Adakah yang bertanya-tanya "Ga salah niy? Eleamaya-san bikin fic LuNa? Bukannya dia ga suka ya?" Ga, kalian ga salah kok. Ini sekuel fic "On The Road" yg kutulis di 50 Ways to Love SanNa ch 23. Kenapa aku bikin? Aku pengen aza ngembangin AU-nya.
Lagi2 gara2 baca fic Digimon English judulnya "Missing You Always" yang pairing-nya SorAto (awal) ke TaiOra (ending). Kok aku ngerasa ini pas bgt untuk SanNa ke LuNa? Dulu sebenarnya kepikiran bikin triangle LuNaSan juga tapi Canon, eh malah yg kebikin AU. Kapan2 deh canon version-nya.
"Nami," seru Nojiko melihat Nami melintas di kebun jeruk mereka pagi itu.
Nami menggunakan dua tongkat untuk menyangga kakinya yang belum sembuh. Kakinya yang sebelah kiri masih digips. Dengan sudah mengenakan seragam seifuku yang rapi, Nojiko tahu Nami hendak berangkat ke sekolah. Ia tahu kondisinya belum pulih benar.
"Kau mau berjalan ke sekolah dengan kondisi seperti itu?" tanyanya. "Jangan bodoh. Tunggu sebentar, aku akan mengantarmu."
"Tidak usah," kata Nami. "Pagi ini kau harus mengepak dan mengantarkan semua jeruk itu ke toko kan? Nanti kita bisa kehilangan uang kalau kau telat."
"Jangan keras kepala, Nami," sahut Nojiko. "Tak apa kehilangan uang asal kau tak apa-apa di jalan."
"Ga, ga apa-apa kok," tolaknya. "Nanti aku naik bis. Aku ga akan jalan kaki."
"Tapi halte-nya kan masih jauh. Kuantar ke halte saja ya?"
Nami mengangguk dan bersedia. Nojiko pun memasukkan keranjang buah ke dalam rumah sebentar. Saat menunggu Nojiko, Nami mendengar suara deru motor dengan klakson seolah memanggil pemilik rumah.
Tidak mungkin, batin Nami.
"Nami!" panggil Nojiko melihat Nami berjalan cepat keluar menjauhinya. "Hati-hati jalannya!"
Nami ingin sekali melihat siapa yang memarkir motor di dekat rumahnya. Ia tak memedulikan rasa sakit di kakinya. Ia ingin segera bertemu orang itu. Ini bukan mimpi kan, batinnya. Tapi, siapa lagi yang menjemputnya sepagi ini? Tidak ada orang lain selain dia.
"SANJI-KUN!" teriak Nami gembira...
... sebelum akhirnya ia tahu ia salah orang. Yang ia lihat bukan motor biru yang familiar dengannya tapi motor lain yang berwarna merah. Dan pemilik motor itu adalah...
"Luffy!" teriaknya terkejut. "Ngapain kau ke sini?"
"Syukurlah kau tampak sehat, Nami," Luffy hanya nyengir lebar. "Shishishi, tentu saja aku mau mengantarkanmu ke sekolah. Kau kan sudah keluar dari rumah sakit tapi kakimu masih diperban begitu masa aku membiarkanmu jalan kaki?"
Nami terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab. "Aaaa, thanks, Luffy."
"Ini, pake helm-ku," Luffy menyodorkan helmnya dan Nami hendak meraihnya.
Tapi tepat saat Nami menyentuh helm itu tiba-tiba bayangan peristiwa mengerikan sebulan lalu itu berkelebat lagi di dalam ingatannya.
...
Tubuh yang tergeletak kaku.
Darah yang mengucur deras.
Motor yang ringsek.
Kerumunan orang.
Sirine ambulans dan mobil polisi.
...
Padahal ia sudah bertekad melupakannya. Tentu saja ia telah lupa andai tidak diingatkan seperti pagi ini. Nami pun tersentak mundur. Ia menampik helm pemberian Luffy hingga terlempar ke samping.
