A/N :
Setting cerita dimulai setelah Love Live the Movie.
Aku tidak akan banyak bicara, yang pasti karya ini bagian dari event crossover timur dan barat. Bagi yang membaca fic ini saat ini juga, kalian cukup beruntung karena kalian bisa menikmati fic ini lebih awal sebelum aku mengumumkannya pada panitia.
Ini baru prolog. Cerita sesungguhnya masih dalam perjalanan aku tulis. Hanya satu chapter doank, tapi itu pun jumlah katanya sangat banyak. Minggu depan dipastikan update sampai End.
.
.
EL23 PRESENT
*~ Ore Nihon ni modotte, nani mo shite inai Ore sugu kasane fukō ni naru ~*
Disclaimer : Nggak tahu siapa yang punya, tapi aku berterima kasih padanya
Rating : Teen
Warning : , OOC mungkin, typo(tak luput), yang lain hati-hati di jalan
.
.
PROLOG
"Huh, ini menyenangkan."
Tapi, sayangnya itu bohong.
Yah, meskipun tidak sepenuhnya sih. Hanya saja, dari pada disebut menyenangkan yang kulakukan ini lebih masuk akal disebut membahayakan.
Sambil berlari ke gang di sepertiga malam yang seharusnya sunyi ini, aku sekali lagi melirik ke belakang.
Muka yang dihiasi bekas luka, kumis tipis bertengger di bawah hidung, badan berotot seperti kuli bangunan, memakai hakama dengan satu bagian lengan dibiarkan hingga memperlihatkan tato hitam yang aku tak tahu apa itu, dan salah satu dari mereka botak.
Itu bukan bagian terburuknya. Jika kau menghitung dari jumlah mereka, apa yang mengejarku ini jelas-jelas sangat membahayakan.
Mereka berjumlah empat orang. Parahnya, dua diantaranya membawa sebuah samurai yang saat ini sedang orang-orang itu ayunkan dengan gaya yang mirip dengan bangsa primitif.
"Jangan lari kau, bocah!"
"Kemari kau, biar kutebas kepalamu!"
"Aku pasti akan membalas apa yang sudah kau lakukan pada wajahku!"
"Akan kutanya dulu apa kau pernah mengorek telingamu dengan Katana?! Jika belum biarkan aku melakukannya untukmu!"
"Jangan menanyakan hal menakutkan seperti itu, dasar om-om sialan!"
Aku—Delsin Rowe, anak kelas tiga SMA. Mengaku dan diakui sebagai anak gaul. Sekarang ini sedang melarikan diri dengan sekuat tenaga karena dikejar-kejar oleh sekawanan yakuza yang membawa samurai dan berteriak-teriak di sepertiga malam seperti serigala yang sudah gila karena ditinggal pergi pasangannya.
Awal mula kenapa aku sampai mengalami situasi seperti ini yakni ketika seperti biasa aku pergi untuk berkeliaran di malam hari, aku menemukan sebuah tempat sepi yang bagus untuk kubuat seni Grafitti.
Di Amerika, ini adalah yang paling dibutuhkan. Itulah kenapa kota disana disebut sebagai pusat dunia. Dan sebagian besar yang membantu hal itu adalah aku.
Jadi, ketika tiga hari yang lalu aku dipindahkan kemari. Aku memutuskan untuk membawa tren yang ada disana agar kota ini tampak lebih baik.
Sayangnya hari ini, ketika aku menemukan tempat yang pas. Aku juga menemukan seorang gadis cantik yang sedang disapa oleh seorang yakuza yang terlihat mabuk.
Aku pun sangat bersyukur, lalu datang dan bilang.
"Wah, aku menemukan tempat yang bagus."
Kemudian aku mulai memencet tombol semprot pada botol sprey yang kubawa.
"Apa yang kau lakukan, bocah sialan?!"
Sontak setelah hal itu terjadi, yakuza yang mukanya kusemprot membentakku.
"Ah, maafkan aku, om. Hanya saja, muka om mengganggu nafsu makanku."
Alasan yang sungguh simpel kan.
"Bocah berengseeek! Kau ingin mati ya?!"
"Apa? Kau ingin melawanku? Majulah!"
Aku tanpa takut langsung saja menantangnya.
Kuberitahu, bila kemampuanku ini diibaratkan dalam sebuah pertarungan sesama berandalan, aku bisa dengan mudah menang pada satu lawan satu, tetap menang pada satu lawan dua, dalam bahaya pada satu lawan tiga, dan aku tanpa ragu-ragu akan kabur pada satu lawan empat. Begitulah kemampuanku. Karena itulah aku cukup percaya diri untuk melawan orang ini.
