Melody of Memories – Memories Number One : Back to School

Sebuah kain lap kering mengelap bagian biola yang bersih. Miku Kamui mengelap setiap bagian biola dengan lap kering khususnya. Padahal biola itu sudah dalam keadaan bersih, tapi Miku terus mengelap setiap bagian biola.

Senyum tipis melengkung di mulut kecil Miku. Matanya melirik sebuah bingkai foto yang terletak di sebelah kotak biola yang terbuka.

Di dalam bingkai foto itu terdapat sebuah sertifikat atas nama Miku Kamui. Sertifikat mengajar dalam pelajaran seni. Tanggal dari sertifikat itu tidak terlalu jauh dengan tanggal hari ini. Tahun sertifikat juga masih baru. Sertifikat itu juga resmi dari pemerintahan.

Setelah melirik sejenak, Miku kembali memfokuskan matanya pada biola yang dipegangnya.

Pintu kamar Miku terbuka. Suara decitan pintu kayu yang terbuka memgalihkan perhatian Miku dari biolanya. Ketika Miku menolehkan kepalany, rambut panjangnya yang dikuncir dua ikut bergoyang mengikuti arah gerak kepalanya.

Kekehan kecil muncul dari mulut kecilnya. "Gakupo, sebentar lagi ya. Aku sedang menyiapkan biolaku." Miku kembali menolehkan kepalanya pada biolanya.

Gakupo Kamui menghela nafasnya. Dia masuk ke dalam kamar Miku. Laki-laki yang beramput panjang dan dikuncir satu itu mendekati Miku. "Bukannya tadi malam kakak sudah mengelap biola itu?" tanya Gakupo sambil menunjuk biola yang dipegang Miku.

Miku terkekeh. "Aku hanya tidak mau ada satu debu menempel di biolaku di hari pertama aku bekerja."

Gakupo mendengus pelan. "Padahal kakak tidak akan membawa biola itu ke sekolah kan?" Gakupo melirik Miku.

Mata Miku berbinar-binar sehingga membuat rasa nyaman dalam diri Gakupo. Senyum tipis melengkung di mulut Gakupo yang sedikit lebar.

Miku menghela nafasnya sambil menjatuhkan bahunya. "Sayangnya kamu benar sekali Gakkun..."

Biola yang dipernis warna tua itu ditaruh oleh Miku di dalam kotak biola berwarna hitam miliknya. Bagian dalam kotak biola itu dilapisi kain beludru biru tua, tidak seperti bagian dalam kotak biola biasanya yang berwarna merah.

Miku kembali melengkunhkan senyum tipis lalu mengambil "Tapi, berdasarkan daftar materi yang aku terima dari guru Haku, aku bisa mempraktikan alat musik chordophone sekitar tiga minggu lagi."

Di sebelah bagian biola, Miku menaruh busur hitam biola miliknya. Setelah menaruh busur Miku menutup kotak biola tersebut kemudian menguncinya.

Miku berbalik sambil mengambil tas ransel kecilnya yang ia gantungkan di punggung kursi. Tas ransel itu ia kenakan di punggungnya. Mimu merapikan jas dan rok yang dikenakannya. Matanya yang berbinar-binar karena rasa semangat itu kemudian menatap mata ungu Gakupo.

"Bagaimana penampilanku? apa aku terlihat rapi?" tanya Miku.

Gakupo melengkungkan senyuman tipis lalu menganggukkan kepalanya. "Ya, rapi." Mata Gakupo tertuju pada ikat rambut warna ungu yang mengikat rambut Miku.

Mata Miku yang menatap mata Gakupo tertarik mengikuti arah gerak pupil mata ungu Gakupo. Dia melirik ke atasnya, berusaha mencari apa yang sedang Gakupo lihat.

Gakupo mengalihkan pandangannya kepada mata aqua Miku. "Kakak menggunakan ikat rambut pemberianku," ucap Gakupo.

Mata Miku melebar. Mulutnya menganga membentuk huruf o. Dia menganggukkan kepalanya lalu menatap Gakupo. "Iya. Ini kan hadiah ulang tahunku," ucap Miku lalu disusul tawa kecilnya. Miku berputar-putar lalu berhenti dan menatap Gakupo. "Aku cantik kan?"

"Tentu saja. Siapa dulu adiknya," ucap Gakupo.

Miku mendesis sambil sedikit menyipitkan matanya. "Percaya diri sekali kamu."

"Miku, Gakupo, bukankah kalian harus mengejar bis?" teriak ibu mereka, "kalau tidak pergi sekarang, kalian bisa ketinggalan bis."

Miku dan Gakupo menoleh kepada pintu kamar Miku. "Ya, bu," jawab keduanya.

Pertama-tama Gakupo keluar dari kamar Miku, kemudian Miku menyusul Gakupo dan menutup pintu kamarnya. Mereka berdua berjalan dalam satu baris, Gakupo memimpin di depan.

Setelah melewati pintu kamar Gakupo yang ada di sebelah kamar Miku, mereka berheti di belakang sofa ruang keluarga. Ibu mereka–Sonika Kamui–duduk di ruang keluarga sementara ayah mereka–Ars Kamui–sedang menyisip kopi di sebelah Sonika.

Mata Gakupo membulat ketika melihat ayahnya yang dibalut setelan formal duduk menyisip kopi. "Ayah belum berangkat?" tanya Gakupo.

"Belum, ayah akan berangkat sebentar lagi setelah menghabiskan kopi," jawab Ars.

"Ayah, ibu, kita berdua berangkat dulu ya," ucap Miku sambil melambaikan tangannya lalu berjalan mendekati pintu keluar ruang keluarga. Gakupo mengikuti di belakangnya.

"Miku, Gakupo," panggil Ars sambil menaruh cangkir kopi di atas pisin yang di pegangnya.

Miku menolehkan kepalanya sebagai jawaban atas panggilan Ars. Tangannya memegang kusen pintu sementara tubuhnya bertumpu pada kaki kanan dan ujung kaki kirinya.

