Hello minna~~ ini adalah fanfic pertama miki, hehe masih butuh banyak kritik dan saran dari pembaca semua. Saya sengaja memilih pair MeikoxKaitoxGakupoxMiku karena menyukai mereka terutama Meiko. Maafkan karena terlalu OOC. Silahkan dinikmati,, semoga terhibur xD
#salam sayang
Miki
MEIKO memandang dingin seorang bocah perempuan yang tengah berada di pelukan ibunya. Bocah kecil itu tertidur dan bergelung nyaman di pangkuan ibunya. Wajah gembilnya memperlihatkan rasa tenang. Rambut anak perempuan itu berwarna biru tosca, tak seperti rambut pirang ibunya atau bahkan rambut cokelat eboni miliknya sendiri. Bahkan Meiko tahu bahwa marga mereka pun berbeda. Meiko menyandang marga Sakine, marga besar di dunia bisnis. Sedangkan ibu dan bocah itu menyandang marga Hatsune. Meiko tidak pernah mendengar marga itu ada dalam deretan daftar pertemanan ayahandanya.
"Dia saudari tirimu, Miku namanya."
Perkataan ayahnya terngiang. Meiko sejak kecil diasuh oleh pengasuh keluarga, karena ayah dan ibunya berpisah tak lama setelah Meiko lahir.
"Ibu.." rasanya tenggerokan Meiko tercekat ketika ibundanya memandang tak suka pada Meiko. Padahal ini adalah hari pertama ia bisa melihat ibunya secara langsung.
Meiko menundukkan kepalanya, meremas gaun berenda miliknya hingga hampir kusut. Kedua matanya terasa perih, dan air mata sudah hampir menganak sungai.
"Kita pulang..."
Panggilan lembut itu membuat Meiko terisak. Itu suara ayahnya yang bernada sendu. Meiko mengangguk, membalik tubuhnya dan menggapai tangan sang ayah.
"Ibu tidak menyayangiku..."
"Habiskan makananmu sayang..."
Iris cokelat madu itu mengerling memandang seorang pria biru yang tengah makan bersama di dalam kelas. Pria itu adalah Shion Kaito dan gadis di hadapan pria itu adalah Hatsune Miku, adik tirinya sendiri.
Meiko dapat melihat bahwa dua orang itu sedang dimabuk asmara. Saling bersuap-suapan dengan tawa renyah.
Seharusnya Meiko tidak perlu merasa aneh seperti ini. Perasaan marah dan kesal kini bercongkol di dadanya. Paru-parunya seolah kehilangan oksigen karena dadanya merasa sesak melihat adegan itu.
Sebuah buku yang tengah dibaca Meiko menjadi sasaran ketidaksukaannya. Sisi buku cukup tebal itu berubah kusut akibat cengkraman tangan Meiko yang terlapau kuat.
Namun harga dirinya sebagai seorang nona Sakine masih mampu meredam amarahnya. Maka ia putuskan untuk kembali membaca buku meski otaknya terus berkecamuk marah. Memasang wajah anggun andalannya dan seolah tak pernah melihat atau merasakan apa pun.
Kaito memalingkan wajahnya ketika ia mendengar decitan bangku, melihat Meiko yang tengah membaca buku di sudut kelas. Keringat dingin tiba-tiba saja muncul dari permukaan kulit. Dapat dirasakannya ujung-ujung jemarinya mendingin seketika. Kaito takut dan gugup, jantungnya memompa darah lebih cepat.
"Ada apa Kaito kun?"
Pertanyaan Miku membawa kembali kesadaran Kaito. Wajah manis itu berubah khawatir.
"Tidak apa-apa." Kaito menenangkan Miku. Namun sekali lagi Kaito mencuri kesempatan untuk melihat Meiko.
Tidak ada, gadis berambut cokelat itu tidak ada di bangkunya. Padahal Kaito yakin beberapa saat lalu gadis itu masih duduk santai dan membaca buku. Kemana ia pergi?
Meiko melangkahkan kakinya untuk menaiki anak tangga yang cukup banyak. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang terbuka sedikit. Membukanya lebar.
Pantulan sinar matahari menerpa tubuh mungil Meiko, matanya sesekali berkedip akibat sinar yang terlalu terang.
Atap sekolah adalah tempat faforit Meiko setelah perpustakaan. Tempat ini sepi, itu yang membuat Meiko nyaman di sini. Tidak ada siswa lain yang ke sini, karena bila ketahuan maka hukuman siap menanti.