"Waaa, Nami!" Luffy langsung meloncat turun dari motor untuk mengambil helmnya. "Ini helmku yang sangat berharga pemberian Shanks."
"AKU TIDAK MAU!" jerit Nami.
"Nami?" tanya Luffy menepuk-nepuk helmnya yang kotor.
"Aku tidak mau naik motor lagi! Aku tidak mau membonceng siapa pun lagi!"
Nojiko sampai di depan gerbang. Ia melihat Nami memegangi kepalanya dan menjerit. Nojiko pun mendekati adiknya, memegangi pundaknya lembut, berusaha menenangkannya. Pandangannya lalu berpindah pada Luffy. "Maaf, Luffy," katanya. "Aku berterima kasih atas perhatianmu tapi Nami masih trauma. Kau tentunya tahu bukan?"
Luffy memandangi mereka cukup lama. Dan akhirnya ia memutuskan, "Kak, titip motorku di rumah ya?"
"Eh? Untuk apa?" tanya Nojiko.
"Aku mau mengantar Nami jalan kaki saja," lanjut Luffy.
Nojiko menghela napas lega. Ia lalu berbicara lagi pada Nami. "Nami, kau diantar Luffy ya? Mau kan?"
"Umm..," Nami masih mengusap air matanya.
"Ayolah...," bujuk kakaknya.
"Baiklah."
"On The Road" part II
Chapter 1
One Piece © Eiichiro Oda
.
.
Warning:
Read the prequel on "50 Ways to Love SanNa" ch 23 first.
High School AU, maybe OOC.
Mostly drama, not romance.
Banyak flashback sana-sini yg ga teratur penempatannya karena full of memories. Juga banyak dialog.
Meski tengah berjalan bersama, hampir tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Sesekali Luffy bergumam ingin mengajak Nami mengobrol seperti biasa –plus agar ia tidak bosan– tapi begitu melihat ekspresi Nami, niat itu ia urungkan. Luffy pun berusaha menyamakan langkahnya dengan Nami agar gadis itu tak tertinggal. Tawaran untuk menggendonya sampai sekolah juga Nami tolak dengan kasar.
Selain Nami, Luffy juga masih ingat kejadian sore itu. Sore terakhir ia melihat kedua sahabatnya tengah bermesraan. Tak ada firasat apa-apa, pikirannya sudah penuh terisi dengan bayangan pesta daging esok hari yang sudah dijanjikan. Ia gembira sekali saat itu. Sama gembiranya dengan Nami. Dari sekolah, Luffy langsung meluncur ke bengkel Franky, kebetulan saja teman-temannya yang lain sudah berkumpul di sana. Ia mengabarkan berita gembira itu. Zoro merasa kalah taruhan dengan Luffy, ia dulu pasang uang 1500 Yen bahwa sampai lulus tak mungkin rival berkelahinya itu mampu menaklukkan hati Nami yang bagaikan iblis baginya. Luffy tentu saja pasang yang sebaliknya, karena ia mengincar makanan lezat yang sudah dijanjikan Sanji. Usopp dan Chopper berada di kubu Luffy sedangkan Franky dan Brook berada di kubu Zoro. Semua bersorak. Mereka sudah pesta duluan meski tanpa makanan.
.
.
Ya, seharusnya itu berita gembira. Kalau saja siaran berita di TV tidak mengabarkan fakta terbaru.
.
.
"Rasanya aku kenal motor itu," celetuk Chopper.
"Tidak salah lagi, motif luarnya kan hasil modifikasiku yang tak ada duplikatnya," sambung Franky.
"Apa yang reporter manis itu bilang tadi?" kata Brook. "Yohohoho, aku ingin lihat celana dalamnya."
"Yang kamu lihat itu apanya?" kata semuanya sweatdrop, minus Chopper yang polos dan Luffy yang matanya menatap lekat TV.
