Fic Indo keduaku! Moga-moga kalian suka ya para pembaca (amin). Kalau ada apa-apa, kritik pedas pun kuterima ^^ jangan mengingatkan bahwa fic ini aneh, aku sudah nyadar dari awal _ _"
Disclaimer: Tsubasa punya CLAMP, penyakit Saku punya saia.
Only Memories
Chapter 1
The First Meeting
Pertemuan pertamaku dengannya mungkin adalah saat ayahku mempertemukanku dengannya… tidak, tidak, pertemmuan pertama kami adalah di taman rumah sakit itu… iya kan? Iya… aku ingat betul ceritanya.
Ini bermula saat penyakitku kembali kambuh, ayahku Fujitaka membawaku ke rumah sakit di dekat rumah kami dengan segera. Para dokter hebat bahkan spesialis dari luar negeri tidak bias mengenali penyakitku ini, yang bisa mereka beri tahukan adalah bahwa penyakit ini adalah bahwa aku sudah membawa penyakit ini sejak aku lahir dan kemungkinan besar penyakit berbahaya ini akan membunuhku…
Saat ayahku baru pertama kali mendengarnya, dia terlihat pucat dan ketakutan. Padahal ayah biasanya selalu senang dan tersenyum, aneh rasanya melihat rasa takut diwajahnya itu. Mungkin ketakutannya sangatlah beralasan, ibuku yang memiliki warna rambut dan wajah yang sangat mirip denganku meninggal bertahun-tahun yang lalu dikarenakan penyakit yang sama. Pada saat itu aku telah menerima takdirku untuk segera meninggalkan dunia ini… pergi ke tempat ibu berada… bila saja dia tidak muncul dan menyemangati aku, mungkin sekarang aku sudah benar-benar bersama dengan ibuku.
&.****.&
Hari ini aku terkurung lagi di rumah sakit… padahal aku tidak menyukai tempat ini karena tempat ini penuh kesedihan, tangisan dan jeritan mereka yang telah meninggal tetapi masih ingin hidup… kesedihan dan kerinduan itulah yang membuatku ingin tinggal bersama mereka dan menghibur mereka semua yang menangis tetapi aku juga tidak ingin, karena tinggal bersama mereka sama saja dengan menjadi salah satu dari mereka dan aku belum mau meninggalkan ayahku. Tidak sampai aku benar-benar harus pergi.
Aku berjalan-jalan di taman tengah rumah sakit, tempat favoritku di tempat yang murung dan suram bagai kuburan ini. Bagiku tempat ini bahkan lebih mengerikan daripada kuburan sendiri karena jumlah orang yang bergentayangan disini lebih banyak dibandingkan di kuburan yang pernah kukunjungi dengan ayah. Dan secara pribadi aku lebih suka kuburan tempat ibu beristirahat karena terkadang aku bisa melihatnya dan berbicara dengannya.
Aku mendongak menatap bintang-bintang yang bersinar redup, kalah oleh cahaya lampu yang benderang seperti yang pernah dikatakan ayah. Aku berjalan melalui jalan setapak yang dikawal oleh batu-batu pipih putih yang diatur dengan indah. Tanaman ditata rapi, mulai dari rumput-rumput kecil sampai yang sudah tinggi dan bunga-bunga juga pohon yang ditanam dengan indah dan rapi. Ditengah taman inilah ada sebuah air mancur besar yang tampak segar dan cocok. Didepannya ada kursi taman kecil yang terbuat dari besi hitam, kontras sekali dengan warna putih air mancur batu dibelakangnya.
Saat aku sudah mendekati tempat kesukaanku itulah aku pertama kali melihatnya, seorang anak seumurank, berambut coklat dengan perban melingkar di kepalanya. Aku berhenti berlari-lari kecil dan menatapnya beberapa saat sebelum memutuskan untuk menyapanya. Dari dekat aku bisa melihatnya dengan lebih jelas, rambutnya jatuh menutupi mata dan bagian atas wajahnya tetapi aku melihat dia mengenakan jaket dengan warna seperti permen kesukaanku (mungkin namanya mint?) didalamnya ada kaus hitam dengan tulisan yang tidak bisa kumengerti lalu juga celana panjang hitam dan sepatu hijau.
Aku duduk disampingnya, kaki-kaki kecil kami bahkan tak menyentuh tanah dibawah kami. Aku mengintipnya dengan gugup dan malu dari ujung mataku beberapa kali sebalum akhirnya membulatkan hatiku dan menyentuh pundaknya. Saat tangan kecilku menyentuh pundaknya, ia menegang dan melirik ke arahku. Saat itulah hatiku langsung melompat ke belakang tenggorokanku. Mata anak itu berwarna coklat dan air mata membuat mata bulat itu terlihat berkilau di cahaya lampu rumah sakit.
