Danganronpa (c) Spike Chunsoft
Ansatsu Kyoushitsu/Assassination Classroom (c) Matsui Yuusei.
Story (c) Panda Dayo
Sebagai tamparan untuk Esile The Raven /g
AU.
Summary : "Aku takut kotor." ―pengakuan Komaeda Nagito di suatu sore, di hadapan Kirara dengan saksi laba-laba hasil ternak yang bergelayutan pada sarang dekat meja.
{1/2}
.
.
.
.
Kirara meletakkan kembali toples yang tadinya berisi laba-laba jenis Maratus Volans miliknya. Mengeluarkannya kembali setelah sempat ia tinggal membeli pudding rasa cokelat nangka di toko yang agak jauh. Alasan ia menyimpannya adalah takut bila nanti tak sengaja diinjak olehnya, sehingga harus diamankan terlebih dahulu karya Tuhan yang satu itu.
Maratus Volans adalah salah satu dari sekian koleksinya yang ia suka. Laba-laba ini biasanya hanya ditemukan di wilayah Australia dengan ukuran sekitar lima milimeter. Cara termudah untuk mengenalinya adalah warna tubuh oranye-merah dengan garis biru tebal, berwarna-warni memikat hati. Tadinya Kirara ingin memelihara Tarantula, tapi itu tidak lucu dan terlalu besar.
Hazama Kirara adalah seorang gadis biasa yang menjaga sebuah perpustakaan di pinggir kota. Tidak terlalu ramai seperti di pusat, dan Kirara suka itu. Ia dapat melahap habis bacaan di tempat ini seorang diri tanpa takut keduluan pembaca lain, bahkan ia sampai hapal letak rak dan posisi persis tiap buku. Katakanlah, ia benar-benar mencintai pekerjaan ini. Ia merasa sangat cocok.
Tapi, akhir-akhir ini, intensitas pengunjung tidak banyak. Sebagian besar hanyalah anak kecil yang meminjam buku latihan membaca atau buku cerita bergambar. Di pinggir kota seperti ini, ya beginilah sebatas hiburan yang dimiliki oleh anak-anak belum baligh itu. Perubahan generasi yang terlalu dini.
Sekali waktu, saat kecil, Kirara suka membaca buku kisah puteri kerajaan. Ia sangat tertarik pada cerita berjudul Snow White, yaitu sebuah dongeng tentang Puteri yang dibenci oleh Ratu Jahat karena telah melampaui kecantikannya. Pernah sekali ia ―bermain dengan―bercermin dan bertanya pada cermin kecilnya, siapakah Yang Tercantik di dunia. Tapi saat itu ia seakan tertampar oleh realita tatkala menilai sendiri rupa wajahnya bagaikan nenek lampir yang sering ditonton ibunya di channel televisi swasta.
Penampilan Kirara terbilang standar nan sederhana ―meski mukanya seram tingkat satu negara―, tapi ia berhati baik, suka menolong, rajin menabung dan tidak sombong ada benarnya. Jika ditanya darimana, ibunya-lah yang mengajarkan semua nilai-nilai moral kepadanya.
Rambutnya ikal hitam tergerai, sedikit panjang terbilang. Ia tak pernah memakai make up karena sadar diri gajinya tidak seberapa. Ia tak mungkin bisa jadi gadis kota mengingat wajah seram peninggalan kedua orang tuanya ini. Maklum, cuma dompet kaum duafa. Bekerja di pinggiran kota Kunugigaoka, bisa makan hari ini saja ia selalu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.
Mendekati musim liburan, tempat ini akan kosong. Anak-anak sebagai pelanggan tetap, memilih menikmati musim panas dengan pergi ke pantai atau ngebolang mencari kumbang dalam skala besar-besaran di hutan rindang.
Kirara pernah dipameri oleh salah seorang bocah bernama Ryoma, dan mengejeknya tidak bisa menyamai kemampuannya karena selalu berkutat dengan buku dan laba-laba. Kirara hanya mengiyakan dengan senyuman, tapi senyumannya terlalu angker untuk konsumsi seorang anak kecil tanpa dosa. Maka Ryoma hanya diam, sembari menahan buang air kecil saat melihatnya.