Meiko memilih duduk di lantai tanpa alas, bersandar pada tembok yang melindunginya dari sengatan matahari. Sebuah roti melon yang dibelinya di kantin dibukanya dan dilahap oleh Meiko. Lapar sekali, sejak pagi ia belum makan. Bila tadi ia masih asyik membaca, mungkin ia akan pulang dalam keadaan lemas.
"Aku tidak menyangka kalau nona perfectionis akan makan di sini."
Meiko memalingkan wajah ke arah suara, menoba mengenali sosok siswa itu. Rambut tayl seperti ekor kuda, berwarna ungu gelap, wajah tersenyum yang menyebalkan. Tentu Meiko mengenalnya, itu tunggal Kamui.
Putra pemilik dojo terkenal, berbisnis kemanan dan memiliki perusahaan di bidang kesehatan.
"Ada apa?" Meiko memilih menghentikan makannya, mencoba menghiraukan Gakupo.
"Tidak ada, aku melihatmu ke sini jadi kuikuti." jawab Gakupo santai, lalu duduk di samping Meiko.
"Kau mau menemaniku?"
Gakupo tertawa, "kau terlalu percaya diri."
Meiko tidak menjawab, lebih memilih diam memandang hamparan langit. Tiba-tiba terlintas wajah seseorang di benaknya. "Kau mirip sekali dengan seseorang yang kukenal."
Gakupo memalingkan wajahnya pada Meiko, memandangnya bingung.
Meiko juga memandang Gakupo, membuat iris madu dan amhetys bertemu. "Aku tidak tahu namanya, dia anak yang baik hanya saja ia memiliki sedikit kekurangan. Tapi aku suka padanya. Dulu ia sering bermain ke kediamanku, bermain dan minum teh bersama. Aku memanggilnya nii-san. Nii san memiliki rambut berwarna ungu, iris sewarna batu amhetys. Tapi tiba-tiba saja dia pergi dan tidak pernah memberi kabar. Padahal dia satu-satunya teman yang kupunya."
Gakupo diam mendengarkan.
"Apa kau punya seseorang yang mirip denganmu? Mungkin sepupu atau saudara jauh lainnya."
"Aku anak tunggal, semua Kamui selalu anak tunggal."
Meiko menunduk mengerti. "Mungkin dia sudah mati." ucap Meiko sendu.
"Sakine, ada apa denganmu? Sedang bersedih?"
Meiko mengangguk, entah untuk apa ia mengakui hal ini. "Mungkin."
"Karena tunanganmu masih belum berpaling padamu?" tebak Gakupo.
Hal itu langsung membuat mood Meiko semakin buruk, jadi Meiko memilih diam.
"Satuuniversitas ini tahu bahwa si bodoh Kaito adalah milik ratu es Sakine. Tapi dia masih saja mengabaikanmu." Gakupo terkikik. "Kenapa kau tidak melepaskannya saja?"
Meiko berfikir cukup lama, dirinya sendiri juga sebenarnya tidak membutuhkan sosok Kaito. Ia hanya menuruti keinginan sang ayah. Namun sebuah alasan muncul dari otak jeniusnya.
"Karena aku ingin membuat Hatsune san menderita."
Gakupo tahu bahwa jawaban tenang itu adalah kebenaran. Tapi tetap saja ia tak habis fikir, kenapa Meiko bisa setenang itu mengucapkan niatan buruknya.
"Kau terdengar seperti wanita jahat ehh..." ejek Gakupo dengan seringaiannya.
"Kau benar." Meiko sedikit terkikik. "Lalu kau apa? Samurai bodoh yang mau menemaniku makan?"
Gakupo tersenyum simpul, menutup matanya. "Kurasa begitu." jawab Gakupo tenang. "Atau karena aku menyukaimu..." ucap Gakupo lagi.
Meiko yang mendengar tersenyum tipis senyuman sendu dengan mata berkaca-kaca. "Kau pria malang."
"Terima kasih."
Meiko memarkirkan mobil sedan miliknya di depan sebuah cafe. Setelah menarik tuas rem, Meiko mengambil tas jinjing miliknya, mengeluarkan ponsel pintar dan kembali email yang masuk beberapa waktu lalu.
From : Kaito
To : Meiko
Subject : -
Aku tunggu di cafe orange and aple cafe pukul empat sore.
Meiko mencocokkan nama cafe itu, oke ini memang tempatnya.
'Kling'
Kaito memalingkan wajahnya ke arah pintu masuk cafe. Melihat seorang gadis berambut pendek eboni memasuki cafe. Ia memakai sebuah kemeja bergaris berwarna putih dibalut cardigan berwarna merah terang dan rok span berwarna hitam. Pakaian itu melekat sempurna pada tubuh langsing Meiko.
