Bloody Night
By : Mizu Kanata
Disclaimer : Masashi Kishimoto
A/N : Haiii semuaa. Mizu datang lagii, hahaaa. Tapi lagi-lagi maaf karena ini bukan Runaway, hehee. Saya masih sibuk dengan perkuliahan dan jujur kelanjutan dari Runaway masih harus dimatangkan lagi karena masih agak belum jelas, hehee. Maafkan karena Mizu mengecewakan pembaca sekaliann. Gomenn ne.
And when your plans unravel in the sand
What would you wish for
If you had one chance?
Airplanes –B.O.B
Chapter 1 : Night Changes
Iris lavender Hyuuga Neji terbuka saat ia mendengar lonceng peringatan berbunyi. Tubuhnya dengan refleks berdiri dari posisi berbaring, netranya mencoba menyesuaikan dengan gelapnya ruangan sementara tangannya meraih sebuah pedang dan sebuah perisai. Dengan segera, pemuda berusai 20 tahun itu menggeser pintu dan mendapati para prajurit lain melakukan hal yang sama. Wajah mereka bertanya-tanya, dan bisikan "Apa yang terjadi?" terdengar di mana-mana. Tiba-tiba suara desingan terdengar, dan ratusan anak panah melesat dari tembok istana di depan mereka. Neji mengangkat perisainya tepat sebelum sebuah anak panah mengenai dirinya. Ia mendengar teriakan para prajurit dan debuman keras. Sebagian dari mereka telah tertembak.
"Pemanah! Lawan para penyusup!" teriak salah seorang pimpinan, "Prajurit! Lindungi istana!"
Tak perlu menunggu lama, para prajurit berbaris rapi dengan perisai melindungi mereka. Sementara itu, para pemanah istana bersiap di posisi dan mulai menembak. Neji melemparkan pandangannya pada para penyusup yang bersembunyi di kegelapan. Mata lavendernya tak bisa melihat dengan baik, tapi melalui kilau benci di mata mereka, pemuda itu tahu jika mereka menyerang untuk membalas dendam.
Menurut cerita para prajurit paruh baya, 30 tahun yang lalu, kerajaan ini menyerang banyak kerajaan lain, merampas tanah dan harta mereka hingga kerajaan-kerajaan itu lenyap. Para prajurit selalu mengakhiri kisah bahwa seperti itulah bagaimana kerajaan ini menjadi kerajaan terkuat. Tapi, tidak halnya dengan Maito Gai –gurunya saat ia belum diangkat menjadi prajurit. Ia selalu berkata bahwa suatu saat mereka pasti akan bangkit, memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka, dan menuntut pembalasan. Benar, Gai memang benar, pikir Neji. Sekarang, 30 tahun kemudian, mereka menyerang kerajaan ini, di saat yang paling tidak diduga –di malam yang tenang pada saat raja mereka semakin tua dan lemah.
Memasuki bangunan istana, keadaan sudah tak terkendali. Para prajurit yang malam ini berjaga di istana tengah sibuk bertarung dengan musuh. Pedang melawan pedang. Tangan melawan tangan. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di mana-mana. Datang dari istana, para penyusup tiba-tiba menyerang mereka, Neji mengangkat pedangnya untuk menghadang seseorang yang menyerangnya. Mereka bertahan selama beberapa saat. Tapi Neji lebih kuat, tangan pria yang melawannya segera melemah, pedangnya tak kuat menahan Neji. Tak menyia-nyiakan waktu, pemuda itu mengayun lengannya, dan sang pria pun terjatuh. Dari ujung matanya, Neji dapat melihat Lee –temannya– sedang bertarung menggunakan tombak. Seketika pemuda Hyuuga itu tahu bahwa istana telah dikepung. Para penyusup tidak datang dari sisi Selatan istana dimana kamar para prajurit berada, mereka datang dari sisi Utara –tempat hutan bermula. Raja tak pernah memerintahkan para prajurit berjaga di sisi itu karena selama beratus tahun, tak ada yang muncul dari sana kecuali binatang liar. Sisi Utara adalah sisi istana tempat para pelayan istana dan satu-satunya prajurit wanita beristirahat di malam hari.