"Hei, Luffy!" seru Usopp melihat Luffy tiba-tiba maju dengan wajah pucat dan mengguncang-guncangkan TV. "Minggir dong. Jangan tutupi TV-nya."
"BOHONG!" teriaknya. "SINI BILANG DI HADAPANKU KALAU BERANI!"
"Luffy, kau kenapa?" kata Zoro memegang bahu Luffy. "Tenang, bodoh! Aku tidak bisa dengar beritanya dengan jelas. Memangnya itu berita apa sih?"
Luffy mendorong Zoro keras dan ia keluar bengkel. Ia lalu menyalakan mesin motornya dan pergi entah kemana. Teman-temannya pun bisa melihat berita itu kembali. Kali ini dengan lengkap dan jelas. Berita kecelakaan lalu lintas, korbannya teman mereka. Seketika itu juga suara keributan di dalamnya berhenti.
Luffy menggeber motornya sampai ke pinggiran pantai Shounan. Ia mencari sesuatu untuk bisa meredam emosinya. Biasanya jam segini ada mereka. Itu dia, pembuat onar. Geng lain. Tentu saja Luffy tidak ingin memulai perkelahian. Ia membiarkan mereka sendiri terpancing melihatnya sendirian dengan gelagat aneh. Bagaikan mangsa empuk untuk diperas padahal justru merekalah mangsa empuk Luffy.
BAK! BUK! JDUAGG!
Luffy merasa belum cukup menghabisi mereka meski kepalannya sudah penuh darah. Ia kemudian menjatuhkan dirinya di atas pasir. Hatinya bagai dihantam sesuatu. Ini bukan sekedar kamu hanya mengincar makanan dan menagih janji sahabatmu. Lebih dari itu. Ia tak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya sekarang.
Luffy merasa kehilangan.
Dan keesokan harinya, setelah dijelaskan Zoro dengan memukulnya, ia merasa bodoh karena meninggalkan bengkel di saat belum mendengarkan isi berita itu secara lengkap. Ia kira keduanya tewas. Ia kira ia kehilangan keduanya. Rasanya memang ada sedikit kelegaan tapi rasa shock yang terlalu besar di hari sebelumnya tetap tak bisa dikembalikan. Meski ia sudah berusaha tenang, ia seolah merasakan kepedihan Nami saat melihat gadis itu di atas kursi roda yang didorong kakaknya maju mendekati peti kremasi dan menangis di pinggirnya.
"Kau mencintaiku kan?" isak Nami. "Kau pernah berkata akan mengabulkan semua permintaanku kan? Kalau begitu, aku minta kau bangun. Bangun, bodoh!"
"Nami..." kata Nojiko mengelus pundak adiknya. "Relakan dia pergi..."
"Bangun, Sanji-kun," lanjut Nami tidak menghiraukan ucapan Nojiko. "Tahu begini aku tidak mencintaimu! Sakit sekali rasanya, melebihi sakit di kakiku. Kau mengerti tidak? Kau dengar tidak? Apa kau bisa merasakannya?" Tiba-tiba isak tangisnya berubah menjadi sebuah tawa. Menertawakan dirinya sendiri yang merasa telah sinting karena percuma terus memanggilnya. "Hahaha... Pasti tidak kan? Jantungmu sudah berhenti sejak saat itu."
Teman-temannya pun maju. Zoro, Usopp, Chopper, Robin, Franky, Brook. Mereka menghibur Nami. Luffy sendiri masih terdiam di dekat pintu. Ia mengernyit dan mengepalkan tangan. Kalau saja ia lupa bahwa ia laki-laki, mungkin ia mau saja mempermalukan diri dengan menangis sejadi-jadinya seperti Nami meski tahu itu tak berguna. Seperti itu jugalah suara hati Luffy. Kepedihan yang sama. Ia ingat...
.
"Oi, Sanji. Aku juga mau dibuatkan bento seperti Nami."
