Summary: /AU. HitsuHina./ Karena bagiku, persahabatan itu tak lebih dari sebuah omong kosong…/
Dislaimer: Bleach © Tite Kubo-sensei.
Warning: Fic ini mengandung alternative universe dan OOC. Bagi yang alergi dengan bahan-bahan(?) tersebut harap segera klik tombol back ;)
Happy reading! ;)
Sahabat
© CherryCho79
.
#File One
Sahabat.
Sungguh satu kata yang tidak asing didengar bukan? Semua orang memiliki seseorang yang mereka sebut sebagai sahabat. Bahkan tidak jarang mereka menambah embel-embel 'terbaik' atau 'selamanya', seolah ikatan persahabatan itu akan tetap terjalin selamanya.
Hampir dapat dipastikan setiap orang memiliki sahabatnya masing-masing. Ya, setiap orang. Kecuali aku.
Karena bagiku, persahabatan itu tak lebih dari sebuah omong kosong…
.
.
.
Seireitei di penghujung Desember. Warna putih masih tetap melunturi seluruh kota kecil ini, gumpalan-gumpalan kecil bunga es berjatuhan dari langit suram kelabu. Nyanyian musim dingin masih terdengar mengalun lembut—diselingi gegap gempita penyambutan tahun baru, mengiringi jejak langkah hari yang akan segera menutup lembaran tahun dan menggantinya dengan yang baru.
Aku mengeratkan syal yang melingkar manis dileherku, merapatkan jaket tebal yang membungkus tubuhku, menutupi dari serangan dingin yang membekukan. Kakiku terus berayun, mennapaki trotoar yang berlapiskan tumpukan salju tebal, menuju rumahku yang terletak cukup jauh dari sekolah.
Lalu lalang di dalam kota tampak lenggang. Hanya sesekali terlihat mobil-mobil melintas. Trotoar yang biasanya dipadati manusia yang hilir-mudir kini sepi, mungkin cuaca yang dingin membuat orang-orang lebih memilih untuk berbincang di dalam cafe yang hangat seraya memesan segelas kopi panas. Hal itu terbukti dari ramainya cafe-cafe yang kulewati sejak tadi.
Aku merongoh saku jaketku, mengeluarkan Ipod dan memasang earphone-nya di kedua telingaku. Sungguh menyenangkan mendengar musik seraya berjalan sendirian di tengah hujan salju.
Tiba-tiba mataku terantuk pada seseorang di ujung jalan dekat perempatan. Seorang gadis berambut hitam yang tengah menatap dengan seksama papan yang berisikan peta kota Seireitei ini. Sepertinya gadis itu pendatang baru yang tengah mencari alamat. Hal itu terlihat dari secarik kertas yang berada dalam genggamannya—pandangan matanya berpindah-pindah dari kertas ke papan. Selain itu, aku tak pernah melihat gadis itu sebelumnya.
Aku meneruskan langkahku, melewati gadis tadi. Saat berpapasan, secara tidak sengaja mataku bertautan dengannya. Sepasang mata hazel yang indah yang entah kenapa menginggatkanku pada seseorang.
Seseorang?
Siapa? Entahlah, aku sendiri tidak tahu.
Mengacuhkan rasa penasaran yang sedikit menguap dari dasar jiwa, aku tetap berjalan. Sayup-sayup sepertinya aku mendengar seseorang di belakangku memanggil-manggil namaku. Dengan dahi berkerut aku melepas earphone, memastikan pendengarku tidak salah.
Kulihat gadis itu setengah berlari menghampiriku. "Ah, maaf... Apa kau tahu alamat ini?" tanyanya seraya menunjukan secarik kertas di tangannya. Secara tidak sengaja aku bertatap langsung—dengan jarak cukup dekat—dengan gadis itu. Dan tiba-tiba ia terpekik riang.
"Shiro-chan!"
"Hee?" tentu saja itu ucapannya tersebut mengundang kedua alisku untuk terangkat naik. Belum hilang rasa bingungku, gadis tadi langsung memelukku erat.
"Aku benar-benar merindukanmu! Apa kabarmu, Shiro-chan?" tambahnya seraya semakin mengeratkan pelukannya, sedikit membuatku sesak. Jelas saja ini membuatku semakin bingung. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja ada seorang gadis yang tidak dikenal memelukmu dan bersikap seolah-seolah sudah lama tidak bertemu?
