Disclaimer: Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya-sensei
Warning : OUT OF CHARACTER aka OOC! (kenapa pake caps? Karena kemungkinan super *?* OOC), AU aka Alternative Universal, Death Chara(?) don't like don't read. Happy reading =))
A/N: Fic ini berdasarkan dari lirik lagu Soundless Voice versi Valshe-sama, tapi sebenarnya ini bukanlah sebuah songfict, hanya idenya(?) berdasarkan lagu tersebut dan tidak sama persis banget.
~~~ Chapter I : She is not my sister NOR my family ~~~
Vash Zwingli menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tidak suka. Baginya, ini adalah sebuah ketololan terbesar dengan mengadopsi seorang gadis tidak jelas dan dari keturunan entah yang baik atau buruk. Hanya karena ibunya merasa kasihan melihatnya yang berjalan sendirian di jalanan sepi di musim dingin menyengat begini membuat ibunya membawa gadis itu ke rumah mereka yang tenteram.
"Siapa dia, Ibu? Kenapa dia bisa ada di rumah kita?" ucap Vash tajam, di hadapan gadis itu dan berlagak sekaan dia tak ada di sana.
"Mulai sekarang dia akan menjadi adikmu. Ibu mengadopsinya sebagai anak dan akan mengurus setiap urusan hukumnya secepatnya dan—"
"Bukan itu yang kutanyakan, Ibu" potong Vash cepat dan memutar bola matanya. "Dimana ibu menemukan anak ini? Maksudku...Ibu mengertilah maksudku."
"Ibu tidak meminta pendapatmu, Vash. " Ucap sang Ibu defensif kemudian merangkul gadis yang mungkin baru berusia sekitar 12 tahun itu. "Biarkan dia beristirahat sejenak. Dia pasti kelelahan dan kedinginan berada di jalanan sendirian. "
Vash melempar pandangan yang seolah berkata kau-bukan-siapa-siapa-di sini-jadi-menjauhlah. Dan gadis itu hanya menunduk menghindari tatapannya. Ibunya—Ibu Vash, dan Vash takkan pernah sudi membiarkan seseorang menyebut ibunya sebagai ibu dari gadis itu—mendorong gadis yang bahkan tidak ia ketahui namanya itu ke dalam kamar. Sebuah kamar yang dulu di siapkan oleh ibunya untuk menyambut kehadiran adik barunya beberapa tahun yang lalu. Namun kamar itu kini telah terlantar dengan barang-barang yang masih tertata rapi.
Dia bukan adikku dan bahkan dia BUKAN bagian dari keluarga ini. Jangan harap aku akan mengakuinya. Tak akan. Terima kasih, batin Vash datar seraya tatapannya mengikuti jejak gadis itu.
XxxxxxXxxxxxX
Tiga tahun kemudian...
Gadis itu bernama Liechtenstein. Dan Vash baru mengetahuinya seminggu yang lalu bahkan meskipun mereka sudah tinggal satu atap selama tiga tahun. Selama ini dia hanya berusaha menutup mata tentang informasi apapun mengenai gadis itu. Tentang namanya, atau dimana ia tinggal sebelumnya, apapun itu. Apapun tentang gadis itu—Vash masih menolak memanggilnya dengan namanya yang sebenarnya bahkan di rumah—ia tak mau tahu.
Tidak, Vash tidak membencinya. Tapi dibilang tidak suka ia lebih dari tidak suka. Tapi ia tak membenci. Sulit untuk dijelaskan, yang pasti Vash bawaannya ingin sekali keluar dari rumah jika ia satu ruangan dengan adik adopsi ibunya itu. Dia bukan adikku, sungguh, selalu itu yang ia katakan jika ada seseorang atau teman sekolahnya yang menanyakan soal gadis berambut pirang terang jika mereka mampir di rumah Vash. Ataupun pada tetangga diapun pasti akan menyangkal keberadaannya.
Sederhana saja, Vash tidak menginginkan kehadirannya dan dia takkan merasa berdosa atau bersalah jika memperlakukannya dengan kasar atau tak acuh. Toh mereka tak memiliki hubungan saudara apapun.
Apalagi. Sekarang. Ia. Ditinggali. Tanggung. Jawab. Untuk. Menjaga. Adik. Kecilnya. Itu.
Bahkan Vash tak sanggup untuk memikirkannya. Itu bahkan tugas yang lebih berat daripada ia disuruh untuk mengerjakan tugas selama enam bulan penuh dalam waktu dua pergi keluar kota selama musim dingin ini untuk tugas ke luar kota. Dan di saat dimana harusnya ia bisa bersantai dan membawa teman-temannya ke rumah ia malah dibebankan tugas yang merenggut kebebasannya selama liburan semester kuliahnya.