"Kau ini setiap hari juga sudah mengunjugi apartemenku untuk minta makanan."
"Tapi yang kau berikan padaku selalu masakan sisa restoran ayahmu."
"Dasar tidak bersyukur," keluh Sanji. "Besok kalau aku sudah jadi chef, kau boleh makan sepuasmu deh."
"Wow, itu impianmu, Sanji? Keren! Kukira kau mau jadi pembalap juga."
"Itu cuma hobi, aku beda denganmu," Sanji menyentil dahi Luffy. "Tapi kalau kau belum jadi juara dunia, kau harus bayar dulu."
"Aku pasti juara dunia! Bersamaan dengan kau jadi Chef!" Luffy menunjuk Sanji. "Eh, tapi aku ingin bento sekarang..."
"Hahahaha," Sanji tertawa."Baiklah, tunggu aku berhasil pacaran dengan Nami-san. Nanti aku akan syukuran denganmu. Kumasakkan daging yang banyak!"
"Wah, kapan pacarannya?"Luffy merengut membayangkan ia tetap harus menunggu lagi.
"Secepatnya. Doakan saja."
"Oke!"
.
Dan setiap hari, Luffy pun mendoakan mereka. Meski ia tetap jahil merebut bento Nami dan membuatnya dikejar Sanji sepanjang atap. Meski ia sering tidak pada tempatnya menginterupsi kelakuan Sanji yg sudah hampir selangkah lebih dekat dengan Nami secara tidak sengaja dan membuat Nami kehilangan mood. Meski Luffy tahu waktu Sanji untuknya menemani balapan akan semakin berkurang jika sudah memiliki kekasih. Luffy tetap dan selalu mengutamakan kepentingan nakama-nya. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan Luffy.
Dan inikah jawaban untuk doamu?
Apa yang kini harus aku lakukan terhadap Nami? Luffy tahu ia tak punya kewajiban untuk menghibur pacar Sanji, tapi Nami juga sahabatnya. Ya, bagaimana aku menjaga kebahagiaan sahabatku yang satu lagi? Dan, pagi tadi entahlah motornya berbelok begitu saja menuju rumah Nami. Hanya reaksi spontan yang sejalan dengan pikirannya barusan. Namun ternyata bukan pagi itu saja tapi juga pagi berikut-berikutnya.
.
xxxxx
.
"Bisa ga kau hentikan itu besok?" tanya Nami pada Luffy yang mengikutinya sejak keluar kelas sampai depan gerbang sekolah. Jam besar di tembok sekolah menunjukkan pukul 3 sore. "Ini sudah kesekian kalinya kau menjemputku untuk sekolah."
"Sampai kau membuang tongkatmu, Nami," jawab Luffy.
"Ga usah sok perhatian dan berlagak jadi pacarku deh. Sudah kuputuskan aku tidak akan jatuh cinta lagi, mengerti?"
"Siapa yang berlagak? Kau kan temanku, Nami," lanjut Luffy. "Bukankah dulu juga Sanji sudah sering mengantarmu sebelum kalian resmi pacaran?"
"Jangan sebut nama dia lagi," Nami semakin kesal. "Aku mau pulang sendiri!"
"Ga bisa!" halang Luffy. "Jalan singkat ke rumahmu lewat pinggir pantai Shounan, bahaya! Kau tahu kenapa Sanji selalu bersikeras mengantarmu kan?"
"Bukan urusanmu, Luffy!" hardiknya. "Sore ini bawa motormu keluar dari garasi rumahku atau aku tak mau melihatmu lagi!"
Nami lalu meninggalkan Luffy dan keluar gerbang sekolah sendiri. Saat Luffy hendak melangkah, tepat saat itu pula Nami menengok ke belakang dan memberinya pandangan mematikan. Marah tak mau diikuti dan dikejar. Luffy pun tak berkutik.
"Cewek yang keras kepala ya? Aku heran kenapa kau dan si Alis Pelintir bisa betah meladeni sikapnya."