Tenten!
.
.
.
"Selamat datang di akademi, prajurit! Mulai sekarang kita akan berlatih sebagai sebuah tim. Aku gurumu, Maito Gai! Aku akan membimbingmu dengan penuh semangat masa muda!" Tak seperti guru lainnya yang tampak tegas dan menyeramkan di hari pertama akademi, Gai justru tersenyum dengan memperlihatkan gigi sambil mengacungkan jempolnya. "Sekarang aku ingin tahu nama kalian, prajurit!"
"Namaku Rock Lee, sensei!" jawab seorang bocah berusia 10 tahun, tampak sangat kagum pada guru barunya.
"Tenten," jawab gadis di sampingnya.
"Hyuuga Neji."
Alasan mereka untuk menjadi prajurit berbeda-beda, namun pada dasarnya tujuan mereka sama. Mereka ingin membuktikan bahwa diri mereka layak, bahwa mereka patut diperhitungkan. Entah kebetulan atau bukan, mereka adalah satu-satunya tim dengan seluruh anggota yatim piatu.
Lee diadopsi oleh seorang prajurit tua sejak usianya 5 tahun. Ia masuk akademi untuk membuktikan bahwa dirinya akan menjadi prajurit yang baik –seperti prajurit tua yang telah meninggal itu. Tenten kabur dari desanya. Ia benci akan perlakuan semena-mena kaum laki-laki terhadap perempuan di desa itu. Bocah itu ingin membuktikan bahwa wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria. Dan ia akan membuktikan itu dengan menjadi seorang prajurit. Sedangkan Neji, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa menemukan takdirnya sendiri. Ia akan melanjutkan perjuangan ayahnya –menentang peraturan-peraturan keluarga yang sungguh menggelikan. Ya, aturan yang sangat bodoh. Hyuuga Hizashi –ayah Neji– menolak peraturan klan untuk menikah dengan wanita Hyuuga dan memilih istrinya sendiri. Setahun setelah Neji dilahirkan, ibunya meninggal dan membuat Hizashi sangat sedih. Baru 8 tahun kemudian ia mengetahui dengan tak sengaja bahwa kematian istrinya telah direncanakan oleh sebuah racun. Merasa sangat marah, Hizashi menyerang tetua Hyuuga, dan itu berakhir dengan kematiannya, meninggalkan Neji seorang diri. Pamannya –Hyuuga Hiashi– yang kemudian menjadi ketua klan mengatakan bahwa seperti itulah nasib orang yang melawan takdirnya sendiri.
"Kemana kau akan pergi Neji?" tanya Hiashi saat melihat Neji meninggalkan gerbang Hyuuga.
Neji tidak menjawab.
"Kau akan melawan takdirmu? Seperti ayahmu?"
Mata lavender Neji menatap lavender Hiashi. "Ini bukan takdirku paman. Ini hanyalah takdir yang kalian buat. Aku akan mencari takdirku sendiri."
Dan seperti itulah Neji pergi dari kediaman Hyuuga –beberapa bulan setelah kematian ayahnya.
.
.
.
Menjatuhkan musuh ketiganya, Neji bergerak ke sisi Lee. Selama beradu pedang, Neji terus mencari keberadaan Tenten. Tapi nihil, ia tidak menemukan gadis itu. Sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaannya. Cepol duanya tak terlihat dimanapun, tak ada gerakan lincahnya di tengah-tengah pertarungan, dan tak ada kilau katana kesayangannya.
"Lee, dimana Tenten?" tanya Neji. Suaranya terdengar panik, sesuatu yang jarang kau dengar dari sang Hyuuga. Pemuda itu akhirnya mencapai Lee saat satu lagi musuh menyerangnya.
