–DROWNED OUT–
Wen Junhui.
Tampan, kaya raya, cerdas, menguasai berbagai macam bela diri, sempurna bak jelmaan seorang Dewa dari langit.
Wen Junhui.
Pewaris sekaligus pemimpin generasi ke 7 salah satu grup mafia terbesar di daratan China. Sosok dengan tinggi badan diatas rata-rata ditambah pribadinya yang memang dingin dan kharismatik, membuat siapapun yang berhadapan dengannya takkan berani mendongak bahkan untuk sekedar bertatap mata.
Wen Junhui,
Sedang duduk di kursi kerjanya, memandang tajam pada 12 orang yang kini tengah berdiri di hadapannya.
"Tuan muda, apakah anda berencana pergi ke Korea dalam waktu dekat ini?"
Salah satu dari sekumpulan pria tersebut bertanya pelan, pelan dan amat sopan. "Apabila tuan muda ingin berangkat, izinkan saya menyiapkan pengawalan untuk tuan muda." sahut yang lainnya lagi.
Junhui menerobos manik mata lawan bicaranya satu per satu. Tak terlihat berpikir, namun seperti mencari sesuatu, atau mencoba membaca pikiran orang-orang yang ada didepannya, lebih tepatnya.
Hening.
Junhui belum menjawab pertanyaan dan penawaran yang telah diajukan bidak-bidaknya tersebut. Enggan, mungkin.
BRAK!
Dentuman pintu menginterupsi keheningan yang ada, memunculkan sosok tinggi –walau tak setinggi Junhui– dengan rambut berwarna pelangi. Dengan wajah polosnya ia bergerak masuk tanpa menutup pintu kembali, langsung menyamankan diri dengan duduk di sofa yang terletak tak jauh dari posisi Junhui berada sekarang.
"Astaga, Wen Junhui. Ini sudah jam 1 pagi, dan gege masih saja membiarkan paman-paman ini bekerja sampai larut. Manusiawilah sedikit, Ge." celotehnya. Sementara paman-paman tersebut tengah membayangkan adegan mengerikan, timah panas Junhui yang bisa melesat menembus kepala salah satu diantara mereka yang ada di ruangan tersebut, kapan saja.
Tidak, itu tidak mungkin.
"Orang gila mana yang berani mengucap nama seorang Wen Junhui secara sembarangan?" –begitulah kata orang-orang selama ini. Tapi nyatanya, orang gila bernama Xu Minghao tersebut tengah berbaring di sofa sembari tersenyum, memainkan game di smartphone miliknya.
Junhui menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menghela nafas. "Akan kuberitahu jika aku membutuhkan sesuatu. Bubarlah." titahnya. Dan ke-12 orang itu pun serempak membungkukkan badan dengan hormat, kemudian berjalan keluar dari ruangan.
Singkat, jelas, padat. Tak pernah ada kalimat basa-basi kurang berguna yang keluar dari bibir seorang Wen Junhui. 1 adalah 1, A adalah A, keputusannya mutlak, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkataannya adalah perintah, bagi siapapun, tanpa terkecuali.
–DROWNED OUT–
Sementara itu Minghao masih serius berkutat dengan smartphonenya, tak menyadari kini Junhui sudah duduk di sampingnya.
Junhui memandangi Minghao dengan serius, mata elangnya tak lepas dari setiap inci wajah Minghao.
Junhui rindu, sangat rindu pada sosok Minghao.
"Makanya, jangan suka pergi lama-lama, Ge. Kau jadi begitu rindu padaku, kan? Matamu sampai tidak berkedip." Minghao menoleh ke arah Junhui, lengkap dengan senyum mengejeknya. Pandangannya beradu dengan mata tajam Junhui.
Minghao meletakkan smartphonenya di atas meja, dan beringsut mendekat ke arah Junhui, menyandarkan kepalanya di bahu Junhui dan memeluk lengan kokohnya. Sementara Junhui masih diam, belum menanggapi Minghao sedikitpun. Pun dengan Minghao yang kini hanya memejamkan mata, jari-jarinya perlahan memainkan jemari Junhui.
Jun, begitulah Minghao biasa memanggilnya. Tapi tolong dicatat bahwa hanya Minghao satu-satunya orang yang berani dan berhak untuk memanggil Junhui menggunakan nama panggilan tersebut. Minghao adalah satu-satunya orang yang bisa dengan leluasa menyebut nama Wen Junhui dengan lantang, dan Minghao adalah satu-satunya orang yang mampu meluluhkan sosok sekeras baja bernama Wen Junhui, seperti sekarang ketika satu tangan Jun terangkat dan membawa kepala Minghao mendekat, berakhir dengan satu kecupan lembut di kening, sebuah kecupan yang menyalurkan jutaan rasa yang disimpan Jun untuk kekasihnya.
"Terima kasih sudah menungguku." kata Jun.