"Karena ini hari pertamamu mengajar, mau ayah antar ke sekolah? ayah masih punya waktu sebelum masuk kantor." Ayahnya menaruh cangkir tersebut di atas meja kopi di depannya.

Miku melambaikan tangannya. "Terima kasih, ayah. Tapi, tidak usah." Miku melengkungkan senyuman tipisnya. "Pergi ke sekolah bersama Gakkun adalah kesempatan bagus untuk mencari tahu lebih banyak soal rahasia Gakkun."

Mata Ars dan Sonika membulat. "Rahasia?"

Gakupo menyentakkan alisnya. Gakupo menolehkan kepadanya pada Ars dan Sonika, dia menyentak, "aku tidak punya rahasia apa-apa di sekolah!" Gakupo menoleh kepada Miku. Dia menggelengkan kepalanya lalu mendekati kakak perempuannya itu.

Miku mengeluarkan seringai di mulutnya lalu terkekeh jahil. "Itu, rahasia soal gadis pujaan hatimu."

Wajah Gakupo langsung memerah. Kedua tangannya membekap mulut Miku.

Miku tetap memperhatankan seringainya meskipun mulutnya dibekap. Miku tertawa dengan mulutnya yang terbekap, tapi suara tawanya menjadi kecil. Miku melirik kepada Sonika dan memicingkan mata kanannya.

Sonika terkekeh sambil menutup mulutnya dengan ujung jari jemarinya. "Oh, aku sangat menantikan rahasia itu terbongkar."

Gakupo menoleh kepada Sonika, "ibu, jangan hiraukan perkataan kakak. Tidak ada gadis yang aku sukai di sekolah!"

Ars tertawa lalu menunjuk jam dinding yang berada di atas televisi. "Ya... sudah cukup bercandanya, lihat sekarang sudah jam berapa."

Mata Miku tertuju pada jam dinding. Seketika matamya terbelalak ketika mempejari arah jarum jam dinding. Miku mendorong Gakupo sambil berusaha melepaskan bekapan Gakupo. "Kiha..tehat..." teriak Miku dalma bekapan Gakupo.

Gakupo melepaskan bekapannya pada Miku. "Ini semua karena kakak."

Miku melambaikan tangannya kepada kedua orang tuanya. "Aku pergi dulu."

Miku berderap menuju rak sepatu yang ada di sebelah pintu masuk rumah. Dia mengambil sepatu hak tinggi hitam miliknya kemudian mengenakannya. Setelah memasang sepatunya, Miku menoleh ke belakangnya. Dia berteriak-teriak memanggil nama Gakupo dan menyuruhnya agar bergerak lebih cepat.

Miku membuka pintu rumahnya kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat. Dia dengan cepat membuka gerbang rumahnya. Miku membiarkan gerbang itu terbuka karena Gakupo ada di bekakangnya. Tapi, Miku meninggalkan Gakupo di belakang.

Miku memutuskan untuk berjalan duluan karena dia menggunakan sepatu hak tinggi jadi dia tidak bisa berlari. Menurut Miku, berlari dengan hak tinggi adalah sebuah kebodohan terbesar. Dia pernah terjatuh karena berlari dengan separu hak tinggi sewaktu masih kuliah. Kejadian itu membuat kakunya cidera selama lebih dari dua minggu.

Miku bisa mendengar suara langkah lari Gakupo yang sedang mengejarnya. Bersama dengan adiknya dari kecil membuat Miku hafal dengan suara langkah kaki Gakupo. Sayangnya, itu hanya berlaku saat jalanan sepi. Jika banyak suara langkah kaki, Miku tidak bisa membedakan mana suara langkah kaki adiknya itu.

Ekor mata Miku menangkap sosok Gakupo yang kini berada di sebelahnya. Gakupo menghentikan larinya dan berjalan di samping Miku. Tapi, kaki Gakupo lebih jenjang darinya, jadi ekor matanya melihat kalau Gakupo berjalan dengan kecepatan yang biasa. Langkahnya yang lebar karena kakinya yang panjang lah yang membuat Gakupo dalam mengimbangi langkah cepat Miku.

Gakupo menoleh kepada Miku. "Kak, jangan terburu-buru. Halte bisnya dekat dengan rumah, kita masih punya waktu untuk sampai tepat waktu. Kalaupun telat kan masih ada bis yang lain."

Miku tidak menoleh pada Gakupo. Matanya terus menatap ke depan. "Tapi, ini hari pertamaku, aku tidak bisa telat."

Gakupo mengalihkan pandangannya dari Miku. "Kita tidak akan telat, percayalah padaku. Tuh, halte busnya sudah terlihat kan? masih belum ada bis yang datang."

Miku memperlambat langkah kakinya. Miku melirik kepada kaki Gakupo dan memperhatikan Gakupo sedikit mempersempit langkah kakinya yang kakinya. Miku melirik kepada adiknya itu. "Tapi, guru kan harus datang lebih awal dari murid."

Gakupo menggumam. "Kakak tidak tahu ya kalau aku suka datang berbarengan dengan guru-guru? makanya aku mengambil bis yang lebih pagi."

Miku menggumam lalu mulutnya menganga membentuk huruf o. "Aku pikir karena kamu suka mengambil bis pagi yang lebih sepi penumpang dan mengerjakan pekerjaan rumahmu yang belum selesai."

Gakupo menggumam mengiyakan pernyataan Miku. "Itu salah satunya."

Setelah mereka berdua sampai di halte bis, bis yang mereka tunggu datang. Tapi, karena masih pagi, bis ini lebih sepi dan diisi oleh pegawai kantor. Miku dan Gakupo masuk ke dalam bis melalui pintu belakang bis. Mereka berdua duduk di kursi tengah bis. Setelah mereka naik, bis kembali melaju.

