Disclaimer : Death Note hanya milik Ooba Tsugumi dan Obata Takeshi.
Summary : Ia harus belajar mempercayai kata hati, konsekuensi dan aksi. Sebelum Mihael Keehl pantas menyandang nama Mello.
Writer note : Ada kecelakaan kecil yang membuat memory ponsel berisi chapten selanjutnya dan akun FanFiction saya tidak dapat diselamatkan, jadi saya mem re-publish Rantai Merah dan melanjutkannya di sini.
Terimakasih untuk Riz yang mau mendukung saya untuk membuat cerita ini. Untuk teman kelas saya Ayu (nama disamarkan) yang entah suka rela atau terpaksa mendukung saya.
Saya tau jika alur cerita ini masih banyak kekurangan dan butuh perbaikan di sana sini. Mello juga belum terlihat sifat membangkangnya. Typo sepertinya juga banyak di sini. Tulisan saya juga terkesan kaku, mungkin efek grogi/? Tapi sejujurnya saya lega dapat menyelesaikan sebagian cerita. Sejak dulu saya ingin sekali membuat latar belakang Mello versi saya.
Ambisi dan tekad yang besar tidak ia dapatkan sejak lahir
Butuh ketakutan hebat untuk menumbuhkan keberanian pantang menyerah
keterpurukan ada untuk pembelajaran
Orang bodoh menerima nasib
Orang pintar mencari jalan keluar
Dan hanya orang cerdas
Yang bergerak bangkit dan maju
—
Bisa kalian lihat bangunan tua terawat berdiri dengan angkuhnya di sekeliling rumah penduduk, dengan halaman luas yang disulap menjadi kebun kentang dan apel. Bangunan yang pertama kali berdiri pada akhir tahun 1890 itu sudah memiliki puluhan pemilik yang terus berganti, puluhan sejarah tak berarti.
Namun kini bangunan itu telah berubah fungsi menjadi panti asuhan sejak 2 tahun lalu dengan dana sumbangan Society for the Improvement of London's Children serta para donatur berkantong tebal. Mereka membeli dari pemilik teradahulu dan menyulap tempat itu menjadi tempat bernaung para anak terlantar tanpa mengubah banyak karakteristrik bangunan.
King's Cross. Sebuah bangunan tua yang akan menjadi penonton dalam kisah perebutan hak asasi manusia. Saksi bisu atas sikap menjijikan para umat penggenggam kuasa. Bangunan yang akan terus berdiri sampai kaum lemah menjatuhkan ketidak adilan.
Well, mari kita mulaikan cerita ini…
—
London, Inggris 1996
"Mihael, perkenalkan, beliau adalah Tuan Fitzimmons."
Lelaki bernama lengkap Charles Fitzimmons itu berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh pendek dan berwajah bulat. Wajahnya berseri-seri dan sepasang tangan menyentuh pundak bocah laki-laki itu. "Anak jagoan ini pasti Mihael kan? Selamat datang di King's Cross, Mihael."
Mihael menggenggam erat tangan ayahnya, menetralisir rasa panik dan cemas. tempat ini terlihat tidak aman baginya terutama lelaki bernama Fitzimmons itu, entah kenapa perasaannya merasa tidak enak. "Kau tidak berniat menaruhku di sini kan?"
Yang bocah itu maksud adalah bangunan tua bertuliskan Panti Asuhan King's Cross' , dimatanya bangunan tersebut layaknya rumah setan di dalam film yang ia tonton secara illegal di bioskop.
Anak mana yang sudi tinggal di tempat para setan? Hanya anak setan, serangga dan tikus. Mihael tentu bukan salah satunya.
"Mereka akan merawatmu lebih baik dariku, seharusnya kau senang."
Kenapa aku harus senang karena ditingal? Panik semakin menyelimuti kala mendengar kalimat tersebut. "Kau tidak bisa melakukan ini. Kau sudah terpengaruh dengan wanita murahanmu itu, sadarlah kau ditempeli lintah darat!"
Genggaman tangan terlepas, satu tamparan mendarat di pipi Mihael. Kini pipinya tergambar telapak tangan besar berwarna merah.
"Aku bisa dan sedang melakukannya." lelaki yang bersetatus ayah itu berjongkok di depan Mihael, "Aku bisa saja menjadikan jalanan sebagai rumahmu, mati kelaparan tanpa ada orang yang perduli. Tapi aku masih berbaik hati padamu dengan membuang uangku untuk membawamu ke sini. Kau seharusnya berterima kasih padaku, nak."
"Tuan Keehl, saya kurang setuju dengan tindakan anda barusan." Lelaki tua itu menarik badan kecil Mihael dari jangkauan tangan sang ayah, "Kekerasan tanpa tujuan tidak akan membuat anak menyadari kesalahannya, itu hanya akan membuat mereka ketakutan." Tuturnya sesopan mungkin tanpa berniat menyinggung. Walau tidak suka, sudah semestinya dirinya dapat mengendalikan emosi di depan orang asing.
