..

..

"Habisi malam ini juga dan jangan tinggalkan jejak sedikitpun!"

Suara beratnya berdesis memecah keheningan di dalam ruangan yang berpencahayaan minim. Lelaki itu mengembalikan gagang telepon pada tempatnya dengan kasar.

BRAK

Karena kesal bukan main, lelaki itu menyingkirkan segala macam barang yang ada di atas meja kerjanya dengan sekali sapuan tangan yang beringas. Deru napasnya memburu saat lelaki itu memutuskan jatuh dan bersender dengan nyaman pada kursi kebanggaannya. Dia sadar bahwa tidak benar jika ia terus membiarkan amarahnya semakin menjadi-jadi. Hal itu bisa merugikan dirinya sendiri.

Setelah dirasa cukup tenag, lelaki itu mencetak sebuah seringaian menyeramkan ketika mengingat apa yang telah ia perintahkan kepada anak buahnya.

"Penghianat pantas mati."

..

..

..

Di area parkir sebuah pusat perbelanjaan, terlihat seorang lelaki tinggi dan tegap sedang berjalan dengan langkah tenang menuju sebuah sedan hitam sambil menjinjing kantung berisi belanjaan. Lelaki tersebut sempat tersenyum dan mengangguk pada seseorang yang membunyikan klakson di balik kemudi mobil yang melintas di depannya, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobilnya sendiri, membawa kendaraan beroda empat tersebut secara perlahan meninggalkan area parkir, menyusuri jalanan kota Seoul yang selalu padat pada jam pulang kantor.

Semula, semua terlihat biasa saja, tapi saat si pengemudi menambah kecepatan di jalanan yang longgar, mobil tersebut mulai kehilangan kendali, jalannya meliuk ke kanan dan kekiri seperti sedang diperebutkan oleh dua orang.

Pada akhirnya, mobil itu menabrak mobil lain dari arah yang berlawanan dengan begitu keras, sampai-sampai bagian kap depannya hancur tak berbentuk. Pengemudinya tertelungkup di atas roda kemudi dengan darah segar mengalir deras dari pelipis, tanpa adanya tanda kehidupan.


..

_LA VÉRITÉ_

..

A Collabfic from D HHS, ButtHyukjae and DeSTORIA

A Story of

Lee Donghae x Lee Hyukjae

Jeon Jungkook x Kim Taehyung

..

Boys Love

Crime with lil bit romance

..

Enjoy~

.

.

.


..

Seorang petugas kepolisian tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Selesai membaca artikel utama hari ini, Hyukjae meletakkan koran pagi itu di atas meja makan sisi paling ujung lalu terdiam dengan wajah pucat.

Hyukjae mengenal petugas kepolisian tersebut. Dia adalah salah satu bawahan suaminya yang terkenal rajin, baik hati dan juga sopan.

Dalam artikel itu disebutkan bahwa kemungkinan terjadinya kecelakaan tersebut bersumber dari beberapa kaleng minuman keras yang ditemukan telah kosong di dalam mobil korban, dengan kata lain petugas tersebut diduga mabuk saat atau sebelum berkendara. Tapi, Hyukjae tahu bahwa semua itu hanyalah asumsi salah kaprah para wartawan yang ingin segera mendapat berita spektakuler dari salah satu anggota penegak hukum di kota Seoul.

Kemarin petang sekitar seperempat jam sebelum kecelakaan itu terjadi, Hyukjae bertemu dengan petugas tersebut di supermarket dan sempat melirik isi keranjang belanjaan orang tersebut yang tidak banyak, di sana tidak ada minuman keras dan orang tersebut tidak sedang terlihat mabuk. Mereka berbicara cukup lama bahkan petugas tersebut sampai membantu Hyukjae membawakan setengah dari belanjaannya saat mereka berjalan bersama-sama menuju tempat parkir.

Itu bukan kecelakaan biasa.

Dan asumsi Hyukjae makin masuk akal ketika dirinya tanpa sengaja mendengar percakapan sang suami dengan petugas kepolisian yang lain. Kejadian tragis itu sudah direncanakan dan diatur sedemikian rupa oleh seseorang sehingga benar-benar terlihat seperti kecelakaan biasa.

Orang hina macam apa yang tega melakukan hal tersebut pada seseorang yang baik seperti petugas kepolisian itu? Untuk apa pula?

Hyukjae benar-benar tak habis pikir dengan pola pikir orang-orang jaman sekarang yang lebih senang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka.

Tidak hanya pembunuhan, akhir-akhir ini berbagai macam tindak kriminal semakin menjadi-jadi. Entah itu perampokan, pelecehan seksual, pembulian di sekolah menegah, bahkan sampai penculikan yang berujung pada perdagangan manusia semakin ramai mengisi pemberitaan di seluruh media. Pelakunya juga tidak tanggung-tanggung dalam menjalankan aksinya. Mereka kerap kali menyerang pada siang hari, bahkan di tengah keramaian, seolah tak kenal tempat dan waktu.

Mau tak mau Hyukjae pun jadi cemas. Ia memiliki anak yang baru menginjak usia delapan belas tahun, namanya Taehyung. Anaknya itu manis sekali dan masih polos. Bagaimana jika sifatnya itu dimanfaatkan seseorang untuk memulai sebuah tindak pidana?

Mulai sekarang Hyukjae akan melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap anaknya itu.

"Selamat pagi, jagiya."

Hyukjae menoleh, mendapati Donghae, suaminya masuk ke dalam dapur sambil memasang dasi. Secara naluriah, Hyukjae membalas sapaan tersebut sambil tersenyum dan menghampiri sang suami, membantu sang kepala keluarga mengenakan dasi.

"Terima kasih," kata Donghae setelah dasinya tersimpul rapi, tak lupa mengecup mesra bibir penuh istrinya yang masih saja cantik dan mempesona padahal usianya sudah menginjak kepala empat.

Anggaplah itu sebagai kesempatan bagus yang tidak boleh terlewatkan mumpung anak mereka yang polos tidak ada di sekitar mereka.

"Taehyung sudah bangun?" tanya Hyukjae setelah beberapa saat mereka memisahkan diri, mengambilkan secangkir kopi yang telah ia buat untuk sang suami.

"Sudah. Dia sedang mandi."

Setelah memberikan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap, Hyukjae kembali berkutat dengan masakan yang sempat terabaikan, membiarkan Donghae duduk tenang di kursi meja makan sambil mulai membaca koran dan menikmati kopi paginya.

Decakan muncul ketika Donghae selesai dengan halaman ke dua.

"Ada apa?" tanya Hyukjae, penasaran, kenapa kiranya sang suami bertingkah seperti juri menjengkelkan dalam acara kompetisi memasak yang tidak bisa menghargai jerih payah para kontestan?

"Mereka melanggar perjanjian dengan pihak berwajib."

"Kasus pembunuhan itu?"

Donghae mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari halaman ke tiga.

"Mereka sudah berjanji tidak akan menyebarkan berita tentang kasus yang satu ini dalam bentuk apapun."

"Memangnya kenapa? Bukankah masyarakat perlu mengetahui hal-hal seperti itu supaya bisa lebih waspada?"