Miku duduk di kursi dekat jendela. Ini merupakan pengalaman pertamanya menaiki bus untuk menuju sekolah Gakupo. Biasanya, dia menggunakan mobil ayahnya untuk pergi ke sekolah Gakupo kalau ada urusan seperti pertemuan orang tua murid kalau ayah dan ibunya yang sibuk bekerja. Sewaktu dia sekolah, Miku mengendarai sepeda menuju sekolah. Arah universitas dan sekolah Gakupo berlawanan arah meskipun mereka berdua menunggu bis di halte bis yang sama.

Miku terus memperhatikan jalanan dari jendela di sebelahnya. Sesekali dia melirik Gakupo untuk melihat apa yang dilakukan adiknya itu. Tapi, Miku mengeluh dalam hatinya karena melihat adiknya berbalas pesan dengan Kaito Shion.

Perjalan mereka memakan waktu lima belas menit. Miku memperhatikan jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Masih tiga puluh menit lebih cepat dari bel masuk sekolah.

Setelah bis berhenti di halte dekat sekolah, Miku dan Gakupo turun dari bis mereka. Jam tujuh lebih tiga puluh merupakan jam yang paling pagi menurut anak sekolah. Tapi, tidak bagi Miku yang sudah terjun ke dalam masyarakat. Setelah dia memulai kuliah, Miku benar-benar belajar bagaimana dia harus menghargai dan mengatur waktunya. Dan, disinilah Miku, kembali ke lingkungan mada sekolahnya, tapi dengan status yang berbeda.

Miku lulus di sekolah Gakupo, dengan kata lain Miku adalah alumnus sekolah menengah atas Harukaze. Sekolah Harukaze merupakan sekolah negeri di kota Harukaze. Bisa dibilang, sekolah negeri terbaik di kota tersebut.

Miku dan Gakupo berjalan berdampingan menuju sekolah mereka. Perjalan dari halte sampai sekolah memakan waktu lima menit jalan kaki. Jalanan sekolah masih sepi, hanya beberapa murid yang terlihat datang pagi seperti Gakupo. Miku mengerti bagaimana rasa malas para pelajar itu untuk datang ke sekolah. Bahkan saat Miku sekolah dulu, dia dan kebanyakan murid lainnya datang tepat dua menit sebelum bel masuk.

Miku melirik pada Gakupo. "Oh iya, selain Kaito, apa ada temanmu yang lain yang mengetahuiku?" tanya Miku.

Gakupo membalas lirikan Miku dengan meliriknya lagi. "Kenapa bertanya?"

Miku terkekeh. "Tidak apa-apa sih."

Gakupo mengalihkan pandangannya lalu menggumam. "Hmm... tidak ada sih. Aku tidak pernah menceritakan soal keluargaku, dan..." Gakupo kembali melirik kepada Miku, "hanya Kaito satu-satunya orang yang sering kubawa ke rumah."

Miku memutar matanya lalu berdehem. "Ya... kalian kan berteman dari kecil, apalagi dulu rumah kita kan bersebelahan." Dia kembali melirik memperhatikan Gakupo, membuat matanya saling beradu pandang.

Pupil mata Gakupo sedikit melebar kemudian kembali menjadi normal. Gakupo mengalihkan pandangannya ke arah depan. Telunjuknya menunjuk ke depannya. Mata Miku dengan reflek mengikuti arah telunjuk Gakupo. Gakupo menggumam heran. "Ngomong-ngomong soal Kaito, itu dia orangnya."

Miku melihat sosok tubuh tinggi Kaito. Rambut biru tuanya adalah satu-satunya daya tarik Kaito yang membuat Miku selalu mengingatnya. "Kaito."

Kaito yang berjalan memasuki gerbang sekolah menolehkan kepalanya ke belakang. Dia segera menghentikan langkah kakinya. Mulutnya terbuka lebar membentuk tawa. Dia berbalik kemudian berderap mendekati Gakupo dan Miku. "Kak Miku!" Tangan Kaito terbuka lebar seakan ingin memeluk Miku.

Terdengar suara Gakupo yang mengklik lidahnya. Miku menoleh kepada adiknya itu. Gakupo bergeser ke depan Miku dan melindungi Miku dengan dadanya yang bidang. Gakupo menjulurkan telapak tangannya. Dia membuka lebar telapak tangannya ke depan, menggesturkan agar Kaito berhenti. "Jangan peluk kak Miku."

Kaito sedikit menyerongkan kepalanya ke kanan sambil sedikit mengangkat bahu kanannya. Kaito mengklik lidahnya dan menatap dingin Gakupo. Seringai segera muncul di bibirnya dan tatapannya berubah menjadi hangat. "Baiklah, kali ini aku kehilangan kesempatan untuk bermanja-manja dengan kakakku karena adik posesif yang satu ini."

Gakupo mengerang pelan. "Apa? kakakmu? adik posesif?" Gakupo memaksa melengkungkan seringai di mulutnya. Otot-otot menonjol di keningnya.

Kaito memutari Gakupo dan meraih tangan Miku. "Sini kak, dari pada bersama adik posesif lebih baik dengan adik baik sepertiku saja." Kaito menarik tangan Miku. Mereka berdua berlari melewati gerbang sekolah kemudian memasuki area gedung sekolah.

Gakupo berteriak lalu terdengar suara langkah lari Gakupo. Suara langkah Gakupo semakin mendekati Miku. Miku menileh ke belakangnya dan memperhatikan Gakupo. Langkah lebar Gakupolah yang membuatnya cepat sekali mengejar mereka berdua, apalagi Gakupo adalah ketua ekskul sepak bola. Sudah tentu dia harus menjadi pelari yang cepat.

Miku berhenti kemudian terkekeh. Kaito menghentikan larinya lalu menoleh kepada Miku. Saat Kaito berhenti, Gakupo berdiri di sebelah Miku. Miku menarik kembali tangannya dari Kaito. "Iya, iya, aku senang kok punya adik seperti kalian." Senyuman lebar terbingkai di mulut Miku. Alis-alis mata Miku melengkung membuat wajahnya menampilkan senyuman lembut. Kemudian otot-otot menonjol di kening Miku. "Tapi kalian harus lihat tempat kita sekarang. Selama di sekolah, kalian jangan membuat masalah, apalagi sekarang ini hari pertamaku mengajar. Kalian harus bisa bersikap sopan padaku."

