I do not own Naruto. AU,Lime-ish, I told ya before :). Dan gombal. Astaga maafkan Baim.


"Love is as much of an object as an obsession;

Everyone wants it.

Everyone seeks it.

But few ever achieve it.

Those who do, will cherish it, be lost in it, and among all, will never forget it."


Dari Sebentuk Mimpi

Satu; Rahasia


RAHASIA mereka tertutup rapat diantara angin sore yang berhembus agak kencang, senja yang bercahaya keemasan, kebisingan metropolitan, dan gorden-gorden beludru. Saat jalanan macet oleh para pekerja—berebut jalan raya mencoba untuk menembus kemacetan, berharap bisa mencuri waktu untuk datang lebih cepat meskipun hanya barang semenit.

Namun justru saat itulah mereka bisa mengambil sedikit kesempatan. Saat senja dimana matahari baru hendak tenggelam, diantara dua waktu yang nyaris sekejap dan terselip banyak misteri. Saat jalanan kota dipenuhi lautan manusia yang berebut kereta dan bus, saat itulah mereka bisa bertemu. Karena tak boleh ada siapapun yang tahu.

Manik mata hitam bertemu dengan sepasang mata kehijauan.

"Sasuke…"

Sakura tak mengerti mengapa ia bisa begitu mudah menyerah di pelukan pria itu, merasakan bibirnya menelusuri lekuk-lekuk wajahnya, lehernya, sepanjang bahunya. Desahan napas pria itu terdengar begitu dekat di telinga dan ia tak dapat melarikan diri kecuali menarik tubuh pria itu semakin mendekat, menyusurinya dan mencengkramnya kuat-kuat.

Cahaya jingga menyusup lewat gorden kamar. Suara-suara khas jalan raya, jauh di bawah, terdengar samar-samar, namun tak ada lagi yang mereka pedulikan. Siapa yang tahu ketika satu per satu helaian pakaian jatuh ke lantai; satu ciuman berlanjut ciuman lain, diiringi dengan gigitan-gigitan kecil yang kadang membuat Sakura meringis. Sekali memejamkan matanya, melepaskan diri dari kenyataan yang akan mereka hadapi setelah itu. Tangannya menggapai mencari pegangan—menyentuh rambut hitam pria itu, punggungnya, bahunya—apa saja yang tercapai.

Napasnya pendek-pendek berpacu dengan debaran jantung. Pria itu berhenti sejenak mendengar namanya disebut—hanya menyeringai, mencium bibirnya lagi sekilas dan sekejap kemudian kembali turun ke lehernya, ke bahunya, ke dadanya… merengkuhnya begitu erat seperti tak ingin melepasnya lagi.

Duh, bagaimana Sakura tahu senyuman itu. Bukan cengiran lebar, bukan senyuman ceria yang hangat; hanya segaris senyum tipis, bahkan tak cukup untuk membuat matanya terangkat. Namun itu saja sudah cukup bagi seorang Sasuke, Dan bagi Sakura, mungkin senyuman itulah yang membuatnya terus bertahan di sini.

Namun, betapapun ia mencoba mencari alasan untuk bertahan, tetap saja rasa bersalah itu menyelinap di dalam dirinya. Sakura tak tahu pasti perasaan apa yang berkecamuk di dalam hatinya setiap mereka bertemu—mungkin gabungan antara rasa cinta, benci, bersalah, penyesalan, dan ketakutan. Namun toh ia berpikir panjang-panjang pun percuma.

Karena nyatanya ia selalu kembali dan kembali lagi.

Sakura menarik napas panjang. Disentuhnya wajah pria itu, membuatnya berhenti dan mendongak, kembali bertatapan. Ia tersenyum, senyuman tipis yang rapuh dan sedikit terpaksa. Wajah mungilnya yang berkulit putih tampak manis dengan helaian rambut merah jambu yang membingkai sisi-sisinya.

"Sakura…"

Sakura membenci saat ini. Saat lelaki itu memanggil namanya, saat itu pulalah ia merasa menjadi wanita terlemah sedunia. Karena entah sudah berapa kali ia ingin menyerah. Entah sudah berapa kali ia ingin menyudahi semua ini—namun selalu, hanya dengan suara itu, hanya dengan satu kata itu saja—namanya.