Dan, seperti hari ini. Musim panas rasa jomblo yang harus ia jalani.
Kirara pun memilih beternak laba-laba di perpustakaan ini sebagai industri kreatif pribadi, dekat mejanya. Hanya untuk menghabiskan waktu dengan lama-lama mengamatinya. Toh, jarang ada yang berkunjung, jadi tidak masalah. Lagipula, laba-laba itu indah dan patut dilestarikan. Hanya laba-laba lah teman sejatinya. Hewan berbuku dan berkaki delapan yang akan selalu setia di sisinya. Makhluk itu membuat lintasan jaring putih melintang sebagai perangkap serangga, kemudian membentuk berbagai macam desain―arsitektur mini, menurut gadis itu.
Kirara suka melihat mereka menggantung-gantung menunggu mangsa. Ini juga salah satu alasan Kirara memelihara laba-laba; dapat membasmi lalat dan nyamuk di dekatnya dengan cepat, pun di seluruh tempat. Ia tak perlu risau atau repot membeli obat nyamuk sebagai tameng dalam bentuk orisinil atau elektrik ―,dan dapat meneruskan kegiatan rutinnya, membaca buku-buku di sini.
Semuanya baik-baik saja hingga di hari kedua musim panas, ada seorang pengunjung aneh.
Mulanya Kirara tak peduli, tapi ocehan "Buku ini berkuman!" membuat telinganya sedikit gatal. Dia belum tuli, omong-omong.
Semaniak apapun dirinya dengan laba-laba, ia hanya meletakkan hewan itu di sudut atas ruang perpustakaan ―dan dekat mejanya. Rak buku selalu dipastikan Kirara bebas kotoran setiap harinya. Tugas petugas perpustakaan bukan hanya memberi pinjaman buku, tapi juga merawatnya sepenuh jiwa dan raga.
Kirara memperhatikannya lagi. Ia mengeluarkan hand sanitizer pada permukaan telapak tangan, lalu digosoknya.
Tunggu.
Kirara melihat lebih jeli dari tempat duduknya.
Ada kecoak menempel di punggung pemuda itu.
Kirara memilih diam. Kena debu saja sudah berteriak heboh, lalu jika dia tahu ada kecoak di balik tubuhnya...
"Nona ―err, apakah kau punya tisu atau sapu tangan? Aku ingin meminjam buku tapi lupa membawa sapu tangan."
Ia tersenyum ramah, berjalan menghampiri meja Kirara. Rambutnya putih tak beraturan. Membuat mata Kirara jadi iritasi tiba-tiba. Penampilannya pun terlalu rapi bila hanya sekedar meminjam buku di perpustakaan sepi ini. Pakaiannya seperti seorang konduktor yang tampil dalam acara-acara orkestra pada selebaran yang pernah dilihatnya di suatu jalan entah di mana.
"Ya." Kirara memberinya sebuah tisu sebagai bekal kehidupan. Pemuda itu kembali ke deretan rak lalu membawa buku pilihannya untuk dibaca.
Kirara melihat judul buku untuk ditulis pada kertas daftar pinjaman, lalu menanyakan sesuatu,
"Kartu pengenal anda."
Pengunjung aneh itu menarik sesuatu dari saku pakaiannya, lalu mengeluarkan cairan pembersih tangan kembali dari celananya. Kirara tidak punya waktu memperhatikan karena ia harus memindahkan posisi bolpoin pada baris selanjutnya, menulis nama peminjam beserta alamat rumah;
Komaeda Nagito,
Kanagawa Philharmonic Orcestra.
Tunggu.
"Maaf, kartu penduduk?" Kirara menuntut. Pemuda yang diketahuinya bernama Komaeda Nagito dari kartu pengenal, hanya tertawa kecil dan sedikit memalingkan maniknya,
"Aku kelupaan membawanya karena terburu-buru ke sini saat berangkat. Akan kukembalikan dua hari lagi, sekalian pulang."
