She, the Uninvited Trouble

Chapter satu

Disclaimer : Riichiro Inagaki dan Yuusuke Murata, tapi Kakei masih tetap dan akan selalu menjadi suami saya dan uke Mizumachi

Summary: Kobayakawa Sena, seorang laki-laki imut yang normal, sehat, dan menyukai Suzuna. Hingga suatu hari ia menemukan selembar pita merah di loteng rumahnya, dan SEMUA berubah. HiruSena, sedikit senaSuzu.

Warning : Yaoi, rated T untuk isinya, mulut Hiruma, dan mungkin (eh, nggak mungkin ding, tapi pasti) akan berubah jadi M di chapter terakhir, OC, sedikit OOC, sedikit AU, sedikit SenaSuzu pula, pairing utama HiruSena.

DON'T LIKE DON'T READ. Tombol back masih menunggu.

Maaf kalau prolognya agak membosankan XD akan jadi cerita yang lumayan panjang, hehe. Enjoy ^^ ohiya, Read n Review yaak, onegai? *sok kiyut*

*

Sena menarik napas panjang dengan bahagia. Ah, akhirnya, setelah 16 tahun dia hidup sebagai laki-laki di dunia, baru kali ini ia memberanikan diri untuk mengajak seorang gadis untuk pulang bersama. Dan gadis beruntung itu adalah Suzuna, seorang gadis ceria yang meski tidak sesekolah dengannya, tapi sudah cukup lama dikenalnya. Dan gadis itu pulalah yang merintis klub cheerleader untuk klub American Football yang sekarang digeluti oleh Sena.

"OK, Juumonji san! Aku pulang duluan ya!", seru Sena pada seorang line pirang yang masih sibuk memakai kemeja putih seragam sekolahnya. Klub Amefuto baru saja selesai melakukan latihan sore, dan seperti biasa mereka semua berganti pakaian di ruangan klub Amefuto yang mewah. Kebetulan saja waktu itu hanya Sena dan Juumonji yang memakai ruang ganti sebelah kiri.

"Eh? Sena kun! Tunggu sebentar! Ada yang harus kukatakan padamu", panggil Juumonji terburu-buru, sebelum Sena sempat meraih tas olahraganya dan beranjak pergi. Juumonji mengancingkan seragamnya dengan tergesa-gesa, namun Sena sudah membungkuk singkat dan minta diri.

"Maaf Juumonji san. Sore ini aku ada janji. Bisa lain kali saja bicaranya? Ya sudah, aku sudah hampir terlambat, daah!", ujarnya terburu-buru. Juumonji yang kancingnya jadi terpasang selisih satu pun hanya bisa berdiri terpaku dengan kecewa.

'Tunggulah Suzuna, sebentar lagi aku datang', pikir Sena. Ia bergegas menuju ruang loker untuk mengambil beberapa bukunya yang masih ia tinggalkan di sana. Ia telah berjanji untuk menunggu Suzuna di depan pintu gerbang Deimon pada pukul empat sore tepat, lalu mereka akan berjalan pulang bersama-sama. Sekarang masih pukul tiga lebih lima puluh menit, masih ada sisa waktu sepuluh menit untuk mengambil bukunya dan pergi ke depan gerbang. Ia tidak mau terlambat dan tidak berada di tempat yang dijanjikan saat waktunya tiba.

"Hei Sena! Terburu-buru sekali?", sapa Monta yang sudah berada di ruang itu sebelum Sena datang, juga sedang mengambil barang-barangnya di loker.

"E-eh, iya. Aku ada janji dengan Suzuna", jawab Sena terengah-engah. Dibukanya pintu loker dan dengan tiba-tiba, tanpa peringatan, berpuluh-puluh amplop surat jatuh dari dalam lokernya, persis seperti longsoran gunung salju.