Satu ciuman lagi, dan mereka kembali tenggelam.

Rahasia mereka berdua tertutup rapat di antara pagutan, lumatan bibir, dan desahan napas yang nyaris tak bersuara. Mereka tahu mereka tak seharusnya begini. Ada orang lain yang menunggu pria itu, dan tak seharusnya Sakura bersamanya di sini.

Namun keduanya tak kuasa menolak.


PIP PIP PIP PIP PIP

Bunyi alarm membuat mata Sakura terbuka sepenuhnya. Mata hijaunya mengejap, pandangannya menangkap semburat cahaya beranda dari balik gorden. Garis-garis kekuningan terbias samar-samar di dinding kelabu kamar yang gelap itu.

PIP PIP PIP PIP PIP

PIP PIP PIP PIP PIP

Alarm ponsel itu masih berbunyi, namun tubuh Sakura tak bergeming. Perlahan ia bangkit dan menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur—matanya tak berkedip, menatap nanar ponsel yang masih bergetar halus di sampingnya. Sekilas piksel-piksel bercahaya di layar ponsel menunjukkan waktu—pukul delapan malam.

PIP PIP PIP PIP PIP

"Kenapa tidak kau matikan?"

Suara rendah Sasuke mengejutkan Sakura. "Eh—aku…" tersadar dari lamunannya, refleks Sakura mengambil ponsel yang masih berbunyi itu dan mematikannya dalam satu sentuhan. "…maaf." –tiba-tiba saja kata itu meluncur dari bibirnya, meskipun ia tak tahu benar mengapa ia mengatakannya.

Figur berambut hitam di sebelahnya hanya tersenyum tipis menanggapinya. Tangannya yang besar terulur dan menepuk pelan rambut Sakura. "Kadang kau suka bersikap aneh."

Sakura hanya tersenyum masam. Senyum tipis itu lagi—Sakura memperhatikan. Senyuman tipis yang hanya sesekali saja tergambar di raut wajah pria itu—karena biasanya wajah itu selalu menampakkan ekspresi kaku dan tak mudah ditebak.

"…Aku harus pulang."

Sakura mendesah kecewa. Ia sudah mendengarnya berapa kali sebelum ini, namun tak urung tetap saja rasa itu selalu ada. Itu sebabnya ia begitu membenci alarm ponsel. Karena rasanya bunyi alarm itu diciptakan untuk membunuh dirinya perlahan-lahan.

"Kamu… tidak bisa sedikit lebih lama?"

Kamu bodoh, Sakura, begitu pikirannya berdentum-dentum di kepala saat ucapan itu tergelincir dari bibirnya, kau lemah. "…lupakan perkataanku tadi."

Namun kalimat itu sudah terlanjur didengar, dan Sakura dapat merasakan Sasuke terdiam di tempatnya.

Sasuke menggeleng. "Sana sudah berpesan padaku untuk segera mengunjunginya kalau aku pulang. Dan aku tak ingin mengecewakannya lagi kali ini." Ia menjelaskan pelan, lalu menggumamkan sesuatu tentang boneka yang sudah ia belikan dari perjalanannya kali ini.

Sakura tertawa kecil mendengar gumaman kekasihnya. "Ah. Iya, iya. Sana-chan mengatakannya padaku tempo hari. Boneka kelinci yang besar, eh?" ia tersenyum meledek, "kuharap kau tak membuat anak itu kecewa."

"Hn. Kau selalu bilang begitu. Membuatku berpikir kau seperti Ibunya saja."

"Tapi bukan, kan?" Sakura tersenyum satir.

Obrolan mereka berdua terhenti. Sakura memalingkan wajah menjauh. Kalau saja…

Mereka tahu. Namun ia memilih menutup mata dan telinga—meskipun ia tahu mereka tak akan dapat menutup hati biarpun ia mau. Atau mungkin memang karena dia tak bisa menolak getaran yang muncul setiap pandangan mata mereka bertemu. Orang lain akan bilang itu hanya nafsu. Mungkin juga begitu. Tapi, seperti yang sudah-sudah—anggap saja itu angin lalu. Ini dunia mereka berdua dan hanya mereka berdua yang tahu.

Sasuke menatap wanita itu. Lama, sebelum akhirnya mencium bibir Sakura, hal terakhir yang ia lakukan sebelum berlalu dari tempat itu.