Tapi aku tidak mengira semua teman-teman yakuza itu tiba-tiba datang ketika kudengar salah satu dari mereka mengatakan "Ah~ lega sekali," lalu "habis kencing bersama yang lain". Semacam itu.
Itulah kenapa sekarang situasinya jadi seperti ini.
"Aku baru mau tampil sebagai seorang pahlawan yang terlihat keren. Tapi bahkan sebelum menjatuhkan satu pun lawan, imege-ku sekarang langsung berubah seratus delapan puluh derajat sebagai seorang anak pecundang sekaligus pengecut!"
Jalan yang ku lalui ku ubah ke jalan utama perkotaan, berharap mencari perhatian untuk setidaknya ada petugas keamanan yang mau menolongku. Tapi meski masih ada beberapa orang yang berkeliaran di kota Akihabara yang penuh akan pernak-pernik hiburan ini, tak satu pun dari antara mereka yang merupakan petugas keamanan, bonus tak satu pun dari mereka yang mempedulikanku.
"Kutil kuda! Tidak mungkin ini bisa lebih buruk lagi!"
Aku pernah dengar dari seseorang bahwa seorang pepatah pernah berkata, "ucapanmu itu adalah doa."
Meski sejatinya dari lubuk hatiku yang terdalam aku sama sekali tidak pernah berharap akan hal itu, tapi yang terjadi jelas menghianatinya dan berpihak pada kata-kata negatif yang keluar dari mulutku karena keadaan.
Seperti maksud yang tertulis di atas, ucapanku yang tidak sengaja entah kenapa benar-benar kejadian. Dimulai saat aku berpikir tidak ada harapan lagi berlari melalui jalan utama perkotaan, aku bermaksud pergi ke sebuah belokan untuk menggunakan harapan lainnya dengan pergi ke jalan yang ku pikir memiliki rintangan yang sulit bila dilalui bersama.
Dengan adanya jalan yang seperti itu, para yakuza di belakang yang mengejarku bareng-bareng pasti akan mengalami kesulitan karena kebersamaan mereka, dan aku yang sendirian jelas akan diuntungkan karena selain mereka yang mengejarku jadi terhambat aku sendiri yang berjalan sendirian di depan punya banyak kesempatan untuk memberikan jebakan dengan memporak-porakndakan apa yang telah aku lalui.
Sayangnya, yang namanya harapan itu bukanlah kenyataan. Karena harapan ya harapan, kenyataan ya kenyataan.
"Jalan buntu, keparat!"
Dilihat dari apa yang sedang ku alami, kuyakin sepertinya pepatah yang mengatakan kata-kata tadi itu punya kehidupan yang lebih sial dariku.
Karena kenapa? Itu karena kebanyakan orang bisa mengatakan suatu hal sebab orang itu sudah pernah mengalaminya. Atau bahkan mungkin mendalaminya.
Sayangnya aku tidak berpikir pepatah yang kumaksud tersebut adalah seorang Masochist, jadi kalau dipikir yang dia alami bisa juga sebaliknya.
Tapi apapun yang menimpa pepatah itu, itu sama sekali tidak membantu keadaanku.
"Sekarang kau sudah tidak bisa pergi ke mana-mana, bocah sialan!"
Aku tidak mau mengakuinya, tapi yang kau katakan itu tidak salah lagi.
"Diamlah dengan manis disitu, agar aku bisa menebasmu."
Jangan bego! Tidak mungkin ada orang waras yang mau diam jika tahu dirinya mau ditebas!
"Huh, tenang saja. Pembalasan yang akan kuberikan padamu setelah ini pasti akan lebih baik."
Dari ekspresimu kata "baik" yang kau katakan entah kenapa terdengar "buruk".
"Ehehe~ pertama-tama aku akan bertanya apa kau pernah disodomi dengan menggunakan Katana? Kalau belum biarkan aku melakukannya pada pantatmu!"
"Tusuk saja pantatmu sendiri, dasar orang tua mesum sialaaaaaaaaaan!"
Rasanya tidak benar untuk memanggil orang tua ini mesum, atau pun memanggilnya sadis.
Aku melihat satu persatu orang-orang di depanku. Ekspresi mereka semua terlihat seakan mereka sudah menang. Menyeringai, tertawa-tawa, dan bergembira melihatku yang sudah terpojok. Mereka dengan sengaja mencoba menakut-nakutiku dengan ekspresi mereka dan gerakan-gerakan seperti memperlihatkan kepala tangan mereka, menekannya hingga berbunyi "kretek! Kretek!", melakukan gaya mengiris leher mereka menggunakan sisi tumpul samurai yang dibawa, atau seni berpedang kaku yang terlihat aneh.
Aku agak gugup melihatnya dan hanya bisa meringis karena tak tahu harus merespon bagaimana.
Tapi kalau sudah begini apa boleh buat.
.
.
To be Continued