Keehl tua hanya mendengus mendengar ceramah itu dan tanpa permisi pergi menjauh dari panti. Sudah tidak ada urusan lagi dirinya disini.
Mihael mematung memandangi kepergian satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini.
Satu-satunya keluarga yang memutuskan tali kekeluargaan dengannya. Tidak perlu kejeniusan untuk menyimpulkan dirinya telah dibuang.
Apa sikap keras kepalanya telah membuat sang ayah sakit kepala?
Apa dirinya tidak berharga?
Pipinya memang terasa sakit dan pedih, panas hati mendominasi. Namun itu belum cukup untuk membuatnya bersedih akibat ditinggal sendiri. Mihael anak kuat, sakit hati ini tidak akan membuatnya terpuruk.
"Nah, Mihael, biar kutunjukan kamarmu." Mr. Fitzimmons kini bersuara, "Jangan terlalu dipikirkan ucapan ayahmu, seluruh keluarga besar King's Cross perduli padamu."
Dengan enggan Mihael mengikuti Mr. Fitzimmons, tas berisi baju-bajunya kini terasa semakin berat di punggungnya. Seolah dirinya bukan hanya memikul kain, melainkan batu-batu.
—
Terakhir kali L mendapat surat secara pribadi adalah dua tahun lalu, itu pun surat dari Roger yang mengabarkan jika dua calon penerus potensialnya telah pergi disaat dirinya sedang menangani kasus pencurian lukisan di Annapolis, Marryland.
Saat itu dirinya tidak terlalu terkejut mendengarnya. Tekanan dan persaingan dari banyak pihak dapat membuat semua orang tertekan. Tidak terkecuali orang genius. Mereka terlalu fokus dilatih dan disiapkan agar dapat menggantikan dirinya di dalam bayangan kebenaran, wajar jika salah satu diantara mereka bunuh diri dan yang lain melarikan diri membawa dendam teramat dalam.
Saat ini meja penuh dengan makanan manis; gula-gula, coklat, kue beraneka rasa. Tergeletak sebuah amplop putih bersih berhiaskan tulisan ceker ayam yang (untungnnya) masih dapat terbaca.
To : L
We need your help…
L membuka isi amplop menggunakan jari telunjuk dan jempolnya. Tidak ada kertas di dalamnya. Hanya sebuah rosario berantai merah. Tidak ada petunjuk lain.
"Ada masalah, L?" Tanya seorang lelaki menginjak usia enam puluh tahun ke atas; Watari. secangkir teh ia serahkan pada detektif tersebut.
"Ada yang meminta pertolongan saya."
Watari memperhatikan kalung yang dipegang oleh anak angkatnya itu, tidak ada yang mencurigakan. "Banyak orang yang membutuhkan pertolonganmu."
Cukup lama L memandangi surat dan kalung bergantian. "Tidak ada alamat pengirim, surat ini ditaruh langsung dalam kotak pos, dibuat oleh anak-anak, penulis kidal."
"Mungkin hanya anak iseng, beberapa hari kebelakang anak jalanan menekan bell pintu panti lalu bersembunyi. Roger sampai harus memasang cctv agar dapat menangkap anak-anak tersebut. Ini keisengan terbaru mereka."
"Sudah berapa lama Roger memasang cctv di depan pintu?"
"Baru dua hari lalu, dia kesal harus membuka pintu setiap sepuluh menit sekali tanpa hasil." Watari menyambar jas musim dingin dan topi yang tergantung di gantungan dekat pintu.
L menaruh amplop dan kalung tersebut ke pinggir meja kerjanya, mungkin ucapan Watari benar. Ini hanya perbuatan anak iseng.
"Anda mau kemana?"
"Persediaan dapur menipis, saya harus pergi ke pasar sebelum besok anak-anak kelaparan." Jas hitam dan topi telah Watari kenakan, "Kau ingin ikut, L?"
Hening beberapa detik, "Tidak, tapi tolong belikan sirup maple dan gula kapas."
"Baiklah," pintu ditutup dari luar. L dibiarkan sendiri di dalam ruangan dengan tumpukan manisan dan kasus rumit.
—
Keadaan di dalam panti ternyata tidak terlalu buruk baginya, lantai beralaskan kayu memberi kehangatan dikala pertangahan bulan November kali ini. Dinding-dinding lorong nampak polos tanpa hiasan. Monoton dan membosankan namun lebih baik dibandingkan cat dinding terkelupas dan goresan kasar dari botol beling yang dilempar kala sang ayah sedang mengamuk.
"Kuharap kau akan betah tinggal di sini, nak Mihael. Jika tidak salah umurmu sudah tujuh tahun? Di tempat ini hanya ada anak dengan usia kisaran sembilan tahun ke atas, namun mereka anak-anak yang ramah." Ucap Mr. Fitzimmons dengan nada bersahabat.
