Onee-chan, Ano ne…
Tokyo Magnitude 8.0 © Natsuko Takahashi
.
Mimpi. Aku masih berharap semua ini hanya mimpi.
Saat nanti kuterjaga, sosokmu masih ada di sampingku. Terlelap dengan manisnya. Terbuai dalam mimpimu.
Masih mampu kubelai pipimu yang hangat, merasakan detak keberadaanmu… Merangkul dan mendekap tubuh kecilmu yang ringkih. Tanpa kau tahu, setia kujaga desis napasmu.
.
Mimpi. Tak apa kalaupun benar hanya mimpi.
Setidaknya, dapat kuremat jemari itu dengan lembut. Masih mampu menikmati alunan merdu suara kecilmu.
Lincah lakumu, tenangkan aku walau hanya seulas senyum. Ajarkan aku beribu makna hidup, hantarkan aku pada gerbang usia baru.
Dewasaku karenamu, untukmu, dan selalu dirimu.
.
Walau begitu, kerjapan kelopak mata ini menyadarkan aku… bahwa kau kini hanya sebatas mimpi.
Kau datang, tak lama lagi sirna.
Kenapa begitu? Berhentilah mempermainkan aku!
Meski sesungguhnya kau pun tahu, hanya ragamu yang masih boleh kulindungi. Masih, selama detakan jiwa itu masih setia mengikat raga.
.
Tapi dirimu begitu kejam seperti mereka. Meninggalkan aku tanpa sepatah kata perpisahan.
Kalau begitu, akan terus kurantai kenyataan ini. Karena bagiku… kau selalu abadi bersamaku.
Andai boleh, rela kutukar jiwa ini. Andai bisa, pasti kuserah sisa waktuku untukmu.
Janji ini belum kutepati; membawamu pulang, menemanimu melihat pameran robot lagi.
Janji. Aku sudah berjanji. Beri sedikit waktu lagi, meski sekadar untuk menunai hutang ini.
.
Lagi. Kucoba melindungimu lagi.
Ketika dinding-dinding kokoh itu menjatuhkan diri, kutakut segores luka terlukis di dirimu.
Maka kupeluk kau, kudekap erat, tak kubiarkan lolos meski kau meronta lepas.
Namun tak hangat, tak kurasakan hadirmu. Lenyap dalam rangkulanku.
"Kakak, kau tahu…"
Suaramu merdu melafas namaku. Lantunan melodi yang kurindukan hangat merambah kupingku.
"Kau tahu… aku… sudah mati…"
Duniaku berhenti berotasi. Pijakanku rapuh, menjatuhkan segelintir tetesan suci dari mataku.
Tidak! Bukan itu! Bukan kalimat seperti yang kuharap tuk kau ucap. Bukan siratan kalimat perpisahan yang memang tak pernah kau lantunkan.
Namun sinar mentari menembus kulitmu, dagingmu, tulangmu, ruhmu…
Menyadarkan aku cukup sudah awang ini. Berakhirlah khayalan akan dirimu ini.
.
Meski pedih, kuyakinkan diri bahwa kau tak lagi nyata.
Hadirmu kini hanya sebatas memori.
Dunia kita, jauh… Terpisah sekat kuat yang tak mampu kutembus.
"Maafkan aku, Yuuki…"
.
FIN
