EPILOGUE


Pagi ini aku terbangun karena sinar sang mentari yang dengan nakalnya masuk ke dalam kamarku lewat celah-celah jendela yang tidak tertutupi gorden. Meski masih mengantuk aku memaksakan diri untuk bangun. Kulirik jam yang ada di samping tempat tidurku, jarum panjang dan pendeknya membentuk garis lurus yang vertikal. Jam 6 pagi rupanya.

Kurenggangkan badanku, dan dengan segera pergi ke kamar mandi untuk bersiap. Tiga puluh menit kemudian aku sudah siap dengan seragam sekolahku. Sekarang tinggal menunggu…

"Hoi Rukia ayo kita berangkat!" seseorang berteriak dari halaman depan.

Bibirku langsung membentuk seulas senyum ketika aku mendengar suaranya. Dengan segera aku berlari membuka jendela dan menyuguhi orang di bawah sana dengan senyumku.

"Kaien, tunggu aku!" aku balik berteriak.

Merepotkan sih, karena kamarku berada di lantai dua, kami jadi harus saling berteriak setiap pagi. Setiap pagi kataku? Karena kami satu sekolah jadinya kami selalu berangkat bersama. Kini aku tengah duduk di kelas X-6 dan dia di kelas XII-IPA-4. Bisa disebut dia itu merupakan senpai-ku. Senpai? Hiy aku tak ingin memanggilnya dengan embel-embel senpai. Terlalu aneh, terlalu formal.

"Ayo kita berangkat!" ucapku sembari menarik lengannya.

Sejak kami masih kecil Kaien dan aku sudah menjadi sahabat baik…

Setiap kali aku berada dalam kesulitan ia pasti akan datang menolong…

Kami lebih memilih berjalan kaki dibandingkan dengan memakai kendaraan umum ataupun motor milik Kaien, habisnya jarak antara rumah dan sekolah cukup dekat. Jadi bisa sekalian olah raga. Selain itu dengan berjalan seperti ini aku bisa lebih lama berada dekat dengan Kaien.

"Rukia, pulang sekolah nanti kau pulang sendiri saja ya. Aku ada urusan," ucap Kaien sembari mengacak-acak rambutku.

Aku hanya bisa mendengus kecil mendapati rambutku yang sudah tertata rapi menjadi berantakan karena ulah tangannya yang jahil. "Kaien, rambutku jadi berantakan!" aku menyuarakan sedikit protes.

Kaien tersenyum melihatku. "Jangan bohong, kau menyukainya 'kan?" ucapnya menggoda.

"Urusai!" aku berkata ketus padanya.

Kaien malah tertawa mendengar ucapanku.

Aku memandanginya kesal, "Jangan tertawa!"

"Gomen, putriku sayang. Jangan marah dan cemberut lagi dong."

Dengan cekatan Kaien mengeluarkan dua buah gantungan kunci dari dalam tas sekolahnya. Sebenarnya aku masih ingin marah pada Kaien tapi melihat gantungan chappy di tangannya aku menjadi meleleh lagi. Kedua gantungan kunci itu benar-benar menarik perhatianku. Masing-masing gantungan sedang memeluk hati yang terbelah dua.

"Ini, satu untukmu dan satu untukku," ucap Kaien.

Tangan mungilku dengan senang hati menerima salah satu gantungan yang ia sodorkan padaku.

"Woa! Sejak kapan Kaien mejadi baik begini?" tanyaku tak percaya.

Dapat aku dengar Kaien mendecih kecil.

"Sejak aku menjadi kekasihmu," ucapnya lantang.

Wajahku sontak memerah. Dasar, ia sangat tahu bagaimana caranya tuk buatku malu.

Sesampainya di sekolah kami harus berjalan berlawanan, tentu karena kelas kami yang berbeda. Aku berdiri memandangi punggungnya yang kian menjauh, tubuhnya tegap dan atletis. Dengan rambut ala spiky-nya yang mencuat ke segala arah. Entah apa yang membuatku menyukainya. Tapi satu hal yang pasti, aku mencintainya. Sangat mencintainya.

Kalau dipikir-pikir ia jadi terdengar seperti seorang pahlawan…

Namun aku lebih suka menganggapnya sebagai kesatria…

Siang ini aku pulang tanpa ditemani Kaien. Belakangan ini memang begitu, apalagi sekarang Kaien sudah harus mempersiapkan diri untuk ujian. Dadaku serasa sesak, aku rindu akan suara dan sentuhannya.

"Kaien bodoh!" umpatku.

Segera saja aku percepat langkahku, kalau begini aku ingin cepat pulang. Tiba-tiba sesuatu terasa menggelitik paha kananku, segera saja kuraih handphone-ku yang bergetar cukup keras di rok sekolahku.

"Moshi-moshi?" ucapku.

"Yo! Rukia!" terdengar jawaban di seberang sana.

Aku tersenyum mengetahui suara siapa itu. "Ada apa Kaien-baka?"

"hehe baru ditinggal sebentar udah ngamuk lagi, gimana kalau lama coba?"

"Karena itu jangan berani-berani meninggalkanku dalam jangka waktu yang lama!" ancamku.