"Apa aku terlambat?" Meiko menaikkan alisnya, merasa tidak suka pada pandangan Kaito.
"Tidak, duduklah." jawab Kaito ramah mempersilahkan. Ia memberikan buku menu pada Meiko yang sudah terduduk anggun di hadapannya. "Pesanlah yang kau suka."
Meiko mengangguk, membuka beberapa halaman menu. Tak lama pelayan datang dan mencatat pesanan.
"Capuccino saja." pelayan itu mengangguk dan mencatat pesanan Meiko.
"Kalau tuan pesan apa?"
"Segelas cokelat panas."
Sepeninggalnya pelayan itu, Meiko hanya memandang jalanan di luar jendela, memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Mereka duduk di sudut belakang cafe di sampingnya terdapat kaca besar yang mengarah langsung ke jalanan.
"Sebentar lagi kita akan lulus kuliah, dan itu artinya pernikahan kita juga semakin dekat." Ucapan pelan Kaito membuat Meiko berhenti memandang ke luar dan dengan baik mulai menyimak.
Merasa lega mendapatkan perhatian Meiko, Kaito kembali melanjutkan. "Menurutmu bagaimana dengan pernikahan ini?"
Tiba-tiba diberi pertanyaan seperti itu oleh Kaito, Meiko merasa agak canggung. Ia tahu bahwa pernikahan ini akan segera terlaksana. Tepat satu bulan setelah mereka diwisuda. Meiko tidak pernah ingin mengingatnya. Bagi Meiko pernikahan bukanlah hal penting di hidupnya. Kembali melihat bagaimana berantakan keluarga kecilnya, membuat Meiko tak tertarik pada sebuah ikatan. Bagi Meiko pernikahannya dengan Kaito adalah pertalian bisnis dan ajang menyakiti gadis yang telah merebut ibundanya.
"Aku tidak keberatan dengan pernikahan ini."
Kaito tersenyum kecut mendengar jawaban Meiko yang baginya sangat ambigu. "Kau jelas tidak menyukaiku, untuk apa melanjutkan perjodohan ini?"
"Untuk balas dendam pada kekasihmu."
Jawaban dingin Meiko membuat Kaito tersentak. Memandang tak percaya, bahkan tenggerokannya terasa kering meski ingin bertanya 'kenapa'.
Menyadari pandangan Kaito, Meiko tersenyum. "Ibuku pergi meninggalkan aku dan ayahku untuk pria yang bahkan tidak sederajat dengan ayahku. Meninggalkan aku atas dasar cintanya pada pria miskin itu. Lalu melahirkan Miku, dan membenciku."
"Kau tahu bahwa Miku tidak bersalah. Bukan maunya lahir dengan keadaan seperti ini."
"Juga bukan mauku lahir untuk dibenci ibuku sendiri."
Kaito diam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia terlalu terkejut dengan alasan yang diberikan Meiko padanya. "Pernikahan adalah ikatan yang suci Sakine san."
"Kau terlalu kekanakan Shion sama. Ini adalah dunia nyata di mana harta dan tahta adalah bukti kebahagiaan. Ini bukan dunia dongeng manis yang berkisah mengenai cinta."
Kaito merasa mencelos hatinya, ternyata benar kata orang. Sakine Meiko adalah Ratu Es yang dingin. Wajahnya hampir tidak pernah menunjukkan emosi. Dan demi perusahaan milik keluarganya, ia harus menikah dengan ratu es ini. Mungkin bila wanita lain, dirinya akan mencoba untuk mencintai. Tapi Meiko? Bahkan berteman dengannya pun rasanya mustahil.
"Apa kau akan mundur Shion san?"
Kaito menggeleng lemah. "Apakah bila aku menikahimu kau berjanji tidak akan mengusik Miku chan?"
Meiko mengernyit bingung tidak mengerti maksud Kaito. "Memang apa yang akan kulakukan pada Miku?"
"Kudengar ayahmu akan mencabut beasiswanya, dan menjamin bahwa Miku tidak akan diterima kerja di mana pun."
Meiko mengerti, ayahnya juga sedang membalaskan dendamnya pada ibunya.
"Tidak masalah. Tapi kau juga harus benar-benar menghilang dari hidupnya. Atau aku yang akan menghilangkan kehidupannya."
"Aku mengerti."
Selesainya percakapan tidak mengenakan itu, pelayan datang membawa pesanan Meiko dan Kaito.
Tbc
Mind to RnR?
Maaf kalo banyak yang tidak dimengerti,, ditunggu saran ide untuk melanjutkan ini. Beri Miki semangat ya! xD seeu~~~