Saat melihat sang suami terdiam, Hyukjae langsung mengerti bahwa kasus itu bukanlah perkara yang remeh. Suaminya tidak ingin melibatkan Hyukjae, meskipun hanya sedikit dan dalam bentuk detail paling tidak penting. Donghae mencintai keluarganya dan sudah berjanji tidak akan menempatkan mereka dalam bahaya semacam apapun.

"Good morning, daddy~ good morning, mommy~"

Keduanya menoleh, menyaksikan anak mereka yang sudah berseragam rapi masuk ke dalam dapur dengan riang seperti habis menang lotre.

Pertama-tama Taehyung menghampiri sang ayah untuk mencium pipinya, lalu berpindah mendekati sang ibu.

"Ada yang bisa dibantu, mom?" tanya Taehyung setelah mencium pipi Hyukjae.

Sang ibu mengangkat sepiring tumisan daging beraroma manis. "Bawa ini ke meja."

Taehyung menerima piring tersebut. "Ada lagi?"

"Sisanya biar mommy saja yang bawa."

Remaja itu pun berjalan menuju meja sambil mencomot sepotong daging dari piring, tak tahu bahwa sang ibu memperhatikan aksinya.

"Lee Taehyung, jangan makan sambil berdiri!"

Sang anak berjingkat sambil meringis geli, lalu meletakan piring tersebut ke meja dan duduk manis di samping kiri sang ayah yang sedang tersenyum sambil menggelengkan kepala karena aksi kekanakan itu.

"Apa hari ini daddy sibuk?"

"Sepertinya begitu, ada apa?"

Remaja itu tiba-tiba cemberut sambil memainkan alat makan di meja. "Hari ini Taehyung dan salah satu teman berencana mengunjungi daddy ke kantor untuk melihat-lihat."

Kenapa waktunya tidak tepat sekali?

"Jangan hari ini, daddy benar-benar sibuk, Taehyung," kata Hyukjae, mencoba menyelamatkan suaminya. Hyukjae tahu Donghae tidak akan mengatakan tidak dan akan merasa terluka jika melihat Taehyung bersedih karena ditolak. Suaminya itu belum pernah menolak satupun permintaan anaknya, tapi kali ini Donghae harus melakukannya karena ada kejadian besar dalam kantornya yang harus segera diselesaikan.

"Tapi, mom—"

"Kantor daddy bukan tempat rekreasi, Taehyung."

Taehyung meraih lengan ayahnya. "Daddy, boleh kan?"

"Lee Taehyung~"

Sang anak makin cemberut saat mendengar nada peringatan dalam suara sang ibu, dan hal itu benar-benar mengganggu Donghae.

"Baiklah, tidak apa-apa jika nanti kau ingin ke sana bersama temanmu."

"Yeobo~"

Donghae menoleh kepada Hyukjae sambil tersenyum, memberikan keyakinan pada sang istri bahwa semua akan baik-baik saja.

"Tapi," Donghae mengembalikan atensinya pada sang anak. "Mungkin bukan daddy yang akan menemanimu berkeliling. Bagaimana?"

Mata Taehyung berbinar-binar, senang sekali. Tidak masalah jika bukan ayahnya yang menemani dirinya melihat-lihat karena memang bukan itu yang ia mau. "Tidak masalah, daddy." Sekarang, Taehyung berharap bahwa ayahnya nanti akan memilih Jeon Jungkook—salah satu detektif yang diam-diam telah menjadi kekasihnya—untuk menemaninya berkeliling nanti. Ah, betapa Taehyung sudah tidak sabar menunggu nanti siang, saat ia akhirnya bisa bertemu sang kekasih di kantor ayahnya. Oh, haruskah Taehyung membawakan makan siang untuk Jungkook? Bisa makan siang bersama dengan sang kekasih pastilah sangat romantis.

Tanpa sadar wajah Taehyung memerah seperti baru saja mendapat rayuan dari buaya bermulut manis. Hal itu membuat Donghae dan Hyukjae saling berpandangan sambil mengerutkan kening.


_LA VÉRITÉ_

_HH & KV_


Apa yang pertama kali muncul dalam pikiran kalian saat mendengar kata 'kantor polisi'?

Tempat semua orang meminta pertolongan dan melaporkan segala macam bentuk tindak kriminal? Tempat para lelaki dengan penampilan lusuh dan seram yang telah diringkus karena melakukan kekerasan? Ataukah sebuah markas para lelaki penegak hukum yang berwajah tegas, disiplin, dan kaku?

Kalian salah jika memganggap semua petugas kepolisian terutama divisi inteligensi berwajah seram, tidak enak dilihat dan tidak menyenangkan. Nyatanya, di kantor kepolisian kota Seoul ada beberapa lelaki tampan dan sexy yang di tempatkan ke dalam beberapa divisi di bawah kepemimpinan Lee Donghae.

Salah satunya adalah pria berseragam kepolisian resmi itu, yang saat ini sedang berjalan menelusuri koridor yang tidak sepi. Sekalipun mimik wajahnya datar tanpa ekspresi tapi mata para petugas wanita tidak pernah lepas darinya.

Dia adalah Jeon Jungkook—Benar, Jungkook yang itu, kekasih Taehyung. Seorang detektif muda dengan segudang prestasi yang baru tiga tahun bertugas di kantor Kepolisian Pusat Kota Seoul setelah mendapatkan promosi kenaikan jabatan di kantor lamanya, daerah Busan.

"Detektif Jeon."

Mau tak mau Jungkook menoleh ke belakang, mencari sumber suara yang menyebut namanya, hanya untuk menatap si pemanggil selama beberapa detik kemudian kembali melenggang pergi dengan acuh. Bagi Jungkook, orang itu tidak lebih dari sekedar biang onar di sekitarnya.

Si pemanggil yang diketahui bernama Jimin, menekuk wajahnya lalu mendengus sebal, tapi tetap mengikuti langkah kaki Jungkook yang beralaskan sepatu fantopel hitam mengkilat dan menggema dilorong yang sepi, hingga mereka berdua berjalan beriringan.

Kemudian, dengan seenak jidatnya Jimin mengalungkan sebelah lengannya dibahu tegap Jungkook. Lelaki tampan itu tetap mengacuhkan Jimin, Dia tetap fokus pada kegiatan ke-mana-ia-harus-membawa-kakinya-pergi.

"Detektif Jeon, apa kau punya masalah pendengaran? Sebaiknya kau memeriksakannya sebelum pimpinan tahu dan menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menendangmu dari sini."

Jungkook hanya memutar matanya sebelum mengangguk untuk membalas sapaan rekan polisinya yang kebetulan berpapasan dengan mereka.

Berbeda dengan Jimin, si pendek itu melambai dengan semangat bahkan tersenyum berlebihan untuk membalas sapaan rekannya. Park Jimin dan sifat aktifnya, selalu menebarkan aura ceria kapanpun dan dimanapun dia berada.

Dan di sinilah mereka sekarang, berdiri diam di depan pintu ruangan Jungkook yang baru saja dibuka oleh pemiliknya.