Kaien terdiam di ujung sana beberapa saat sebelum berkata, "Sudah, sudah. Sebagai permintaan maaf nanti malam aku ke rumah kamu deh!"

"Ngapain? Paling Cuma ngabisin makanan doang," jawabku.

"Yey, katanya kamu nggak ngerti sama Logaritma, nanti aku ajarin deh!" ucapnya meyakinkan.

Aku menimbang-nimbang untuk beberapa saat.

Kesatria yang menunggangi kuda putih…

Seorang kesatria yang sangat tampan…

"Oke deh, nanti aku tunggu ya! Kalau sampai gak datang awas aja!"

Kudengar Kaien terkekeh kecil. "Baik tuan puteri."

Kesatria milikku seorang…

Kumatikan hp-ku dan mengembalikannya ke dalam saku rok milikku. Aku tersenyum senang mengingat nanti Kaien akan datang ke rumah dan tanpa sadar aku langsung melompat kegirangan. Kaien, kau tak tahu betapa rindunya aku untuk menghabiskan waktu berdua denganmu. Hanya berdua. Aah~ andai waktu dapat berjalan lebih cepat.

Di perjalanan pulang aku berbelok dulu ke sebuah mini market yang ada di dekat sekolah untuk membeli beberapa snack. Kaien 'kan suka banget makan, jangan sampai dia kelaparan di rumahku!

Ketika langit sudah menampilkan sisi gelapnya aku duduk di atas tempat tidurku sembari mendengarkan beberapa lagu favorite.

"Rukia, ada Kaien," Hisana-nee berteriak.

Mendengar nama Kaien disebut-sebut aku langsung melompat dari kasurku dan berlari ke lantai bawah. Saking cepatnya berlari aku hampir saja tersandung di tangga. Aduh harus hati-hati.

"Malem midget," Kaien menyapaku ketika aku berhasil turun dengan selamat.

"Malem landak," jawabku.

Melihat kelakuanku yang terlalu 'dingin' kepada Kaien Hisana-nee menegurku, "Rukia, jangan begitu."

"Apa?" aku bertanya.

"Kalian itu pasangan kekasih tapi tak ada romantis-romantisnya sama sekali," keluh Hisana-nee.

"Dia yang mulai, ko!" jawabku enteng.

Hisana-nee geleng-geleng kepala melihat kelakuanku dengan Kaien yang saling menjulurkan lidah. Aduh, Nee-chan aku juga bingung kenapa kami seperti ini. Yang lebih bingung mengapa aku bisa menjadi kekasihnya. Aku menatap wajah Kaien. Kaien memang sering menampilkan wajah garangnya dengan dahi yang berkerut –ia kelihatan seperti yang sedang marah–. Tapi, setiap melihatnya hatiku selalu menjadi tenang. Seolah tak akan ada yang dapat menyakiti selama Kaien ada di dekatku.

Ne.. ini rahasiaku, Kaien…

Selama ini ada sebuah mimpi yang selalu kujaga…

Sekarang Kaien ikut bicara, "Maaf Hisana-san tadi aku hanya mengatakan yang sebenarnya saja, Rukia 'kan memang midget."

Ujung dahiku berkedut membentuk huruf L. Midget?

Kaien berkata lagi, "Tapi, meski begitu." Ia berhenti sejenak. "Aku sangat mencintainya, jadi," Kaien berhenti berbicara dan berjalan mendekatiku.

Setelah dekat dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kulihat Kaien berlutut sembari membuka sebuah kotak kecil yang berisi cincin yang teramat indah.

"Rukia, would you marry me? Be my wife for a life time, and become my children' mother?"

Aku terhenyak, kutatap matanya lekat-lekat meminta penjelasan akan semua ini. Namun yang kulihat hanyalah sebuah tekad yang sangat kuat.

"Jangan bercanda," ucapku ragu.

"Ck, yang perlu kau katakana hanya 'ya' dan 'tidak' saja midget," ucapnya kesal.

Cih, kenapa musti kesal? Lagipula mengapa harus bertanya? Kau 'kan tahu jawabanku dengan pasti.

"Ya, aku mau," ucapku pada akhirnya.

Yaitu menjadi isterimu suatu hari nanti…

Iris violet-ku kini digenangi air mata ketika Kaien menyelipkan cincin itu di jemari manisku, meski masih yang kiri. Kaien langsung berdiri dan menatap bingung padaku yang sekarang malah menangis. Tanpa berkata satu patah kata dia langsung memeluk tubuhku yang jauh lebih pendek darinya. Pelukan itu tak berlangsung lama karena kami berdua sadar bahwa Hisana-nee masih berada di sana.

Aku yang sudah lepas dari Kaien langsung memeluk Hisana-nee erat, seolah ingin mengatakan bahwa hatiku sangat bahagia sekali.

"Hei, kau baru saja dilamar kenapa malah menangis?" Hisana-nee bertanya sembari mengelus rambutku lembut.

Kulepaskan pelukanku, dan menatap Hisana-nee yang memiliki wajah yang mirip denganku. Aku mendongkakkan wajahku ke atas dan mengipasinya dengan kedua tanganku, berharap tak ada lagi air mata yang keluar. Tapi hasilnya nihil.