"Maaf..." kataku menginterupsi, sukses membuat perhatiannya teralih padaku.
"Ya?"
"Kau ini siapa?" tanyaku. Kulihat untuk sekilas alisnya bertautan, namun dalam detik berikutnya gadis itu tersenyum lebar, masih merengkuhku, "Ini aku Momo. Hinamori Momo! Kau masih mengingatku bukan?"
Aku terkesiap seketika.
Kutatap gadis itu dengan tidak percaya. Sejenak kuamati dirinya. Rambut hitam tergerai indah membingkai wajah manisnya, dengan sepasang mata hazel yang tidak jua melepaskanku dari pandangnya.
Mendadak ingatan tentang delapan tahun silam menyeruak kembali ke dalam pikiranku, ingatan yang sudah kukubur dalam-dalam itu kembali muncul bersama datanganya gadis ini.
Jantungku berdegup kencang. Dalam hati aku berdoa kalau ini hanya mimpi burukku saja. Namun kenyataan ini terlalu sulit untuk dipatahkan, terlalu sulit untuk dipungkiri.
Ya, dia adalah Hinamori Momo.
"Menyingkir dariku, Hinamori!" ucapku dingin seraya melepaskan ikatan lengannya yang mengunci tubuhku. Kedua bola mata di hadapanku itu melebar, "Eh?"
Aku mendorong tubuh mungilnya ke belakang, lalu melengos pergi meninggalkannya. Meninggalkan ia yang tercengang atas sikapku barusan. Kuayunkan kakiku secepat mungkin. Aku tidak mau berlama-lama di sini.
Tanpa perlu menolehkan wajahku aku dapat merasakan pandangan heran dari Hinamori yang menusuk punggungku. Aku menggigit bibir bawahku, mengeluh dalam diam.
Tak tahukah ia bahwa kehadirannya sangat tidak kuharapkan?
.
.
.
Hinamori Momo.
Nama gadis itu adalah Hinamori Momo, dia yang baru saja kutemui tadi setelah delapan tahun tidak kuketahui keberadaannya. Dia adalah orang yang membuatku membuka mata lebar-lebar, menyadari bahwa...
...tak ada yang namanya sahabat di muka bumi ini.
.
.
.
Aku diam tercenung.
Kedua bola mataku menatap lurus ke depan, ke hamparan danau yang terbentang luas di hadapanku dengan lapisan es beku di atasnya. Seraya mengeluh pelan aku memijat-mijat pelipisku.
'Kenapa aku berada di sini?' tanyaku pada diri sendiri. Namun tidak kutemukan jawaban apapun. Padahal niat awalku adalah untuk segera pulang, bukankah tidak menyenangkan untuk berlama-lama di luar ruangan pada cuaca seperti ini?
Namun sejak bertemu dengan Hinamori tadi mendadak aku malas untuk pulang. Mengikuti instuisi, aku membawa diriku ke tempat ini.
Danau di taman kota. Tempat favorit aku dan HInamori untuk menghabiskan watu luang bersama-sama. Namun itu kini hanya menjadi bagian masa lalu yang ingin kulupakan. Aku meringis jerih mengingat nama itu. kupendarkan pandanganku menyapu sekeliling, tidak ada yang berubah. Tidak satu pun.
Hanya Hinamori dan akulah yang telah berubah…
.
.
.
"Tadaima!" ucapku setelah membuka pintu. Hari sudah malam ketika aku pulang. Rupanya tadi aku terlalu lama berdiam diri di tepi danau untuk melamun. Oke, kuakui itu merupakan pekerjaan yang sangat bodoh dan tidak berguna.
Perlahan aku membuka sepatu dan memasukkannya ke dalam rak sepatu di belakang pintu, lalu berjalan menuju ruang makan.
"Ah, okeari!" sambut sebuah suara yang sedikit asing—namun aku tahu siapa pemiliknya—dengan nada riang dan bebas lepas tanpa beban. "Kau hampir saja terlambat makan malam, Shiro-chan."
Aku terdiam tanpa satu kata pun, rasa terkejut yang luar biasa menyelimutiku ketika kudapati gadis berambut hitam itu berada di meja makan, bersisian dengan ibu. Hinamori tersenyum saat matanya beradu dengan mataku, namun cepat-cepat kualihkan pandanganku, enggan melihatnya.