"Zoro!" seru Luffy tidak menyadari kehadirannya.
"Mau kubonceng pulang?" tanya Zoro menunjuk bagian belakang jok motor hijaunya. "Motormu masih di rumah Nami kan?"
"Oiya, Zoro. Boleh kutanya sesuatu?"
"Hm?"
"Menawarkan seseorang membonceng itu bentuk solidaritas terhadap teman saat ia kesusahan kan? Kenapa Nami bilang aku berlagak jadi pacarnya dan sok perhatian?"
"Itu tidak berlaku untuk sebagian orang. Bisa saja kan ada orang jahat yang pura-pura baik menawarkan boncengan?"
"Aku, kau, dan Sanji bukan orang jahat meskipun semua orang menjuluki kita Monster Trio dan takut pada kita. Lagipula kita kan sudah lama saling mengenal. Nami juga."
"Oh, jadi konteksnya hanya kita saja?" Zoro mengangguk-angguk paham, lupa dengan karakter Luffy yang cukup polos –mudah percaya orang baik– untuk remaja seusianya. Berandalan macam apa itu? Zoro tersenyum sinis. Luffy tak mau disamakan dengan para berandalan yang 'sesungguhnya'. Hanya karena hobi ngebut, yang masih melekatkan kata berandalan juga bukan mereka sendiri karena mereka sudah lama membuang hal itu jauh-jauh sejak pindah sekolah. "Tentu saja karena kita teman. Kamu ini ngomong apa sih?"
Luffy hanya menggaruk belakang kepalanya. "Eh, tidak. Tidak ada apa-apa."
"..." Zoro memandang ekspresi kikuk Luffy yang tidak biasanya. Akhirnya ia hanya berkomentar, "Dasar lamban."
"Siapa yang lamban? Kau sendiri belum pernah mengalahkanku dalam balapan, Zoro!" protes Luffy. "Aku akan jadi juara dunia balap motor! Itu janjiku pada Shanks."
"Itulah kenapa kubilang kau lamban," Zoro hanya menggeleng gusar karena Luffy salah tangkap maksud perkataannya, Bukan salah tangkap, mungkin memang Luffy tak paham hal begituan -salah satu lagi kepolosannya- dan akibatnya tak sadar diri. Zoro membatin, padahal kau yang sekelas dengannya. duduk di bangku sebelahnya, lebih sering mendapat omelan dan pukulannya, tapi Sanji yang mendapatkan hatinya karena lebih agresif. "Sudahlah, jadi kubonceng tidak?"
"Jalannya pelan-pelan ya, Zoro?"
"Hah?"
"Kita melaju di belakang Nami."
"Kau suruh aku menjalankan motor di bawah kecepatan orang yang sedang jalan kaki dengan tongkat penyangga?"
"Bisa kan?"
Zoro menggerutu sebentar tapi ia selalu memenuhi permintaan Luffy. "Tunggu jarak 10 menit. Mungkin ia sudah berjalan sampai pesisir Shounan baru kita menyusulnya."
.
xxxxx
.
Seperti perkataan Zoro, Nami sudah sampai pesisir Shounan. Angin laut yang membawa pasir menerpanya. Nami pun menoleh memandang ke arah laut. Tidak ada siapa-siapa. Pemuda-pemuda berandal yang dikhawatirkan Luffy juga tidak ada. Ia juga melihat ombak kecil.
Ombak.
.
.
"Nami-san, kau suka ombak?" tanya Sanji saat mereka ke pantai pada liburan musim panas bersama semuanya.
"Eh, entahlah."
"Namamu indah lho. Mau kuberitahu keindahan ombak?" lanjut Sanji.
"Huh, bilang saja kau ingin melihatku melepas pakaianku dan berenang ke tengah."
"Hehehe, tahu aza!"
BLETAK!
.
.
"Ditolak ni yee," ucap Zoro datar, melintas di belakang Sanji sambil menenteng papan selancar.