Jadi, dia benar-benar seorang konduktor? Pantas saja, nampaknya ia tak punya banyak teman. Itu hanya persepsi Kirara seorang karena wajahnya mengatakan jelas demikian. Kirara mengangguk sendiri meyakinkan opininya.
(―di mana relasinya?)
Tetapi, buku apa yang ia cari hingga nekat menuju perpustakaan pinggir kota seorang diri? Kirara bertanya dalam hati. Namun diurungkannya begitu melihat pemuda itu mengangkat panggilan ponselnya menggunakan tisu yang ia berikan.
"Ya, aku akan segera ke sana." Nagito mengakhiri panggilan, dan setelah Kirara memberi cap pada kartu peminjamannya, Nagito langsung mengambil bukunya. Tanpa peduli jari mereka bersentuhan di bawah tebalnya buku.
"Orang yang aneh." Komentar Kirara.
.
.
.
.
Komaeda Nagito, 27 tahun. Berprofesi sebagai seorang konduktor pada sebuah grup orkestra dari Kanagawa yang cukup melanglang buana. Hari ini sebenarnya adalah jatah Fukawa Touko, tapi teman seperjuangannya itu mendadak sakit sehingga harus digantikan. Membuat pemuda itu bangun dengan kalap di pagi hari karena harus segera menuju lokasi kali ini, Kunugigaoka, yang tentu saja jauh dari Yokohama ―tempat tinggalnya.
Nagito lalu ditunjuk oleh Akabane Karma selaku pemimpin orkestra, padahal Nagito sudah menolak. Ia tidak begitu akrab dengan anggota lainnya, hanya menanamkan partitur ke dalam otak untuk ia representasikan kembali dengan gerakan kombinasi jemari dan tongkat hitamnya. Nagito sendiri jarang latihan bersama, karena menurutnya itu merepotkan. Jauh lebih baik melihat mereka langsung bermain tanpa latihan, itu terdengar menantang dan menyenangkan.
Manusia memang makhluk yang rumit sekaligus membuat penasaran.
Nagito ingin mengetahui semuanya tentang mereka. Menertawai setiap ekspresi dari tiap masalah yang menimpa. Karena menurutnya itu lucu. Manusia tidak pernah membuatnya bosan.
Ia konduktor. Pengarah musik, penentu harmoni. Semua yang memegang alat musik akan mengikuti panduannya. Tidak akan ada yang menentangnya, dan ketahuilah itu sangat menyenangkan. Melihat mereka menunduk dan fokus, sementara ia cukup mengayunkan tongkat hitam pada genggaman tangannya bak penyihir memiliki kuasa.
Ia bergabung dengan orkestra musik klasik ini semenjak lulus SMA. Sederhana saja, Nagito menyukai musik klasik.
Tapi yang menjadi kendala adalah mysophobia miliknya. Sebuah rasa tremor akan kuman dan spora berbahaya di udara, selalu membawa pembersih tangan ke mana-mana demi menghindari infeksi kuman dalam delusinya. Ia juga yang paling sering cuci tangan mengikuti saran dari iklan yang dilihatnya.
Cuci tangan itu baik, bukan?
Nagito memutuskan meminjam sebuah buku untuk mengisi waktu luangnya sebelum tampil di atas panggung. Sengaja mencari di pinggir kota sebelum menuju ke Kunugigaoka Hall. Ia ijin telat sebentar bersama Byakuya, yang menunggunya di luar. Maka dari itu, ia tak punya banyak waktu.
Nagito membacanya begitu serius dengan tisu sebagai batasan antara jari dan kover buku. Bukannya mengingat lagi partitur W. A. Mozart Piano Concerto No. 21 pada C major, K.467 dan D. Shostakovich Symphony No.7 pada C major, Op.60 "Leningrad"yang akan ia bawakan saat pertunjukan nanti.
"Komaeda." Panggil Itona, salah satu pemegang biola untuk penampilan kali ini. Nagito mengangkat sedikit wajahnya untuk menatap lawan bicara melalui refleksi cermin di depannya.