Mata Kaito membulat. Bulir keringai mengalir di pojok kening Kaito. Kaito membungkan mulutnya yang sebelumnya terbuka lebar. Suara degukan air liur terdengar muncul dari Kaito. Dengan perlahan, Kaito menganggukkan kepalanya. "Baiklah kak..."

Otot-otot yang menonjol di kening Miku kemudian menghilang. Kekehan mencul di mulutnya. "Mulai sekarang, saat kita tidak sedang sendirian, kalian harus memanggilku guru Miku."

Kaito mengacungkan ibu jarinya sejajar tengan telinganya. Dia terkekeh sambil menganggukkan kepalanya. "Baiklah, guru Miku."

"Baiklah," jawab Gakupo. Gakupo mendekati Kaito. Dia berputar lalu memegang bahu kiri Kaito. Gakupo melirik Kaito kemudian berdehem. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu datang pagi? jarang-jarang sekali."

Kaito melengkungkan senyuman. Dia menatap Miku dengan matanya yang berbinar-binar. "Aku datang pagi-pagi karena hari ini kan hari pertama mengajarnya kak ah," Kaito menggelengkan kepalanya, "maksudku guru Miku."

Miku selalu menyukai mata Kaito yang berbinar-binar. Menurut Miku, mata Kaito yang seperti itu sangat lucu. Seperti anak balita yang melihat tokoh cerita kesukaannya. "Terima kasih ya, Kaito."

Gakupo mendengus lalu memutar matanya dan mengalihkan pandangannya dari Kaito. Gakupo berdehem. "Jadi maksudmu, besok kamu akan datang telat seperti biasanya?" tanya Gakupo lalu mendengus.

Kaito melipat tangannya di depan dadanya. Tubuhnya bertumpu pada kaki kirinya. Kaito mengklikkan lidahnya beberapa kali sambil menggelengkan kepalanya dan melengkungkan senyuman. "Kamu benar-benar mengerti sifatku, Gakkun."

"Kamu memanggilku apa tadi?" tanya Gakupo. Tangannya mencengkram bahu Kaito. Otot-otot menonjol di kening Gakupo.

Miku menghela nafasnya sambil mengangkat bahunya. Miku kemudian menjatuhkan bahunya lalu segera menegakkan tubuhnya. "Sudah-sudah, cepat ke kelas kalian sana. Aku ke ruang guru dulu ya, sampai jumpa di kelas."

Miku berjalan menuju tangga yang menghadap pintu masuk gedung sekolah. Miku menaiki setiap anak tangga dengan cepat dan hati-hati. Miku mendengar langkah kaki Gakupo dan Kaito di belakangnya. Suara mereka yang sedang berbincang-bincang soal tugas juga terdengar sampai ke telinga Miku.

Ketika berada di lantai dua, Miku berjalan ke lorong sebelah kiri. Miku menoleh ke belakang memperhatikan adiknya. Gakupo berbelok ke lorong sebelah kanan.

Miku berhenti di depan pintu ruang guru. Pintu ruang guru tertutup. Dia memegang kenop pintu ruang guru. Dia menggeser pintu ruang guru.

Mata Miku membulat. Mulut Miku menganga membentuk huruf o. Dia mengayun tubuhnya ke belakang. Di depan Miku ada seorang guru wanita berambut coklat pendek. Wanita itu lebih tinggi dari Miku dan warna matanya coklat menawan.

Mata wanita itu sama-sama membulat. Seringai tipis muncul di mulut wanita itu. Wanita itu tampaknya sepantaran Miku. Raut wajahnya yang segar tanpa garis keriput membuat Miku langsung yakin kalau wnaita itu seumuran dengannya.

"Kamu guru baru itu kan? Miku Kamui?" tanya wanita berambut coklat itu.

Miku mengayunkan tubuhnya ke depan. Senyum tipis terbingkai di mulut Miku. "Iya, aku Miku Kamui yang akan menggantikan guru Haku di pelajaran seni. Salam kenal." Miku menjulurkan tangannya kepada wanita.

Wanita itu menjabat tangan Miku. "Namaku Meiko Sakine. Aku mengajar geografi. Salam kenal."

Mereka berdua melepaskan jabat tangan mereka. Meiko bergeser dari pintu, tangannya menggesturkan untuk mempersilakan Miku masuk ke dalam ruang guru. Sejenak, Miku memperhatikan ruang guru. Ruang guru sudah lebih bagus, jauh lebih bagus dari ruang guru sewaktu Miku sekolah. Ruang guru kini ditempatkan pada ruangan gedung baru.

Miku melangkahkan kakinya ke dalam ruang guru. Kakinya berhenti melangkah karena langkahnya terasa berat. Jantung Miku bergedup dengan keras. Semua mata di ruang guru tertuju pada Miku. Miku menoleh ke belakang, dia melihat Meiko keluar dari ruang guru. Miku kembali menatap ke dalam ruang guru. Dia menundukkan kepalanya sambil mengucapkan salam pagi.

"Namaku Miku Kamui. Aku akan mengajar mata pelajaran seni musik." Miku menoleh-noleh ke sekitarnya dengan perlahan. Miku membungkukkan badannya. "Mohon bimbingannya."

"Selamat datang."

"Sama-sama."

"Semoga kita bisa menjadi rekan kerja yang baik."

Semua balasan salam dan perkenalan Miku disambut baik oleh semua guru yang ada di ruang tersebut. Belum semua guru hadir ke sekolah. Setidaknya, Miku mendapatkan nilai tambah karena datang pagi di hari pertamanya bekerja. Kesan pertama itu sangat penting, baik untuk kerja dan hubungan sosial.