"Astaga! Lagi-lagi hal ini terjadi!", keluh Sena. Dipungutinya surat-surat itu, dan ia mempersiapkan diri untuk melihat nama-nama yang tercantum di muka amplop-amplop itu.

"Kouji Kuroki, Kazuki Juumonji, Satake, Yamaoka, ya ampun, Ishimaru juga ada, Osamu Kobanzame, mengerikan, jauh-jauh dari Kyoshin hanya untuk memberikan surat seperti ini, Hayato Akaba, Agon Kongou, Haruto Sakuraba, ada Shin san juga, terus Sasaki Koutarou, ng? Kengo Mizumachi? Masih banyak lagi nama-nama yang tidak kukenal, Hiroshi, Asada, Yuuto, Ryu, Kenji... AARRRGGHHH!!! Kenapa SEMUA surat cinta ini dari cowok sih?! Selalu saja begini! Sebal sebal sebaaaaallll!!!!", amuk Sena marah, langsung membuang semua surat itu dengan kasar ke bak sampah yang berada tepat di dekatnya dan menginjak-injaknya penuh kebencian agar padat.

"Hosh hoshh...", sena terengah-engah, menyaksikan surat-surat itu remuk dan kotor terinjak-injak sepatunya. Tidak biasanya seorang Kobayakawa Sena marah, namun hal ini sudah sangat amat keterlaluan baginya.

"Masih sama seperti kemarin-kemarin Sena?", tanya Monta dari balik bahu Sena, melongok surat-surat malang dan pengakuan-pengakuan yang 'layu sebelum berkembang' yang teronggok di bak sampah. Sena mengangguk sedih, sudah hampir menangis kalau bukan karena gengsi.

"Tiap hari! Tiap hari aku mendapat sekian banyak surat cinta, tapi semuanya dari cowok! Tidak ada satupun yang ditulis oleh cewek!", keluh Sena. Monta mengangkat bahu.

"Belum ada surat dari Hiruma san ya? Katanya dia juga menaruh perhatian padamu loh", Monta memberitahu. Sena bergidik ngeri.

"Hiih... orang seperti Hiruma san bisa jatuh cinta? Pasti akan mengerikan akibatnya buat orang yang kena. Sebaiknya aku menjauh dari dia sebelum dia benar-benar suka padaku", jawab Sena, masih merinding mengingat bagaimana perangai senpainya satu itu. Kasar, ganas, serampangan, semaunya sendiri, dan kawan-kawan, dan kawan-kawan.

"Sialan Montaaaa~. Apa sebegitu menariknya diriku ini di mata para cowok? Aku ini kan masih normaaaal, masih suka ceweek, aku suka Suzunaaa", rengek Sena di depan Monta. Yah, Monta, meskipun berusaha menjadi seorang sahabat yang baik, yang netral, namun tetap saja pesona seorang Sena telah berhasil menggapai matanya, hingga membuatnya melupakan seorang gadis sempurna bernama Mamori untuk barang sejenak.

"Eh... tapi, kau memang manis kok, Sena...", jawab Monta dengan sedikit blush di pipinya. Refleks Sena mundur 10 meter, kabur sesegera mungkin ke gerbang, meninggalkan Monta sendirian di ruang loker.

"Hiih, seram, jangan sampai lah Monta ikut-ikutan, menyebalkan, semua cowok sama saja...", gerundel Sena sambil berlari menuju ke gerbang sekolahnya. Namun begitu tiba di sana, semua kekesalannya hilang saat ia melihat seorang gadis yang mengenakan seragam sailor biru dan sepatu roda melambai-lambai padanya.

"Sena kun!", panggil Suzuna. Sena berhenti tepat di depan Suzuna dan membalas sapaannya.

"Hei, Suzuna. Maaf aku sedikit terlambat, ada –ngg, sedikit hambatan tadi. Sudah lama menunggu?", tanya Sena, lalu mulai berjalan menuju arah pemukiman di sebelah timur Deimon. Kebetulan rumahnya dan rumah Suzuna searah, hanya rumah Sena sedikit lebih jauh. Suzuna meluncur mengikutinya dari belakang.