"Habisnya be-begitu tiba-tiba," isakku.

Kaien dan Hisana-nee pasti tahu kalau air mata ini merupakan air mata bahagia. Habisnya mereka malah tersenyum melihatku begitu.

Tapi…

Hari itu hari minggu, aku sedang belajar di kamarku ketika hp-ku bergetar.

"Ya? Moshi-moshi?"

"Moshi-moshi, apa ini nomor keluarganya yang memiliki hp ini?" tanya suara di seberang sana.

Aku menarik hp-ku dari telinga untuk melihat nomor siapa yang menelepon-ku malam-malam begini. Aku mendesah ketika nama 'Kaien-koi' yang tampak di monitor hp-ku. Dasar, apa Kaien menjatuhkan hp-nya sembarangan? Di dalamnya 'kan banyak foto kami berdua! Mulai dari yang biasa saja sampai yang mesra tiada tara. #plakk#

"Iya, saya tunangannya," ucapku kemudian.

"Begini nyonya, tunangan anda sedang ada di ruang gawat darurat Soul Society Hospital. Ia mengalami kecelakaan. Saya harap anda segera datang, kondisinya sangat buruk."

Aku terdiam mencoba mencerna kata-kata orang itu. Kaien, Kaien-ku kecelakaan 'kah? Air mata turun dengan sendirinya. Tanpa mengganti bajuku dulu aku segera mengajak Hisana-nee untuk mengatarku pergi. Ketika itu Nii-sama sedang ada di rumah jadi dia yang mengantarkan kami.

Hatiku was-was, air mataku juga tak mau berhenti keluar. Ah, kenapa aku jadi cengeng begini kalau sudah menyangkut Kaien?

"Kami-sama, tolong… to-tolong jaga Kaien," bisikku berdoa.

Aku berlari sesampainya kami di Soul-Society Hospital. Kaien… Kaien… Kaien…

Suara roda-roda yang bergesekan dengan lantai memecahkan lamunanku tentang Kaien. Nafasku terhenti ketika ada sebuah kasur dorong yang mendekat ke arahku. Air mata kembali berjatuhan dengan sendirinya. Aku menahan diri sebisaku untuk tidak terisak. Aku menarik ujung dari baju panjamaku dan memelintirnya. Aduh kalau sampai panjama ini rusak bagaimana ya? Dulu 'kan aku membelinya bersama Kaien. Panjama ini kami beli sepasang. Meski gambarnya chappy Kaien tetap menggunakannya.

Seseorang dengan pakaian serba putih mendekat ke arahku, sepertinya dia adalah salah seorang perawat di sini.

Mimpi itu tiba-tiba musnah…

"Maaf apa anda tunangan pasien yang tadi saya telepon?" tanya-nya lembut.

Aku mengangguk cepat, "Kaien, dia di mana?" tanyaku.

Dengan sekali gerakan tangan perawat itu menghentikan kasur itu, lalu membimbing tanganku untuk mendekat. Aku mengerti, aku bukan orang bodoh! Mereka melakukan hal yang sama ketika orangtua-ku meninggal.

"Uso," ucapku pelan.

Perawat itu menyingkapkan sedikit kain yang menutupi sesosok tubuh yang sangat kukenal. Aku menarik nafasku dalam-dalam agar aku tidak terisak. Tanganku dengan bergemetar mulai menyentuh wajah Kaien yang masih berlumuran darah. Kucubit pipinya bercanda.

"Ne~ sudah Kaien, jangan lakukan itu. Jangan menakutiku seperti itu," ucapku.

Ketika aku sadar tidak ada respon darinya aku mulai berkata lagi.

"Hei, bukannya ketika aku lulus nanti kau berjanji akan menikahi aku? Lihat kita sudah tunangan, ingat?" aku mengangkat tangan kiriku yang tersemat cincin pemberian dari Kaien.

Mata Kaien masih tertutup rapat, tubuhnya kian membisu.

"Ka-Kaien bangun!" kugoncangkan tubuhnya pelan. "Kaien jangan mati."

Aku mengatur kembali nafasku dan menunggu respon darinya.

"KAIEN!" aku menjeritkan namanya ketika Kaien masih belum merespon ucapanku.

Hisana-nee langsung memelukku dari belakang, "Sayangku sabar, kita keluar dulu yu, biar perawatnya yang jagain Kaien," ucapnya.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Kami–"

"Rukia," ucap Hisana-nee.

"–kami berencana untuk menikah, Nee-chan! Kaien–" tenggorokanku tercekat. Sungguh sakit, dadaku terasa ngilu, tangiskupun pecah. Setelah itu aku tak mengingat apapun lagi... semuanya berubah menjadi gelap.

.

.

To Be Continued

.

.

'Semoga saja semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan hilang diterpa sang fajar esok hari.'

.

.

'Karena Kaien tak boleh pergi dari sisiku.'

.

.

'Karena aku tak akan bisa hidup–'

.

.

'–tanpanya'


A/N : "Review please!" :)


The Sirius of Black Daria