"Sungguh menyedihkan mereka bisa tinggal di sini." kepala kecil miliknya mendongak menghadap lawan bicara yang lebih tua. "Kau setuju kan?"
Mr. Fitzimmons agaknya tertegun, terbukti dengan langkah kakinya yang terhenti. Mata kelabu miliknya menatap lurus bocah tujuh tahun di sampingnya, "Aku tidak tau pencobaan apa yang diberikan Tuhan terhadapmu sehingga kau bisa berbicara demikian." Lelaki tua itu menggelengkan kepala prihatin.
"Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Kau dapat membaca ayat berikutnya di Kitab Matius. Untuk menghibur hatimu, nak."
"Terimakasih Mr. Fitzimmons." Mihael memaksakan tersenyum tipis untuk apresiasi. Setidaknya Mr. Fitzimmons berusaha menghibur walau tidak membantu banyak.
.
Seorang anak lelaki dengan perkiraan usia sepuluh tahun dengan rambut hitam kemerahan menghampiri mereka berdua dengan terburu-buru, "Charles, Eliza meminta kau menemuinya di dapur."
Mata Mr. Fitzimmons menyipit tidak suka, "Ross, sudah beberapa kali kukatakan jaga attitudemu. Sangat tidak sopan memanggil orang lebih tua seperti itu."
"Ini sudah kebiasaanku, kupikir kau sudah memakluminya," Bocah laki-laki itu; Ross nampak memutar bola matanya, tidak ambil pusing. "Ada pertandingan bola yang harus kuikuti,"
Mr. Fitizmmons masih dengan posisi awal (mata menyipit tidak suka) dan kini Ross ikut memelototi tak gentar. Tatapan itu seperti seorang bocah yang tidak puas dengan boneka salju buatannya yang tidak sesuai kriteria.
Mihael mengamati bocah bernama Ross tersebut, badannya lebih tinggi sembilan atau sepuluh senti dari tingginya, mata biru itu mirip dengannya, namun rambut terbakar matahari milik Ross sangat berbeda dengannya yang pirang alami. Postur tubuh Ross lebih gemuk dari dirinya namun tidak lebih gemuk dari mr. Fitzimmons, terdapat bintik-bintik kemerahan di bawah mata anak itu.
Lelah dengan tatapan tanpa makna, Ross membuang muka ke samping. Kedua mata mereka saling bertemu saat itu juga, membuat Mihael buru-buru memutuskan kontak dengan langsung memandang lantai kayu.
"Siapa dia?" tangan pucat Ross mengarah pada sesosok bocah yang belum pernah ia temui selama tinggal di sini. "Apa dia kucing barumu?"
"Jaga ucapanmu, Ross. Dia Mihael, teman sekamarmu dan Jhon yang baru." Mr. Fitzimmons memperkenalkan mereka berdua. "Bawa Mihael ke kamar kalian. Tepat pukul delapan makan malam akan siap, beritahu Jhon untuk membantu Eliza di dapur karena hari ini jadwalnya untuk membantu memasak."
Pandangan Mr. Fitzimmons kembali kepada Mihael, "Ross akan mengantarmu ke kamar, semoga hari kalian menyenangkan." Satu senyuman terhimpit gumpalan lemak pipi diperlihatkan sebelum sang pengurus panti pergi.
Tatapan mereka kembali bertemu kala sang pemilik panti pergi meninggalkan mereka berdua, kali ini Ross lah yang menyelidiki penampilan bocah pirang di hadapannya.
"Pantas saja," gumamnya setelah melakukan pengamatan ala observator gadungan.
"Apa?"
"Bukan apa-apa, ayo kuantar kau ke kamar," Ross menarik pergelangan tangan Mihael terburu-buru, "Setelah ini aku ada pertandingan bola, kau juga dapat ikut jika suka."
Mihael mencoba menyamakan langkah kaki bocah lebih tua darinya itu, "Kau mengajakku?" terselip nada kecanggungan di dalam pertanyaan tersebut.
Bukan karena curiga, ia hanya merasa kurang nyaman jika berjalan dengan seseorang yang tidak memiliki ikatan apapun dengannya.
"Tentu saja," Cengiran khas anak kecil terpancar dari bocah berambut merah itu, "Kita ini adalah teman!"
Dan dengan satu kata itu, semua rasa canggungnya menguap sudah.
Mungkin prasangka awal Mihael salah. Tempat ini terlihat lebih bersahabat dibandingkan kediaman kumuhnya. Dan pengurus panti yang di awal ia anggap berbahaya tidaklah seburuk perkiraan. Bahkan dirinya sudah memiliki teman.
Atau mungkin seharusnya Mihael mulai belajar mengikuti kata hati yang konon tidak pernah salah.
TBC
Review jika berkenan? Kritik dan saran dari kalian sangat saya butuhkan di sini.