Miku berjalan di belakang jajaran meja yang paling dekat dengan pintu. Arah meja setiap dua baris meja saling di hadapkan satu sama lain, lalu antara dua baris yang berhadapan saling membelakangi dengan dua baris di belakang atau di depannya. Dalam satu baris tersapat enam meja yang berdempetan. Dalam ruang guru terdapat empat pasang baris meja yang berhadap-hadapan. Miku berjalan melewati beberapa baris meja kemudian berhenti di barisan meja paling belakang. Mejanya berada di deret nomor dua dari sebelah kiri. Setiap meja dipisahkan oleh sekat setinggi dua puluh centimeter. Tertulis nama Miku Kamui di mejanya. Meja kerjanya tertata rapi dengan darisan kotak file yang berisi daftar nilai dari guru sebelumnya–Haku.

Miku menaruh tas ransel yang dibawanya di punggung kursi putarnya. Miku menjulurkan leher ke meja-meja kosong di sampingnya. Di meja sebelah kanannya tertulis nama Oliver sementara meja sebelah kirinya tertulis nama Meiko Sakine. Mulutnya menganga membentuk o kecil dan kedua alisnya naik. Wajah segar Meiko langsung muncul dalam benak Miku. Sayangnya, leher dan penglihatan Miku tidak cukup panjang untuk melirik papan nama di meja sebelah Meiko. Dia juga tidak bisa melihat papan nama di meja yang ada di depannya karena sekat-sekat tinggi. Tapi, di meja yang berhadapan dengannya duduk seorang wanita berambut pirang muda di kursi putarnya.

Miku menarik kursinya, dia menyelipkan dirinya diantara meja dan kursi putar. Matanya masih tetap berusaha melirik sosok pirang di depannya. Tak sengaja, kedua mata mereka bertemu. Wanita muda di depannya menatap Miku dengan sedikit terkejut. Wanita itu berdiri lalu menjulurkan tangannya pada Miku, bermaksud untuk berjabat tangan.

"Salam kenal, namaku IA Aria. Aku mengajar matematika kelas dua." IA tersenyum pada Miku

Miku mengambil tangan IA lalu menjabatnya. "Aku Miku Kamui. Aku akan mengajar seni musik untuk kelas dua." Miku melepaskan jabat tangannya.

Suara langkah kaki terdengar mendekati Miku dan IA. Miku menoleh ke arah sumber suara tersebut. Suara langkah sepatu hak tinggi itu berasal dari langkah kaki seorang guru wanita berambut perak dengan ujung pink. Wanita itu kemudian berdiri di sisi kiri IA.

"Halo, namaku Maika Maxwell. Aku mengajar seni musik kelas tiga." Maika menjabat tangan Miku sebentar lalu melepaskan tangan Miku.

"Salam kenal," jawab Miku.

"Pagi." Suara berat laki-laki terdengar dari arah pintu masuk ruang guru.

"Pagi." Suara laki-laki lainnya menyusul suara yang sebelumnya.

Miku menoleh ke arah pintu sementara kedua rekan kerja barunya memutar tubuh mereka lalu menjawab salam kedua laki-laki itu. Kedua laki-laki itu berambut pirang, hanya saja laki-laki yang pertama masuk rambutnya lebih panjang.

"Pagi," Miku menjawab salam kedua guru laki-laki itu dengan suara kecil. Jantungnya sedikit berdebar untuk menjawab salam rekan kerjanya yang baru.

Mata Miku tertuju pada laki-laki berambut pirang panjang. Tubuhnya tinggi dan bidang. Benar-benar tubuh ideal untuk seorang laki-laki. Tidak kurus tapi tidak terlalu berotot. Miku menilik-milik tubuh atletis laki-laki tersebut.

Ekor mata Miku menangkap guru berambut pendek warna pirang menghampiri tempat duduknya. Miku menoleh kepada guru laki-laki itu. Wajahnya sedikit ke barat-baratan. Mata Miku sedikit melebar ketika melihat guru itu menaruh tasnya di meja yang bertuliskan nama Oliver.

"Pagi, IA, Maika," ucap laki-laki yang Miku tangkap bernama Oliver.

"Pagi, Oliver," jawab IA dan Maika secara serentak.

Miku menganggukkan kepalanya. Nama laki-laki itu benar-benar cocok dengan wajah ke barat-baratannya. Tubuhnya tidak lebih tinggi dari Kaito yang lebih pendek dari Gakupo, tapi bahunya bidang. Meskipun Miku jarang melihat orang barat lebih pendek dari orang timur, Miku tertarik pada Oliver, baik fisik ataupun namanya. Nama Oliver benar-benar cocok padanya.

Oliver menoleh kepada Miku sambil menarik kursi putarnya. "Kamu guru baru kan? perkenalkan, namaku Oliver Brigitz. Aku mengajar mata pelajaran bahasa asing kelas dua dan tiga." Oliver melengkungkan senyuman tipis pada Miku. Senyuman tampan itu membuat jantung Miku jadi berdebar lebih cepat.

Miku membungkukkan kepalanya. Miku melengkungkan senyuman tipis di mulutnya dan melembutkan tatapan matanya, berusaha membuat kesan baik pada Oliver. "Aku Miku Kamui. Aku akan mengajar seni musik untuk kelas dua."

Oliver menyelipkan tubuhnya diantara kursi dan meja lalu duduk di kursi putarnya. Miku mengalihkan tatapannya dari Oliver. Dia merasa malu sekaligus canggung karena duduk di sebelah lelaki tampan. Ini pertama kali baginya mendapat rekan kerja yang memiliki wajah dan nama kebarat-baratan. Pikiran Miku mulai berputar pada masa lalu di sekolah ini. Miku sedikit menyesali masa lalunya karena sewaktu di sekolah dulu dia tidak memiliki guru yang muda dan tampan seperti Oliver dan laki-laki pirang satunya.