"Ah, belum kok, aku juga barusan datang. Tadi juga ada sedikit urusan tentang pelajaran. Kebetulan di sekolahku akan ada tes review, termasuk juga pelajaran dari semester lalu. Nah, aku sedang bingung karena buku catatan biologiku hilang – mungkin diisengi kakakku yang bodoh itu – dan sekarang aku nggak bisa belajar", keluh Suzuna panjang lebar, tanpa menatap Sena, hanya memandangi jalanan aspal yang dilaluinya.

"Dan kamu nggak dapat pinjaman?", tanya Sena. Suzuna menggeleng sedih. Sena berpikir sejenak.

"Tunggu sebentar. Itu yang materinya tumbuhan bukan?", tanya Sena lagi. Suzuna mengangguk, menatap Sena dengan ekspresi ingin tahu.

"Kalau benar yang itu sepertinya aku masih punya, nanti biar kucarikan. Lalu malam nanti akan kuantar ke rumahmu", Sena memberi solusi.

"Eh? Benarkah? Kyaaa! Sena kun baik sekali! Terima kasih yaaa!", seru Suzuna senang, lalu dengan energinya yang berlebih meraih kedua tangan Sena dan mengajaknya menari berputar-putar di tengah jalan, di bawah tatapan heran beberapa orang yang kebetulan berada satu tempat dengan mereka. Sena merasa malu, namun tak begitu peduli, ia bahagia bisa membuat Suzuna senang.

*

Sesampainya di rumah, Sena langsung melepas sepatu dan kaus kakinya, menaruh tasnya di sofa di ruang tengah dan mencari-cari ibunya untuk menanyakan dimana buku-buku semester satunya diletakkan.

"Bu! Ibuu!", panggil Sena agak keras. Sore-sore begini biasanya ibunya sudah pulang dari kantor dan sedang sibuk memasak untuk makan malam. Ayahnya baru akan pulang sekitar pukul tujuh malam, dan tidak ada orang lain di rumah kediaman Kobayakawa selain Shuuma, Mihae, dan Sena Kobayakawa, oh, Pitt juga.

Sena melongok ke dapur, tidak ada siapa-siapa. Begitu juga dengan ruang tengah tempat Sena menaruh tas tadi. Ruang makan juga kosong. Kamar ayah ibunya juga terkunci rapat, tanpa ada suara sedikitpun dari dalam. Rumah sepi. Sena menghela napas bingung. Saat ia beranjak ke ruang tengah untuk menelepon ibunya, sebuah memo post-it kuning yang ditempelkan di buffet menarik perhatiannya. Sena mengambil dan membaca memo itu.

Untuk Sena,

Ibu pulang malam, ada pekerjaan yang masih harus ibu selesaikan di kantor. Ayah akan pulang seperti biasa. Ibu sudah menaruh sepanci kari di lemari es, panaskan saja. Ada cake juga kalau kau mengundang temanmu datang. Jangan lupa kunci pintu kalau mau bepergian.

Ibu

Sena mendesah dan menaruh memo itu di tempatnya semula.

'Ibu pikir aku masih anak kecil?', batin Sena agak sebal. Ia lalu pergi ke dapur dan memanaskan kari untuk makan malam, memutuskan untuk mencari sendiri buku-buku lamanya. Ia sudah tahu bahwa ibunya tidak akan bisa diganggu di saat lembur seperti ini.

Sena pergi ke kamarnya, masih dalam balutan seragam SMA Deimon, celana panjang hitam, kemeja putih, dan jas luar hijau tua. Ia menarik laci besar di lemari bukunya dan memeriksa buku-buku di sana satu persatu. Ada buku-buku semester lalu, tapi hanya buku-buku teori, dan kebanyakan buku-buku pelajaran eksakta seperti matematika dan fisika. Tidak ada buku biologi di sana. Sena menghela napas lagi, sedikit kecewa, lalu memasukkan buku-buku itu kembali dengan agak berantakan.