"Marimo sialan! Kalau mau, ayo bertanding selancar denganku!"
"Siapa takut!" seru Zoro. "Oi, Luffy. Mau ikut?"
"A-Aku tidak bisa berenang," jawab Luffy. "Ka-kalau jatuh dari papan selancar gimana?"
Nami terkejut. "Apa? Umur segini ga bisa berenang?"
"Kita tinggalkan saja dia," ajak Sanji pada Zoro.
"Kau menyuruhku?"Mereka masih bertengkar sambil berlari ke laut menenteng papan.
Nami hanya bisa sweatdrop. Sementara, Luffy malah senang melihat pertengkaran mereka.
Usopp tiba-tiba melempar pasir ke arah Luffy. "Di jalan kau raja tapi di air kau payah," ejeknya.
"Awas kau, Usopp!" Luffy pun mengejar Usopp sambil melemparinya bola pasir.
Nami pun tersenyum geli. Teman-temannya sungguh lucu dan menyenangkan. Siapa sangka mereka semua berandalan? Kalau bukan karena Luffy, mungkin Nami tak akan akrab dengan mereka semua.
.
.
Tak lama kemudian...
.
.
"NAMI-SWANNN!" panggil Sanji. Arahnya dari laut.
Nami mengangkat ujung depan topi jeraminya yang menutupi matanya dari sinar matahari. Ia melihat Sanji seolah keluar dari balik ombak. "Waaaah..," serunya terpesona.
"Kubilang indah kan?" lanjutnya."Seperti namamu..."
"Iya hahaha..." Nami senang melihatnya. Sepertinya yang hendak ditunjukkannya padanya tadi memang hal ini. "Kau keren, Sanji-kun!"
"Tepe-tepe mlulu kerjaanmu," ejek Zoro lagi-lagi dengan nada datar menyalip Sanji dan Sanji hanya tercengang."Selancar itu ga usah kebanyakan gaya deh."
"Dasar, Marimo! Selancar itu yang penting malah gayanya tahu!"
Zoro hanya cuek sambil mengorek kupingnya. Gaya berselancar apa itu? Sekali lagi Nami tak bisa menahan tawanya.
.
.
Sambil mengenang hal itu, Nami tidak sadar sudah melangkahkan kakinya ke tepi pantai. Sepatunya basah kena air laut dari ombak yang menyapunya. Lalu kata demi kata gombal Sanji saat mereka pulang dari pantai malamnya, kembali bermunculan dalam ingatannya.
"Aku ingin ke pantai hanya berdua denganmu. Naik jet ski, berenang, membuat kastil pasir, merasakan cipratan ombak di kaki, berkejaran di sepanjang pantai. Romantis bukan?"
Romantis apanya, batin Nami. Kau selalu bicara soal keromantisan tapi mana buktinya? Pada akhirnya aku ke pantai hanya sendirian bukan? Sekarang aku sendirian!
Sendirian!
"Sanji-kun..." rintihnya.
Dan tubuh Nami pun telah terendam setengah tapi ia masih saja terus berjalan...
Bersambung
Segini dulu. Cliffhanger. Tapi kayaknya bisa ditebak ceritanya hehehe...
Nama pantai Shounan bener2 ada. Aku ambil dari dua komik Shoujo berbeda yang pernah kubaca, dan persamaannya adalah di sana tempat mangkalnya banyak geng motor. Aku ga ngecek google, malas hahaha...
Hooo, mungkin ada beberapa kepingan cerita yang membuat kalian bingung. Pindah sekolah? Julukan Monster Trio? Shanks?
Sekali lagi karena aku ga pintar merangkai kisah AU tampaknya jawaban semua pertanyaan itu hadir dalam flashback. Gimana? Kalian bingung ga dengan banyak flashback di atas yang sebagian aku italic? Bilang aza ntar aku edit formatnya. Tapi klo pake hape, italic-nya bisa ilang sih.