"Aku akan menghubungimu lagi."

Delapan malam.

Bahkan Cinderella saja punya waktu lebih panjang dari ini.


RUMAH SAKIT selalu penuh dengan orang, batin Sakura. Biarpun Rumah Sakit selalu masuk dalam daftar tempat yang paling tak ingin dikunjungi oleh manusia, herannya Rumah Sakit Konoha selalu penuh. Begitu juga dengan daftar pasiennya. Orang-orang hilir mudik di lorong, bau obat menguar dimana-mana, suster-suster berlari-lari, unit gawat darurat tak henti kedatangan pasien.

"Selamat pagi, Sakura-sensei."

"Ah, selamat pagi…"

"Aa, Sakura-sensei. Terima kasih untuk bantuannya tempo hari."

"Aa, iya, sama-sama. Bukan apa-apa."

Sakura menganggukkan kepalanya kepada banyak orang yang menyapanya hari ini. Jadwal periksa padat, seperti biasa. Ditambah lagi, pagi ini adalah waktunya kontrol rutin. Tinggal beberapa orang lagi dan ia bisa istirahat, gumamnya sambil membuka pintu kamar paling ujung. Kamar paling ujung hanya ditempati satu orang. Sakura tersenyum kecil, pasien favoritnya. Selalu menyambutnya dengan semangat, meskipun penyakitnya bukan sekedar penyakit yang asal lewat saja.

"Sakura-nee-chan!"

Sakura, sudah mengenal suara itu, tersenyum lebar. "Halo, Sana-chan! Apa kabar?" ia baru saja akan berkomentar, namun langkahnya terhenti saat melihat orang lain di sana. "—aa, selamat pagi, Hinata-san—"

Seorang gadis kecil berambut hitam yang manis menyambut Sakura dengan melambai-lambaikan tangannya. Wajahnya tetap ceria meskipun tampaknya ia masih terlihat lemas. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai. Di sebelah gadis kecil itu, seorang wanita berambut biru pendek menganggukkan kepalanya memberi salam. "Selamat pagi, Sakura-sensei," ia tersenyum, "terima kasih sudah menjaga Sana-chan. Apakah dia sudah boleh pulang?"

Sakura membalasnya dengan senyuman, namun jantungnya seperti jatuh dari tempatnya. "Aa. Sama-sama, Hinata-san… kukira hari ini anda tidak datang," ujarnya sambil mulai menyibukkan diri dengan map-mapnya, "kemarin Sana-chan juga menanyakan ayah dan ibunya, ribut sekali."

"Papa dan Mama datang ke sini tadi malam, Nee-chan! Sekarang Papa sudah pergi lagi bekerja, tapi Mama menginap di sini," Sana menunjuk-nunjuk sesuatu di samping bantalnya, "dan lihat. Dia membawakanku boneka kelinci yang besar. Kali ini ia tepati janji!"

Sakura melihat boneka itu. Boneka kelinci berwarna krem yang kelihatannya lembut sekali. Lelaki itu menepati janjinya, baguslah. "O ya? Bagus sekali!"

Sana tersenyum lagi, memperlihatkan satu gigi depannya yang tanggal. "Ng!"

Hinata mengelus rambut anak itu, tersenyum kecil. "Sssh, jangan ribut begitu, malu. Sakura-sensei hari ini datang untuk mengecek keadaanmu, sayang," katanya lembut di sebelah Sana. "Kalau kau sudah sehat, kamu boleh pulang. Kamu tentu ingin bermain lagi bersama dengan teman-temanmu, bukan?"

Wajah Sana makin cerah saat Ibunya mengatakan 'pulang'. "Aaaa, benarkah?" pandangannya beralih pada Sakura, manik matanya bercahaya, "benarkah, Sakura-neechan? Aku boleh pulang?"

Sakura tertawa geli melihat tingkah Sana. "Tentu saja, kalau keadaanmu sudah lebih baik. Sekarang, nee periksa dulu, ya?" ia memberi tanda pada suster untuk memeriksa tekanan darah dan mengambil darahnya. Melihatnya Sana langsung cemberut.

"Ugh, bisakah yang lain saja? Aku tidak suka diambil darah—apalagi waktu kemarin, punggungku rasanya sakit sekali," Sana mengeluh, menarik tangannya dari pegangan suster, namun ditahan oleh Ibunya. "…uh, baiklah."