Mata bulat Lee membesar saat menatapnya. "Aku belum melihatnya, Neji." Tangannya sibuk mengayunkan tombak untuk menghindar dari tikaman pedang.
"Kita harus mencarinya," kata Neji, mengarahkan pedangnya pada jantung musuh, tapi pria itu berhasil mengelak.
"Kita akan menemukannya." Lee mengangguk, dan merekapun kembali menyerang. Bertekad menemukan teman satu tim mereka.
Tenten… dimana kau?
.
.
.
"Kita bisa menghadapi ini. Apapun yang terjadi, kita akan diangkat menjadi prajurit bersama-sama," kata Tenten, suaranya tenang dan penuh keyakinan.
"Ya!" seru Lee. "Kita pasti bisa melewati ini! Kita tak akan mengecewakan Gai-sensei!" Pemuda berambut bob itu mengacungkan jempolnya. Meski begitu, kegugupannya masih terlihat.
Tahun ini, akademi prajurit mereka akan melakukan tes terakhir. Untuk membuktikan kelayakan mereka menjadi prajurit yang sesungguhnya. Kali ini, bukan tes per tim seperti yang dilakukan saat ujian di akademi. Tes ini dimaksudkan untuk menguji kemampuan individu mereka.
"Hyuuga Neji," panggil penguji saat pintu tempat tes dilaksanakan terbuka.
"Neji, semoga berhasil!" kata Lee, mengepalkan tangannya menyemangati sang Hyuuga.
"Hn."
Neji baru berjalan beberapa langkah saat ia merasakan ujung bajunya ditarik, pemuda itu berbalik dan mendapati Tenten berdiri di hadapannya.
"Kau pasti lulus Neji. Tunggulah kami di luar sana, oke?" pinta Tenten seraya tersenyum padanya.
Pemuda Hyuuga itu bergeming, jantungnya berpacu cepat. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
.
.
.
Dengan cepat, malam yang damai di awal musim gugur berubah. Udara menjadi begitu dingin, suara angin yang menggoyang pepohonan membuat suasana lebih mencekam, dan api membubung dari sebelah Timur, bangunan istana di sisi itu mulai terbakar. Tapi, itu tak ada apa-apanya dibanding teriakan-teriakan prajurit maupun para penyusup. Tubuh demi tubuh semakin banyak berjatuhan. Jumlah musuh lebih banyak, tapi para prajurit istana cukup kuat –meski mereka sangat terkejut dengan serangan ini. Halaman, koridor, maupun benteng penuh dengan orang-orang yang berperang. Dan darah. Darah terlihat di mana-mana.
Pedang Neji sudah dipenuhi darah, begitu pula dengan tombak Lee. Tapi musuh mereka terus menghadang, tak membiarkan mereka bergerak lebih jauh. Menikamkan pedangnya dengan kuat, Neji menjatuhkan musuhnya yang ke-7. Sekali lagi, pedang Neji dipenuhi darah. Kilau peraknya hampir tak terlihat.
Tenten… kumohon tunggulah kami.
.
.
.
Neji lolos. Meski tubuhnya sangat kelelahan dan tulang-tulangnya terasa remuk, ia tak memiliki luka berarti. Lencana prajurit terpasang di dada sebelah kanannya. Neji adalah orang pertama yang lolos, penguji memberitahunya. Dan ia menunggu, mendudukkan dirinya di kursi terdekat. Neji melihat teman-teman seangkatannya keluar dengan wajah lesu, tanpa lencana di dada mereka. Sebagian dari mereka menyelamati Neji. Tapi, ia tidak sengaja duduk di sini untuk menerima ucapan selamat. Ia hanya menunggu. Ya, menunggu rekan setimnya.
10 orang telah berlalu sampai Lee keluar dari ruangan. Kepalanya tertunduk.
"Lee?" tanya Neji, menghampiri pemuda itu.