"Ya, Itona-san?" Gambaran seorang pemuda beriris emas dan rambut yang hampir sama sepertinya terlihat,
"Kita harus bersiap."
"Aku tahu."
Usai menjawab, Nagito meletakkan bukunya di meja. Dari pantulan kaca, ia melihat para pemain mulai keluar dari ruang rias yang ia tempati. Lalu Nagito menggeser kursi ke belakang, mengeluarkan cairan pembersih tangan sebelum memakai sarung tangan putihnya. Tak lupa dengan tongkat hitam yang menentukan takdirnya.
Itona yang berjalan di belakangnya tidak mungkin bilang, baru saja ada kecoak yang menggunakan punggungnya sebagai landasan untuk terbang.
.
.
.
Anak-anak kecil masih menikmati masa liburan, sepertinya. Ini perasaan Kirara saja atau cuaca semakin panas tiap harinya. Padahal ia berada di dalam ruangan, tapi seolah menembus hingga lapisan epidermis terbawah kulitnya. Rasanya Kirara ingin membawa bak mandi ke mari dan berendam sepanjang hari.
Haha, tidak mungkin. Siapa yang mau masuk angin.
Musim panas kali ini kabarnya lebih menyengat dari tahun sebelumnya menurut warta pagi. Para penduduk diminta waspada akan gelombang panas dan harus rajin minum supaya tidak dehidrasi. Kirara pernah menonton berita tentang gelombang panas yang terjadi di Rusia ―entah tahun berapa ia lupa―, di mana orang berbondong-bondong ke taman kota dan basah-basah di pancuran secara massal. Sungguh bahagia, namun Kirara tak dapat melakukannya karena harus menjaga perpustakaan. Tidak ada yang mau mengurus tempat ini selain dirinya. Yang namanya shift tidak dikenal Kirara. Ia hanya mencoba tidak mengeluh pada kehidupan dan menikmati hari-harinya.
Kirara menemukan laba-labanya menangkap serangga lagi. Sayang, ia tak punya cukup uang untuk membeli kamera yang bagus. Fitur cekrek cekrek pada ponselnya pun kurang mendukung karena pixelnya tidak bagus. Seandainya bisa Kirara ingin membuat satu album tentang hewan peliharaan kesayangannya itu, akan lebih berkesan jika punya kenang-kenangan.
Kirara memandangi langit musim panas melalui pembatas translusen yang tak jauh darinya. Langit biru terlukis jelas tanpa batas, tanpa awan disertai terik matahari yang amat memanjakan. Pasti menyenangkan bila dapat kembali menjadi anak kecil untuk menikmati libur musim panas, ramai-ramai mencari kumbang, bertukar cerita, dan lain sebagainya. Ia ingin mendengar lagi suara jangkrik yang terasa begitu dirindukannya. Ia ingin menikmati musim panas yang menyenangkan bersama teman-temannya.
Sesederhana itu.
Teman-temannya kini sudah berada di kota besar. Waktu mereka telah berjalan sejak lama. Kirara sebenarnya bisa saja melupakan pinggiran kota tempat ia berasal dan mengikuti teman-temannya mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Tetapi, ia tidak melakukannya.
Kirara lebih suka mengamati. Meskipun waktunya terhenti di tempat ini, ia tidak akan merasa menyesal hingga mati.
.
.
.
"Sialan! Pergilah dariku!"
Nagito bergegas menuju kamar mandi ketika pertunjukan usai. Rasanya begitu menakutkan tidak membersihkan tangan selama dua jam. Ia langsung berlari ke kamar mandi hanya untuk mencuci tangan di wastafel.
Bayangan kuman-kuman jahat menghantuinya, seperti ilustrasi iklan produk sabun mandi yang ia lihat. Menggeliat menjijikkan lalu membuatnya sakit perut bila tak segera dibersihkan.