"Tenanglah, ini yang terakhir, kok!" Sakura mengedipkan matanya pada Sana yang meringis sementara suster mengambil darahnya. Ia memberikan sebuah map besar pada Hinata. "Hasil lumbar puncture-nya sudah keluar."

"Oh," wajah wanita itu berubah was-was, "bagaimana?"

"Sudah lebih baik. Lihat, Sana sudah lebih bersemangat sekarang. Suaranya pun sudah lebih keras dibanding kemarin." Sakura tersenyum melihat Sana yang baru saja menyelesaikan pemeriksaan darahnya. Disentuhnya pipi Sana perlahan. Gadis kecil itu manyun. Sakura tertawa kecil.

"Ayo, Sana, coba tersenyum?" Ia mengecek kondisi wajah Sana, "bagaimana? Masih terasa kesemutan?"

Sana mengangguk. "Urm, sedikit," katanya pelan, "tapi sudah jauh lebih baik. Dan aku juga sudah bisa duduk, lihat!" ia menaikkan kepala tempat tidur, susah payah—namun akhirnya bisa duduk meskipun dengan bantuan penyangga. "Lihat. Aku sudah bisa pulang, kan?"

Sakura tersenyum melihat semangat gadis kecil itu. Banyak orang yang sudah kehilangan semangatnya begitu tahu ia menderita Guirlain Barré Syndrome*, apalagi justru penyakit ini kebanyakan menyerang orang-orang berusia dewasa. Namun gadis ini, gadis berusia 8 tahun ini, justru tetap ceria.

"Bagus!" Sakura menganggukkan kepalanya, "dalam waktu tiga-empat hari dia sudah bisa pulang. Dan seminggu kemudian bisa sekolah lagi, Hinata-san. Tapi, jangan lupa dengan obatnya, dan jangan sampai melakukan kegiatan berlebihan. Tingkat spasme (kedutan) di wajahnya masih cukup tinggi."

"Benarkah, sensei? Terima kasih!" Hinata menundukkan kepalanya bahagia, lalu mengelus kepala anaknya penuh sayang. "Nanti aku akan memberitahu Sasuke soal ini. Ya, Sana?"

"Aa, iya. Pasti dia juga senang…" Sakura menelan ludah mengatakan itu. Ia menulis sesuatu di mapnya, lalu bersiap pergi dari tempat itu. "Baiklah, aku pergi dulu, ya? Kabar selanjutnya akan aku berikan nanti sore. Sampai nanti, Sana-chan!"

Pintu ruangan itu tertutup secepat langkah Sakura keluar dari tempat itu. Sungguh, ia begitu menyukai Sana. Ia begitu menyukai gadis kecil dengan keinginan yang kuat itu. Juga tak ada alasan baginya untuk membenci Hinata. Hinata begitu lembut, dari keluarga terhormat, begitu menyayangi keluarganya, mencintai suaminya…

Atau mungkin kebaikannya yang harus ia benci? Kepolosannya yang tak ia sukai?


"Oii, Sakura-sensei!"

Sakura menoleh ke arah dari mana suara itu berasal—suara yang sudah familiar, dan tebakannya benar. Seorang gadis berambut pirang melambai-lambaikan tangannya jahil dari ujung lorong, lalu berlari-lari kecil menghampiri Sakura. "Hei, kau sedang kosong tidak?"

"Ino—shift-mu selesai lebih cepat rupanya." Sakura melirik arlojinya, "Hmmm, kurasa aku hanya bisa makan siang di ruang istirahat, nanti sore masih ada jadwal."

"Dokter kecantikan bisa punya waktu luang kalau dia mau, karena jarang terbebani gawat darurat." Ino mengedikkan bahunya. "Yaaah, kau selalu sibuk deh, bu dokter. Siapa anak terakhir yang kau periksa? Keadaannya lebih baik?"

Sakura membuka map kecil di tangannya dan melihat nama terakhir di jadwalnya hari itu. "Ah. Sana-chan. Tadi malam Sasuke bilang Sana ingin boneka… kuharap dia mendapatkan apa yang ia inginkan. Pasti dia juga kangen."

Mata Ino menyipit. "—Kamu masih…?"