Ekor mata Miku menangkap laki-laki yang baru saja dipikirkannya itu menghampirinya lalu berdiri di sebelah Maika. "Halo, kamu guru baru kakaknya Gakupo Kamui itu kan?" tanya laki-laki itu.

Mata Miku membulat. Miku menganggukkan kepalanya. "Iya, aku Miku Kamui, kakak Gakupo Kamui."

"Apa kamu mengingatku? aku adalah wali kelas Kamui sewaktu dia kelas satu dulu," jawab laki-laki itu.

Mata Miku membulat. Miku langsung teringat akan sesuatu. Miku ingat akan kejadian satu tahun yang lalu dimana dia mendatangi pertemuan orang tua murid menggantikan ibunya yang sedang dinas di luar kota. Miku ingat kalau guru laki-laki yang ada di depannya adalah Yohio Yukimura. Guru Yukimura adalah guru olahraga sekaligus wali kelas Gakupo sewaktu Gakupo masih kelas satu.

Miku menutupi mulutnya dengan ujung-ujung jari jemarinya. "Ya ampun, maafkan aku yang sempat lupa ini. Anda guru Yukimura, kan?"

Yohio tertawa kecil. "Iya. Karena sekarang kita rekan kerja, mohon kerja samanya."

IA melipat tangannya lalu menatap Miku. Dia menggumam pelan. "Pantas saja aku seperti pernah melihatmu, ternyata kamu kakak Gakupo yang menghadiri pertemuan tahun lalu."

Maika terkekeh lembut. Dia sedikit mengangkat bahunya dan memiringkan kepalanya. "Sejujurnya, aku sedikit terkejut ketika dapat kabar kalau guru barunya ternyata kakak dari Kamui."

Miku melengkungkan senyuman lalu membungkukkan kepalanya. "Terima kasih sudah membimbing adikku."

Yohio melambaikan tangannya. "Terima kasih kembalu. Itu memang sudah pekerjaan kami. Lagipula, Kamui juga anak yang baik. Dia hebat dalam pelajaran olahraga."

Miku terkekeh sambil memiringkan kepalanya. "Dari dulu adikku senang sekali berolahraga."

Miku mengalihkan pandangannya pada Meiko yang masuk ke dalam ruang guru. Meiko masuk bersama seorang guru laki-laki berambut coklat dan berkacamata.

Meiko menghampiri Miku lalu duduk di kursi putarnya sendiri. Laki-laki berkacamata itu tersenyum pada Miku. Dia duduk di kursi yang ada di sebelah Meiko.

"Kalian sedang berkenalan ya?" tanya Meiko lalu menoleh kepada Miku. "Sepertinya kita mendapatkan teman minum yang baru."

Miku mengangkat satu alisnya. "Maaf?"

IA menghela nafasnya, dia memutar matanya dan menumpu tubuhnya pada tangannya yang menekan mejanya. "

Laki-laki yang duduk di sebelah Meiko menghela nafasnya. "Meiko, jangan langsung masukkan guru baru itu dalam daftar teman minummu."

Meiko menoleh kepada laki-laki itu. "Ya... tapi kan itu salah satu cara agar kita bisa cepat-cepat dekat dengannya."

Miku terkekeh canggung sambil menunjukkan muka telapak tangannya pada Meiko. Tangannya itu menggesturkan jawaban tidak.. "Maaf... aku tidak minum."

Meiko memutar-mutar kursinya ke kiri dan kanan sambil nenggunam kecewa.

Laki-laki di sebelahnya menjulurkan lehernya untuk menatap mata Miku. Laki-laki itu melengkungkan senyuman tipisnya. "Kamu pasti guru baru kan. Aku Kiyoteru Hiyama. Aku mengajar bahasa kelas tiga."

Miku menundukkan kepalanya. Dia memperkenalkan dirinya kepada Kiyoteru dengan kalimat yang sama yang dia gunakan untuk memperkenalkan dirinya pada rekan gurunya yang lain.

Bel sekolah berbunyi melalui pengeras suara yang digantungkan di sudut ruangan. Guru-guru lainnya segera memperhatikan jam dinding besar yang digantung di atas pintu ruang guru. Bel itu menandakan waktu kegiatan belajar mengajar dimulai. Artinya, pekerjaan Miku sebagai guru pun dimulai. Meskipun, sebenarnya tugas dan pekerjaan guru berlaku setiap saat, tidak terpaku oleh jam kegiatan belajar mengajar.

Maika dan Yohio kembali ke mejanya. IA duduk di kursi putarnya, begitu juga dengan Miku. Miku melirik ke sekitarnya. Oliver dan Meiko tengah mencari-cari berkas di kotak filenya. Miku mendengar langkah kaki-langkah kaki yang berjalan keluar dari ruang guru. Sebagian besar guru bangkit dari kursi mereka untuk menuju kelas yang akan mereka ajar. Ketika Meiko bangkit dari kursinya, Miku menoleh kepada Meiko.

"Guru Sakine dapat kelas pertama?" tanya Miku. Dia berusaha membuat kesan ramah dan flesksibel pada rekan kerja barunya.

Meiko terkekeh canggung. "Iya. Aku harus mengajar kelas yang ditinggalkan Kasane. Beliau sedang cuti karena istrinya baru saja melahirkan. Oh iya, panggil aku Meiko, karena, kelihatannya umur kita sepantaran." Meiko membawa map kertas yang berisi kertas-kertas yang hampir keluar dari mapnya. Meiko mendorong kursinya ke belakang, dia keluar dari kursinya dan kembali mendorong kursinya ke mejanya. "Bagaimana denganmu, Kamui? Dapat kelas di jam pertama?"

Miku terkekeh pelan. "Panggil saja aku Miku." Miku menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tidak, aku mendapatkan kelas di jam pelajaran ke empat sebelum istirahat."

Meiko melambaikan tangannya kepada Miku. "Kalau begitu, aku duluan ya." Meiko berjalan melewati kurisnya lalu dia mengucapkan salam kepada Kiyoteru dan juga Oliver. Miku memperhatikan Meiko sampai akhirnya sosok Meiko terhalang oleh sekat di mejanya.