Lee mengangkat kepalanya, sebelah matanya bengkak dan sebelahnya lagi mengeluarkan air mata. Tangan kirinya menutupi dada sebelah kanannya.
"Lee, apa yang terjadi?" tanya Neji lagi.
"Aku berhasil!" seru Lee, melepaskan tangan yang menutupi lencana. Lalu ia melihat Neji juga mengenakan lencana yang sama, "Kita berhasil Neji!"
"Hn." Neji tersenyum samar.
"Oh, aku tak percaya ini! Kita harus segera memberi tahu Gai-sensei!" kata Lee penuh semangat. Ia sudah akan berlari dengan cepat sebelum Neji menghentikannya.
"Kita harus menunggu Tenten."
"Oh, benar. Maafkan aku." Dan Lee pun mendudukkan dirinya di kursi.
Waktu terasa berlalu lambat saat mereka menunggu. Ditambah lagi, belum ada orang lain yang lolos selain mereka. Hingga beberapa jam kemudian, Kato yang baru keluar dari ruang tes –tanpa lencana– menghampiri mereka.
"Tenten di dalam. Dia yang terakhir."
Neji dan Lee menunggu, 1 jam sudah berlalu sejak Tenten memulai tes, namun gadis itu belum muncul dari pintu keluar. Lee berkata mungkin sebentar lagi. Tapi Neji mulai khawatir, sejauh ini, 1 jam adalah waktu terlama tes berlangsung. Lagi, Neji dan Lee menunggu. 2 jam berlalu, dan Tenten belum keluar juga. Lee sama khawatirnya dengan Neji kali ini. Pemuda Hyuuga itu baru saja akan mendobrak pintu –setelah lebih dari 2 jam menunggu– untuk mengetahui apa yang terjadi saat pintu terbuka dan Tenten muncul. Gadis itu tampak sangat berantakan. Dua cepolnya hampir terlepas dari ikatan, peluh bercucuran di dahinya, dan ia berjalan dengan menyeret kaki kirinya. Tenten tersenyum, lencana prajurit terpasang di dadanya.
Neji segera berjalan menghampiri gadis itu sebelum ia ambruk, menahan tubuhnya yang lemah. Sang Hyuuga dapat merasakan senyum Tenten di bahunya. "Kau berhasil," kata Neji di telinga gadis itu, ia mendengar Tenten tertawa kecil.
"Tenten, kau berhasil!" Lee menghampiri mereka.
Tenten bertopang pada Neji saat ia melingkarkan tangan kanannya di bahu Neji dan tangan kirinya di bahu Lee. "Ya, Lee, aku berhasil," kata Tenten.
"Tapi Tenten, apa yang membuatmu sangat lama di dalam sana?" Dan Lee menyuarakan apa yang juga ingin ditanyakan Neji sedari tadi.
"Itu karena aku perempuan, para penguji ingin memastikan aku tidak akan menjadi beban," jawab Tenten dengan nada sedikit pahit.
"Itu tidak adil!" seru Lee marah.
Rahang Neji mengeras. Kau tak pernah menjadi beban, Tenten…
"Ya, tapi itu tak penting lagi sekarang. Aku membuktikan pada mereka aku bisa melewati semuanya meskipun aku perempuan. Aku lulus," kata Tenten.
"Dan kau menjadi satu-satunya prajurit wanita di istana ini Tenten!" kata Lee, suaranya kembali penuh semangat sekarang.
"Ya, aku berhasil," kata Tenten, setetes air mata keluar dari ujung matanya. "Tidak. Kita. Kita berhasil."