"Menyingkirlah," kata Jungkook. Lelaki tampan itu tidak bisa masuk ke dalam ruangannya jika Jimin masih menempel padanya seperti lintah. Masuk bersamapun juga mustahil. Selain akan terlihat aneh, pintu itu juga tidak cukup untuk dilewati dua orang secara bersamaan.

"Ruanganmu ada disebelah kalau kau lupa."

Jimin menggeleng sambil tersenyum lebar sekali hingga matanya yang sipit melengkung sempurna seperti bulan sabit.

"Aku lupa menyampaikan kalau kau diminta menghadap Komisaris Lee, sekarang".

Jungkook berdecak. "Apalagi sekarang?" Ia tidak suka berhadapan langsung dengan pimpinan tertingginya itu.

"Kasus baru, mungkin."

Setelah menghela napas, Jungkook menampik lengan Jimin lalu berbalik untuk menuju ruangan pimpinan tertingginya.

..

..

..

Jimin hampir terjengkak kebelakang dan tersedak soda di dalam mulutnya saat Jungkook tiba-tiba masuk kemudian membanting pintu ruangannya tanpa perasaan. Wajahnya keruh dan napasnya memburu, persis seperti beruang yang kehilangan mangsa.

"Apa masalahmu, Jeon?"

Jungkook menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, melemparkan sebuah map berwarna maroon ke atas meja, lalu memejamkan matanya yang lelah. Pertemuan singkatnya dengan sang komisaris sukses membuat kepalanya berdenyut sakit.

Dengan kening mengerut, Jimin membolak-balik kertas di dalam map Jungkook yang merupakan berkas dari sebuah kasus.

"Wow! Kasus kecelakaan Petugas Kim. Ini kasus yang sedang ramai diperbincangkan, Jeon."

Jungkook masih tetap pada posisinya.

"Ku dengar, banyak yang menawarkan diri untuk memecahkan kasus ini tapi ditolak mentah-mentah oleh Komisaris."

Apapun yang Jimin katakan hanya masuk melalui telinga kanan lalu keluar lagi dari telinga kiri tanpa disaring sama sekali.

"Jika beliau menyerahkan kasus ini padamu bukankah itu artinya dia mulai mengakuimu sebagai sumber daya yang bisa diandalkan? Dengan kata lain, dia mengakui kemampuanmu."

Dan juga—mungkin—berkeinginan kuat untuk segera menyingkirkan Jungkook dari kantor ini.

Demi jenggot Merlyn, Dirinya baru saja menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan berantai kurang dari dua puluh empat jam yang lalu. Dimana ia harus bertaruh nyawa dan hampir kehilangan kepalanya saat meringkus si pembunuh. Lalu sekarang, dirinya kembali dihadapakan pada sebuah kasus yang mengharuskannya kembali memutar otak.

"Seseorang merekomendasikanku. Apa itu kau?"

Jimin meringis setengah takut. Wajah tampan Jungkook entah kenapa kini justru terlihat mengerikan dimatanya. Lebih mengerikan dari pada wajah hijau Hulk ketika meraung.

"Kau jenius, Kook. Sayang kalau tidak dimanfaatkan."

Oh sayangku Jimin, jika besok ada yang melempar sebuah bom molotov kedalam kamar apartementmu, maka jangan terkejut jika kau menemukan Jeon Jungkook sebagai pelakunya.

"Bedebah kau, Park!"

"Sama- sama, kawan. Aku juga menyayangimu."

Menyingkirkan rasa ngerinya, Jimin mulai mengoceh perihal keuntungan apa saja yang akan di dapat jika Jungkook berhasil menangani kasus besar itu.

Tapi, sekali lagi Jungkook tidak mau peduli, apa lagi saat ponselnya yang sejak tadi tergeletak bisu di atas meja mulai berdering nyaring.

Jungkook tersenyum saat melihat nama di layar ponselnya.

'Jeon's mate calling'

Tidakkah kalian merasa benda persegi itu sangat beruntung karena mendapat seulas senyum tampan milik Jeon Jungkook?

"Ya, sayang?"

Jimin bersiul menggoda sebelum kembali menenggak sodanya. Jungkook yang saat ini terlihat sangat berbeda dengan Jungkook beberapa menit yang lalu. Jika tadi Jungkook terlihat sangar dan mengerikan, maka saat ini Jungkook terlihat seperti anak kelinci yang kecil, menggemaskan dan bodoh. Oh, bahkan Jimin seolah bisa melihat dua buah gigi kelinci di balik belahan bibirnya saat lelaki tampan itu tersenyum.

Dan semua itu hanya karena seseorang.

"Kau mau kemana?"

Jungkook tidak menjawab, ia sedang sibuk mengenakan jacket kulit hitam, dan merapikan rambut arangnya sebelum menutupnya dengan topi hitam.

"Berkencan? Kau masih berhubungan dengan anak Komisaris Lee?"

"Simpan berkas sialan itu dilaci mejaku. Dan kau, cepat keluar dari ruanganku."

Jawabannya memang tidak nyambung, tapi Jimin sudah terbiasa. Bekerja sama dengan Jungkook hampir tiga tahun lamanya cukup untuk Jimin mengetahui seperti apa sifat temannya ini.

"Jadi, kau akan menerima kasus itu?"

Jungkook berhenti diambang pintu, genggamannya pada gagang pintu mengerat.

"Main your own business, Park Jimin."

Dan Jimin hanya menghela napas saat pintu ruangan itu tertutup dengan kencang dari luar. Masih bersikukuh bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang benar.

..

..

..

"Apa yang kau lakukan disini?"

Taehyung hampir memekik seperti anak gadis saat sepasang lengan kekar berbalut jacket kulit hitam melingkar di pinggangnya secara tiba-tiba. Taehyung berbalik, kemudian memberikan tinju setengah hatinya pada dada bidang orang di hadapannya.

"Sekali lagi kau mengagetkanku seperti itu, akan ku cekik kau, Jeon."

Jungkook terkekeh. Jika sedang kesal, kekasihnya ini terlihat sangat lucu dan membuatnya gemas setengah mati. Jungkook jadi tidak bisa menahan diri untuk mengecup bibir merah Taehyung yang masih menggerutu tidak jelas.

"Jadi, apa yang kau lakukan disini, Ma Cherie?" tanya Jungkook, matanya mengedar ke seluruh penjuru halaman samping kantornya yang sempit dan sepi.

"Berkunjung, tentu saja."

Senyum kotak terpatri dibibir Taehyung. Senyuman yang sangat indah, sehingga membuat siapa pun yang melihatnya otomatis akan ikut tersenyum.

"Ah! Mengunjungiku atau Komisaris Lee?"

"Tentu saja mengunjungi ayahku."

Jungkook berdecak. "Kau membuatku kecewa, Lee Taehyung."

Senyuman di wajah Taehyung makin melebar saat melihat ekspresi kecewa Jungkook yang dibuat-buat.

"Dan bertemu denganmu adalah bonusnya."

Setelah itu, Taehyung mengerling menggoda dan mencium pipi kiri Jungkook. Siapa bilang hanya Jungkook yang bisa menggoda di sini? Jika diharuskan, dirinya pun juga bisa menggoda Jungkook balik. Jangan remehkan kemampuan Taehyung dalam urusan goda-menggoda. Seekor banteng jantan pun akan bertekuk lutut dibuatnya hanya dengan sekali kibasan rambut pendeknya.