Nagito hampir menghabiskan waktu lima belas menitnya hanya untuk ini. Ia menggosok-gosok kedua permukaan tangan lebih keras, seakan-akan belum bersih sepenuhnya.
Nagito selalu dididik penuh tata krama dalam hidupnya. Sekedar bermain di luar pun tak diperbolehkan. Kedua orang tuanya ingin ia sukses dalam bidang akademis demi masa depannya. Awalnya, Nagito tak takut dengan kuman-kuman karena pernah mendengar slogan sebuah deterjen impor; berani kotor itu baik. Tapi, lama kelamaan, karena terbiasa pada lingkungan yang bersih dan sering didikte orang tuanya tentang kerapihan; menanamkan doktrin kebersihan itu adalah sebagian dari iman,―maka Nagito perlahan mulai jijik dengan visual kotor suatu benda.
Terdengar wajar, mulanya. Semua orang juga tidak tahan dengan sesuatu yang kotor dan terlihat menjijikkan, tidak higenis. Rasa takut akan kotor setiap hari bertambah besar, merambah bahkan pada benda-benda yang sederhana dan jarang dipikirkan.
Nagito tidak mau berjabat tangan dengan orang. Ia tidak mau berinteraksi, khawatir terinfeksi (bahkan dengan dinding lift atau telanjang kaki saat menginjak ubin lantai). Pemikirannya berdasar, tapi sikapnya terlalu berlebihan. Nagito lalu pergi ke seorang dokter untuk memeriksakan kesalahan dalam dirinya, dan sejumlah tes memberikan hasil positif ia mengidap mysophobia. Alergi, takut terhadap hal-hal kotor. Masalahnya, ia tidak tahu bagaimana menyembuhkannya.
Nagito akan selalu menyemprotkan penyegar udara di ruangannya. Menutup jendela rapat-rapat dan menyalakan air conditioner. Beranggapan bila dibuka ventilasinya sedikit saja akan merusak tatanan udara bersih dalam ruangannya.
Ia takut terkontaminasi dengan segala sesuatunya, yang ia anggap akan mengotori dan mencemari tiap senti tubuhnya.
"Komaeda! Kau apakan tanganmu?!"
Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan acara gosok tangan dengan paksa. Nagito melihat wajah Karma yang cemas saat melihatnya. Atensi Nagito beralih mengikuti arah direksi, ia menatap telapak tangannya sendiri yang masih disiram air dari keran, bergantian dengan air di dalam wastafel yang belum tersedot lubang pembuangan.
Merah.
.
.
Ini bukanlah pertama kalinya Nagito melukai dirinya. Semua anggota orkestra tahu, juga sangat khawatir mengenai hal ini.
Tangan kiri Nagito kini dibalut perban, membuat pemuda itu kini tak lagi merasakan nyeri. Ia tahu dirinya terlalu berlebihan, tapi mau bagaimana lagi. Ia juga tidak mengerti.
"Jangan paksakan dirimu, Komaeda. Walau kita besok masih ada penampilan lagi, tapi sebaiknya kau istirahat."
Memang begitu seharusnya.
"Maaf merepotkan." Sesal Nagito.
"Kau bicara apa, sih. Kami sudah sering melihatmu begitu, Komaeda." Hibur teman-temannya. Mereka lalu membahas penampilan mereka tadi, bercakap mengenai reaksi penonton.
Nagito hanya menundukkan wajah di depan meja rias. Kakinya yang tertekuk akibat duduk di kursi rasanya enggan ia gerakkan walau sesenti. Melihat kembali titel buku pinjamannya dari perpustakaan pinggir kota.
The Bridge of Dreams.
.
.
.
.
.
Kirara kesepian.
Jelas saja, jarang pengunjung begini. Apalagi musim panas. Menjadi berlipat ganda dan memasokan diri di dalam ruang, bukannya kolam renang.
Kirara mendengar suara decitan pintu ketika usai menghabiskan puding cokelat nangka miliknya. Ia melihat pemuda terakhir yang datang ke mari itu seorang diri, tidak membawa buku pinjamannya.
"Apa aku boleh meminjam lagi?" Tanyanya.