Oliver menoleh kepada Miku. "Kelasmu di jam pelajaran ke empat? kalau begitu sama juga denganku."

Miku menoleh kepada Oliver. Jantungnya sedikit berdebar dan bibirnya seketika terasa kaku ketika beradu pandang dengan mata Oliver yang kuning. Keringat di punggungnya mengalir di garis tulang belakangnya. "Kalau boleh tahu, kelas mana yang akan diajar guru Brigitz?"

Padahal, ruang guru telah dilengkapi pendingin ruangan, tidak seperti sewaktu dia masih bersekolah di sini. Namun, Miku masih merasa kegerahan. Musim panas juga telah lewat, jadi tidak mungkin Miku berkeringat karena hawa panas musim panas. Kini sedang dalam peralihan musim panas ke musim gugur. Meskipun, dalam kalender dam perhitungan musim, sekarang adalah musim gugur. Bisa dikatakan, sekarang adalah awal musim gugur, dimana angin masih sejuk dan kadang terasa sedikit panas.

"Aku akan mengajar kelas dua A. Bagaimana dengan Kamui?" tanya Oliver.

"Aku akan mengajar kelas dua B."

Mata Oliver membulat. Dia berdehem lalu melengkungkan senyuman. "Kalau begitu, semangat ya. Semoga hari pertamamu berjalan dengan lancar."

Miku mengangguk pelan sembari melengkungkan senyuman tipis. Bibirnya terasa kaku untuk digerakan, tapi Miku memaksa menggerakan bibirnya agar terlihat natural. "Terima kasih."

Miku bangkit dari kursinya. Tapi, Miku tidak membawa tasnya atau alat tulis apapun. Oliver mendongakkan kepalanya. Mata Oliver sedikit membulat.

"Mau kemana?" tanya Oliver.

Miku terkekeh kecil. "Aku ingin berkeliling sekolah ini. Sebenarnya aku adalah lulusan sekolah ini, jadi aku ingin bernostalgia." Miku menggaruk pipinya dengan punggung jari telunjuknya.

Oliver memiringkan kepalanya sambil membuka lembaran halaman baru dari buku yang sedang di pegangnya. "Kalau begitu, selamat bernostalgia."

Miku berjalan melewati barisan meja-meja ruang guru lalu keluar dari ruang guru. Miku berjalan di lorong lantai dua. Bagian kiri merupakan jendela yang menampilkan pemandangan halaman depan dan gerbang sekolah, sementara sebelah kanannya adalah ruang-ruang kelas. Dia melewati deretan ruang kelas satu. Miku berhenti ketika dia melihat koridor bercabang menjadi dua jalan. Miku memperhatikan jalan koridor di depannya. Di lorong koridor depan adalah lobi lantai dua dan terpadat tangga yang menuju lantai tiga dan lantai dua, di bagian ujung gedung juga terdapat tangga. Miku ingat betul jika di lorong koridor depan adalah deretan ruang kelas satu. Kelas Gakupo yang lama dan yang sekarang berada di koridor depan.

Miku menoleh ke sebelah kanannya. Di sebelah kanannya adalah lorong kosong yang menghubungkan gedung lama dan gedung baru. Di sebelah lorong tersebut terdapat tangga yang akan membawanya ke lantai dasar dan lantai atas. Miku berbelok ke lorong yang menghubungkan ke gedung lama sekolah. Lorong tersebut lumayan panjang. Miku menoleh ke jendela di sebelah kirinya. Dia memperhatikan lorong sebrang dan lorong lantai bawah. Kedua lorong itu sama-sama menghubungkan gedung baru dan gedung lama. Hanya bedanya, lorong lantai bawah jauh lebih pendek. Jalan lorong lantai satu dipisahkan oleh pintu-pintu yang saling berhadapan. Pintu-pintu menuju taman tengah sekolah. Di antara gedung lama dan gedung baru memang dipisahkan oleh halaman sekolah. Halaman itu juga bisa langkung mengarah pada lapangan sekolah. Miku ingat sekali dengan pintu lorong lantai bawah dari gedung lama yang dulunya merupakan pintu menuju tempat parkir sepeda.

Miku sampai di gedung lama sekolahnya. Di depannya terdapat tangga lama yang tidak dirubah, masih berbahan dasar kayu. Miku berbelok ke lorong sebekah kiri sambil mengamati sekitarnya. Tahun lalu, Miku tidak sempat berkunjung ke gedung lama karena kelas Gakupo memang berada di gedung baru. Miku terperangah dengan renovasi yang terjadi pada gedung lama. Gedung lama sudah bukan lagi gedung lama yang pernah Miku pakai sebagai tempat sekolahnya. Gedung lama itu hanya sebuah nama. Gedung lama sudah seperti gedung baru. Bagai duplikat dari gedung baru. Bahkan, jendela, pintu, cat dan deretan ruang kelasnya sudah berbeda. Koridor tersebut tidak jauh berbeda dengan gedung baru. Hanya saja, bagian kiri Miku menampilkan taman yang memisahkan gedung baru dan gedung lama.

Memorinya saat dia masih menajdi pelajar kembali berputar. Suara-suara teriakan dan canda tawa teman-teman sekelasnya. Suara laki-laki idaman hatinya yang dulu. Suara guru yang memuji dan memarahinya. Semua suara dan gambaran kecil dari kejadian itu terekam dalam benak Miku. Dia berhenti di depan ruang kelas dengan papan nama "3-F". Kelas itu adalah letak kelasnya yang dulu sewaktu dia masih duduk di kelas dua.

Senyum tipis terbingkai di bibir Miku. Sosok lelaki berambut pink muncul dalam benaknya–Yuuma Hirasawa. Senyum tipis di bibir Miku berubah menjadi cemberut. Miku mendesis lalu kembalu berjalan melewati ruang kelasnya yang dulu. "Hah... cinta pertamaku yang kandas..." Miku terkekeh.