"Bagaimana dengan tteobokkie?"

Ajakan makan siang bersama rupanya.

"Sayangnya tidak bisa. Ada yang harus kulakukan, sayang. Lain kali tak masalah kan?"

Taehyung cemberut. Mengerucutkan bibirnya sepanjang yang ia mampu untuk menunjukan betapa kecewanya dia.

"Kau membuatku kecewa, Jungkookie."

"Tae~" kata Jungkook sambil membelai pipi kekasihnya, meminta pengertiannya dengan lembut.

Setelah menghela napas, barulah Taehyung menjawab, "Baiklah. Lain kali."

Memiliki kekasih yang berprofesi sebagai aparat kepolisian membuat Taehyung harus rela jika waktu kebersamaan mereka tersita karena kesibukan Jungkook yang lebih dari dua gudang.

Walaupun keinginan kuat untuk memonopoli, juga menyita seluruh perhatian Jungkook hanya untuknya saja tetap ada. Tapi, ah sudahlah tidak usah dibahas.

"Dengan siapa kesini?"

Taehyung menepuk kening karena tiba-tiba teringat pada temannya yang datang bersamanya kesini. Taehyung tadi meninggalkannya di toilet. Apakah dia masih ada di sana?

Salahkan saja ayahnya yang tidak memilih Jungkook untuk menemaninya berkeliling. Jadi Taehyung harus main kucing-kucingan dengan temannya untuk menemui Jungkook.

"Gawat! Aku meninggalkan temanku ditoilet. Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa, Jeon."

Taehyung berbalik dan pergi dengan tergesa-gesa. Tapi baru beberapa langkah anak laki-laki pemilik senyum memikat itu menghentikan langkahnya, lalu kembali menghampiri Jungkook yang masih berdiri tegak ditempatnya hanya untuk memberikan ciuman singkat dibibir detektif muda itu.

Dan dengan jahilnya, Taehyung melepas topi Jungkook, mengacak rambut arang kekasihnya itu sambil berkata.

"Jangan terlalu tampan. Nanti akan banyak noona-noona polisi yang terpikat padamu, Detektif Jeon." Lalu melempar topi itu ke udara dan benar-benar pergi. Meninggalkan Jungkook yang tidak bisa menahan senyum bahagianya seperti orang idiot.

..

..

..

Ketika Hyukjae membuka pintu ruang kerja Donghae, ia melihat suaminya itu sedang berdiri sambil memperhatikan isi sebuah dokumen, dan rahangnya mengeras saat mendengarkan perkataan seseorang dari telepon genggamnya.

"Belum ada berita terbaru? Apa maksudnya? Kenapa proses autopsi bisa berjalan selambat ini?"

Hyukjae menghela napas. Saat ini sudah hampir pukul sembilan malam tapi suaminya itu masih sibuk mengurusi pekerjaan yang tidak ada habisnya.

Setelah Hyukjae menutup pintu, saat itulah perhatian Donghae langsung teralihkan. Matanya terpaku pada sosok istrinya yang sedang berjalan mendekat.

"Baiklah, akan ku hubungi lagi nanti."

Donghae segera menutup dokumen yang ia pelajari dan meletakkan telepon genggamnya di atas meja.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Sebelum menjawab, Hyukjae melingkarkan lengannya di leher Donghae. "Aku mencari Taehyung, tapi tidak menemukannya di manapun. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Petugas jaga di bawah mengatakan mungkin dia ada bersamamu di sini, jadi—"

"Kau ke sini."

"Tepat."

Setelah tersenyum, Donghae menghapus jarak diantara wajahnya dengan Hyukjae.

Bibir mereka menyatu, beradu dengan irama lembut yang kemudian mulai menggugah hasrat.

"Jadi, di mana Taehyung?" tanya Hyukjae. Merasa perlu menginterupsi kegiatan mereka sebelum ia berakhir tanpa bawahan dan terlentang di atas meja kerja Donghae dengan napas putus-putus.

Pertanyaan tersebut sukses membuat Donghae berhenti memikirkan tentang kegiataan percintaan luar biasa yang mungkin bisa mereka lakukan di kantor, lalu menatap istrinya dengan tatapan bingung.

"Pukul tiga sore tadi dia dan temannya berpamitan pulang padaku karena harus mengerjakan tugas."

Hyukjae mengangkat lengannya untuk memeriksa jam tangan lalu berpindah pada ponsel yang sepi dari notifikasi. Baik Taehyung ataupun petugas keamanan di rumahnya tidak ada yang memberi kabar. Hyukjae jadi cemas karena tidak biasanya anaknya yang manis itu bersikap seperti ini.

"Apa dia mengatakan akan pergi ke suatu tempat setelah mengerjakan tugas?"

Donghae menggeleng dengan penuh keyakinan.

"Astaga! Bagaimana jika—"

Kedua telapak tangan Donghae yang kekar segera menangkup wajah Hyukjae, menenangkan istrinya yang mulai hilang kendali.

"Tenanglah, sayang, tenang~"

"Bagaimana aku bisa tenang, jika Taehyung tidak bisa dihubungi?"

"Mungkin saja ponsel Taehyung mati karena dayanya habis. Sekarang akan ku antar kau pulang, siapa tahu Taehyung sudah ada di rumah."

Hyukjae tidak bisa membantah saat Donghae memegangi kedua lengannya, menuntunnya keluar dari ruangan, tanpa menyadari ada sepasang mata jahat yang memperhatikan mereka.


_LA VÉRITÉ_

_HH & KV_


Kegelapan dan kesunyian menyambut Taehyung saat ia membuka pintu apartement Jungkook. Dua buah kantong belanjaan mengisi masing-masing tanganya. Semuanya berisi persediaan makanan untuk Jungkook.

Terakhir ia kesini, isi lemari pendingin pemuda Jeon itu sungguh memprihatinkan. Hanya ada beberapa kaleng minuman bersoda, beberapa botol air mineral, dan dua pak bakso ikan yang sudah menciut.

Kekasihnya itu memang keterlaluan. Gara-gara terlalu sibuk dengan pekerjaan, Jungkook sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengurusi hal remeh temeh seperti mengisi ulang lemari es-nya. Bagaimana jika pemuda itu sampai jatuh sakit karena keteledorannya sendiri?

Setelah menemukan saklar dan keadaan ruangan menjadi terang benderang berkat aliran listrik yang hidup, Taehyung menghela napas kemudian mulai menggerutu perihal bagaimana bisa Jungkook membiarkan apartement-nya dalam keadaan gelap gulita seperti ini?

Sekedar informasi, Taehyung itu takut gelap, dan seharusnya Jungkook tidak boleh melupakan itu.

Selesai menata barang belanjaannya ke dalam lemari penyimpanan dan juga kulkas, Pemuda manis itu membuka pintu kamar Jungkook sepelan mungkin, lalu mengendap-endap menuju tempat tidur seperti seorang perampok.

Perampok hati Jungkook yang manis.