Memikirkannya saja sanggup mengubah suasana hatinya seketika. Ia tahu ia takkan mengurusi Liech seperti mengurusi bayi dengan memasakkannya makan malam atau sarapan atau merapikan kamarnya. Vash takkan sudi. Ia tak bisa pergi keluar rumah dan pulang larut seperti yang biasa ia lakukan. Untuk tiga bulan ke depan, suasana hatinya akan diselimuti aura hitam, pastinya.
"Oniisan ingin makan malam dengan apa?" Tahu-tahu Liechtenstein telah berada di dapur dan menyalakan kompor. "Akan kubuatkan sesuatu yang hangat, diluar cuacanya sudah mulai berubah dan pasti dingin."
"Hn. Terserah." Jawabnya singkat.
Dan Liechtenstein dengan amat naifnya menganggap sikap "baik" dari Vash sebagai kebaikan dan tanda 'welcome' darinya bagi kehadiran Liech di keluarganya. Sama sekali tidak. Atau dia hanya berusaha menutup mata tentang hal tersebut. Toh Vash takkan peduli. Ia berencana akan pulang malam kali ini, sebodo amat dengan anak itu.
"Aku membuat cream soup untuk menghangatkan tubuh." Liech meletakkan sebuah mangkuk yang masih mengepul di atas meja di hadapan sang kakak yang hanya mengangkat alis tak acuh. "Dihabiskan ya?"
"Hn."
Vash mengambil sendok dengan malas-malasan dan menyendokkan isi sup yang harum itu kemudian menyuapnya. Rasanya enak seperti biasa. Masakan buatan Liech, jujur saja, bahkan lebih enak daripada buatan ibunya sendiri. Tapi Vash tak pernah menunjukkan ekspresi tertentu saat memakannya. Ia hanya datar dan tak banyak komentar seperti sikapnya selama ini terhadap Liech.
"Bagaimana rasanya, Oniisan? Enak? "
"Ng? Menurutmu? "
Liechtenstein tersenyum kecil dan mulai menyuap cream soup dalam porsi kecil untuknya. Well, dia memang sama sekali tidak menambah pengeluaran bulanan keluarga secara signifikan, ia tidak makan banyak ataupun banyak menuntut sesuatu. Gadis itu apa adanya dan mengerti. Mengerti bahwa satu di antara anggota keluarga yang menampungnya tidak menyukainya. Sehingga ia cukup tahu diri untuk tidak meminta lebih.
Vash menghabiskan makan malamnya sesegera mungkin karena seperti phobia ia tak betah berada di satu ruangan yang sama bersama Liech, ia ingin cepat-cepat pergi ke tempat teman-temannya. Ia mengambil jaket army dan topinya, mengenakannya dengan kilat. Ia hendak melangkah ke depan pintu ketika Liechtenstein meraih lengannya.
Tanpa bermaksud kasar dan didasari rasa tekejutnya belaka Vash menyentakkan lengannya. Ia menunduk menatap Liechtenstein yang sekilas menunjukkan perasaan terluka dari tatapannya dan Vash—lagi-lagi—tak menghiraukan tatapan itu.
"Oniisan. Pakai sarung tangan ini. " Liechtenstein memakaikan sepasang sarung tangan berwarna hijau yang menurut Vash tidak pernah ia miliki atau ibunya belikan untuknya. "Diluar mulai dingin, bagaimana jika Oniisan sakit nanti?"
"Sarung tangan siapa ini? " seolah ditempeli serangga aneh Vash ingin cepat-cepat agar gadis itu melepaskan tangannya. Segera. "Aku tak merasa memilikinya. "
"Aku membuatkannya untuk Oniisama, baru tadi pagi aku menyelesaikannya." Liechtenstein tertawa pelan demi mencairkan tembok dingin yang telah tercipta antara ia dan kakak angkatnya selama tiga tahun ini. "Jangan dilepas, ini bisa mengahangatkan tangan Oniisan. "
"Hn." Vash menarik tangannya cepat-cepat setelah Liechtenstein selesai memasangkan sarung tangan yang jujur saja cocok sekali baginya.
Kemudian setelah sampai di ruang depan dekat pintu dan yakin adiknya takkan melihatnya, Vash melepas sarung tangan itu dan melemparnya ke dalam laci lemari buffet di samping rak sepatu. Ia membuka pintu dan membantingnya dengan sengaja tanpa mengucapkan salam apapun.
"…Ah, sampai nanti, Oniisan" Liechtenstein menyelesaikan ucapan yang baru sampai di ujung mulutnya namun sang kakak keburu pergi begitu saja. Ia tersenyum kecut kemudian duduk di atas sofa seraya memeluk boneka beruang pemberian Ludwig sebagai hadiah ulang tahun ke-15 untuknya itu. Dan ia bertekad untuk terus terjaga sampai kakaknya itu pulang.