Minghao tersenyum tipis menerima perlakuan tersebut, lantas ia menopangkan dagunya pada bahu Jun, menatap Jun dari samping. "Kau pergi selama sebulan, apakah aku hanya akan mendapatkan sebuah ucapan terima kasih, Ge?" tukasnya. Yap, Jun baru saja kembali dari belahan bumi yang lain, dalam rangka memperluas dan memperkuat pergerakan grup yang ia pimpin. Jun terkekeh pelan, sebelah tangannya kemudian menarik tangan Minghao, membawa lelaki kurus tersebut untuk duduk di pangkuannya. Tangan Minghao kini memeluk leher Jun, sementara kedua tangan Jun melingkar erat di pinggang kekasihnya. "Kau merindukanku?" tanya Jun.
Minghao memandang sekeliling, terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab "Ya– tapi, kau pasti jauh lebih merindukanku ketimbang aku merindukanmu. Ya kan, Ge?" balas Minghao. Sementara Jun hanya tersenyum teduh, kemudian menjawab "Kau tahu akan hal itu lebih dari siapapun."
Setelahnya, bibir mereka saling bertemu satu sama lain, menyalurkan kerinduan dan perasaan masing-masing. Jun yang mengeratkan pelukannya pada Minghao, dan Minghao pun perlahan mengelus pelan tengkuk Jun.
Tok, tok.
Suara ketukan pintu tersebut membuat Minghao menjadi yang pertama menghentikan kegiatan mereka, kemudian mencebik "Demi seluruh dewa di langit dan lautan, tidakkah orang-orangmu itu selalu berusaha menjauhkanku darimu, Ge?"
Jun mengelus puncak kepala Minghao pelan, "Pergilah ke kamarku, aku akan menyusul, 10 menit lagi."
"Hm, baiklah, aku akan menunggu Gege dikamar."
Setelahnya, Minghao pun bangkit dari pangkuan Jun, dan berjalan ke arah pintu. Ketika ia membuka pintu, diluar sudah berdiri seorang lelaki paruh baya, wajahnya terlihat agak tegang. Lelaki tersebut membungkukkan badannya ketika Minghao berjalan melewatinya.
Lelaki tua tersebut masuk ke dalam ruangan Jun, kemudian membungkuk hormat.
"Tuan muda, maafkan kelancangan saya menganggu tuan muda, tapi ada hal penting yang harus saya sampaikan pada tuan muda." ucapnya.
"Katakan."
"Sebuah laporan baru saja masuk, tuan, bahwa pengiriman pasokan senjata di distrik 8 mengalami hambatan." jelas lelaki tua tersebut. Jun terlihat berpikir sejenak, "Hambatan?"
Lelaki tua itu mengangguk mantap, "Apakah senjatanya dicuri?" sambung Jun.
"Tidak tuan muda, senjata-senjata tersebut sudah sampai ke gudang senjata kita."
"Lalu apa yang kau maksud dengan hambatan?"
"Orang-orang yang bertugas mengawal senjata tersebut, tewas mengenaskan ditengah perjalanan sebelum sampai di tujuan. Saya sudah memerintahkan orang-orang terbaik yang kita punya untuk menyelidiki kasus ini, dan meminta yang lain untuk menangani pengiriman senjata tersebut ke distrik 8."
"Lalu apa hasil yang kau dapat?"
Lelaki tua tersebut tak menjawab, ia lantas mengambil sebuah benda dari balik saku jasnya, sebuah amplop kecil berwarna cokelat. Amplop tersebut ia letakkan di atas meja kerja Jun.
"Tuan muda bisa melihatnya disini, semua sudah saya siapkan. Sebaiknya tuan muda lekas beristirahat. Saya permisi."
Setelahnya lelaki tua tersebut membungkukkan badannya, dan berjalan ke luar ruangan. Meninggalkan Jun yang tengah membuka amplop tersebut dengan perasaan berkecamuk. Ada orang yang berani bermain-main dengannya, bahkan sampai mengusik bisnisnya. Di seluas tanah China ini, belum ada satupun orang yang berani bahkan untuk sekedar menginjakkan kakinya di daerah kekuasaan milik pewaris darah Wen tersebut.
Didalam amplop tersebut, terdapat beberapa lembar kertas yang berisi biodata seseorang, dan juga selembar foto. Jun mengerutkan keningnya, ia merasa familiar dengan nama itu.
Kim Mingyu?
–TBC–
Hai kawan-kawan, kenalin aku Acchan, btw ini ff pertamaku disini loh ehe ehe /gak ada yg nanya/. Semoga kawan-kawan berminat untuk membaca ya, jangan lupa review alias kritik dan sarannya. Nanti kalo banyak yg berminat, ffnya akan saya lanjutkan, dan semoga bisa lebih baik. Mohon maaf kalau ada typo dan bahasa yang membingungkan, masih belajar nih huhuh '^' jangan lupa jaga kesehatan ya semuaaaaa~~~~~
With Love, Acchan.