Tak kalah hati-hati pula, Taehyung menyusup masuk kedalam selimut yang menutup setengah tubuh Jungkook, menarik satu lengan kekasihnya yang tertidur tenang untuk dilingkarkan di pinggangnya sendiri. Bergelung senyaman mungkin disana.

Anggaplah Taehyung sedang kehilangan akalnya untuk beberapa saat karena ia benar-benar merindukan Jungkook dan tidak bisa menunggu hari esok untuk bertemu dengan kekasihnya itu.

"Kau mengganggu tidur berhargaku, Tae."

Taehyung sempat tersentak kaget. Ia kira Jungkook tidak akan terbangun dan terganggu dengan kedatangannya, tapi ternyata lelaki itu hanya berpura-pura tidur.

Sepertinya Taehyung lupa jika kekasihnya adalah seorang aparat penegak hukum yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap segala macam hal di sekitarnya.

"Sambutanmu sungguh sangat mengecewakan, Jeon"

Jungkook tersenyum. Masih dengan mata terpejam, ia menyelipkan tangannya diantara celah leher Taehyung, menarik tubuh yang lebih kecil itu untuk lebih merapat padanya.

Jungkook sangat menyukai posisi ini, di mana Taehyung bergelung manja dalam dekapannya hingga napas hangat kekasih manisnya itu meraba dada dan menggelitik perutnya dengan rasa mual yang menyenangkan.

"Pukul berapa sekarang? Kenapa masih berkeliaran?"

Kamarnya gelap gulita, entah sudah berapa lama ia tertidur. Seingatnya setelah kembali dari kantor sore tadi ia langsung terjerembab di atas tempat tidur tanpa melepas seragamnya.

"Pukul sembilan." jawab Taehyung setengah menggumam. Dekapan hangat dan usapan lembut dari telapak tangan Jungkook yang besar dikepalanya membuatnya mengantuk.

Sebelum kesini, Taehyung benar-benar dari rumah temannya untuk mengerjakan tugas sekolah bersama. Otaknya telah diperas habis beberapa saat yang lalu dan ia belum beristirahat sama sekali semenjak pulang dari kantor ayahnya, wajar saja jika sekarang ia lelah luar biasa dan mengantuk, bahkan sampai lupa bahwa ia seharusnya pulang ke rumah.

"Tae?"

"Hm?"

"Jangan tidur."

Kembali hanya gumaman yang keluar dari bibir Taehyung.

"Sayang?"

"Hm?"

"Buka matamu, Ma Cherie."

Tapi Taehyung bandel, remaja manis itu semkin erat memejamkan matanya.

Karena genas, Jungkook mengecup kedua kelopak mata Taehyung yang tertutup, turun ke hidung mancungnya, lalu turun lagi menuju bibirnya yang merekah merah sewarna buah cherry.

"Hentikan, Jeon."

Akhirnya~

"Bangun atau aku akan terus mencium seluruh wajahmu tanpa henti."

Taehyung membuka matanya seketika. Jungkook tidak pernah main-main dengan ucapannya. Taehyung tentunya tidak mau seluruh wajahnya basah karena Jungkook menciumnya tanpa henti.

"Baiklah, aku sudah bangun. Sekarang, katakan apa maumu."

"Aku lapar."

Ingin rasanya Taehyung mengumpat dan merapalkan berbagai macam sumpah serapah pada kekasihnya. Itu keahliannya, by the way.

"Lalu? Kau berharap aku melakukan apa? Memasak? Jangan bercanda, Jeon. Memasak air saja aku tidak bisa."

Jungkook mengubah posisinya menjadi duduk, lalu membawa Taehyung keatas pangkuannya. Membenamkan wajahnya di perpotongan leher Taehyung untuk menghirup dalam-dalam aroma Taehyung yang begitu disukainya. Aroma pinus segar yang menenangkan.

"Aku tidak memintamu memasak untukku, sayang."

"Lalu?"

"Bagaimana kalau aku memakanmu saja?" tanya Jungkook dengan wajah mesum yang menjengkelkan.

"Sialan!"

Jungkook tergelak. Taehyung yang mengumpat dengan wajah manisnya itu benar-benar membuatnya gemas.

"Apa yang kau lihat, Pak Detektif?"

"Bibirmu. Bibirmu itu mengganggu sekali, Tae. Boleh kucium?"

Jungkook menarik pinggang Taehyung untuk lebih merapat padanya dan memberikan kecupan kecil di pucuk hidung mancungnya. Jungkook tidak membutuhkan jawaban Taehyung, karena diijinkan atau tidak Jungkook akan tetap melakukannya.

"Tegang sekali. Apa kau takut, hm?"

Nafas hangat Jungkook yang menyapu wajahnya membuat bulu roma Taehyung merinding. Ia sering melihat di film-film bahwa keadaan seperti ini akan berakhir dengan sesuatu yang lebih intim. Yah, sebuah percintaan.

Kata orang, hal seperti itu rasanya menyenangkan. Tapi jika hal itu memang menyenangkan, kenapa ibunya selalu menjerit dengan nada aneh dalam kamar yang terkunci setelah bercumbu dengan luar biasa menggelora bersama ayahnya di sembarang tempat di rumahnya?

Kini bibir Jungkook sudah berpindah dan mencium rahang bawahnya, terus naik menuju pipi. Rasanya memang menyenangkan untuk saat ini, Taehyung sampai mengigit bibir bawahnya karena tak kuasa menolak sebelah tangan Jungkook yang menyelinap masuk di balik kaos yang dipakainya.

Bibir Jungkook merambat naik dengan percaya diri, mengecupi lagi mata dan hidung Taehyung, kemudian menempelkan keningnya dengan kening sang kekasih dan menggantung nafas mereka yang saling beradu.

Jungkook menggerakkan sebelah tangannya lagi, meletakkan ibu jarinya di dagu Taehyung, perlahan menekan bibir bawah Taehyung untuk memisahkannya dengan bibir bagian atas.

Dengan gerakan selembut sutera, Jungkook menukar posisi jemari dengan bibirnya sendiri, dan mulai memagut habis bibir Taehyung dengan tekanan lembut yang tidak terbantahkan.

Sebelah lengan Taehyung mengalung erat di leher Jungkook, sedangkan tangannya yang lain menapak dan meremat dada bidang Jungkook.

Ini memang bukan ciuman pertamanya dengan Jungkook. Mereka sudah sering melakukannya. Hanya saja, setiap Jungkook menciumnya, Taehyung masih belum terbiasa dengan sensasi aneh namun menyenangkan yang dirasakannya. Ada perasaan senang yang luar biasa tapi ada juga rasa takut yang tidak bisa disembunyikan. Takut dirinya akan menjerit-jerit dengan nada aneh seperti ibunya.

Taehyung memang tidak punya perbandingan karena Jungkook adalah kekasih pertamanya dan tentu saja menjadi orang pertama juga yang mencumbunya. Tapi Taehyung berani bertaruh, kalau Jungkook adalah seorang good kisser.

Lenguhan pelan Taehyung membuat Jungkook tidak bisa menahan diri untuk terus melahap habis bibir sang kekasih, seolah tidak ada hari esok untuk melakukannya lagi. Untung saja Jungkook masih memiliki cukup kewarasan untuk menghentikan kegiatan intim tersebut dan tidak menyentuh Taehyung lebih dari ini.