"Kembalikan buku yang anda pinjam sebelumnya, dan akan aku perkenankan." Kirara mematuhi peraturan sebagai seorang pustakawan yang selalu menghadapi krisis ekonomi dan menjadikannya rintangan. Jangan beri hutang, bila hutang yang sebelumnya tidak dibayar. Itu artinya dia menipumu.
"Kalau baca di sini?"
"Silahkan."
Nagito lalu menyusuri rak dengan teliti. Satu per satu ditelisik judulnya seolah takut terlewat. Tapi setelah cukup lama berdiri, ia pegal juga.
"Buku tentang medis, ada tidak?"
Kirara memalingkan wajah dari laba-laba tercinta,
"Aku bukan dokter."
Nagito tertawa. Kenapa dia justru ke perpustakaan pinggir kota yang koleksinya jelas-jelas tidak lengkap, ya?
Aneh.
Nagito mengambil kursi kosong, lalu duduk di depan Kirara ―terhalang meja. Kirara sedang meletakkan laba-laba di atas telapaknya.
"Er.." Nagito mengeluarkan cairan pembersih tangan lagi, dan kali ini dia membawa sapu tangan hasil pinjaman. Tapi ia tersadar, tangan kirinya tengah diperban, jadi tidak bisa. Nagito pun memasukkannya kembali dan berniat tidak menyentuh apa-apa.
"Kenapa kau membawa benda seperti itu? Kau mengejekku?" Tanya Kirara. Baru tadi pagi pemuda itu muncul, dan sorenya kebetulan sekali ia ke sini. Kirara ingin segera menuntaskan kekepoannya.
"Aku punya alergi aneh, sebut saja begitu." Balasnya. Netranya lalu melihat tumpukan buku―bacaan Kirara―yang tiba-tiba menarik perhatiannya.
"Kau juga suka membaca, ano―"
"Hazama Kirara." Potong penjaga perpustakaan bertampang horor itu.
"Hazama-san?"
"Kirara saja."
Kirara masih sibuk membuat laba-labanya bergelantungan di ujung jarinya. Kirara tertawa-tawa, menikmatinya. Tapi tidak dengan Nagito.
"Kau suka...laba-laba?" Tanyanya sedikit ragu. Nagito saja mual melihatnya. Tapi, mungkin tak ada salahnya bercakap-cakap dengannya. Mungkin bisa mengatasi sedikit rasa jijik dan takutnya.
Nagito akan berusaha, Tuhan Yang Maha Esa.
"Ya. Aku juga punya koleksi bagus. Laba-laba langka dari Australia." Jelas Kirara. Ia mengamati raut wajah Nagito yang semula nampak jijik menjadi sedikit antusias.
"Maratus Volans?" Nagito juga sedikit terpana saat melihatnya. Warnanya memang indah meski itu laba-laba. Kirara pun memamerkannya dengan sejuta bangga, sebagai oknum pecinta arthropoda.
"Cambridge?" Nagito tidak menyangka, laba-laba yang dulu pernah dilihatnya melalui layar kaca kini bisa ia lihat secara nyata. Meski tak berani menyentuhnya, sih.
"Aku tidak peduli siapa penemunya, ini indah." Kesimpulan Kirara sudah sah, tidak bisa diganggu gugat meski Jaksa Penuntut Umum menyanggah.
Nagito mengangguk setuju.
"Tanganmu kenapa?" Kirara menunjuk balutan perban yang ada di tangan kiri Nagito. Pemuda itu hanya menggeleng, "Insiden kecil." tuturnya.
"Tidak mungkin itu insiden kecil, jika sampai diperban." Kirara mengembalikan laba-labanya ke sarang. Ia lalu membenahi posisi duduknya dan menghadap lurus pada Nagito.
"Kau tak bisa membohongiku, orang aneh."
Orang aneh katanya? Pustakawati di depannya seribu kali lebih aneh darinya! Oh, apa Nagito perlu membawakan kaca untuknya?
Perlu, kah?!