"Toushiro, kenapa tetap berdiri di sana? Ayo kita makan malam! Bukankah sudah lama kita tidak makan malam seperti ini bersama Momo?" tanya ibu yang sedikit heran melihat aku tidak bergeming dari posisiku semula.
"Kenapa?" desisku pelan, namun cukup keras untuk sampai ke telinga ibu dan Hinamori. Terbukti dari alis mereka yang terangkat naik. "Kenapa dia ada di sini?" aku memberi penekanan pada kata 'dia', yang secara langsung mengacu pada Hinamori.
"Untuk apa? Mulai hari ini Momo akan tinggal bersama dengan kita. Dan ia juga akan bersekolah di Seireitei High School mulai besok." ibu menjelaskan dengan raut wajah bahagia, seolah-olah ia baru saja menemukan anak perempuannya yang sudah lama menghilang. Oke, selama ini ibu memang menganggap Hinamori sebagai anaknya sendiri, jadi wajar bila ibu sangat senang Hinamori akan tinggal di sini.
"Aku senang sekali bisa bersama-sama Shiro-chan lagi." Hinamori tersenyum lebar, membuatku merasa muak.
Aku mendengus. Lalu berbalik dan mulai menaiki tangga. Langkah kakiku terdengar menggema di sepanjang lorong dan dapat kurasakan pandangan ibu yang menusuk punggungku, penuh dengan pertanyaan yang sepertinya ingin dia lontarkan kepadaku.
"Aku tidak lapar." ujarku, mengkonfirmasikan maksud tersembunyi bahwa aku tidak ingin makan malam semeja dengan Hinamori.
"Toushiro!" suara ibu yang biasanya terdengar lembut kini sedikit keras dan membentak. Aku tahu, hal ini sangat tidak sopan. Tapi… hei, apa peduliku?
Pelan, namun aku dapat medengarkan percakapan antara ibu dan Hinamori.
"Momo, maaf atas sikap Toushiro yang seperti itu." ucap ibu lirih dan terdapat nada penyesalan. Alisku mengkerut, untuk apa meminta maaf pada Hinamori?
Hinamori tertawa kecil, sedikit dipaksakan. "Tidak apa. Mungkin dia hanya canggung saja setalah sekian lama tidak bertemu denganku."
Aku mendengus. Canggung? Tidakkah kau tahu alasan yang sesungguhnya, Hinamori?
.
.
.
Aku menghempaskan diriku begitu saja di atas tempat tidur setelah melempar tas yang kugunakan ke atas meja. Mendadak kepalaku terasa pusing sekali. Huft, sudah dapat dipastikan penyebabnya adalah dia. Ya, siapa lagi kalau bukan Hinamori?
Kedua mataku terpejam. Membiarkan kilasan-kilasan masa lalu berputar-putar dalam pikiranku.
Dulu aku dan Hinamori merupakan sahabat. Ya, sahabat karib. Di manapun Hinamori berada, aku selalu setia berada di sisinya, begitu pula sebaliknya. Jadi jangan heran betapa dekatnya aku dengan gadis bermata hazel itu.
Kami pernah mengikat janji untuk selalu bersama di setiap saat dan dalam kondisi apapun. Saat itu benar-benar percaya pada apa yang dinamakan sahabat dan aku merasa beruntung sekali memiliki sahabat seperti dirinya.
Kupikir persahabatan ini akan abadi, tatap terjalin hingga nanti, namun kenyataannya tidak. Hinamori pergi menginggalkanku tanpa sepatah kata pun, tanpa sedikit pun mengungkapkan alasan, tanpa berpamitan terlebih dahulu. Yang kutahu hanyalah ia telah pergi.
Sejak sat itu, aku mulai berubah. Aku tidak pernah percaya pada persahabatan. Aku cenderung menutup diri dan bersikap dingin, tidak perduli orang-orang di luar sana mencapku sebagai anak yang antisosial atau apapun itu, aku tidak perduli.
Yang pasti, aku sudah tidak percaya pada sahabat maupun janji-janji persahabatan yang terdengar manis.
Itu karena kau, Hinamori…
To Be Continued
Hihihi, adakah yang suadah bisa menebak kelanjutan fic ini~? Yak, akhir kata review please? :3
Love,
CherryCho79