Pacarnya ini masih dibawah umur, ngomong-ngomong. Dan dia adalah anak dari pimpinan tertingginya di kantor. Apa kira-kira yang akan dilakukan ayah Taehyung jika mereka bercinta sekarang?

"Taehyung manis, semanis bibirnya."

"Dumbass."

"Astaga mulutmu itu."

Sambil tersenyum, Jungkook mengecup gemas bibir basah Taehyung. Dengan bibir dan wajah semanis ini, Taehyung mahir sekali dalam urusan mengumpat. Bahkan karena umpatan manis Taehyung itulah yang membuat Jungkook terjerat dan terjatuh begitu dalam pada pesona bocah SMA di atas pangkuannya ini.

Pertemuan pertama mereka sederhana saja, bahkan terkesan klise. Mereka bertemu di sebuah coffeshop dua tahun yang lalu. Pada saat itu Jungkook berniat untuk membeli secangkir kopi. Singkat cerita; Karena terlalu asik bercanda ria bersama teman-temannya dan tidak memperhatikan jalan, Taehyung menabrak Jungkook hingga menumpahkan kopi dalam genggaman Jungkook pada seragam kepolisiannya.

Bukannya meminta maaf, Taehyung justru mengumpatinya, bersumpah serapah dan lain sebagainya pada Jungkook.

Lalu pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya—masih ditempat yang sama. Entah pada pertemuan yang keberapa mereka tanpa sadar menjadi lebih dekat, dan Jungkook menyadari bahwa dirinya telah terpikat oleh seorang bocah SMA. Remaja manis dengan senyum kotaknya yang sangat memikat.

Tujuh tahun perbedaan umurnya dengan Taehyung bukan merupakan masalah besar bagi Jungkook, karena meskipun demikian Taehyung jauh lebih dewasa dari yang terlihat. Taehyung tahu kapan saatnya dia bisa bermanja-manja pada Jungkook dan Taehyung juga selalu tahu kapan saatnya Jungkook membutuhkan sikap dewasanya.

Jika ditanya, apa Jungkook bahagia? Tanpa ragu Jungkook akan menjawab,

Absolutely, Yes!

Taehyung adalah sumber kebahagiaannya dan salah satu hal terindah yang ia miliki di dunia ini.

Sampai pada suatu hari, secara tidak sengaja Jungkook mengetahui fakta bahwa Taehyung adalah putra dari pimpinan tertinggi di kantor kepolisian tempatnya bertugas.

Kiamat kecil untuk Jungkook.

Karena Jungkook yakin, jalannya untuk bersama Taehyung tidak akan semudah memasak ramen atau telur mata sapi.

"Kuantar kau pulang."

Taehyung cemberut. "Aku diusir?" Taehyung masih ingin berada di dalam dekapan hangat kekasihnya. Dia belum puas dengan pertemuan ini.

"Pikiranmu sempit sekali. Ayahmu pasti sekarang sedang mondar mandir didepan pintu karena anak kesayangannya belum pulang."

Bibir Taehyung mencebik, yang langsung dihadiahi sebuah kecupan kilat oleh si dekektif muda.

"Aku mau menginap disini."

"Dan pak tua itu akan dengan senang hati melubangi tempurung kepalaku."

"Kau berlebihan, Jeon," katanya sambil meninju pelan dada Jungkook. "Dan satu lagi. Pak tua yang kau maksud itu adalah ayahku. Panggil dia dengan sebutan yang manis."

"Dimengerti," jawab Jungkook sambil mencubit hidung mancung Taehyung sebelum menciumnya lagi.

..

..

..

Hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk sampai dikediaman keluarga Lee. Rolex yang melingkar dipergelangan tangan Jungkook sudah menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam. Sudah lewat dari jam malam yang ditentukan untuk Taehyung oleh kepala keluarga Lee.

Dari dalam mobil Jungkook, mereka bisa melihat dengan jelas bagaimana Donghae berdiri dengan tegap di depan pintu besar rumahnya. Menatap lurus kearah mereka dengan tatapan tajamnya. Seandainya sebuah tatapan bisa melubangi, bisa dipastikan mobil Jungkook sudah bolong dibeberapa bagian karena tatapan Donghae.

"Lihat, ayahmu sudah siap dengan senapan laras panjangnya. Dia pasti bahagia sekali jika bisa meledakkan kepalaku."

"Hanya delusimu saja, Jeon. Kau terlalu sering berhadapan dengan penjahat."

Jungkook hanya mengedikan bahu. Well, mengenai senapan laras panjang itu memang murni hanya imajinasi Jungkook saja.

Mereka berdua keluar dari mobil dan berjalan dengan setenang-tenangnya menuju Donghae.

"Kau terlambat dua puluh lima menit, TaeTae."

"Sorry, Dad~" kata Taehyung dengan nada manja disertai tatapan anak anjing yang baru dibuang. Ayahnya ini tidak akan bertahan dengan kemarahannya jika jurus itu sudah keluar.

Setelah menghela napas, Donghae berkata, "Ok. Sebuah ciuman selamat malam, lalu pergilah ke kamarmu."

"Call."

Sebuah ciuman mendarat dipipi kanan Donghae, membuat kepala keluarga Lee itu mengulas sebuah senyum dibibirnya. Tapi senyuman itu seketika luntur saat anak semata wayangnya juga melakukan hal yang sama pada Jungkook. Taehyung mencium pipi kiri Jungkook di depan mata kepalanya.

Oh my God!

What the hell's going on here?

Tadi Donghae hanya berpikir bahwa mereka pulang bersama-sama karena Taehyung tersesat dan tanpa sengaja bertemu Jungkook. Tapi sepertinya pemikiran itu salah.

"Selamat malam, Mon Cher," ucap Taehyung kemudian disertai dengan senyum kotaknya, yang dibalas dengan sebuah senyum tipis oleh Jungkook.

Setelah Taehyung menghilang dibalik pintu, tatapan kedua polisi berbeda generasi itu beradu. Kedua pria itu memasang wajah datar tanpa ekspresi, menyembunyikan segala macam emosi dalam hati mereka.

"Ikut aku."

Apa Jungkook punya pilihan lain selain mengikuti langkah sang Komisaris?

Tentu tidak.

..

..

..

Sudah lebih dari sepuluh menit mereka diam di dalam ruang kerja Donghae, tidak melakukan atau membuka percakapan apapun. Mereka duduk dengan tenang, berhadap-hadapan ditemani dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap tipis di atas meja kerja.

Hubungan kedua polisi beda usia ini memang tidak bisa dikatakan baik, tapi tidak bisa dibilang buruk juga. Entah apa yang menjadi pemicunya sehingga interaksi keduanya selalu terasa kaku. Jika diibaratkan, mereka berdua seperti dua sisi magnet yang sama, jika dipertemukan akan memberikan reaksi saling tolak menolak. Terlepas dari kenyataan bahwa Jungkook ternyata menjalin hubungan dengan Taehyung, Jungkook tetap menghormati Donghae sebagai atasannya ditempatnya bertugas.