"Apa?" tanya anak itu dengan suara serak. Pertanyaanya menyantakkanku keluar dari alam khayal yang semena-mena diciptakan mata indah itu. Aku berdehem, tiba-tiba rasa gugupku meningkat sepuluh kali lipat dan seperti kupu-kupu mulai bersarang di dalam perutku.
"Um… kau terlihat sangat sedih… jadi aku, em…" kenapa bicara saja rasanya sulit sekali ya? Seakan-akan suaraku tersumbat tanpa alasan. Ditengah kegugupan dan kepanikan yang melanda diriku, aku melihat anak itu tersenyum, air wajahnya yang tadinya sedih dan murung sekarang menyunggingkan senyum kecil padaku.
"Terima kasih sudah mau menghiburku. Aku senang sekali ada yang perhatian padaku." Senyum itu… senyum tulus itu membuatku membeku seketika. "Jadi, boleh aku tau namamu?" tanya anak itu. Aku membalas senyumannya dengan malu.
"Ya… namaku Sakura, Minomiya Sakura." Jawabku. Sepertinya suasana hatinya sudah mulai lebih baik, senyumnya semakin hangat dan dia sudah duduk tegak. Aku sadar kalau dia lebih tinggi dariku. "Namamu sendiri siapa?" aku bertanya dengan agak.. bersemangat.
"Namaku Syaoran, Li Syaoran. Salam kenal, Sakura-chan." Dia mengangkat tangannya dan aku menyambutnya dalam salaman hangat. Dari situ, kami mulai bercerita tentang kehidupan kami. Aku menceritakan padanya tentang penyakitku dan ia memberi tauku bahwa ternyata dia berada di sini karena kedua orangtuanya terkena kecelakaan dan sekarang sedang kritis. Aku langsung memeluknya tepat setelah dia mengatakan itu karena aku tau dia sangat membutuhkannya dan membiarkan teman baruku itu menangis di pundakku.
Hari itu benar-benar tidak bisa kulupakan, awal persahabatan kami. Sejak saat itu Syaoran sering menemuiku di kamar atau bermain di taman. Para dokter dan perawat tampaknya senang melihat kami bermain bersama. Mungkin karena Syaoran sudah banyak terluka mental dan seorang teman adalah obat yang dibutuhkannya.
Saat-saat kami bermain dan bercerita bersama benar-benar menyenangkan. Tetapi semuanya harus berakhir. Tiga bulan setelah awal pertemuan kami, aku mendengar orangtuanya akhirnya meninggal dan Syaoran telah dikirim ke panti asuhan. Aku menangis semalaman, managisi sahabatku yang pasti sangat sedih akan kematian orangtuanya, bagaimana kenyataan itu akan mencabik-cabik hatinya ke ratusan kepingan kecil yang akan sangat sulit disatukan kembali. Aku benar-benar bersimpati.
&.***.&
Sudah lima bulan berlalu sejak aku dikeluarkan dari rumah sakit, enam bulan sejak perginya Syaoran, sembilan bulan sejak pertemuan pertama kami di taman rumah sakit. Aku masih belum bisa menghapus bayangnya dari mimpiku. Sahabatku itu sekarang berada dimana? Apa yang sedang dia lakukan? Bagaimana kabarnya sekarang? Pertanyaan itu selalu melintas dalam benakku.
Aku baru saja menyelesikan tugas menggambar pemandangku dari guru (aku menggambar dua gunung sebuah rumah dan sawah. Simpel dan bagus) saat ayah masuk dengan membawa roti (cake?) coklat besar bertuliskan 'Selamat Ulang Tahun!'
Aku langsung melompat dari kursiku ke arah ayah yang hanya tertawa kecil melihat tingkah polosku.
"Selamat ulangtahun ke-6 putri kecilku." Ayah mencium keningku dan memberiku sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado pink-putih yang meriah. Aku mengambilnya dari tangan ayah, tidak sabar untuk membuka hadiahku. Tetapi apa yang ada di dalamnya membuatku bingung. Selembar kertas dengan tulisan-tulisan yang tidak kumengerti. Aku mengangkatnya dengan dua jari dan menyipitkan mataku, mencoba memahami hadiah dari ayah. Ayah hanya tertawa saat melihat kebingunganganku dan otomatis aku cemberut kearahnya.
"Hadiah yang ayah berikan, tidak cukup dimasukkan ke dalam kardus ini sayang. Dia ada dibalik pintu kamarmu." Jelas ayah. Aku langsung melihat kebelakang pundak ayah saat pintu menderit terbuka dan aku sangat terkejut saat melihat siapa yang membukanya. Mata dan rambut coklat yang sangat kukenal dengan senyum yang selalu sukses membuatku membalasnya, Syaoran.
Mari kita lihat… 2 review untuk chapter 2? Ya.