Mendengar itu, Neji tersenyum, kemarahannya menghilang saat Tenten dan Lee tertawa bahagia. Di usia 17 tahun, mereka berhasil menjadi prajurit –kesatria. Menjadi bagian dari sedikit orang yang lulus di angkatan mereka. Mereka berhasil di kesempatan pertama dari dua kesempatan yang diberikan. Menjadi satu-satunya tim yang lulus dengan anggota utuh –sudah berpuluh-puluh tahun sejak hal seperti itu terjadi. Setelah 7 tahun belajar bersama di akademi sebagai sebuah tim, akhirnya mereka manjadi prajurit sesungguhnya. Itu bukan waktu yang sebentar, Neji bahkan tak akan ragu mengatakan bahwa Tenten dan Lee adalah temannya –sahabatnya. Hal yang Neji tahu tak akan didapatkannya jika ia tidak meninggalkan gerbang Hyuuga saat itu. Ini takdirnya, untuk berada di samping mereka. Dan 7 tahun adalah waktu yang cukup untuk membuat sang Hyuuga menyadari perasaannya…
.
.
.
Peluh mulai bercucuran di sisi dahi Neji meski udara malam terasa menusuk. Dengan napas memburu, pemuda itu menarik pedangnya, dan nyawa ke-12 melayang di tangannya malam itu. Saat akan melawan musuh selanjutnya, sebuah teriakan tiba-tiba membelah malam, baik penyusup maupun para prajurit mengarahkan perhatian mereka ke sebuah menara yang tak terlalu tinggi di sisi Barat.
"Raja kalian sudah mati!" Teriak seseorang –yang tentu saja musuh, mengangkat tubuh raja yang sudah tak bernyawa. Seketika, Neji tahu para prajurit di istana sisi Barat –tempat tinggal raja– sudah dikalahkan. Tak mungkin masih ada prajurit yang hidup sementara raja mereka di ujung maut, karena mereka sangat setia pada raja dan kerajaan ini. "Semua keluarga istana juga sudah mati! Sekarang kalian semua akan menyusulnya." Pria itu tertawa, lalu bersama rekannya, mereka mendorong raja dari menara. Para penyusup berteriak dengan bersemangat saat tubuh raja berdebum di tanah. Mereka menyerang seolah memiliki semangat baru. Tapi kemarahan para prajurit juga membuat mereka berperang lebih keras –hingga titik darah penghabisan.
Tenten…
.
.
.
"Perang tidak akan menghasilkan apapun selain kepedihan," kata Gai-sensei.
"Lalu kenapa kau menjadi seorang prajurit, sensei?" tanya Tenten.
Maito Gai tersenyum. "Para prajurit menyelamatkanku dan keluargaku. Kami kabur dari sebuah kerajaan yang sedang berperang. Karena itu, aku berhutang selamanya pada kerajaan ini. Aku tetap tinggal sementara keluargaku melanjutkan perjalanan ke sebuah desa yang aman. Aku akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kerajaan ini, termasuk berperang. Meskipun itu sangat menyedihkan."
Lalu Gai-sensei menatap mereka dengan mata bulatnya, "Tapi, murid-muridku, kalian harus berjanji satu hal padaku."
"Apa itu sensei?" tanya Lee antusias.
"Jika terjadi hal buruk suatu saat nanti. Jangan pernah menuntut pembalasan dendam. Itu sama sekali tidak menunjukkan semangat masa muda. Kalian mengerti?"
.
.
.
Sebelah kaki Neji melangkah ke belakang untuk menahan sebagian bobot tubuhnya saat pedangnya beradu dengan pedang seorang musuh. Pemuda itu tak terlalu peduli akan kematian raja saat ini. Ya, ia tak peduli. karena saat itu yang ada di pikirannya hanya satu.
Tenten…
Tiba-tiba seseorang melompat ke depan Neji, menahan pedang musuh yang sedang dilawannya dengan sebuah tombak. Lee. Pemuda berambut bob itu menolehkan kepalanya, menatap mata Neji dengan sangat serius. "Neji, pergilah. Aku akan menyusul!" teriak Lee.
Sang Hyuuga tak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia segera mengangguk. Lalu berlari menembus orang-orang yang sibuk berperang, berharap tak ada yang menghalanginya kali ini.