"Kau sudah mempertimbangkan tawaranku?"

"Kurasa begitu."

Lalu Donghae berdiri memunggunginya sambil mendongak, menatap senapan yang tergantung manis di tembok.

Itu bukan pajangan biasa, tapi senjata untuk berburu rusa sungguhan.

Astaga! Dari sekian banyak ruangan dalam rumah ini, kenapa Donghae harus memajang senjata itu di tempat ini?

Apakah halusinasi Jungkook tadi akan menjadi nyata? Masalah melubangi kepala?

Lelaki berumur matang itu melirik Jungkook lewat bahunya.

"Jadi apa keputusanmu, Detektif Jeon?"

Jungkook menatap lurus pria dewasa dihadapannya. Sorot matanya tegas tanpa keraguan, tidak gentar meski Donghae memasang wajah seram dan siap untuk meraih senjata. Bukan untuk berburu rusa tapi memburu kepalanya.

"Aku menolak bergabung dalam tim."

"Bisa kau berikan satu alasan yang masuk akal?"

"Tidak ada alasan khusus, Komisaris Lee."

Donghae tersenyum tipis, lalu meraih senapan di dinding itu dengan gerakan santai penuh wibawa. Siapa pun yang mengenalnya pasti setuju jika seorang Lee Donghae adalah seorang pria yang penuh dengan kharisma. Bahkan kharismanya tidak sedikitpun luntur meski diusianya yang sekarang tergolong sudah tidak muda lagi. Ditambah lagi dengan sepak terjangnya di dunia kepolisian membuat polisi senior itu disegani kawan dan ditakuti lawan.

"Begitukah?"

Ketika berbalik, obsidian teduh namun tegasnya memperhatikan Jungkook dengan lekat.

Melihat Jungkook duduk dihadapannya dengan tenang dan dengan tegas mengatakan bahwa detektif muda itu menolak bergabung dengan tim yang dibentuknya, mengingatkan Donghae pada seseorang. Orang itu akan dengan tegas mengatakan tidak jika ia memang tidak mau. Dan akan dengan mudah berkata iya jika memang ia sudah bertekad. Persis dengan Jungkook saat ini. Hanya saja, Jungkook memiliki kepribadian yang dingin dan tertutup, juga jalan pikiran yang sulit untuk dimengerti.

"Kau berkencan dengan anakku. Aku benar, Detektif Jeon?"

Kali ini, Donghae memeriksa tempat peluru, memastikan bahwa senjata itu bisa digunakan malam ini.

Meski Jungkook tetap pada wajah datarnya, namun Donghae yakin wajah itu sempat menunjukkan ekspresi terkejut walau hanya sepersekian detik. Entah lebih cenderung kepada yang mana; Pertanyaan atau senjatanya?

"Kau tahu kalau Taehyung adalah anakku satu-satunya 'kan? Oleh sebab itu, aku akan sangat selektif kepada siapa saja yang mencoba mendekatinya."

Lalu, Donghae mengacungkan senapannya, memposisikan dirinya untuk menembak sesuatu di sudut ruangan, tempat ia menyimpan peralatan golf. Tenang, sasarannya bukan Jeon Jungkook.

"Anda berusaha menekanku dengan alasan personal?" Dan juga dengan senjata? "Terdengar sangat tidak gentelman, Komisaris Lee."

Donghae tertawa renyah dan menurunkan senapannya. Banyak orang yang bilang kalau Jeon Jungkook adalah orang yang cerdas. Dan sepertinya Donghae memang harus mengakui itu mulai dari sekarang.

"Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anakku. Apa aku salah? Aku tidak akan pernah sudi memberikan anakku kepada seorang pecundang, Detektif Jeon." Tatapannya tak main-main sekarang. "Jadi, jika kau masih ingin berhubungan dengan Taehyung-ku, maka buktikanlah kalau kau memang layak untuknya."

Jungkook mengeratkan rahangnya. Jelas sekali kata-kata Donghae barusan adalah termasuk jenis pemaksaan dengan ancaman terselubung. Jungkook bisa melaporkan sikap atasannya ini sebagai tidakan kriminal, tapi dirinya tidak bisa melakukan itu jika mengingat Taehyung. Semua ini dilakukan demi Taehyung.

"Jadi Detektif Jeon, pilihanmu adalah—"

"Apapun maumu, Komisaris."

Pilihan Jungkook adalah ikut bergabung dengan tim secara sukarela atau bergabung dengan terpaksa. Dengan kata lain Jungkook tidak memiliki pilihan sama sekali.

Meh! Donghae menyerang tepat pada titik kelemahannya.

Donghae tersenyum puas. Senyum penuh kemenangan. Satu kosong untuk dirinya.

Masih dengan tersenyum dan juga senjata di tangannya, Donghae menyerahkan dua buah map dari dalam laci kepada Jungkook, warnanya merah dan biru.

"Di dalam map biru itu terdapat nama-nama rekan satu timmu. Kau lihat, Kim Namjoon akan bersamamu kali ini. Well, dia jenius, sama sepertimu. Hacker terbaik yang dimiliki kepolisian Korea Selatan."

Jungkook membolak-balikan berkas ditangannya dengan muka keruh dan bosan bukan main. Ia tidak peduli siapa yang akan menjadi rekan satu timnya nanti. Jungkook hanya ingin cepat menuntaskan kasus ini dan menunjukkan pada pak tua di hadapannya kalau dirinya layak untuk bersanding dengan Taehyung.

"Min Yoongi. Penembak jitu terbaik—"

"Interupsi. Maaf, tapi sepertinya informasi yang anda dapatkan salah. Predikat penembak jitu terbaik itu ada padaku," kata Jungkook sambil tersenyum miring. Dia tidak sedang membual. Pemuda tampan ini memang handal dalam hal itu.

"Benarkah? Ah, aku terkesan ngomong-ngomong."

Donghae memasang mimik wajah berbinar, seolah memang ia terkesan dengan apa yang dikatakan Jungkook barusan, tapi semua itu hanyalah sandiwara yang tidak manis.

Jungkook menggeram.

Mengumpat memang bukan keahliannya, tapi izinkanlah Jungkook untuk mengumpati atasannya itu sekali ini saja.

Fuck You!

"Bisa kita lanjutkan?" tanya Donghae dengan wajah tidak sabarnya.

Jungkook hanya memasang wajah terserah, ingin sekali memutar mata.

"Lalu Kim Seokjin, Jung Hoseok, dan yang terakhir Park Jimin."

Ah, itu dia. Park Jimin.

Bisa minta tolong ingatkan Jungkook untuk mencekik si pendek itu nanti? Kelangsungan hubungannya dengan Taehyung dipertaruhkan disini, man. Jika sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka tamatlah riwayat Si Park itu ditangannya.

"Nah Detektif Jeon, pelajari baik- baik berkas ini. Aku percayakan kasus ini padamu. Ah satu lagi, akan ada satu detektif senior yang akan membantu kalian, jika kalian menemui kesulitan, jangan ragu untuk meminta bantuannya."

Persetan!

Jungkook malas mendengarkan. Jadi, dengan tidak sabaran pemuda Jeon itu bangkit dari kursi yang didudukinya lalu meraih kedua map yang Donghae sodorkan padanya.