Ia memeriksa laci satunya lagi. Tidak ada buku, hanya ada bertumpuk-tumpuk kertas lepas, kebanyakan berisi catatan-catatatn tidak berguna yang ia buat saat sedang malas memperhatikan guru, dan lain-lain. Lagi-lagi buku yang dicarinya tidak ada.

Sena lalu memeriksa seluruh penjuru kamarnya, lalu keluar ke ruangan-ruangan lainnya. Hasilnya nihil. Tidak ada sama sekali.

Sedikit kalut, Sena duduk di meja makan, memakan nasi karinya perlahan-lahan sambil mencoba mengingat-ingat kira-kira dimana ibunya meletakkan bukunya itu.

Matahari sudah mulai tenggelam di langit barat, meninggalkan semburat jingga kelabu di langit. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, sedangkan buku itu belum nampak sama sekali. Sena khawatir buku itu tidak akan berhasil ia temukan sampai malam mulai beranjak larut, padahal ia sudah berjanji pada Suzuna.

Namun tiba-tiba, saat ekor matanya tertumbuk pada kardus cake berwarna putih di lemari makan, ia teringat sesuatu.

Kalau tidak salah beberapa bulan yang lalu ibunya pernah menyingkirkan beberapa jilid komik dan game-game Sena ke loteng karena nilainya di sekolah menurun. Mungkin saja buku itu ikut terangkut bersama komik-komik yang disita ibunya.

Jadi dengan bersemangat Sena mencari kunci loteng rumah di laci dapur, dan setelah menemukannya ia bergegas pergi ke ruangan kosong yang berada tepat di sebelah kamar tidur ibunya. Di sana ada tangga kayu yang menempel di langit-langit yang dilengkapi dengan sebuah tali untuk menarik tangga itu turun, dan di balik tangga tersebut, pintu menuju loteng rumah kediaman Kobayakawa yang bergaya barat itu terletak. Sena menarik tali itu dan tangga kayu lipat menuju loteng terjatuh ke bawah dengan suara agak berisik. Tangga itu sudah cukup tua, namun masih cukup kuat.

Sena menaiki tangga itu, cukup ragu-ragu mengingat sebuah loteng yang seharusnya gelap, berdebu, dan mungkin, ng, berhantu. Namun begitu mengingat bahwa buku yang dibutuhkan Suzuna mungkin berada di sana, Sena meneguhkan hatinya. Dibukanya pintu menuju loteng it dengan kunci besar yang dibawanya dan diangkatnya pintu itu perlahan.

Sena melangkah naik, masuk ke loteng. Rupanya tali yang ia tarik tadi sekaligus berfungsi sebagai tuas untuk menghidupkan lampu loteng, jadi begitu ia masuk, suasana tidak begitu gelap.

Loteng itu memiliki atap yang rendah dan miring di beberapa sisi, dengan satu-dua jendela kaca yang langsung memperlihatkan langit pada mata Sena. Debu yang cukup tebal melapisi seluruh bagian loteng itu, kecuali di beberapa bagian yang mungkin baru saja dipindah-pindahkan. Berpuluh-puluh dus berbagai ukuran ditumpuk di sana. Juga beberapa perabotan kayu yang besar dan berat, sebuah cermin kuno berukir yang sangat besar, dan berbagai macam barang lainnya.

Sebuah dus yang kelihatannya masih cukup baru menarik perhatian Sena. Dan betapa girangnya ia saat ia membaca kalimat 'Sena, semester I' yang ditulis besar-besar dengan spidol permanen di kardus itu. Disobeknya isolasi coklat yang menyegel kardus itu, dibongkarnya juga isinya. Komik. Komik. Komik. Komik. Komik. Lalu setumpuk DVD Playstation yang disita oleh ibunya juga, dan setelah beberapa menit membongkar-bongkar, Sena menemukan sebuah buku tebal berkover hijau kebiruan yang sudah cukup familiar dengannya.