Bertahanlah…
.
.
.
"Neji, tunggu aku," kata Tenten saat mereka baru saja turun dari sebuah kereta kuda.
Pemuda itu menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Tenten. Lagi, jantung Neji berpacu lebih cepat saat melihatnya. Malam ini, gadis itu terlihat sangat cantik. Oh, tidak, biasanya Tenten juga cantik –dengan senyumnya, gerak lincahnya saat berlatih dengan katana, dengan iris cokelatnya yang jernih. Hanya saja, Tenten sangat berbeda malam ini. Rambutnya yang biasa dicepol dua tergerai bebas di bahunya, warna cokelat yang agak bergelombang itu terlihat begitu lembut. Alih-alih mengenakan pakaian prajurit atau pakaian sehari-harinya saat sedang tidak bertugas, Tenten mengenakan kimono –bukan kimono formal– berbahan sutera lembut yang begitu pas di tubuhnya.
"Kau tak tahu betapa tidak nyamannya baju ini," kata Tenten, berjalan menghampirinya. Gadis itu lalu mengaitkan lengan kanannya pada lengan Neji. "Kita datang sebagai pasangan, kau ingat?" tanyanya sedikit gusar.
"Hn."
Ya, kali ini Neji dan Tenten mendapat tugas dari kerajaan untuk mendapatkan sebuah obat. Raja sedang sakit parah, dan tabib istana tidak memiliki obat yang dibutuhkan karena ia berkata bahan-bahan pembuat obat itu tak dapat ditemukan di negeri mereka. Selain itu, untuk membuat obat dibutuhkan waktu berbulan-bulan. Satu-satunya cara adalah dengan membelinya ke sebuah desa di luar kekuasaan raja. Obat itu adalah jenis obat keras. Tabib berkata mereka bisa mendapatkannya di sebuah bar di desa ini.
Neji dan Tenten dipilih untuk tugas ini karena mereka adalah prajurit termuda –19 tahun. Jika kerajaan mengirim tabib atau prajurit yang lebih tua, mereka khawatir si penjual yang mengetahui siapa mereka memiliki maksud jahat atau telah memiliki perjanjian dengan musuh kerajaan mereka. Bukan tak mungkin si penjual akan memberikan obat yang salah atau lebih buruk lagi racun. Well, itu hal yang biasa dalam intrik antar kerajaan. Dan Lee. Lee tidak dipilih untuk tugas ini karena tentu saja ia tak bisa berpura-pura, terlalu menggebu-gebu dan terlalu 'penuh semangat masa muda' untuk tugas ini.
Ya, Neji dan Tenten adalah pilihan yang sempurna. Mereka akan berperan sebagai pasangan muda yang baru saja menikah, datang untuk membeli obat karena ibu sang istri sakit keras. Itu membuat Tenten harus merubah penampilannya, karena tentu saja berita tentang satu-satunya prajurit wanita telah menyebar ke beberapa desa. Seorang gadis bercepol dua. Seperti itulah kalimat yang tersebar. Oh, hal ini tentu saja disambut baik oleh para pelayan wanita, mereka senang sekali karena akhirnya dapat mendandani Tenten dengan bebas.
"Inikah bar yang dimaksud tabib?" tanya Tenten.
"Hn."
"Ramai sekali…"
Di tengah kegelapan malam, bar itu begitu terang dengan banyak orang di dalamnya. Neji dan Tenten segera masuk, menemukan dua kursi di depan meja bar dan memanggil pelayan terdekat. Begitu minuman datang, Tenten mulai menyesapnya dan 'meluapkan kesedihannya'.