Obrolan mereka berdua terhenti.

"Kenapa?" Sakura mengejapkan matanya, seakan tahu apa yang dipikirkan Ino. "Ino, kau kadang suka melebih-lebihkan. Aku tidak apa-apa."

Ino menatap Sakura dengan pandangan kasihan. "Tidak. Mungkin aku pun sudah capek memperingatkanmu. Sakura, kau memang keras kepala dan aku mengerti itu—"

"Yah sudah, kau tak perlu ikut campur lagi, kan?" potong Sakura ketus, langkahnya di lorong itu makin cepat. "Kau tak perlu repot-repot memikirkannya."

Ino menggeleng.

"Kau keras kepala, Sakura. Yang aku pikirkan bukan kamu. Tapi Sana-chan."

Nama itu masih tertulis manis di kertas, dengan beberapa catatan di sebelahnya.

Uchiha Sana.

Salah?

Siapa yang salah?

Aku atau perasaanku?

Atau juga dia yang menerimaku?

Yang mana?

Dan begitu pikiran itu muncul, pikiran itu tak akan lari dari kepalanya selama berminggu-minggu.


MENGERIKAN. Ini terlalu mengerikan, Sasuke. Kau tak tahu berapa belati yang menusuk tubuhku saat kau lewat di alam pikiranku. Membuatku ingin mati dan sekaligus bertanya-tanya, bila ini rasanya mencintai, mengapa aku merasa sesakit ini?

"Sakura."

Sakura selalu benci saat ini.

Saat namanya dipanggil oleh Sasuke—dengan senyuman tipisnya yang biasa, di tempat mereka biasa bertemu pula. Dan Sakura selalu merasa kalah setiap bertemu pria itu. Wanita itu menarik napas panjang, perlahan memejamkan matanya, sekejap kemudian membukanya lagi, mata hijaunya bertemu dengan sepasang mutiara hitam.

Lelaki itu masih sama seperti saat terakhir mereka bertemu, kira-kira satu bulan yang lalu. Tubuhnya tinggi dan tegap, bersandar ke dinding lorong hotel yang sepi, tubuhnya terbalut setelan jas yang senada dengan warna mata dan rambutnya—hitam. Warna yang paling cocok dengan dirinya, Sakura mengakui itu.

"Sasuke… aku—"

Namun sebelum Sakura melanjutkan kalimatnya, Sasuke memotongnya cepat. "Jangan lanjutkan."

"Tidak," Sakura menggelengkan kepalanya kuat-kuat, kembali menatap pria itu, lama, mencoba melanjutkan kalimatnya yang tadi terpotong. "Aku… maksudku, kita harus…"

"Kubilang jangan lanjutkan."

"Aku—"

Sebelum Sakura menyelesaikan kalimatnya, Sasuke telah mendorongnya ke dinding, menahan tangannya dan menciumnya sampai ia tak sanggup lagi bicara.

Sakura memejamkan matanya.

Perasaan bersalah, dosa, cinta, marah, benci, nafsu—campur aduk jadi satu.

Karena orang yang paling kau cintai adalah juga orang yang paling menyakitimu.


To be continued.


GBS=Guirlain Barré Syndrome: Suatu penyakit yang menyerang sistem autoimun. Sederhananya kelainan dimana sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf tepi. (Saya bukan mahasiswa kedokteran, info ini didapat dari sahabat yang mengalami, karena itu mohon koreksi bila ada yang salah.)

AN MUHUHUHUHUHUH FIRST-TRY LIME. MAAFKAN BAIM YA ALLAH. Ya saya tahu, saya harusnya bayar hutang yang lain, tapi siapa yang bisa menolak kalau tiba-tiba ada ide stuck di kepala… dan saya suka ini biarpun gombal. /gets bricked/ Tell me your opinion about it, ne? Kritik dan saran sangat saya harapkan kehadirannya.

Terima kasih sudah membaca. Fic ini adalah ungkapan terima kasih kecil saya untuk 140+ yang sudah memasukkan saya ke dalam favorite list-nya. Saya nggak bisa jadi begini kalau bukan karena kalian. Saya nggak bisa jadi rajin nulis kalau bukan kalian yang rajin nagih dan ngasih komentar. Thanks for your support for almost 3 years and I hope you will always support me. *bowed

blackpapillon