XxxxxxXxxxxxX
Suara pintu yang ditutup dengan keras sehingga gema suaranya menyebar ke seisi rumah membangunkan Liechtenstein dari tidurnya dan ia baru menyadari bahwa sedari tadi ia tertidur pulas sekali di sofa di ruang tamu sampai ia menyadari bahwa malam sudah amat larut—bukan malam lagi malah—ini sudah jam dua pagi.
Liechtenstein bangkit berdiri dan melihat kakaknya memasuki ruang tamu yang bahkan lampunya masih menyala—ia tak khawatir soal kakaknya akan mengomel soal lampu—tapi ia lebih tenang melihat sang kakak tiba di rumah tanpa kekurangan apapun.
"Ini sudah pagi, kenapa Oniisan baru pulang? " Tanya Liech seraya melihat ke arah jam dinding. "Aku menunggu Oniisan pulang dari tadi... "
"Aku tak memintamu untuk menungguku. " Jawab Vash dingin.
"Tapi, Oniisan, aku hanya ingin memastikan bahwa Oniisan sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja... "
Vash memandanginya dengan tatapan datar yang lama-lama menjadi tak senang dan kedua mata hijaunya mulai menyipit. "Aku bukan anak kecil yang perlu ditunggui. Kau—tidur di sofa?" ia melirik bantal yang tergeletak di lengan sofa. Hawa yang dingin, dan gadis tolol ini tertidur di ruang tamu tanpa mengenakan selimut.
Liechtenstein mengangguk pelan seraya menunduk. Ia tahu sepertinya Vash akan mulai menceramahinya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Oniisan—"
"Dengar, aku bukan anak kecil lagi. Tak butuh perhatianmu. Tak perlu mengaturku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Kau urus hidupmu sendiri dan akupun takkan mau tahu. Dan hidupku jangan kau ikut campur. Kau mengerti? "
"Ya, aku mengerti. "
"Hn. Bagus. "
Vash hendak melangkah ke kamarnya di lantai dua namun (sekali lagi) Liechtenstein menarik tangannya, dan kali ini Vash benar-benar menyentakkan lengannya. "Apa lagi? Aku sudah lelah dan ingin tidur. Minggir. "
"Oniisan tak memakai sarung tangan pemberianku. " Ucap Liechtenstein pelan. Seolah ia sudah memperkirakan hal ini terjadi meski nada pahit tetap terdengar dari nada suaranya.
"Apa? Oh—aku memang sengaja meninggalkannya di buffet ruang depan. Aku tidak butuh sarung tangan. Lagipula hawa di luar sana tidak terlalu dingin. " Vash mengangkat bahu tak acuh.
"Tapi... Tapi aku membuatkan itu untuk Oniisan..."
"Terserah, lepaskan tanganku. Aku. Ingin. Kembali. Ke. Kamarku. "
"Oniisan habis dari rumah siapa? "
Tatapan Vash kembali menyipit seolah berkata sudah-kubilang-ini-bukan-urusanmu. "Bukan urusanmu. " Vash melengos pergi begitu saja, menaiki tangga dengan cepat dan meninggalkan gadis itu berdiri sendirian di tengah ruang tamu yang justru hawanya lebih dingin daripada hawa di luar rumah.
Atau hanya perasaan Liechtenstein saja. Yang dikarenakan sikap Vash setelah tiga tahun mereka telah tinggal bersama dan menjadi kakak-adik. Bukannya hubungan harmonis yang tercipta justru jurang pembatas yang amat dalam diantara mereka. Dan bukannya Liechtenstein tak mau berusaha memperpendek jurang diantara mereka itu. Ia telah berusaha, hanya saja Vash yang memilih menjauh.
Dan justru menambah jarak di antara mereka. Jangan tanya apa perasaan gadis itu selama ini, ia sadar betul keberandaanya ini amat mengganggu Vash. Sementara ia tak mempunyai tempat lain untuk tinggal.
Bagi Vash, Liechtenstein hanyalah gema dalam kehidupannya. Ia hanyalah sebuah keheningan sesaat baginya. Dan suaranya takkan pernah terdengar. Tidak...
XxxxxxXxxxxxX
Finally selesai juga =_="
Idenya sumpah dadakan banget. Ini sekali lagi BUKAN songfict, cuma terinspirasi. Iya, saya tahu fic ini abal banget.
Tapi reader-sama yang ba?ik bakal ninggalin ripyu disini *gak nyambung *plak
Tau kan Minna-san, mesti mencet yang mana? Itu lhoo tombol "Review This Chapter" pas banget tuh dibawah *nunjuk-nujuk*
Thanks for reading, Minna-sama =D