Tenten memainkan perannya dengan sempurna, ia berubah menjadi wanita yang sangat sedih karena ibunya sekarat, berkata betapa ibunya membutuhkan obat dan sangat menderita –sekaligus membeberkan kondisinya dengan detail. Neji tak banyak bicara, ia hanya menyetujui apa yang dikatakan gadis itu dan berusaha 'menenangkannya'. Tenten mengeluarkan suara tangis, tapi Neji tak merasakan air mata gadis itu di dadanya. Well, ia baru tahu Tenten bisa menjadi aktor yang hebat. Tabib berkata obat itu tak diperjualbelikan secara bebas. Bar itu hanya menjualnya kepada pelanggan mereka. Obat keras yang mereka butuhkan adalah obat yang bisa membuat tubuh dan pikiranmu melayang. Tentu. Jika diberikan pada orang yang sehat. Obat itu tak bisa didapatkan dengan mudah jika kau orang luar di bar ini.
Tapi tak lama, pelayan itu masuk ke dalam perangkap Tenten. Ia berbisik pada Neji dan Tenten bahwa mungkin mereka memiliki obat yang bisa berguna untuk penyakit seperti yang diderita wanita malang itu. Tenten sangat gembira mendengarnya dan memohon untuk bisa membeli obat itu berapapun harga yang ditawarkan. Si pelayanpun meminta mereka menunggu sebentar.
"Namura-san menunggumu di ruangannya. Ikuti aku."
Neji dan Tenten baru akan berdiri saat pelayan pria itu berkata, "Hanya anda saja, Tuan Satoshi. Namura-san tak suka bertemu banyak orang."
Neji tak suka meninggalkan Tenten sendirian di tengah orang-orang ini. Tapi gadis itu memberinya tatapan 'aku akan baik-baik saja', dan Neji pun mengikuti si pelayan. Sekitar 15 menit kemudian –Namura mengajaknya berbincang sedikit dan Neji tak bisa menolaknya– ia keluar dengan obat di sakunya. Netranya menangkap seorang pria yang tampaknya mabuk sedang berbicara dengan Tenten, mencoba menggodanya. Neji menggertakan giginya. Jika menjadi dirinya yang sebenarnya, Tenten pasti sudah menendang dada pria itu. Tapi, ini bukan 'Tenten', dan gadis itu tak akan membahayakan misi mereka dengan berlaku kasar.
Mereka berdua duduk membelakangi Neji –maka Tenten tak bisa melihat sang Hyuuga, dan ia tak bisa melihat tangan si pria yang bergerak perlahan ke pinggangnya. Tapi Neji melihat semua itu, dan sebelum pria itu menyentuh Tenten, ia menghentikannya, mencengkeram kerah baju pria itu.
"Dia milikku." Suara Neji dingin dan marah.
Pria itu mundur, "Ma-maaf, a-aku tidak tahu Tuan."
Begitu Neji melepaskan cengkeramannya, pria itu langsung berlari dan pergi dari hadapan mereka –dan dari bar itu.
"Ne-Satoshi," kata Tenten, cukup kaget akan perilaku Neji yang tidak biasa. Well, Neji yang biasa mungkin tidak akan membuat keributan seperti ini.
Neji menghampiri Tenten, berbicara tepat di telinga gadis itu sehingga hanya Tenten yang bisa mendengarnya. "Kau milikku. Tenten." Tidak. Pemuda itu tak menyebutnya Hana –nama samara Tenten. Ia ingin gadis itu tahu bahwa dirinya tidak sedang bersandiwara kali ini.
Dan Neji menciumnya, tepat di sana, di tengah keramaian bar desa itu. Perlahan, ia merasakan Tenten membalasnya. Gadis itu melingkarkan tangannya ke leher Neji dan membawa sang Hyuuga mendekat.
.
.
.
Neji berlari. Lebih cepat dan lebih cepat.
Aku akan menemukanmu…
Aku akan menemukanmu, Tenten…
To Be Continue
A/N : Next chap. will be the last chap. of this story. so wait for it minna! Oh iya, ratingnya sudah bener nggak ya? Apa harus Mizu ubah jadi M karena banyak darah?