"Namaku Komaeda Nagito, Kirara-san."
"Jangan sok dekat denganku, kita baru bertemu sehari." Cibir Kirara sambil mengibas tangan. Mengabaikan Nagito yang melotot heboh memandanginya.
Bukannya tadi gadis itu yang memintanya memanggil nama kecilnya saja? Nagito tak paham jalan pikiran wanita sesungguhnya. Tapi, daripada ribet, sebaiknya ia sebagai lelaki yang mengalah. Niat mulianya lalu ia ucapkan,
"Maaf soal itu, Haza―"
"Kirara saja."
Tuh, kan.
Siapa yang gak kesel, coba?
Nagito berkedut kesal. Tapi ia tak boleh terbawa emosi, apalagi seorang wanita yang tidak anggun seperti Kirara.
"Kau tidak jijik dengan laba-laba?" Nagito penasaran. Biasanya gadis normal takut hal-hal menjijikkan.
"Kenapa harus takut?"
Nagito lupa, orang di depannya ini sama sekali tampak tidak normal.
"Kupikir."
"Kau bilang besok pulang."
"Ya, benar."
"Jangan lupa bukunya atau aku akan menelpon atasanmu dan meminta ganti rugi sepuluh kali lipat karena tidak disiplin waktu." Ancam Kirara. Matanya meminta pertanggungjawaban pengembalian buku secepatnya.
"Me-memang kau kenal atasanku?" Nagito sebenarnya tidak yakin, tapi wajah Kirara memaksanya percaya akan entah kenyataan atau dusta itu.
"Tentu saja. Jangan coba-coba denganku. Ayo, jabat tangan."
Nagito tidak menanggapi, mukanya pucat seketika saat Kirara menjabat tangan kanannya tanpa aba-aba. Nagito hendak melepaskan diri dan membersihkan kuman-kuman yang akan membuatnya jatuh sakit.
Tapi, kenapa rasanya hangat sekali, ya?
Kenapa Nagito tidak mau melepasnya?
Nagito sama sekali tak berkutik ketika iris mereka bertemu. Kirara, penuh dengan aura mencekam dan Nagito yang bingung hendak merespon bagaimana. Membiarkan semua mengalir begitu saja.
Bukankah dia tidak suka berjabat tangan?
Bukankah tadi Kirara memegang laba-laba dan belum cuci tangan?
"Kau tidak pulang?" Kirara melepas tautan jemarinya. Nagito merasa kehilangan, untuk alasan yang tidak ia tahu apa.
"Eh?" Nagito menoleh ke sisi kiri. Melihat langit senja mulai berganti warna, gelap perlahan-lahan.
"Tempat ini mau tutup, tuan." Kirara membereskan mejanya lalu mengambil tas kecil untuk dompet dan ponsel. Nagito pun berdiri. Meninggalkan Kirara tanpa mengucapkan apapun.
.
.
.
Nagito tidak mengerti.
Padahal ia membawa benda keramatnya; hand sanitizer. Dirinya enggan membersihkan bekas telapak tangan Kirara tadi. Harusnya ia berteriak dan menepisnya dengan cepat.
Tapi, tidak.
"Kau kenapa, Komaeda?"
Itona yang menunggunya di mobil jadi mengantuk. Menguap adalah bukti konkrit.
"Maaf, aku lama. Terima kasih sudah mengantarku ke mari."
Itona nampak tidak peduli. Begitu Nagito duduk manis di jok penumpang, ia memanaskan mobil sesaat sebelum menginjak pedal gas. Melintasi jalanan Kunugigaoka.
( Jangan sekali-kali coba berkendara jika anda mengantuk, ini hanya fiksi )
.
.
.
Bersambung
a/n : Karena ditagihin, chappie satunya dulu deh diapdet ya mb padahal belum kelar qwq wqwqqwqwwqw #DIGETOK
mysophobianya diambil dari referensi diri sendiri qwq yatapi mysophobiaku ga terlalu parah, mendekati iya *NGAJAK TAWUR*
thanks for read
siluman panda
