"These violent delights have violent ends and in their triumph die, like fire and powder, which as they kiss consume."
—Romeo and Juliet, William Shakespeare.
—
to: Jack Vessalius, a victim of madness of love.
Pandora Hearts © Mochizuki Jun.
This is a work of fanfiction. No material profit is taken.
a place to return to
A Pandora Hearts fanfiction
.
.
Kamu berjalan dengan tungkai gemetar, beringsut maju menembus pekatnya hawa beku musim dingin yang menusuk-nusuk tulang rapuhmu. Berwajah pias pun, keras kepalamu terhadap kata menyerah tak pernah menyusut—tidak barang sedetik pun. Dengan bibir terkatup rapat dan kedua tangan terkepal di samping tubuh yang mulai mati rasa, kamu terus berjalan. Sekujur tubuhmu berteriak untuk berhenti barang sejenak saja, tetapi kamu tidak menggubrisnya. Kamu terus menerjang maju dengan mata yang sama bekunya dengan musim dingin kali ini.
Gang-gang sepi yang sempit, kumuh, dan berudara lembab di kota yang ramai ini tampak memuakkan bagimu. Jalannya abu-abu dipenuhi sampah yang berserakan dengan tembok tinggi di kanan-kiri yang berwarna putih berbercak dan langit yang sejauh kamu ingat berwarna biru tetapi sekarang terlihat tidak jauh beda dari jalan yang kamu jejak sekarang. Tanpa dirinya, dunia yang kamu hidup di dalamnya terlalu menjemukan. Dunia yang dulu sempat penuh keindahan, kini menjadi kusam di matamu yang mati. Dunia tidak lagi berwarna, tetapi monokrom dan menjemukan.
Sesungguhnya apa yang membawamu sebegini jauh? Bukankah kamu yang dulu hanya akan diam mengerut di balik kain kumal di gang kota yang gelap dan membiarkan segalanya terjadi begitu saja, membiarkan detik jarum jam yang berlalu mengentak-entak dalam kekosongan hidup bagaikan algojo yang berdiri di tepi tiang pancungan siap memenggal habis waktumu untuk bernapas? Kamu, seharusnya, diam saja dan berlindung di balik cangkang rapuh yang kamu bangun dari kemuakkanmu terhadap dunia yang munafik ini dan bukannya berjuang memperoleh satu hal yang kamu klaim sebagai milikmu.
Nyatanya sekarang kamu tengah mengejarnya tanpa henti, entah untuk seberapa lamanya sekarang. Dengan segenap asa yang kamu punya, yang masih tersisa di antara gunungan kejemuan hidup. Satu-satunya hal yang tidak pernah sekalipun terlintas dalam kepalamu yang nyaris berjamur itu. Hal yang, lucunya, kini mati-matian kamu cari dan akan kamu genggam dengan segala yang kamu punya jika sudah kamu temukan.
Dia berarti segalanya.
Dan dunia tak berarti apa-apa tanpanya.
Satu hal dalam hidupmu yang penuh kepahitan yang akhirnya bisa kamu miliki adalah sebuah tempat untuk kembali. Sebuah tempat yang bisa kamu sebut rumah setelah sekian lama hal itu terenggut darimu.
Kamu berjalan tanpa lelah, mencari tanpa henti, berdoa tanpa harap; akankah kamu menemukan sosoknya lagi? Kamu yang dulu kehilangan dirinya, bersumpah di atas darahmu untuk menemukannya dan tidak akan membiarkan siapa pun, apa pun, menghalangimu untuk bersamanya.
"Lacie…" bisikmu dari balik bibirmu yang pucat. Namanya lenyap di udara yang membekukan, terbawa angin dingin.
Karena, sekali lagi, dia berarti segalanya bagimu. Dan akan kamu lakukan apa pun untuk pulang kembali. Ke tempatnya, ke sisinya.
—
—
"Whenever it snows, I am reminded of those days: the day that you found me and the day that I finally found you and I lost you again..." [ ]