"Ketemu!", pekik Sena girang, membolak-balik halaman buku itu. Dengan jelas disana tertera namanya, kelasnya, dan juga keterangan-keterangan catatan pelajaran biologi. Akhirnya ia menemukan buku yang dicari-carinya sejak pulang sekolah tadi.

Tanpa membereskan barang-barang yang dibongkarnya tadi Sena berdiri dan berniat untuk segera keluar dari loteng dan mengantarkan buku itu ke rumah Suzuna sebelum hari menjadi benar-benar gelap.

Tiba-tiba Sena berhenti melangkah.

Sena...

Ia menoleh dengan terkejut. Ada... sesuatu...

Bulu kuduknya berdiri, jantungnya berdetak kencang. Ia merasakan ada sesuatu yang... janggal di dalam loteng ini. Tapi alih-alih menyuruh kakinya untuk segera hengkang dari sana, ia merasakan bahwa sesuatu itu memanggilnya, bukan memintanya pergi seperti di cerita-cerita horor biasa.

Meski agak takut, Sena menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya, mencari-cari sesuatu yang mencurigakan.

Ada.

Sebuah lemari rak rendah, terbuat dari kayu, diukir dan dipelitur dengan rapi sehingga berkilau dalam warna cokelat tua. Di bagian atas lemari itu terdapat sebuah kaca dengan bingkai berukir aneh yang dapat diputar.

"Ada apa... di dalam lemari ini?", gumam Sena perlahan tanpa sadar. Didekatinya lemari itu, dan dengan hati-hati ditariknya kenop laci teratas itu. Ia menutup matanya, mengira akan menemukan sesuatu yang menakutkan di dalam laci itu. Namun laci itu membuka dengan suara berderit, dan menampakkan isinya yang nyaris kosong. Sena mengintip dengan sebelah mata, dan mendesah lega begitu mengetahui apa isi laci itu.

Hanya ada selembar pita berwarna merah tua di laci itu, sendirian, tanpa ada benda lain yang menemaninya dalam laci yang bisa dibilang cukup besar itu.

Sena memungut pita itu dan mengamatinya. Pita beludru biasa, sepanjang sekitar 30 sentimeter, berwarna merah tua agak berdebu, lembut, dan sesuatu berwarna kuning di ujungnya menarik perhatian Sena. Diamatinya pita itu dengan lebih seksama, dan ia menemukan sebuah bordiran benang halus pada ujung pita itu, bordiran kuning yang membentuk huruf R.K.

"R.K?", tanya Sena pada dirinya sendiri, masih menatap pita itu dengan agak bingung.

Sena...

Sena merasakan ada sesuatu yang memanggilnya. Namun sebelum ia sempat menyadari dari mana panggilan itu berasal, rasa dingin merayapi tubuhnya, menjalar ke tulang sumsumnya, membuat otaknya berhenti bekerja, dan detik berikutnya, ia terjatuh dalam ketidaksadaran.

Sena...

Rena...

Pilihlah salah satu di antara mereka...

Sebab kalian tak bisa menyelamatkan keduanya...

TO BE CONTINUED

a/n: ah fuuuh... saya tahu seharusnya saya ngetik Blurry *melirik request apdetan blurry yang gentayangan di belakang punggung*, tapi inspirasi buat cerita ini tiba-tiba aja mengalir deres banget n ga mungkin dibendung, hahaha. Thanks buat Icarus Girl buat inspirasinya. Soal nama Rena juga, sebenernya ga rela make nama ini karena ini nama adikku yang tertjinta, tapi nama cewe yang senada sama Sena yang kepikiran cuma ini si...