Miku berjalan melewati lobi lantai dua gedung lama. Dulu, tidak ada lobi seperti ini di gedung ini. Lobi ini dulunya adalah kelas Yuuma. Miku berhenti sejenak memperhatikan lobi kemudian melanjutkan perjalanannya. Pada deret ruangan kelas, Miku terperangah melihat ruang-ruang kelas berubah menjadi ruangan yang baru. Miku juga menemukan lorong penghubung dengan gedung baru. Tangga yang lama masih tetap berada di tempatnya yang dulu. Hanya saja di depan tangga adalah lorong penghubung dan di sebelahnya adalah ruang referensi. Tapi, di penghujung lorong koridor terdapat pintu. Sebuah papan nama menggantung di pojok atas pintu dan bertuliskan 'perpustakaan'.

Miku berhenti di depan pintu ruang perpustakaan. Miku tidak ingat adanya gedung perpustakaan ini. Seingat Miku, ruang referensi adalah perpustakaan mereka yang dulu. Setelah memperhatikan sejenak papan nama perpusakaan, Miku berbalik lalu menuju tangga lama. Dengan perlahan Miku menuruni anak tangga yang akan membawanya ke lantai dasar sekolah. Miku menduga-duga perubahan apa yang akan terjadi pada lantai satu.

Suara biola terdengar sedang mengawali sebuah permainan. Miku menghentikan langkah kakinya yang tengah menuruni anak tangga. Kepalanya mencari arah sumber suara biola yang terdengar samar-samar. Suara biola itu berasal dari lantai bawah. Mulut Miku menganga membentuk huruf o kecil. Dengan cepat dan berusaha untuk hati-hati, Miku menuruni anak tangga kayu gedung lama. Hentakan dari sepatu hak tingginya membuat kayu itu berdecit-decit dan berbunyi lumayan keras. Setelah sampai di lantai dasar, Miku menoleh-noleh ke sekitarnya.

Suara itu berasal dari sebuah ruangan di ujung koridor. Bagi Miku, ruangan itu sama-sama asingnya seperti ruang perpustakaan. Dengan langkah cepat, Miku mendekati pintu ruangan tersebut. Miku memperlambat langkah kakinya ketika dia semakin mendekati pintu tersebut. Miku mendongakkan kepalanya, matanya tertuju pada papan nama ruangan. Ruang musik, itulah yang tertulis pada papan nama.

Miku berhenti di depan ruangan musik dan menatap pintu. Terdapat celah kecil pada pintu lebar ruang musik. Miku menjulurkan lehernya dan matanya menilik-nilik ke dalam ruangan.

Jantung Miku berdebar dengan kencang terbawa oleh alunan melodi biola yang dimainkan oleh si pemain misterius. Bulir keringat mengalir di pojok keningnya. Suhu tubuhnya kembali memanas. Miku hafal dengan gaya permainan biola si pemain itu. Permainan yang selalu dia agung-agungkan. Pemainan si pemain misterius itu mirip dengan seorang maestro biola kesukaan Miku. Miku menutup matanya, berusaha mencerna kunci-kunci yang dimainkan oleh si pemain. Tapi, dia terlalu terbawa dalam menikmati permainan orang itu. Rasanya, dadanya penuh dan akan meledak karena rasa senang menemukan pemain hebat selain idolanya.

Miku teringat akan kenangan masa kecilnya dimana dia duduk di sebuah pertunjukan biola besar bersama dengan keluarganya. Gakupo duduk di sebelah kanannya, sementara ibunya duduk di sebelah kirinya dan ayahnya duduk di sebelah Gakupo. Miku masih ingat sebagian dari permainan maestro idolanya. Miku benar-benar mengidolakan si maestro genius, Gumiya Megpoid.

Mata Miku melebar ketika dia melihat si pemain misterius itu mengenakan seragam yang sama dengan yang dikenakan Gakupo. Si pemain misterius itu adalah seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dan berambut aqua. Warna rambutnya sama seperti miliknya. Jantung Miku berdebar dengan cepat ketika menyadari anak laki-laki itu adalah si pemain biola yang memainkan melodi yang mirip dengan idolanya.

Anak ini bisa memainkan melodi yang menyerupai permainan tuan Gumiya. Aku yang berlatih bertahun-tahun bahkan belum bisa mengikutinya. Anak ini... benar-benar jenius... gumam Miku dalam hatinya. Dia terus memperhatikan anak itu.

Permainannya singkat. Anak itu mengakhiri permainannya dengan halus. Miku mendorong pintu ruang seni lalu menghampirinha. Anak laki-laki itu menoleh kepada Miku. Tapi, tatapan anak itu begitu dingin. Dada Miku merasa sesak dan sakit mendapat tatapan dingin seperti itu.

Miku menepuk tangannya sambil beradu pandang dengan anak tersebut. "Maaf kalau aku mengejutkanmu. Tapi, permainanmu hebat sekali."

Anak itu terus menatap Miku dengan tatapan datar yang dingin. "Anda siapa?"

Mata Miku sedikit melebar. Bibir Miku melengkungkan senyuman tipis. Miku melembutkan tatapannya pada anak itu. "Saya guru baru. Saya Miku Kamui, guru seni musik yang baru. Siapa namamu?"

"Namaku... Mikuo. Mikuo Megpoid."

Mata Miku membulat. Jantungnya kembali berdebar dengan cepat, tapi kini debaran jantungnya keras bahkan ia dapat mendengar debaran jantungnya sendiri. "Megpoid..."

Aku tidak percaya... ini adalah pengalaman pertamaku bertemu dengan salah satu anggota keluarga selebritis!


A.N

Halo. Kaze kembali dengan cerita baru ^^. Sebenarnya ini cerita udah lamaaa banget ada di draft tapi akhirnya bisa di upload juga ^^. Melody of Memories akan update setiap hari minggu.

Mind to review? ^^