membeku.

Kutatap mata si bungsu. Bukan death-glare. Ini pertama kalinya aku melihat tatapan seorang Uchiha Sasuke seperti sedang memohon. Baiklah aku tidak mengerti ini. Untuk kesekian kalinya aku mengumpat. Sial, kenapa ada perasaan tidak tega menyusup ke tulang rusuk dan ke seluruh organ tubuhku?

"Tolong beri waktu aku untuk berpikir." Aku berkata tanpa berpikir lebih jauh. Rasanya aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memutuskan menerima lamaran Uchiha atau tidak.

Aku harus menyadari siapa lelaki di hadapanku ini. Memang dia dulu teman sekelasnya waktu SMU selama 3 tahun berturut-turut. Tapi bukan berarti itu membuatku menjadi akrab dengan laki-laki dingin itu. Meskipun ia pemuda tampan, kaya raya, sukses, dan sempurna, bukan berarti ia bisa dengan mudah masuk dalam kehidupanku yang tenteram dan damai. Tidak kali ini.

Ketika acara makan malam itu selesai dan kami bersiap meninggalkan restoran, si Uchiha bungsu menyodorkan sesuatu padaku. Selembar kertas memo, mungkin diambil dari kasir restoran. Ada sebuah kalimat tertulis disana. 'temui aku disini 30 menit lagi'.

Aku memiringkan kepalaku 45 derajat ke kanan. Lalu kulirik Sasuke yang saat itu sedang menatap ke arahku. Aku kembalikan lagi posisi kepalaku seperti semula, berusaha menampakkan perilaku dewasa. Aku mengangguk.

Sakura's side end.

3