"Tunggu dulu, aku belum selesai!"

Astaga, masih ada lagi?

Lelaki yang lebih tua mencondongkan badannya sedikit ke arah Jungkook.

"Selama kasus ini belum selesai, jangan coba-coba menemui, Taehyung."

Alasannya bukan hanya karena keegoisan seorang ayah, tapi juga sebagai upaya perlindungan terhadap keluarganya. Jungkook sangat memahami hal itu. Ia pun tidak memiliki rencana untuk melibatkan Taehyung dalam penyelesaian kasus ini, jadi peringatan Donghae bukanlah sesuatu yang akan ia perdebatkan lagi.

"Dan jika kau masih berani melanggar ketentuanku itu—"

Dengan secepat kilat Donghae mengangkat senjatanya pada Jungkook lalu menarik pelatuknya.

Asap tipis mengepul dari ujung senapan Donghae tepat di depan wajah Jungkook, tapi pemuda itu baik-baik saja, terlihat tidak gentar sama sekali meskipun napasnya sempat tertahan beberapa saat di tenggorokan.

"—Maka, semuanya akan berakhir seperti itu," kata Donghae sambil menunjuk sebuah vas bunga yang telah hancur karena ulahnya.

Setelah mengangguk, Jungkook pun berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Jeon Jungkook sekali.

Kuharap keputusanku sudah tepat.

Setelah merapalkan kalimat tersebut dalam hati, Donghae mendengar langkah kaki yang terburu-buru menuju ruangannya.

Kemudian, Taehyung masuk tanpa mengetuk ke dalam ruangannya, menghadang Jungkook yang terdiam dengan tangan menggantung karena gagal meraih handle pintu.

"Apa kau baik saja?" tanya remaja itu pada Jungkook sambil memeriksa tiap inchi badannya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"It's okay," kata Jungkook sambil tersenyum tipis dan menggenggam tangan Taehyung di pipinya.

Donghae berdehem, sengaja dan dengan keras untuk menginterupsi pasangan kekasih itu. "Bisa tolong kau lepaskan tangannya dan cepat pergi dari sini?"

Taehyung mendadak tidak bisa menerima sikap ayahnya. "Daddy! Apa kesalahannya sampai harus diperlakukan seperti ini? Bukan salahnya jika aku sampai pulang terlambat."

Tapi Donghae seperti tidak mengerti dengan apa yang dikatakan anaknya. Dengan santai ia pun melambai. "Dan kau Lee Taehyung, cepat ke sini, kita perlu berbicara."

Sebelum anaknya menjawab lagi, Hyukjae sudah masuk ke dalam ruangan itu sambil berlari. Salah satu rol di rambutnya terlepas karena ia bergerak dengan tergesa-gesa.

"Apa yang terjadi di... Astaga!" Mata Hyukjae membulat seperti bola pimpong. "Ya! Apa yang kau lakukan dengan vas mahalku, Lee Donghae?"

Sekalipun kesulitan menelan ludah, Donghae tetap bersikap tenang di depan Jungkook, tidak mau terlihat seperti suami-suami yang tidak berkedudukan jika sang istri sudah berkacak pinggang.

"Aku hanya mengajarkan pada anak muda ini cara menembak yang benar, cepat dan tepat."

"Tapi kenapa harus vasku yang bernasip malang malam ini?!"

Benar sekali, kenapa? Dulu, Donghae mengeluarkan banyak sekali uang untuk memenangkan lelang perabotan itu demi menyenangkan hati Hyukjae. Harusnya Donghae langsung membidik kepala Jungkook saja tadi, bukan vas dengan ukiran cantik itu.

Di lain pihak, Jungkook senang bisa melihat sisi lain dari Lee Donghae, tapi ia malas mendengarkan perdebatan suami-istri yang tidak penting ini. Jadi, Jungkook membungkuk kepada Hyukjae, mengambil perhatian—ehem—calon ibu mertuanya.

"Saya permisi, Madam"

Madam?

Donghae terkekeh. "Yang benar saja, kau pikir istriku akan terkesan?! Jangan bermimpi!"

Hyukjae memberikan isyarat kepada Jungkook untuk segera meninggalkan ruangan tersebut sebelum ia berubah pikiran dan mungkin mengambil alih senjata di tangan Donghae.

Pemuda tampan itu segera menurut sambil di gandeng oleh Taehyung.

"Ya! Ya! Lee Taehyung, kembali! Jangan menempel-nempel padanya, nanti kau panuan dan mempunyai kutu!"

Taehyung tidak peduli karena ia tahu Jungkook tidak sejorok itu meskipun sering teledor dengan dirinya sendiri. Kekasihnya itu tetap mandi dua kali sehari jika tidak sedang berada dalam misi yang mendesak.

Ketika Donghae maju selangkah untuk mengejar Taehyung, Hyukjae berdiri tepat di hadapannya sambil menyilangkan lengan.

"Kita masih belum selesai, sayang. Aku menuntut pertanggung jawabanmu pada vas kesayanganku, sekarang juga!"

Di luar, Taehyung yang masih menggandeng lengan Jungkook menggumam, "Baiklah, aku serahkan masalah daddy padamu, mom. Buat daddy jera, jika perlu jangan biarkan daddy tidur di kamar malam ini."

Jahat sekali...

Jungkook menggumam dalam hati, tidak mau mengatakan secara terus terang karena hal itu hanya akan membuat rumah kekasihnya hancur karena dua perdebatan hebat. Sekarang Jungkook tahu dari mana sifat suka mengumpat yang dimiliki Taehyung.

Ibunya.

.

.

.

.

.

.

To be continued

.

.


DeSTORIA's note:

Haii...Long time no see...

Saya kambek bawa ff baru wkwk...kaya yg udah dibilang diatas ya, ff ini adalah ff Collabfic alias ff hasil keroyokan antara saya, Authornim D HHS dan ButtHyukjae

Makasih ya bebs...berkat kegesrekan kalian berdua akhirnya mimpiku buat baca ff Haehyuk-KookV akhirnya jadi kenyataan *lebay* wkwkwk

Habis ini kita ngegesrek lagi ya...kita ngegas buat garap chap selanjutnya wkwkwkwkwk

..

D HHS's note:

Hai!

Annyeong!

Ni Hao!

..

ButtHyukjae's note:

Hallo eperibadiiii...

Lebay yah sambutannya? Wkwk Biarin! Saya adalah si bontot dari ketiga manusia gesrek disini. Pertama mau bilang makasih duli sama si A dan sama si D...sayang banget kalian sama kalian! Dan makasih juga buat kalian- kalian yang udah mampir di ff ini. Gue berasa kaya artis yang abis dapey penghargaan tau ga wkwkwkwk

Cerita ini dibuat dengan segenap kegesrekan kita bertiga. Jadi selama proses itu kita ga bisa anteng, selalu di isi dengan kegesrekan kita yg bikin perut mules.

Jadi, inilah persembahan dari kami ADI gesrek yang demen batang toge wkwkwkwk

..

Terakhir...

Silahkan tinggalkan jejak...wkwk